Anda di halaman 1dari 41

LEMBER PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN PADA Tn. S.N DENGAN


DIAGNOSA ST ELEVATION INFARK MIOCARD (STEMI)
DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT PJT
RSUP DR.WAHIDINSUDIROHUSODO
MAKASSAR

Oleh :

LA ALI

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ( STIKes)


MALUKU HUSADA
MAKASSAR
2019
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN PADA Tn. S.N DENGAN


DIAGNOSA ST ELEVATION INFARK MIOCARD (STEMI)
DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT PJT
RSUP DR.WAHIDINSUDIROHUSODO
MAKASSAR

Resume Keperawatan Ini Telah Di Setujui


Tanggal …………… Agustus 2019

CO NERS

LA ALI

Mengetahui

PRESEPTOR LAHAN PRESEPTOR INSTITUSI

( …………..……………) ( ……………………….....)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


MALUKU HUSADA
MAKASSAR
2019
LAPORAN PENDAHULUAN
“STEMI (ST ELEVATION MIOKARD INFARK)”

A. Definisi
Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan
oleh kerusakan aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2010). Infark miocard
akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan
sel otot jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh
darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat
aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat
mempertahankan fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton &
Hall, 2012).
ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot
jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses
degeneratif maupun di pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan
nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan
EKG. STEMI adalah cermin dari pembuluh darah koroner tertentu yang
tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar terhenti, otot jantung
yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati.
STEMI adalah salah satu dari jenis ACS sehingga patofisiologinya
dimulai ketika terjadi plak aterosklerosis dalam pembuluh koroner yang
merangsang terjadinya agregasi platelet dan pembentukan thrombus. Kemudian
thrombus tersebut akan menyumbat pada pembuluh darah dan
menghalangi/mengurangi perfusi miokardial. (Kristin j.o,2009)
Infark miokard akut terjadi ketika iskemia miokard,yang biasanya
timbul sebagai akibat penyakit aterosklerosis arteri koroner, cukup untuk
menghasilkan nekrosis inversibel otot jantung. (Huan H Gray,dkk,2009).
infark miokard Akut adalah kematian jaringan miokard diakibatkan
oleh kerusakan darah koroner miokard karena ketidakadekuatan aliran darah
(Carpenito, 2010).
Infark miokard Akut adalah iskemia atau nekrosis pada oto jantung
yang diakibatkan karena penurunan aliran darah melalui satu atau lebih arteri
koroner (Doengos, 2011).
Infark miokard merupakan akibat dari iskemia yang berlangsung lebih
dari 30-45 menit yang memyebabkan kerusakan selular yang irreversible dan
kematian otot atau nekrosis pada bagian miokardium (Price &Wilson, 2010).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori,
yaitu ST-elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark
miocard (NSTEMI). STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang
menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan adanya elevasi segmen ST pada EKG.
Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen
ST pada EKG.
B. Etiologi dan Faktor Risiko
Penyebab utama infark miokard adalah kurangnya suplai darah
miokard. Penyebab penurunan suplai darah dikarenakan penyempitan kritis
arteri koroner karena ateriosklerosis atau oklusi arteri komplit / penyumbatan
total arteri oleh embolus atau thrombus, syok dan hemoragi / perdarahan. Pada
kasus ini selalu terjadi ketidakseimbangan antara suplai darah dan kebutuhan
oksigen.
Stemi juga terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada
lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti
merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.
Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah
terjadinya rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar
kasus, terdapat beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya
STEMI, antara lain aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan
penyakit dalam lainnya. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya IMA pada individu. Faktor-faktor resiko ini
dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor resiko yang tidak dapat
dirubah dan faktor resiko yang dapat dirubah.
1. Faktor yang tidak dapat dirubah :
a) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang
progresif, biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi
mencapai ambang kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada usia
menengah maupun usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40 dan 60
tahun, insiden infark miokard pada pria meningkat lima kali lipat (Kumar,
et al., 2009).
b) Jenis kelamin
Infark miokard jarag ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika
terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause,
insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat
bahkan lebih besar jika dibandingkan dengan pria.
c) Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit
putih.
d) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara,
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun)
meningkatkan kemungkinan timbulnya IMA.
2. Faktor resiko yang dapat dirubah :
a) Hiperlipidemia merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida
serum di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl
akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan
resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi 240 mg/dl.
Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan dengan meningkatnya resiko
penyakit arteri koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi
berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini.
b) Hipertensi merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah
systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat
meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60%
dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar
50% pasien hipertensi dapat meninggal karena IHD atau gagal jantung
kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke (Kumar, et
al., 2009).
c) Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok
mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan
atherosclerosis pada wanita. Penggunaan rokok dalam jangka waktu yang
lama meningkatkan kematian karena IHD sekitar 200%. Berhenti merokok
dapat menurunkan risiko secara substansial (Kumar, et al., 2009).
d) Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga
meningkatkan predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua
kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes daripada tidak.
Juga terdapat peningkatan risiko stroke pada seseorang yang menderita
diabetes mellitus
e) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.
f) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang
bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.
C. Manifestasi Klinis
a. Keluhan utama klasik : nyeri dada sentral yang berat , seperti rasa terbakar,
ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang
berlangsung ≥ 20 menit, tidak berkurang dengan pemberian nitrat.
Karakteristik nyeri pada STEMI hampir sama dengan pada angina
pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat, lebih berat, dan
berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian tengah dada
dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah lengan. Penyebaran nyeri
juga dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang bawah, dan leher.
Nyeri sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea, muntah, dan
ansietas (Fauci, et al., 2010).
Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)
Jenis Nyeri Dada EKG Enzim
Jantung
Angina Pectoris Angina pada waktu Depresi segmen ST Tidak
Stabil istirahat/ aktivitas Inversi gelombang T meningkat
ringan (ICS III-IV). Tidak ada
Hilang dengan nitrat gelombang Q
NSTEMI Lebih berat dan lama Depresi segmen ST Meningkat
(> 20 menit). Tidak Inversi Gelombang minimal 2
hilang dengan nitrat, T dalam kali nilai
perlu opium batas atas
normal
STEMI Lebih berat dan lama Elevasi segmen ST Meningkat
(> 20 menit). Tidak inversi gelombang T minimal 2
hilang dengan nitrat, kali nilai
perlu opium batas atas
normal

b. Kelainan lain: di antaranya aritmia, henti jantung atau gagal jantung akut.
c. Pada manula: bisa kolaps atau bingung.
d. Pada pasien diabetes: perburukan status metabolik atau atau gagal jantung
bisa tanpa disertai nyeri dada.
e. Sebagian besar pasien memiliki faktor resiko atau penyakit jantung
koroner yang diketahui . 50% tanpa disertai angina.
f. Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan
lemas
D. Klasifikasi Killip
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA.
Prognosis IMA dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis
dinilai menggunakan klasifikasi Killip:
Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA
Kelas Definisi Proporsi pasien Mortalitas(%)

Tidak ada tanda gagal jantung


I 40-50% 6
kongestif

Heart falure. Kriteria diagnosis


disertai adanya S3 gallop dan/atau
II 30-40% 17
ronki basah (rales) di basal paru
dan hipertensi pulmonal

Severe Heart Failure. Edema paru


III 10-15% 30-40
akut (ALO)

IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80

E. Patofisiologi
STEMI biasa terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-
tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami
atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner
berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vascular.
Kerusakan ini difasilitasi oleh beberapa faktor, seperti merokok, hipertensi, dan
akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, STEMI terjadi ketika permukaan
plak atherosclerotic mengalami ruptur sehingga komponen plak tersebut
terekspos dalam darah dan kondisi yang mendukung trombogenesis
(terbentuknya thrombus). Mural thrombus (thrombus yang menempel pada
pembuluh darah) terbentuk pada tempat rupturnya plak, dan terjadi oklusi pada
arteri koroner. Setelah platelet monolayer terbentuk pada tempat terjadinya
ruptur plak, beberapa agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin)
menyebabkan aktivasi platelet. Setelah stimulasi agonis platelet, thromboxane
A2 (vasokonstriktor local yang kuat) dilepas dan terjadi aktivasi platelet lebih
lanjut.
Selain pembentukan thromboxane A 2, aktivasi platelet oleh agonis
meningkatkan perubahan konformasi pada reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Ketika reseptor ini dikonversi menjadi bentuk fungsionalnya, reseptor ini akan
membentuk protein adhesive seperti fibrinogen. Fibrinogen adalah molekul
multivalent yang dapat berikatan dengan dua plateet secara simultan,
menghasilkan ikatan silang patelet dan agregasi. Kaskade koagulasi mengalami
aktivasi karena paparan faktor jaringan pada sel endotel yang rusak, tepatnya
pada area rupturnya plak. Aktivasi faktor VII dan X menyebabkan konversi
protrombin menjadi thrombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner seringkali mengalami oklusi karena thrombus
yang terdiri dari agregat platelet dan benang-benang fibrin.
Pada sebagian kecil kasus, STEMI dapat terjadi karena emboli arteri
koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan berbagai penyakit
sistemik, terutama inflamasi. Besarnya kerusakan myocardial yang disebabkan
oklusi koroner tergantung pada
a. daerah yang disuplai oleh pembuluh darah yang mengalami oklusi
b. apakah pembuluh darah mengalami oklusi total atau tidak
c. durasi oklusi koroner
d. kuantitas darah yang disuplai oleh pembuluh darah kolateral pada jaringan
yang terkena
e. kebutuhan oksigen pada miokardium yang suplai darahnya menurun secara
tiba-tiba
f. faktor lain yang dapat melisiskan thrombus secara dini dan spontan
g. keadekuatan perfusi miokard pada zona infark ketika aliran pada arteri
koroner epikardial yang mengalami oklusi telah dikembalikan.
F. Pemeriksaan Penunjang
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis
STEMI dapat dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac
imaging, dan indeks nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
1. Electrocardiograf (ECG)

Gambar 1. Gambaran EKG STEMI

Tabel 3. Lokasi Miokard Infark Berdasarkan Gambar EKG


No Lokasi Gambaran EKG
1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6
3 Anterolateral dan I dan aVL

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6

4 Lateral dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I


dan aVL

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,


5 Inferolateral aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).

Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III, dan


6 Inferior aVF
Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
7 Inferoseptal aVF, V1-V3

True Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST


8 depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
posterior

Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).

RV Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.


9
Infraction Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam pertama
infark.

2. Serum Cardiac Biomarker


Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas
dari otot jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI. Kecepatan
pelepasan protein spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi
intraseluler, berat molekul, dan aliran darah dan limfatik local. Biomarker
kardiak dapat dideteksi pada darah perifer ketika kapasitas limfatik kardiak
untuk membersihkan bagian interstisium dari zona infark berlebihan
sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
a. Cardiac Troponin
Troponin adalah protein pengatur yang ditemukan di otot rangka dan
jantung. Tiga subunit yang telah diidentifikasi termasuk troponin I (TnI),
troponin T (TnT), dan troponin C (TnC). Gen yang mengkode isoform TnC
pada otot rangka dan jantung adalah identik. Karena itulah tidak ada
perbedaan struktural diantara keduanya. Walaupun demikian, subform TnI
dan TnT pada otot rangka dan otot jantung berbeda dengan jelas, dan
immunoassay telah didesain untuk membedakan keduanya. Hal ini
menjelaskan kardiospesifitas yang unik dari cardiac troponin.
Troponin bukanlah marker awal untuk myocardial necrosis. Uji
troponin menunjukkan hasil positif pada 4-8 jam setelah gejala terjadi,
mirip dengan waktu pengeluaran CK-MB. Meski demikian, mereka tetap
tinggi selama kurang lebih 7-10 hari pasca MI.
Cardiac troponin itu sensitif, kardiospesifik, dan menyediakan
informasi prognostik untuk pasien dengan ACS. Terdapat hubungan antara
level TnI atau TnT dengan tingkat mortalitas dan adverse cardiac event
pada ACS. Mereka telah menjadi cardiac marker pilihan untuk pasien
dengan ACS.
b. Creatine Kinase-MB isoenzym
Sebelum cardiac troponin dikenal, marker biokimia yang dipilih
untuk diagnosis AMI adalah isoenzim CK-MB. Kriterium yang kebanyakan
digunakan untuk diagnosis AMI adalah 2 serial elevasi di atas level cutoff
diagnostik atau hasil tunggal lebih dari dua kali lipat batas atas normal.
Walaupun CK-MB lebih terkonsentrasi di miokardium (kurang lebih 15%
dari total CK), enzim ini juga terdapat pada otot rangka. Kardiospesifitas
CKMB tidaklah 100%. Elevasi false positive muncul pada beberapa
keadaan klinis seperti trauma atau miopati.
CK-MB pertama muncul pada 4-6 jam setelah gejala, puncaknya
adalah pada 24 jam, dan kembali normal dalam 48-72 jam. CK-MB level
walaupun sensitif dan spesifik untuk diagnosis AMI, tidak prediktif untuk
adverse cardiac event dan tidak mempunyai nilai prognostik.
c. Relative index (Indeks relatif), CK-MB dan total CK
Indeks relatif dihitung berdasarkan rasio [CK-MB (mass) / total CK x
100] dapat membantu klinisi untuk membedakan elevasi false positive
peningkatan CK-MB otot rangka. Rasio yang kurang dari 3 konsisten
dengan sumber dari otot rangka. Rasio >5 mengindikasikan sumber otot
jantung. Rasio diantara 3-5 menunjukkan gray area. Indeks relatif CK-
MB/CK diperkenalkan untuk meningkatkan spesifitas elevasi CK-MB
untuk MI.
Pemakaian indeks relatif CK-MB/CK berhasil jika pasien hanya
memiliki MI atau kerusakan otot rangka tapi tidak keduanya. Oleh sebab
itu, pada keadaan dimana terdapat kombinasi AMI dan kerusakan otot
rangka (rhabdomyolysis, exercise yang berat, polymyositis), sensitifitas
akan jatuh secara signifikan.
Diagnosis AMI tidak boleh didasarkan hanya pada elevasi indeks
relatif saja. Elevasi indeks relatif dapat terjadi pada keadaan klinis dimana
total CK atau CK-MB pada batas normal. Indeks relatif hanya berfungsi
secara klinis bila level CK dan CK-MB dua-duanya mengalami
peningkatan.
d. Mioglobin
Mioglobin telah menarik perhatian sebagai marker awal pada MI.
Mioglobin adalah protein heme yang ditemukan pada otot rangka dan
jantung. Berat molekulnya yang rendah menyebabkan pelepasannya yang
cepat. Mioglobin biasanya meningkat pada 2-4 jam setelah terjadinya
infark, puncaknya adalah pada 6-12 jam, dan kembali ke normal setelah 24-
36 jam.
Uji cepat mioglobin telah tersedia, tetapi kekurangannya adalah
kurang kardiospesifik. Uji serial setiap 1-2 jam dapat meningkatkan
sensitivitas dan spesifitas. Peningkatan atau perbedaan 25-40% setelah 1-2
jam adalah penanda kuat dari AMI. Pada kebanyakan penelitian, mioglobin
hanya mencapai 90% sensitifitas untuk AMI. Nilai prediktif negatif
mioglobin tidak cukup tinggi untuk mengeklusi diagnosis AMI. Penelitian
original yang mengevaluasi mioglobin menggunakan definisi origininal
WHO tentang AMI yang distandarkan pada CK-MB. Dengan adopsi dari
standar troponin untuk definisi AMI dari ESC/ACC, sensitifitas mioglobin
untuk AMI menurun.
e. Creatine Kinase-MB isoforms
Isoenzim CK-MB terdapat dalam 2 isoform, yaitu CK-MB1 dan CK-
MB2. CK-MB2 adalah bentuk jaringan dan awalnya dilepaskan oleh
miokardium setelah MI. Kemudian berubah di serum menjadi isoform CK-
MB1. Hal ini terjadi segera setelah gejala terjadi. Isoform CK-MB dapat
dianalisis menggunakan elektroforesis tegangan tinggi. Rasio CK-
MB2/CK-MB1 juga dihitung. Normalnya, isoform jaringan CK-MB1 lebih
dominan sehingga rasionya kurang dari 1. Hasil pemeriksaan dikatakan
positif jika CK-MB2 meningkat dan rasionya lebih dari 1,7.
Pelepasan isoform CK-MB termasuk cepat. CK-MB2 dapat dideteksi
di serum pada 2-4 jam setelah onset dan puncaknya adalah 6-9 jam. Ini
adalah marker awal dari AMI. Dua penelitian besar menyebutkan bahwa
sensitivitasnya adalah 92% pada 6 jam setelah onset gejala dibandingkan
dengan 66% untuk CKMB dan 79% untuk mioglobin. Kekurangan terbesar
dari uji ini adalah relatif sulit dilakukan oleh laboratorium.
f. C-reactive Protein
CRP, marker inflamasi nonspesifik, diperhitungkan terlibat secara
langsung pada coronary plaque atherogenesis. Penelitian yang dimulai
pada awal 1990an menunjukkan bahwa level CRP yang meningkat
menunjukkan adverse cardiac events, baik pada prevensi primer maupun
sekunder. Level CRP berguna untuk mengevaluasi profil risiko jantung
pasien. Data baru mengindikasikan bahwa CRP berguna sebagai indikator
prognostik pada pasien dengan ACS. Peningkatan level CRP memprediksi
kematian jantung dan AMI.
g. Referensi Nilai
Hasil normal bervariasi berdasarkan laboratorium dan metode yang
digunakan. Informasi di bawah ini adalah dari ACC dan the American
Heart Association (AHA).
 Total CK = 38–174 units/L untuk laki-laki dan 96–140 units/L untuk
perempuan.
 CKMB = 10-13 units/L.
 Troponin T = kurang dari 0,1 ng/mL.
 Troponin I = kurang dari 1,5 ng/mL.
 Isoform CKMB = rasio 1,5 atau lebih.
 Mioglobin = kurang dari 110 ng/mL
Tabel 4. Cardiac marker pada MI.

Waktu Awal Waktu Puncak


Waktu Kembali
Marker Peningkatan Peningkatan
Normal
(jam) (jam)
CK 4–8 12 – 24 72 – 96 jam
CK-MB 4–8 12 – 24 48 – 72 jam
Mioglobin 2–4 4–9 < 24 jam
LDH 10 – 12 48 – 72 7 – 10 hari
Troponin I 4–6 12 – 24 3 – 10 hari
Troponin T 4–6 12 – 48 7 – 10 hari

Grafik 1. Pelepasan mioglobin, CK-MB, troponin I, dan troponin T


berdasarkan waktu.
3. Cardiac Imaging
a) echocardiography
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional
echocardiography hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI.
Walaupun STEMI akut tidak dapat dibedakan dari scar miokardial
sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan echocardiography,
prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika tidak
terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal aka nada
atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan echocardiography
dapat digunakan untuk mengambil keputusan, seperti apakah pasien
harus mendapatkan terapi reperfusi. Estimasi echocardiographic untuk
fungsi ventrikel kiri sangat berguna dalam segi prognosis, deteksi
penurunan fungsi ventrikel kiri menunjukkan indikasi terapi dengan
inhibitor RAAS. Echocardiography juga dapat mengidentifikasi infark
pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi pericardial, dan
thrombus pada ventrikel kiri. Selain itu, Doppler echocardiography juga
dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua
komplikasi STEMI.
b) High resolution MRI
Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high
resolution cardiac MRI.
c) Angiografi
Diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan
pengukuran langsung terhadap ventrikel kiri.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang
terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut
thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:
1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri
yang terkena infark.
2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke
bagian distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri
normal.
4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark
dengan aliran normal.
4. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi
Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan
leukositosis polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah
onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Hitung sel darah putih seringkali
mencapai 12.000-15.000/L. Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat
secara lebih lambat dibandingkan dengan hitung sel darah putih, memuncak
selama minggu pertama dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2
minggu.
G. Penegakan Diagnosis
Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang
khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST ≥1 mm, minimal pada 2 sandapan
yang berdampingan. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang
meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi
revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim.
1. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan
anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau
luar jantung. Selanjutnya perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari
koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark
miokard sebelumnya, serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM,
dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada
keluarga,
Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum
terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis
atau bedah. Walaupun STEMI dapat terjadi sepanjang hari atau malam,
variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah
bangun tidur.
Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal
pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sbb:
 Lokasi: sub/retrosternal, prekordial
 Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
ditusuk, diperas, dan dipelintir
 Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah,
gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat
 Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah
makan
 Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas
dan lemas
2. Pemeriksaan fisik
Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas
pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit
dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Seperempat pasien
infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis
(takikardia dan/atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark inferior
menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).
Tanda fisik lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,
penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi
jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik
apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan
pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C dapat dijumpai
pada minggu pertama pasca STEMI.
3. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan
terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi.
Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik
dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10
menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu harus dilakukan
untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien
dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis
sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya
tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami
angina tidak stabil atau non-STEMI.
4. Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang
dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin
(cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan
sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot
skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB.
Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan
sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB
 cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2
jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn
T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10
hari
 Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic
dehidrogenase (LDH
 Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang
dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama
3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.
H. Penatalaksanaan
Tujuan utama tatalaksana IMA adalah diagnosis cepat, menghilangkan
nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi perfusi yang mungkin
dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat
penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.
Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok
komplikasi umum yaitu: komplikasi elektrikal (aritmia) dan komplikasi
mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada
STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar
terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi
pada jam pertama. Sehingga elemen utama tatalaksana prahospital pada pasien
yang dicurigai STEMI antara lain:
1. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis.
2. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi.
3. Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICCU/ICU
serta staf medis dokter dan perawat yang terlatih.
4. Melakukan terapi perfusi.
 Panel A: Pasien dibawa oleh EMS setelah memanggil 9-1-1: Reperfusi pada
pasien STEMI dapat dilakukan dengan terapi farmakologis (fibrinolisis) atau
pendekatan kateter (PCI primer). Implementasi strategi ini bervariasi
tergantung cara transportasi pasien dan kemampuan penerimaan rumah sakit.
Sasaran adalah waktu iskemia total 120 menit. Waktu transport ke rumah
sakit bervariasi dari kasus ke kasus lainnya, tetapi sasaran waktu iskemik total
adalah 120 menit. Terdapat 3 kemungkinan:
1. JIka EMS mempunyai kemampuan memberikan fibrinolitik dan pasien
memenuhi syarat terapi, fibrinolisis pra rumah sakit dapat dimulai
dalam 30 menit sejak EMS tiba.
2. Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit
dan pasien dibawa ke rumah sakit yang tak tersedia sarana PCI, hospital
door-needle time harus dalam 30 menit untuk pasien yang mempunyai
indikasi fibrinolitik.
3. Jika EMS tidak mampu memberikan fibrinolisis sebelum ke rumah sakit
dan pasien dibawa ke rumah sakit dengan sarana PCI, hospital-door-to-
balloon time harus dalam waktu 90 menit.
a. Tatalaksana di Ruang Emergensi
Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai STEMI
mencakup: mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat
pasien yang merupakan kandidat terapi perfusi segera, triase pasien risiko
rendah ke ruangan yang tepat di rumah sakit dan menghindari pemulangan
cepat pasien dengan STEMI.
b. Tatalaksana Umum
 Oksigen
Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen
arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat
diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
 Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4
mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan Intervensi 5 menit.
Selain mengurangi nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan
oksigen miokard dengan menurunkan preload dan meningkatkan
suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang
terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus
berlangsung dapat diberikan NGT intravena. NGT intravena juga
diberikan untuk mngendalikan hipertensi atau edema paru.
Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah
sistolik <90mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark
ventrikel kanan (infark inferior pada EKG, JVP meningkat, paru bersih
dan hipotensi). Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang
menggunakan phosphodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam
sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.
 Mengurangi/menghilangkan nyeri dada
Mengurangi atau menghilangkan nyeri dada sangat penting, karena
nyeri dikaitkan dengan aktivasi simpatis yang menyebabkan
vasokonstriksi dan meningkatkan beban jantung.
 Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesic
pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan
dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit
sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada
pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui
penurunan simpatis, sehingga terjadi pooling vena yang akan
mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini
dapat diatasi dengan elevasi tungkai pada kondisi tertentu diperlukan
penambahan cairan IV dengan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat
menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok
jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek
ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mgIV.
 Aspirin
Aspirinmerupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai
STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan
A2 dicapai dengan absorbsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg
di ruang emergensi. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-162 mg.
 Penyekat Beta
Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat
beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang bias adiberikan
adalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan
syarat frekuensi jantung >60 menit, tekanan darah sistolik >100
mmHg, interval PR <0,24 detik dan ronchi tidak lebih dari 10 cm dari
diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan
dengan metoprolol oral dengan dosis IV terakhir dilanjutkan dengan
metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam dan dilanjutkan 100 mg
tiap 12 jam.
 Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan
mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump
failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-
needle (atau medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door-to-ballon) time
untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
c. Seleksi Strategi Reperfusi
Beberapa hal haru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi
antara lain:
 Waktu onset gejala
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor
penting luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis
dalam menghancurkan thrombus sangat tergantung dengan waktu.
Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama
dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan
secara dramatis menurunkan angka kematian.
Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami
infark menjadi paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala
pasien yang menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada
pengaruh keterlambatan waktu terhadap laju mortalitas jika PCI
dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah gejala.
The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of
the European Society of Cardiology dan ACC/AHA
merekomendasikan target medical contact-to-balloon atau door-tto-
balloon time dalam waktu 90 menit.
 Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam
menilai risiko mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas
dengan fibrinolisis sangat tinggi, seperti pada pasien renjatan
kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi PCI lebih baik.
 Risiko Perdarahan
Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada
pasien. Jika terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan
fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolisis,
semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia,
manfaat terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan
mafaat dan risiko.
 Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI
Adanya fasilitas kardiologi Intervensi merupakan penentu utama
apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan
PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi
farmakologis. Jika composite end point kematian, infark miokard
rekuren non fatal atau strok dianalisis, superioritas PCI terutama dalam
hal penurunan laju infark miokard non fatal berkurang.
STRATEGI REPERFUSI
A. REPERFUSI FARMAKOLOGIS (Fibrinolisis)
Jika tidak ada kontraindikasi, terapi fibrinolisis idealnya diberikan
dalam 30 menit sejak masuk (door-to-needle time <30 menit). Tujuan utama
fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa
macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini
bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang
selanjutnya melisiskan thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu golongan
spesifik fibrin seperti tPA dan non fibrin seperti streptokinase.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang
terlibat (culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut
thrombolysis in myocardial infarction (TIMI) grading system:
1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian
distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.
4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark
dengan aliran normal.
Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI grade 3, karena perfusi
penuh pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih
baik dalam membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri
dan menurunkan laju mortalitas jangka pendek dan jangka panjang.
Terapi fibrinolitik dapat menurunkan risiko relative kematian di
rumah sakit sampai 50% jika diberikan dalam jam pertama onset gejala
STEMI, dan manfaat ini dipertahankan sampai 10 tahun. Setiap hitungna
menit dan pasien yang mendapat terapi dalam 1-3 Jm onset gejala akan
mendapat manfaat yang terbaik. Walaupun laju mortalitas lebih sedang, terapi
masih tetap bermanfaat pada banyak pasien 3-6 jam setelah onset infark, dan
beberapa manfaat nampaknya masih ada samapi 12 jam terutama jika nyeri
dada masih ada dan segmen ST masih tetap elevasi pada sadapan EKG yang
belum menunjukkkan gelombang Q yang baru. Jika dibandingkan dengan
PCI pada STEMI (PCI primer), fibrinolisis secara umum merupakan strategi
reperfusi yang lebih disukai pada pasien pada jam pertama gejala, jika
perhatian pada masalah logistic seperti transportasi pasien ke pusat PCI yang
baik, atau ada antisipasi keterlambatan sekurang-kurangnya 1 jam antara
waktu trombolisis dapat dimulai dibandingkan implementasi PCI.
tPA dan activator plasminogen spesifik fibrin lain seperti rPA dan
TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi
penuh, aliran koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih
baik.
Fibinolisis umumnya lebih dipilih jika:
1. Presentasi awal <3 jam atau kurang dari onset gejala dan keterlambatan ke
strategi invasive.
2. Strategi invasive bukan merupakan pilihan.
3. Laboratorium kateterisasi belum tersedia
4. Kesulitan akses vascular.
5. Tidak ada akses ke laboratorium PCI yang mampu.
6. Terlambat untuk strategi invasive:
- Transport jauh
- (Door-to-balloon)-(Door-to-needle) time lebih dari 1 jam
- Medical contact-to-balloon atau door-to-balloon time lebih dari 90
menit
B. PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION (PCI)
Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasty dan atau stenting
tanpa didahului fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam
mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan dalam beberapa jam
pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolisis dalam
melakukan arteri koroner yang teroklusi dan dikaitkan dengan outcome klinis
jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. Dibandingkan
trombolisis, PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama
pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada
sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan lebih matur dan kurang mudah
hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian PCI lebih mahal dalam hal
personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya
sarana, hanya di beberapa Rumah Sakit.
Strategi invasive umumnya lebih dipilih jika:
1. Laboratorium PCI yang mampu tersedia dengan backup surgical medical
contact to balloon atau door to ballon time <90 menit. (Door to ballon)-
(Door to needle) time <1 jam.
2. Risiko tinggi STEMI
- Syok kardiogenik
- Klas Killip lebih atau sama dengan 3
I. Prognosis
Kelangsungan hidup kedua pasien STEMI dan NSTEMI selama enam
bulan setelah serangan jantung hampir tidak berbeda. Hasil jangka panjang
yang ditingkatkan dengan kepatuhan hati-hati terhadap terapi medis lanjutan,
dan ini penting bahwa semua pasien yang menderita serangan jantung secara
teratur dan terus malakukan terapi jangka panjang dengan obat-obatan seperti:
1. ASPIRIN®
2. clopidrogel
3. statin (cholesterol lowering) drugs
4. beta blockers (obat-obat yang memperlambat denyut jantung dan
melindungi otot jantung)
5. ACE inhibitors (obat yang meningkatkan fungsi miokard dan aliran darah)
Tabel 5. Risk Score Untuk Infark Miokard dengan Elevasi ST (STEMI)
J. Komplikasi
1. Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran,
dan ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular. Secara akut, hal ini terjadi karena
ekspansi infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan
jaringan pada zona nekrotik. Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan
ukuran dan lokasi infark.
2. Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.
Perluasaan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat
gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan
sesudahnya. Tanda klinis yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru
dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen dijumpai
kongesti paru.
3. Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala
awal. Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit,
iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
4. Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi
miokardium. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan
kongesti vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal
jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik.
5. Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark
yang massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul
lingkaran setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang
ireversibel dengan manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan
perfusi koroner, peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis
metabolic, dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi
miokardium.
6. Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di
rongga interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda
adanya kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran
melalui dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang
sangat berat. Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah
yang berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan
diambil oleh jantung kiri. Oleh karena adanya timbunan cairan, paru
menjadi kaku dan tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk,
akibatnya terjadi hipoksia berat.
7. Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan
mengganggu fungsi katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun
katup ke dalam atrium selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan
aliran retrograde dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat
yaitu pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium
kiri dan vena pulmonalis.
8. Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture
dinding septum sehingga terjadi defek septum ventrikel.
9. Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal
perjalanan infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum
pembentukan parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi
peradarahan massif ke dalam kantong pericardium yang relative tidak
elastic dapat berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah
menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade
jantung ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.
10. Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks
jantung. Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada
setiap sistolik dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.
11. Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel
menjadi kasar yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus.
Pecahan thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi
sistemik.
12. Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung
berkontak dan menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan
pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN STEMI
A. PENGKAJIAN
 Identitas Klien
Nama, usia, jenis kelamin, alamat, no.telepon, status pernikahan, agama,
suku, pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, No. RM, tanggal masuk,
tanggal pengkajian, sumber informasi, nama keluarga dekat yang bias
dihubungi, status, alamat, no.telepon, pendidikan, dan pekerjaan.
 Status kesehatan saat ini
Keluhan utama: nyeri dada, perasaan sulit bernapas, dan pingsan.
 Riwayat penyakit sekarang (PQRST)
1) Provoking incident: nyeri setelah beraktivitas dan tidak berkurang
dengan istirahat.
2) Quality of pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien, sifat keluhan nyeri seperti tertekan.
3) Region, radiation, relief: lokasi nyeri di daerah substernal atau nyeri di
atas pericardium. Penyebaran dapat meluas di dada. Dapat terjadi nyeri
serta ketidakmampuan bahu dan tangan.
4) Severity (scale) of pain: klien bias ditanya dengan menggunakan
rentang 0-5 dan klien akan menilai seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan. Biasanya pada saat angina skala nyeri berkisar antara 4-5
skala (0-5).
5) Time: sifat mulanya muncul (onset), gejala timbul mendadak. Lama
timbulnya (durasi) nyeri dada dikeluhkan lebih dari 15 menit. Nyeri
oleh infark miokardium dapat timbul pada waktu istirahat, biasanya
lebih parah dan berlangsung lebih lama. Gejala-gejala yang menyertai
infark miokardium meliputi dispnea, berkeringat, amsietas, dan
pingsan.
 Riwayat kesehatan terdahulu
Apakah sebelumnya klien pernah menderita nyeri dada, darah tinggi, DM,
dan hiperlipidemia. Tanyakan obat-obatan yang biasa diminum oleh klien
pada masa lalu yang masih relevan. Catat adanya efek samping yang
terjadi di masa lalu. Tanyakan alergi obat dan reaksi alergi apa yang
timbul.
 Riwayat keluarga
Menanyakan penyakit yang pernah dialami oleh keluarga serta bila ada
anggota keluarga yang meninggal, tanyakan penyebab kematiannya.
Penyakit jantung iskemik pada orang tua yang timbulnya pada usia muda
merupakan factor risiko utama untuk penyakit jantung iskemik pada
keturunannya.
 Aktivitas/istirahat
Gejala: kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, riwayat pola hidup
menetap, jadual olahraga tak teratur. Tanda: takikardia, dispnea pada
istirahat/kerja.
 Sirkulasi
Gejala: riwayat IM sebelumnya, penyakit arteri koroner, gagal jantung
koroner, masalah TD, DM.
Tanda:
1) TD dapat normal atau naik/turun; perubahan postural dicatat dari tidur
sampai duduk/berdiri
2) Nadi dapat normal; penuh/tak kuat atau lemah/kuat kualitasnya dengan
pengisian kapiler lambat; tidak teratur (disritmia) mungkin terjadi.
3) Bunyi jantung ekstra (S3/S4) mungkin menunjukkan gagal
jantung/penurunan kontraktilitas atau komplian ventrikel.
4) Murmur bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot papilar
5) Friksi; dicurigai perikarditis.
6) Irama jantung dapat teratur atau tak teratur.
7) Edema, edema perifer, krekels mungkin ada dengan gagal
jantung/ventrikel.
8) Pucat atau sianosis pada kulit, kuku dan membran mukosa.
 Integritas ego
Gejala: menyangkal gejala penting, takut mati, perasaan ajal sudah dekat,
marah pada penyakit/perawatan yang ‘tak perlu’, khawatir tentang
keluarga, pekerjaan dan keuangan.
Tanda: menolak, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,
perilaku menyerang, dan fokus pada diri sendiri/nyeri.
 Eliminasi: bunyi usus normal atau menurun
 Makanan/cairan
Gejala: mual, kehilangan napsu makan, bersendawa, nyeri ulu
hati/terbakar.
Tanda: penurunan turgor kulit, kulit kering/berkeringat, muntah, dan
perubahan berat badan
 Hygiene: kesulitan melakukan perawatan diri
 Neurosensori
Gejala: pusing, kepala berdenyut selama tidur atau saat bangun
(duduk/istirahat)
Tanda: perubahan mental dan kelemahan
 Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala:
 Nyeri dada yang timbul mendadak (dapat/tidak berhubungan
dengan aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin.
 Lokasi nyeri tipikal pada dada anterior, substernal, prekordial,
dapat menyebar ke tangan, rahang, wajah. Tidak tertentu lokasinya
seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, leher
 Kualitas nyeri ‘crushing’, menusuk, berat, menetap, tertekan,
seperti dapat dilihat.
 Instensitas nyeri biasanya 10 pada skala 1-10, mungkin
pengalaman nyeri paling buruk yang pernah dialami.
 Catatan: nyeri mungkin tak ada pada pasien pasca operasi, dengan
DM, hipertensi dan lansia.
Tanda:
 Wajah meringis, perubahan postur tubuh.
 Menangis, merintih, meregang, menggeliat.
 Menarik diri, kehilangan kontak mata
 Respon otonom: perubahan frekuensi/irama jantung, TD,
pernapasan, warna kulit/kelembaban, kesadaran.
 Pernapasan
Gejala: dispnea dengan/tanpa kerja, dispnea nocturnal, batuk
produktif/tidak produktif, riwayat merokok, penyakit pernapasan kronis
Tanda: peningkatan frekuensi pernapasan, pucat/sianosis, bunyi napas
bersih atau krekels, wheezing, sputum bersih, merah muda kental.
 Interaksi social
Gejala: stress saat ini (kerja, keuangan, keluarga) dan kesulitan koping
dengan stessor yang ada (penyakit, hospitalisasi)
Tanda: kesulitan istirahat dengan tenang, respon emosi meningkat, dan
menarik diri dari keluarga
 Penyuluhan/pembelajaran
Gejala: riwayat keluarga penyakit jantung/IM, DM, stroke, hipertensi,
penyakit vaskuler perifer, dan riwayat penggunaan tembakau
Pengkajian fisik
Penting untuk mendeteksi komplikasi dan harus mencakup hal-hal berikut:
 Tingkat kesadaran
 Nyeri dada (temuan klinik yang paling penting)
 Frekwensi dan irama jantung: Disritmia dapat menunjukkan tidak
mencukupinya oksigen ke dalam miokard
 Bunyi jantung: S3 dapat menjadi tanda dini ancaman gagal jantung
 Tekanan darah: Diukur untuk menentukan respons nyeri dan pengobatan,
perhatian tekanan nadi, yang mungkin akan menyempit setelah serangan
miokard infark, menandakan ketidakefektifan kontraksi ventrikel
 Nadi perifer: Kaji frekuensi, irama dan volume
 Warna dan suhu kulit
 Paru-paru: Auskultasi bidang paru pada interval yang teratur terhadap tanda-
tanda gagal ventrikel (bunyi krakles pada dasar paru)
 Fungsi gastrointestinal: Kaji motilitas usus, trombosis arteri mesenterika
merupakan potensial komplikasi yang fatal
 Status volume cairan: Amati haluaran urine, periksa adanya edema, adanya
tanda dini syok kardiogenik merupakan hipotensi dengan oliguria
Pemeriksaan Diagnostik
 EKG
 Echocardiogram
 Lab  CKMB, cTn, Mioglobin, CK, LDH

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang sering terjadi antara lain:
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi
arteri koroner
2. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan pengembangan paru
tidak optimal, kelebihan cairan di dalam paru akibat sekunder dari edema
paru akut
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler
sistemik, otot infark, kerusakan struktural
4. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran darah,
misalnya vasikonstriksi,hipovolemia, dan pembentukan troboemboli
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen miokard dengan kebutuhan, adanya iskemia/nekrotik jaringan
miokard, efek obat depresan jantung
6. Distress spiritual berhubungan dengan bedrest total akibat intoleransi
aktivitas

C. RENCANA KEPERAWATAN
Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi
arteri koroner
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam nyeri
berkurang
Kriteria hasil: Nyeri dada hilang/terkontrol, Mendemonstrasikan penggunaan
teknik relaksasi , Klien tampak rileks,mudah bergerak
INTERVENSI RASIONAL
Kaji keluhan pasien mengenai nyeri Data tersebut membantu
dada, meliputi : lokasi, radiasi, durasi menentukan penyebab dan efek
dan faktor yang mempengaruhinya. nyeri dada serta merupakan garis
dasar untuk membandingkan gejala
pasca terapi.
Berikan istirahat fisik dengan Untuk mengurangi rasa tidak
punggung ditinggikan atau dalam kursi nyaman serta dispnea dan istirahat
kardiak. fisik juga dapat mengurangi
konsumsi oksigen jantung.
Kaji ulang riwayat angina sebelumnya, Untuk membandingkan nyeri yang
nyeri menyerupai angina ada dari pola sebelumnya, sesuai
dengan identifikasi komplikasi
seperti meluasnya infark, emboli
paru, atau perikarditis
Anjurkan pasien untuk melaporkan Untuk memberi intervensi secara
nyeri dengan segera tepat sehingga mengurangi
kerusakan jaringan otot jantung
yang lebih lanjut
Berikan lingkungan yang tenang, Menurunkan rangsang eksternal
aktivitas perlahan, dan tindakan
nyaman
Bantu melakukan teknik relaksasi Membantu dalam menurunkan
(napas dalam/perlahan,perilaku persepsi/respon nyeri
distraksi, visualisasi, bimbingan
imajinasi
Periksa tanda vital sebelum dan Hipotensi /depresi pernapasan dapat
sesudah obat narkotik terjadi sebagai akibat pemberian
narkotik. Dimana keadaan ini dapat
meningkatkan kerusakan miokardia
pada adanya kegagalan ventrikel
Kolaborasi dengan tim medis  Untuk mengontrol nyeri dengan
pemberian: efek vasodilatasi koroner, yang
 Antiangina (NTG) meningkatkan aliran darah
koroner dan perfusi miokardia
 Untuk mengontrol nyeri melalui
efek hambatan rangsang
 β- blocker (atenolol) simpatis, sehingga menurunkan
fungsi jantung, TD sistolik dan
kebutuhan oksigen miokard
 Untuk menurunkan nyeri hebat,
memberikan sedasi dan
 Preparat analgesik (Morfin Sulfat) mengurangi kerja miokard
 Untuk memulihkan otot jantung
dan untuk memastikan peredaan
 Pemberian oksigen bersamaan maksimum nyeri (inhalasi
dengan analgesik oksigen menurunkan nyeri yang
berkaitan dengan rendahnya
tingkat oksigen yang
bersirkulasi).
Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi, irama,
konduksi elektri, penurunan preload/peningkatan tahanan vaskuler sistemik, otot
infark, kerusakan struktural
Tujuan : Dalam waktu 2 x 24 jam tidak terjadi penurunan curah jantung
Kriteria Hasil: Hemodinamika stabil (tekanan darah dkm batas normal, curah
jantung kembali meningkat, asupan dan keluaran sesuai, irama jantung tidak
menunjukkan tanda-tanda disritmia), produksi urine > 600 ml/hari.
INTERVENSI RASIONAL
Ukur tekanan darah. Bandingkan Hipotensi dapat terjadi akibat disfungsi
tekanan darah kedua lengan, ukur ventrikel, hipertensi juga fenomena
dalam keadaan berbaring, duduk, atau umum berhubungan dengan nyeri
berdiri bila memungkinkan cemas yang mengakibatkan terjadinya
pengeluaran katekolamin.
Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi Penurunan curah jantung
mengakibatkan menurunnya kekuatan
nadi
Auskultasi dan catat terjadinya bunyi S3 berhubungan dengan gagal jantung
jantung S3/S4 kronis atau gagal mitral yang disertai
infark berat. S4 berhubungan dengan
iskemia, kekakuan ventrikel, atau
hipertensi pulmonal.
Auskultasi dan catat murmur Menunjukkan gangguan aliran darah
dalam jantung akibat kelainan katup,
kerusakan septum, atau vibrasi otot
papilaris.
Pantau frekuensi jantung dan irama Perubahan frekuensi dan irama jantung
dapat menunjukkan adanya komlikasi
distrimia.
Berikan makanan dengan porsi sedikit Makanan dengan porsi besar dapat
tapi sering dan mudah dikunyah, batasi meningkatkan kerja miokardium.
asupan kafein. Kafein dapat merangsang langsung ke
jantung sehingga meningkatkan
frekuensi jantung.
Kolaborasi : Jalur yang penting untuk pemberian
 Pertahankan jalur IV pemberian obat darurat
heparin (IV) sesuai indikasi;
 Pantau data laboratorium enzim Enzim dapat digunakan untuk
jantung, GDA dan elektrolit. memantau perluasan infark, perubahan
elektrolit berpengaruh terhadap irama
jantung

Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran


darah, misalnya vasikonstriksi, hipovolemia, dan pembentukan tromboemboli
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam perfusi
jaringan efektif
Kirteria Hasil: Kulit hangat dan kering, nadi perifer kuat , tanda vital dalam
batas normal, kesadaran compos mentis, keseimbangan pemasukan dan
pengeluaran, tidak edema dan nyeri
INTERVENSI RASIONAL
Observasi adanya perubahan tingkat Untuk mengetahui adanya
kesadaran secara tiba-tiba penurunan curah jantung
Observasi adanya pucat, sianosis, kulit Vasokontriksi sistemik diakibatkan
dingin/lembab da raba kekuatan nadi oleh penurunan curah jantung
perifer
Observasi adanya tanda Homan, Untuk mengetahui adanya trombosis
eritema, edema vena dalam
Anjurkan klien untuk latihan kaki Menurunkan stasis vena,
aktif/pasif meningkatkan aliran balik vena dan
menurunkan risiko tromboflebitis
Pantau pemasukan dan perubahan Penurunan/mual terus menerus dapat
keluaran urine megakibatkan penurunan volume
sirkulasi, yang berdampak negatif
pada perfusi dan fungsi organ
Pantau laboratorium, kreatinin, Indikator dari perfusi atau fungsi
elektrolit organ

Kolaborasi dengan tim medis  Untuk menurunkan resiko


pemberian: tromboflebitis atau pembentukan
 Heparin trombus mural
 Cimetidine  Untuk menetralkan asam
lambung dan iritasi gaster
DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M. E., Moorhouse, M. F., & Murr, A. C.. 2011. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC.

Herdman, T. H. (2012). NANDA internasional. Diagnosis Keperawatan : Definisi

dan Klasifikasi 2012-2014. alih bahasa Made Sumarwati, Dwi Widiarti,

Estu Tiar, editor bahasa Indonesia Monica Ester. Jakarta : EGC.

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2010. Harrison’s


Principles of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill
Companies, Inc.
Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. 2009. Robbin’s Basic Pathology. Elsevier Inc.

Muttaqin, A. 2009. Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Price, S. A., & Wilson, L. M. 2010. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3.


Edisi 8. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai