Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

Diagnosis dan Tatalaksana Gagal Ginjal Kronis

Disusun oleh
Geofanny Febrine Chandra (406182062)

Pembimbing
dr. Hadi Sulistyanto, Sp. PD, MH Kes, FINASIM

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara


Kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam
RS BHAYANGKARA KOTA SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN

Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic non-communicablediseases)

terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit ginjal

kronik, sudah menggantikan penyakit menular (communicablediseases) sebagai

masalah kesehatan masyarakat utama. Gangguan fungsi ginjal dapat menggambarkan

kondisi sistem vaskuler sehingga dapat membantu upaya pencegahan penyakit lebih

dini sebelum pasien mengalami komplikasi yang lebih parah seperti stroke, penyakit

jantung koroner, gagal ginjal, dan penyakit pembuluh darah perifer.

Penyakit ginjal kronik biasanya desertai berbagai komplikasi seperti penyakit

kardiovaskuler, penyakit saluran napas, penyakit saluran cerna, kelainan di tulang dan

otot serta anemia. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa komplikasi penyakit ginjal

kronik, tidak bergantung pada etiologi, dapat dicegah jika dilakukan penanganan

secara dini.

Di Swedia yang melibatkan 926 kasus dan 998 kelompok kontrol yang diamati

selama tahun 1996-1998 menemukan bahwa terdapat korelasi antara gaya hidup

merokok, kelebihan berat badan,intake protein terhadap gagal ginjal kronik. Di

Amerika dialami 2 setiap 1.000 penduduk dengan diabetes dan hipertensi sebagai

penyebab langsung. Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal

cukup tinggi mencapai 4.500 orang.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan,
berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika
tidak ada tanda kerusakan ginjal diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai
laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m². Batasan penyakit ginjal
kronik1
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
 Kelainan patologik
 Petanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah
atau urin, atau kelainan dalam test pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.
.2 Epidemiologi
Di amerika serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar
8% Setiap tahunnya. Di malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat
1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya,
insiden ini deperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk pertahun. 1
Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal
ginjal kronis sebesar 0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di
negara-negara lain, juga hasil penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri)
tahun 2006, yang mendapatkan prevalensi PGK sebesar 12,5%. Hal ini karena
Riskesdas 2013 hanya menangkap data orang yang terdiagnosis PGK sedangkan
sebagian besar PGK di Indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir.2
Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan
bertambahnya umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun
dibandingkan kelompok umur 25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih
tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih tinggi terjadi pada masyarakat
perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah
bawah masing-masing 0,3%. Sedangkan provinsi dengan prevalensi tertinggi adalah
Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo, dan Sulawesi Utara masing-
masing 0,4 %.2

Gambar 2.1 Prevalensi Gagal Ginjal Kronis di Indonesia2


2.3 Etiologi
Etiologi penyakit gagal ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan
negara lain. Penyebab utama penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat
terbanyak tahun 1995-1999 adalah diabetes mellitus (44%), lalu hipertensi dan
penyakit pembuluh darah besar (27%). Sedangkan di Indonesia penyebab gagal ginjal
kronik tahun 2000 yang terbanyak adalah glomerulonefritis (46,39%), diikuti diabetes
mellitus (18,65%), lalu obstruksi dan infeksi (12,85%), hipertensi (8,46%), dan sebab
lain (13,65%). Sebab lain yang dimaksud antaranya: nefritis lupus, nefropati urat,
intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaa, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak
diketahui.1
Tidak Dapat di Modifikasi Dapat di Modifikasi
 Usia (usia tua)  Hipertensi
 Jenis Kelamin (laki-laki lebih  Proteinuria
 Albuminuria
cepat)
 Glikemia
 Ras (ras Afrika-Amerika lebih
 Obesitas
cepat)  Dislipidemia
 Genetik  Merokok
 Hilangnya massa ginjal  Kadar asam urat
Tabel 2.1 Faktor-Faktor yang berperan dalam Progresifitas GGK3

2.4 Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih
sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nefron) sebagai upaya kompensasi, yang
diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran
darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh
proses maladaptasi berupa skelrosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya
diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya
sudah tidak aktif lagi.1
Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal,
ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron,
sebagian diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-
β). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas
penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.
Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis
glomerolus maupun tubulointerstitial.1
Pada stadium paling awal penyakit gagal ginjal kronik, terjadi kehilangan
daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau
malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi
nefron yang progresif yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Pada LFG sampai 60% pasien masih belum merasakan keluhan
(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG 30% mulai terjadi keluhan seperti nocturia, badan lemah, mual,
nafsu makan kurang, penurunan berat badan. Pada LFG dibawah 30%
memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, nafas,
maupun saluran cerna, juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hiper
atau hypovolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium.
Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan
pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) seperti
dialysis tau transplantasi. Paada tahap ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal.1
Gambar 2.2 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik2

2.5 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik


Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai
laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi
glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik
dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang
masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang
ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal,
stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5
adalah gagal ginjal.
Gambar 2.3 Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik2

2.6 Gambaran Klinik


Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat
kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis,
saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
kardiovaskular.2
2.6.1 Kelainan Hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer, sering ditemukan pada pasien gagal
ginjal kronik. Anemia pada pasien gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh
defisiensi eritropoetin. Manifestasi klinis meliputi fatigue, berkurangnya toleransi
berolahraga, gagal jantung, penurunan kesadaran, gangguan pertahanan terhadap
infeksi.2
2.6.2 Hipertensi
Sebagian besar hipertensi pada penyakit gagal ginjal kronik disebabkan hipervolemia
akibat retensi natrium dan air. Hipertensi semacam ini biasanya memberikan respons
terhadap restriksi natrium dan pengendalian volume tubuh melalui dialysis. Jika
fungsi ginjal memadai, pemberian furosemid dapat bermanfaat.2
Hipertensi yang tidak member respon terhadap pengurangan volume tubuh
sering kali berkaitan dengan produksi renin yang berlebihan. Kelebihan aktivitas
simpatis juga dapat berperan.2
2.6.3 Dehidrasi
Hilangnya fungsi ginjal biasanya menyebabkan retensi natrium dan air akibat
hilangnya nefron. Namun demikian, beberapa pasien tetap mempertahankan sebagian
filtrasi, namun kehilangan fungsi tubulus sehingga mengekskresi urin yang sangat
encer, yang dapat menyebabkan dehidrasi.2
2.6.4 Kelainan Kulit
Pruritus merupakan keluhan kulit yang paling sering terjadi. Keluhan ini dapat timbul
dari manifestasi uremia.2
2.6.5 Kelainan Gastrointestinal
Walaupun kadar gastrin meningkat, ulkus peptikum tidak lebih sering terjadi pada
pasien gagal ginjal kronik dibandingkan populasi normal. Namun demikian, gejala
mual, muntah, anoreksia, dan dada terbakar sering terjadi.2
2.6.6 Lipid
Hiperlipidemia sering terjadi, terutama hipertrigliseridemia, akibat penurunan
katabolisme trigliserida. Kadar lipid lebih tinggi pada pasien yang menjalani dialysis
peritoneal dari pada pasien yang menjalani haemodialisis, mungkin akibat hilangnya
protein plasma regulator seperti alipoprotein A-1 di sepanjang membrane peritoneal.2

2.6.7 Kelainan Kardiovaskular


Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat kompleks.
Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem vaskular,
sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal dan
dapat menyebabkan kegagalan faal jantung.2

2.7 Diagnosis Gagal Ginjal Kronik


Pendekatan diagnosis gagal ginjal kronik (GGK) dilihat dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, gambaran radiologis, dan apabila perlu gambaharan histopatologis.1
1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)
2. Mengejar etiologi GGK yang mungkin dapat dikoreksi
3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors)
4. Menentukan strategi terapi rasional
5. Meramalkan prognosis
Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan
yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan
pemeriksaan penunjang diagnosis rutin dan khusus.

2.7.1 Anamnesis dan pemeriksaan fisik


Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan
dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK (diabetes mellitus,
NSAID), perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal
ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan
tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:1
i) sesuai dengan penyakit yang mendasari;
ii) sindrom uremia yang terduri dari lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah,
nokturia, kelebihan cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritusm
uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma;
iii) gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal,
payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit
(sodium, kalium, chlorida).

2.7.2 Pemeriksaan laboratorium


Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya, penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan laju filtrasi glomerolus (LFG) yang dapat dihitung
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, serta kelainan biokimia darah lainnya,
seperti penurunan kadar hemoglobin, hiper atau hipokalemia, hiperfosfatemia,
hipokalsemia. Kelainan urinanalisi meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast,
dan isostenoria.1

2.7.3 Pemeriksaan penunjang diagnosis


Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:1
1. foto polos abdomen: dapat terlihat batu radio opak
2. pielografi intravena: sekarang jarang digunakan karena kontras seriing tidak
bisa melewati filter glomerolus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksisk oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
3. pielografi antergrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi
4. ultrasonografi ginjal dapat memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
klasifikasi
5. pemeriksaan pemindaan ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

.8 Penatalaksanaan
Tujuan tatalaksana antara lain untuk menghambat penurunan LFG dan mengatasi
komplikasi GGK stadium akhir (stadium 4 dan 5).2

2.8.1 Menghambat penurunan LFG


a. Kontrol Tekanan Darah
Target tekanan darah <130/80 mmHg pada pasien dengan diabetes atau proteinuria
>1. Anti hipertensi yang disarankan ialah ACE inhibitor, ARB dan CCB.4
b. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan asupan protein untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus.
Pembatasan mulai dilakukan pada LFG  60 ml/mnt, sedangkan diatas nilai
tersebut pembatasan asupan protein tidak dianjurkan. Protein diberikan 0,6-
0,8/kgBB/hari yang 0,35-0,5 gr diantaranya merupakan protein nilai biologis
tinggi (protein hewani).1
c. Kebutuhan jumlah kalori
Jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari Kebutuhan jumlah kalori
(sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu
mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan
memelihara status gizi.1
d. Kebutuhan cairan
Pembatasan asupan cairan pada pasien GGK sangat perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. 3
e. Kontrol kadar glukosa darah
Target HbA1C <7%. Lakukan penyesuaian dosis obat hipoglikemik oral. Hindari
penggunaan metformin. Golongan obat glotazin dapat dipilih.3,4
f. Terapi dyslipidemia
Target LDL <100 mg/dL. Terapi dyslipidemia dapat menggunakan statin dan pola
makan rendah lemak jenuh. Asupan lemak dianjurkan 25-30% total kalori dengan
lemak jenuh dibatasi <10%.3
2.8.2 Terapi simptomatik
a. Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium
(hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat
diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera
diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.4
b. Anemia
Dapat diberikan eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis inisial 50 u/kg
IV 3 kali dalam seminggu. Jika Hb meningkat >2 gr/dL kurangi dosis pemberian
menjadi 2 kali seminggu. Maksimum pemberian 200 u/kg dan tidak lebih dari tiga
kali dalam seminggu.3
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-
hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. Sasaran hemoglobin adal 11-
12 gr/dL.1
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi terutama penghambat Enzym Konverting
Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ ACE inhibitor). Melalui berbagai
studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan antihipertensi dan
antiproteinuria.1
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang
penting, karena 40-50% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh
penyakit kardiovaskular. Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita, termasuk pengendalian diabetes, hipertensi,
dislipidemia, hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbanagan elektrolit.1
2.8.3 Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada
LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal.1

a. Hemodialisis5
Indikasi hemodialisis :
1. Kelebihan cairan ekstraselular yang sulit dikendalikan dan/ atau
hipertensi
2. Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diet dan terapi
farmakologis
3. Asidosis metabolic yang refrakter terhadap pemberian terapi
bikarbonat
4. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi
pengikatfosfat
5. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi
6. Gangguan neurologis (seperti neuropati , ensefalopati, gangguan
psikiatri) -> indikasi segera

b. Dialisis peritoneal (DP)6


Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD,
yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien- pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan
pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-
morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri,
tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang
jauh dari pusat ginjal.

c. Transplantasi ginjal

2.9. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium terminal atau
stadium 4 atau 5. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis yang mendasari,
keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing. Pasien yang menjalani
dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan kematian yang tinggi. Pasien
dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih
lama daripada yang menjalani dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena
kegagalan jantung (45%), infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan
keganasan (4%).
2.10 Pencegahan

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan
pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah
terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu
pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan
fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok,
peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan.2
Gambar 2.4 Pencegahan GGK2

DAFTAR PUSTAKA

1. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus


SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 6 Jilid II. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. hlm 2159-65.
2. Infodatin Pusat data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi
Penyakit Ginjal Kronis. Jakarta. 2017.
3. Tanto C, Hustrini NM. Penyakit Ginjal Kronis. Kapita Selekta Kedokteran.
Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Media Aesculapius, 2014. Hal. 644 – 647.
4. Bargman JM, Skorecki K. Chronic Kidney Disease. In: Kasper DL, Hauser
SL, Jameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 19th ed. New York: Mc Graw Hill Education ; 2015. P 1811-
21.
5. Suhardjono. Hemodialisis: Prinsip Dasar dan Pemakaian Kliniknya. WS,
Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Ed. 6 Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014.
hlm 2192-6
6. Parsudi I, Siregar P, Roesli RMA. Dialisis Peritoneal. WS, Bambang S, Idrus
A, Marcellus SK, Siti S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 6 Jilid II.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2014. hlm 2197-2201.

Anda mungkin juga menyukai