Anda di halaman 1dari 7

Manajemen Islami Keuangan dan Harta caranya baik.

caranya baik. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu baik dan hanya menerima
yang baik-baik saja.” (HR. Muslim). Kesadaran akuntabilitas (ma‟uliyah) dalam bidang
Keluarga (Bagian ke-1) keuangan itu yang mencakup aspek manajemen pendapatan dan pengeluaran timbul
karena keyakinan adanya kepastian audit dan pengawasan dari Allah SWT seperti
sabda Nabi saw: “Kedua telapak kaki seorang hamba tidak akan beranjak dari tempat
Firman Allah: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
kebangkitannya di hari kiamat sebelum ia ditanya tentang empat hal, di antaranya
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka cakap (dalam mengelola harta), maka
tentang hartanya; dari mana dia memperoleh dan bagaimana ia membelanjakan.” (HR.
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya…” (QS. An-Nisa [4]:6)
Tirmidzi)
Al-Qur‟an sebagaimana dijelaskan oleh Sunnah Nabi merupakan sumber hukum utama
dan jalan hidup umat Islam dalam segala urusan termasuk bidang keuangan dan Memang secara prinsip fitrah, kewajiban memberikan nafkah merupakan tanggung
ekonomi. Ayat di atas merefleksikan pesan halus bahwa merupakan suatu kewajiban jawab suami sehingga wajib bekerja dengan baik melalui usaha yang halal dan wanita
agama dan kebutuhan dasar setiap individu muslim untuk mengetahui prinsip-prinsip sebagai kaum istri bertanggung jawab mengelola dan merawat aset keluarga. Allah
ekonomi dan manajemen keuangan islami minimal dalam skala individu dan keluarga SWT berfirman: “Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena
agar memperoleh kebahagiaan di dunia dengan menjadi pribadi yang shalih dan Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
mendapatkan keselamatan di akhirat. Hal itu karena harta dalam Islam merupakan (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta
amanah dan hak milik seseorang serta kewenangan untuk menggunakannya terkait mereka…” (QS. An-Nisa:34). Dengan demikian, posisi kepala rumah tangga bagi suami
erat dengan adanya kemampuan (kompetensi) dan kepantasan (integritas) dalam paralel dengan konsekuensi memberi nafkah dan komitmen perawatan keluarganya
mengelola aset atau dalam istilah prinsip kehati-hatian perbankan (prudential principle) secara lazim.
disebut Fit and Proper sebagaimana prinsip Islam mengajarkan bahwa “Sebaik-baik
harta yang shalih (baik) adalah dikelola oleh orang yang berkepribadian shalih (amanah Oleh karena itu Nabi secara proporsional telah mendudukkan posisi masing-masing
dan profesional).” bagi suami istri dalam sabdanya: “Setiap kalian adalah pengayom dan setiap
pengayom akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang harus diayominya. Suami
Hak bekerja dalam arti kebebasan berusaha, berdagang, memproduksi barang maupun adalah pengayom bagi keluarganya dan bertanggung jawab atas anggota keluarga
jasa untuk mencari rezki Allah secara halal merupakan hak setiap manusia tanpa yang diayominya. Istri adalah pengayom bagi rumah tangga rumah suaminya dan akan
diskriminasi antara laki dan perempuan. (QS. An-Nisa‟:32, Al-A‟raf:157). Bila kita tahu dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang diayominya…” (HR.
bahwa kaum wanita diberikan oleh Allah hak milik dan kebebasan untuk memiliki, maka Bukhari) Ketika Rasulullah saw menikahkan putrinya, Fatimah dengan Ali RA beliau
sudah semestinya mereka juga memiliki hak untuk berusaha dan mencari rezki. berwasiat kepada menantunya: “Engkau berkewajiban bekerja dan berusaha
Rasulullah memuji seseorang yang mengkonsumsi hasil usahanya sendiri dengan sedangkan ia berkewajiban mengurus (memenej) rumah tangga.” (HR. Muttafaq „Alaih)
sabdanya: “Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan lebih baik dari mengkonsumsi
makanan yang diperoleh dari hasil kerja sendiri, sebab nabi Allah, Daud, memakan Jadi, sharing suami-istri dalam aspek keuangan keluarga adalah dalam bentuk
makanan dari hasil kerjanya.” (HR. Bukhari). “Semoga Allah merahmati seseorang tanggung jawab suami untuk mencari nafkah halal dan tanggung jawab istri untuk
yang mencari penghasilan secara baik, membelanjakan harta secara hemat dan mengurus, mengelola, merawat dan memenej keuangan rumah tangga. Meskipun
menyisihkan tabungan sebagai persediaan di saat kekurangan dan kebutuhannya.” demikian, bukan berarti suami tidak boleh memberikan bantuan dalam pengelolaan
(HR. Muttafaq „Alaih). aset dan keuangan rumah tangganya bila istri kurang mampu atau memerlukan
bantuan. Dan juga sebaliknya tidak ada larangan Syariah bagi istri untuk membantu
Hal ini menunjukkan bahwa Islam menghendaki setiap muslim untuk dapat mengelola suami terlebih ketika kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan keluarga dengan
usaha dan berusaha secara baik, mengelola dan memenej harta secara ekonomis, cara yang halal dan baik serta tidak membahayakan keharmonisan dan kebahagiaan
efisien dan proporsional serta memiliki semangat dan kebiasaan menabung untuk rumah tangga selama suami mengizinkan, bahkan hal itu akan bernilai kebajikan bagi
masa depan dan persediaan kebutuhan mendatang. Prinsip ini sebenarnya menjadi sang istri. Bukankah Khadijah RA. ikut andil dalam membantu mencukupi kebutuhan
dasar ibadah kepada Allah agar dapat diterima (mabrur) karena saran, niat dan

1|M a n aj eme n Isla mi Ke ua nga n d an H ar ta Kel ua rga


keluarga Nabi saw. sebagai bentuk ukhuwah dan tolong menolong dalam kebajikan. Dalam mencari pendapatan, Islam tidak memperkenankan seseorang
(QS.Al-Maidah:2) untuk ngoyo dalam pengertian berusaha di luar kemampuannya dan terlalu terobsesi
sehingga mengorbankan atau menelantarkan hak-hak yang lain baik kepada Allah, diri
Prinsip keadilan Islam menjamin bagi kaum wanita hak untuk mencari karunia Allah maupun keluarga seperti pendidikan dan perhatian kepada anak dan keluarga. Rasul
(rezki) sesuai kodrat tabiatnya dan ketentuan syariat dengan niat mencukupi diri dan bersabda: “Sesungguhnya bagi dirimu, keluargamu dan tubuhmu ada hak atasmu yang
keluarga untuk beribadah kepada Allah secara khusyu‟. Meskipun demikian, istri harus harus engkau penuhi, maka berikanlah masing-masing pemilik hak itu haknya.” (HR.
memiliki keyakinan bahwa tugas utama dalam keluarganya adalah mengatur urusan Bukhari dan Muslim).
rumah tangga dan mengelola keuangan keluarga bukan mencari nafkah. Para Ahli
tafsir (Mufassirin) menyimpulkan dari surat An-Nisa: 32 : “bagi para lelaki ada bahagian Allah telah menegaskan bahwa bekerja itu hendaknya sesuai dengan batas-batas
dari apa yang mereka usahakan dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa kemampuan manusia.(QS.Al-Baqarah:286). Namun bila kebutuhan sangat banyak atau
yang mereka usahakan…”, prinsip dasar hak dan kebebasan wanita untuk berusaha pasak lebih besar daripada tiang maka dibutuhkan kerjasama yang baik dan saling
mencari rezki. Sejarah Islam di masa Nabi telah membuktikan adanya sosial kaum membantu antara suami istri dalam memperbesar pendapatan keluarga dan melakukan
wanita dalam peperangan, praktek pengobatan dan pengurusan logistik. Di samping itu efisiensi dan penghematan sehingga tiang penyangga lebih besar dari pada pasak.
mereka juga terlibat dalam aktivitas perniagaan dan membantu suami dalam pertanian. Rasulullah bersabda: “Janganlah kamu bebani mereka dengan apa-apa yang mereka
tidak sanggup memikulnya. Dan apabila kamu harus membebani mereka di luar
Manajemen keuangan keluarga islami harus dilandasi prinsip keyakinan bahwa kemampuan, maka bantulah mereka.” (HR. Ibnu Majah).
penentu dan pemberi rezki adalah Allah dengan usaha yang diniati untuk memenuhi
kebutuhan keluarga agar dapat beribadah dengan khusyu‟ sehingga memiliki komitmen Dalam manajemen keuangan keluarga juga tidak dapat dilepaskan dari optimalisasi
dan prioritas penghasilan halal yang membawa berkah dan menghindari penghasilan potensi keluarga termasuk anak-anak untuk menghasilkan rezki Allah. Islam senantiasa
haram yang membawa petaka. Rasulullah bersabda: “Barang siapa berusaha dari yang memperhatikan masalah pertumbuhan anak dengan anjuran agar anak-anak dilatih
haram kemudian menyedekahkannya, maka ia tidak mempunyai pahala dan dosa tetap mandiri dan berpenghasilan sejak usia remaja di samping berhemat agar pertumbuhan
di atasnya.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, ekonomi keluarga muslim dapat berjalan lancar yang merupakan makna realisasi
tidaklah seorang hamba memperoleh penghasilan dari yang haram kemudian keberkahan secara kuantitas maka Islam melarang orang tua untuk memanjakan anak-
membelanjakannya itu akan mendapat berkah. Jika ia bersedekah, maka sedekahnya anak sehingga tumbuh menjadi benalu, tidak mandiri dan bergantung kepada orang
tidak akan diterima. Tidaklah ia menyisihkan dari penghasilan haramnya itu kecuali lain. Firman Allah Swt. di awal (QS. An-Nisa [4]:6) mengisyaratkan bahwa kita wajib
akan menjadi bekal baginya di neraka. Sesungguhnya Allah tidak akan menghapus mendidik dan membiasakan anak-anak untuk cakap mengurus, mengelola dan
kejelekan dengan kejelekan, tetapi menghapus kejelekan itu dengan kebaikan sebab mengembangkan harta, sehingga mereka dapat hidup mandiri yang nantinya akan
kejelekan tak dapat dihapus dengan kejelekan pula.” (HR. Ahmad) Dan sabdanya: menjadi kepala rumah tangga bagi laki-laki dan pengurus keuangan keluarga bagi
“Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan bertambah kecuali neraka lebih perempuan, di samping anak terlatih untuk bekerja, meringankan beban dan membantu
pantas baginya.” (HR. Tirmidzi). orang tua.
Seorang wanita shalihah akan selalu memberi saran kepada suaminya ketika hendak
mencari rezki, “Takutlah kamu dari usaha yang haram sebab kami masih mampu
bersabar di atas kelaparan, tetapi tidak mampu bersabar di atas api neraka.” Demikian
pula sebaliknya suami akan berwasiat kepada istrinya untuk menjaga amanah Allah
dalam mengurus harta yang dikaruniakan-Nya, agar dibelanjakan secara benar tanpa
boros, kikir maupun haram. Firman Allah yang memuji hamba-Nya yang baik: “..Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.” (QS. Al-Furqan:67)

2|M a n aj eme n Isla mi Ke ua nga n d an H ar ta Kel ua rga


Manajemen Islami Keuangan dan Harta pisah ranjang dalam rumah. Ia tidak boleh memukul wajahnya dan menjelek-
jelekkannya.” Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan pernah mendatangi Rasulullah dan
Keluarga (Bagian ke-2): Manajemen bercerita bahwa Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit, “ia tidak pernah
memberiku dan anak-anakku nafkah secara cukup. Oleh karena itu aku pernah mencuri
Pembelanjaan dan Pola Konsumsi Islami harta miliknya tanpa sepengetahuannya.” Lalu rasul bersabda: “Ambillah dari hartanya
dengan ma‟ruf (baik-baik) sebatas apa yang dapat mencukupimu dan anakmu.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Yang dimaksud dengan pengeluaran atau pembelanjaan adalah mengelola harta yang
halal untuk mendapatkan manfaat material ataupun spiritual sehingga membantu para Seorang sahabat bercerita kepada Rasulullah bahwa dia mempunyai uang satu dinar.
anggota keluarga dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini terdapat beberapa Rasulullah bersabda:“Bersedekahlah dengannya untuk dirimu, kemudian sahabat itu
jenis pembelanjaan yang bermanfaat bagi generasi yang akan datang, dan bertanya, „bagaimana jika aku mempunyai sesuatu yang lain?‟ rasul menjawab,
pembelanjaan dengan jalan baik (amal shaleh) untuk mendapatkan pahala di akhirat, „bersedekahlah dengannya untuk istrimu.‟ Kemudian ia bertanya lagi, „dan bagaimana
seperti zakat dan sedekah. Syariat Islam mengajarkan beberapa aturan yang mengatur jika aku mempunyai sesuatu yang lain?‟ Rasul menjawab, „bersedekahlah dengannya
pembelanjaan keluarga muslim, di antaranya secara garis besar adalah: untuk pelayanmu.” (HR. Muttafaq „Alaih).

1. Komitmen pembelanjaan dan pemenuhan kebutuhan dana adalah kewajiban 2. Kewajiban menafkahi orang tua yang membutuhkan
suami Di antara kewajiban anak adalah memberi nafkah kepada orang tuanya yang sudah
Suami bertanggung jawab mencari nafkah untuk istri dan anak-anaknya sesuai dengan lanjut usia (jompo) sebagai salah satu bentuk berbuat baik kepada orang tua, seperti
kebutuhan dan batas-batas kemampuannya. Allah berfirman: “Hendaklah orang yang diisyaratkan Al-Qur‟an: “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat pada ibu bapakmu dengan
rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra:23). Rasul bersabda: “Kedua orang tua itu boleh makan
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah dari harta anaknya secara ma‟ruf (baik) dan anak tidak boleh memakan harta kedua
berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah orang tuanya tanpa seizin mereka.” (HR. Dailami)
kesempitan.” (QS. At-Thalaq [65]:7)
Menurut Ibnu Taimiyah, seorang anak yang kaya wajib menafkahi bapak, ibu dan
saudara-saudaranya yang masih kecil. Jika anak itu tidak melaksanakan kewajibannya,
Rasulullah bersabda: “barang siapa yang menafkahkan hartanya untuk istri, anak dan
berarti ia durhaka terhadap orang tuanya dan berarti telah memutuskan hubungan
penghuni rumah tangganya, maka ia telah bersedekah.” (HR. Thabrani). Hadits ini
kekerabatan. Selain itu, suami dan istri harus percaya bahwa memberi nafkah kepada
mengisyaratkan bahwa pemenuhan kebutuhan dana atau pembelanjaan untuk anggota kedua orang tua adalah suatu kewajiban seperti halnya membayar utang kedua orang
keluarga itu akan berubah dari bentuk pengeluaran yang bersifat material (nafkah) tua yang bersifat mengikat dan bukan sekadar sukarela. Hal itu tidak sama dengan
menjadi pengeluaran yang bersifat spiritual ibadah (infaq) yang membawa pahala dari memberikan sedekah kepada kerabat yang membutuhkan yang sifatnya kebajikan.
Allah. Rasul Saw. bersabda dalam Haji Wada‟: “Ayomilah kaum wanita (para istri)
karena Allah, sebab mereka adalah mitra penolong bagimu. Kamu telah memperistri 3. Istri Boleh Membantu Keuangan Suami
mereka dengan amanah Allah dan kemaluan mereka menjadi halal bagimu dengan Jika seorang suami tidak mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya karena fakir,
kalimat Allah. Kamu berhak melarang mereka untuk membiarkan orang yang engkau istri boleh membantu suaminya dengan cara bekerja atau berdagang. Hal itu
benci memasuki kediamanmu. Mereka berhak atasmu untuk dipenuhi kebutuhan merupakan salah satu bentuk ta‟awun „ala birri wat taqwa(saling tolong menolong
nafkah dan pakaian secara lazim.” dalam kebaikan dan ketakwaan) yang dianjurkan Islam. Selain itu, istri pun boleh
memberikan zakat hartanya kepada suaminya yang fakir atau memberi pinjaman
Menjawab pertanyaan seorang sahabat tentang kewajiban suami terhadap istrinya, kepada suami apabila suami tidak termasuk fakir yang berhak menerima zakat.
Rasulullah bersabda: “Dia memberinya makan ketika dia makan dan memberinya
pakaian ketika ia berpakaian, serta janganlah dia meninggalkannya kecuali sekadar

3|M a n aj eme n Isla mi Ke ua nga n d an H ar ta Kel ua rga


4. Istri Bertanggung Jawab Mengatur Keuangan Rumah Tangga 7. Skala Prioritas Pengeluaran (Perlu/Needs Vs Ingin/Wants)
Telah dijelaskan bahwa suami wajib berusaha dan bekerja dari harta yang halal dan Islam mengajarkan agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih mengutamakan
istri bertanggung jawab mengatur belanja dan konsumsi keluarga dalam koridor pembelian kebutuhan-kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Ada
mewujudkan lima tujuan syariat Islam, yaitu dalam rangka memelihara agama, akal, tiga jenis kebutuhan rumah tangga, yaitu:
kehormatan, jiwa dan harta. Sabda Rasulullah: “Istri adalah pengayom bagi rumah a. Kebutuhan primer, yaitu nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang diperkirakan dapat
tangga suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas aset rumah tangga yang mewujudkan lima tujuan syariat (memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan
diayominya…” (HR. Bukhari). “Bila seorang istri menyedekahkan makanan rumah kehormatan). Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal,
tanpa efek yang merusak kebutuhan keluarga, maka dia mendapat pahala dari kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
amalnya. Demikian pula suami mendapatkan pahala dari hasil usahanya, demikian pula b. Kebutuhan sekunder, yaitu kebutuhan untuk memudahkan hidup agar jauh dari
pelayan mendapatkan bagian pahala tanpa mengurangi pahala mereka sedikit kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
pun.” (HR. Tahbrani). Kebutuhan ini pun masih berhubungan dengan lima tujuan syariat.
c. kebutuhan pelengkap. Yaitu kebutuhan yang dapat menambah kebaikan dan
5. Istri berkewajiban untuk hemat dan ekonomis. kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini bergantung pada
Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan jatuh miskin orang yang berhemat”. (HR. kebutuhan primer dan sekunder dan semuanya berkaitan dengan tujuan syariat.
Ahmad). Selain itu ia harus realistis menerima apa yang dimilikinya (qana‟ah). Rasul
bersabda: “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezki cukup dan Prioritas konsumsi dan pembelanjaan ini juga terkait dengan prioritas hak-hak yaitu hak
menerima apa yang Allah berikan kepadanya.” (HR. Muttafaq „Alaih). terhadap diri (keluarga), Allah (agama), orang lain. Orang lain juga diukur menurut
kedekatan nasab dan rahim, yang paling utama adalah orang tua kemudian saudara.
6. Seimbang Antara Pendapatan dan Pengeluaran yang Bermanfaat (QS.Al-Anfal:75) Aplikasi aturan-aturan di atas menuntut peran ibu rumah tangga untuk
Istri tidak boleh membebani suami dengan beban kebutuhan dana di luar memperhitungkan pengeluaran rumah tangga secara bulanan berdasarkan tiga
kemampuannya. Ia harus dapat mengatur pengeluaran rumah tangganya seefisien kebutuhan di atas, dengan tetap menyesuaikannya dengan pendapatan, sehingga
mungkin menurut skala prioritas sesuai dengan penghasilan dan pendapatan suami, rumah tangga muslim terhindar dari masalah-masalah perekonomian yang ditimbulkan
tidak boros dan konsumtif. (QS. Al-Baqarah:236, 286) Abu bakar pernah berkata: “Aku atau sikap boros untuk hal yang bukan primer.
membenci penghuni rumah tangga yang membelanjakan atau menghabiskan bekal
untuk beberapa hari dalam satu hari saja.” Islam mengharamkan pengeluaran yang berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan
karena dapat mengundang kerusakan dan kebinasaan. Allah berfirman: “Dan jika Kami
Ketika Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berusaha dengan baik . Islam hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang
juga menganjurkan agar hasil usahanya dikeluarkan untuk tujuan yang baik dan yang hidup mewah di negeri itu (suatu mentaati Allah) tetapi mereka melakukan
bermanfaat. Keluarga muslim dalam mengelola pembelanjaan, harus berprinsip pada kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya
pola konsumsi islami yaitu berorientasi kepada kebutuhan (need) di samping manfaat perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-
(utility) sehingga hanya akan belanja apa yang dibutuhkan dan hanya akan hancurnya.” (QS. Al-Isra‟:16).
membutuhkan apa yang bermanfaat. (QS. Al-Baqarah:172, Al-Maidah:4, Al-A‟raf:32).
Dalam berumah tangga, suami-istri hendaknya memiliki konsep bahwa pembelanjaan Selain itu, bergaya hidup mewah merupakan salah satu sifat orang-orang yang kufur
hartanya akan berpahala jika dilakukan untuk hal-hal yang baik dan sesuai dengan terhadap nikmat Allah. Firman-Nya: “Pemuka-pemuka yang kafir di antara kaumnya
perintah agama. Sabda Nabi: “Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan suatu dan yang mendustakan akan menemui hari akhirat (kelak) dan yang telah Kami
nafkah dengan ikhlas karena Allah kecuali kamu mendapat pahala darinya.” (Muttafaq mewahkan mereka dalam kehidupan di dunia…” (QS. Al-Mu‟minun:33). Nabi juga
„Alaih). sangat membenci gaya hidup mewah: “Makan, minum dan berpakaianlah sesukamu,
sebab yang membuat kamu berbuat kesalahan itu dua perkara: bergaya hidup mewah
dan berprasangka buruk.” (HR. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas).

4|M a n aj eme n Isla mi Ke ua nga n d an H ar ta Kel ua rga


8. Bersikap Pertengahan dalam Pembelanjaan
Islam mengajarkan sikap pertengahan dalam segala hal termasuk dalam manajemen Manajemen Islami Keuangan dan Harta
pembelanjaan, yaitu tidak berlebihan dan tidak pula kikir atau terlalu ketat. Sikap
berlebihan adalah sikap hidup yang dapat merusak jiwa, harta dan masyarakat,
Keluarga (Bagian ke-3): Manajemen Persediaan
sementara kikir adalah sikap hidup yang dapat menimbun, memonopoli dan dan Menabung dalam Keluarga Muslim
menganggurkan harta. Kedua pola ekstrim dalam konsumsi itu memiliki mendekati sifat
mubadzir.
1. Menyimpan Kelebihan setelah Kebutuhan Primer Terpenuhi
Firman Allah: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak Rasul bersabda: “Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha
berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan dan dapat menyisihkan kelebihan
antara yang demikian.” (QS. Al-Furqon :67) “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu untuk menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya.” (HR. Ahmad dan Muslim).
terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu Berdasarkan hadits ini, rumus saving (menabung) yang dimaksud dalam Islam
kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra:29) “dan janganlah kamu ialah: MENABUNG = HASIL USAHA BAIK – BELANJA HEMAT
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros
itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Dari rumus di atas dapat dipahami bahwa rukun menyimpan ada dua yaitu: hasil usaha
Rabbnya.” (QS. Al-Isra‟: 26-27) yang baik dan halal sesuai dengan kemampuan dan belanja hemat sesuai prioritas
kebutuhan. Selain itu, keluarga muslim harus dapat melatih anak-anaknya untuk
Sabda Rasul Saw.: “Allah akan memberikan rahmat kepada seseorang yang berusaha menabung dengan bentuk yang paling sederhana untuk kebaikan mereka pada masa
dari yang baik, membelanjakan dengan pertengahan dan dapat menyisihkan kelebihan mendatang.
untuk menjaga pada hari ia miskin dan membutuhkannya.” (HR. Ahmad). “Tidak akan
miskin orang yang bersikap pertengahan dalam pengeluaran.” (HR. Ahmad). 2. Menyimpan Kelebihan untuk Menghadapi Kesulitan
Sebuah rumah tangga pasti akan mengalami pasang surut perekonomian, maka ketika
Jika pembelanjaan kita telah sesuai dengan aturan-aturan Islam, Allah akan kondisi longgar, kita harus dapat menyisihkan dana untuk menghadapi krisis yang tidak
memajukan usaha kita serta melipatgandakan pahala dan berkah-Nya. Bahkan Allah terduga pada masa mendatang atau sebagai persediaan kebutuhan lain mendatang.
akan memberikan kelebihan hasil usaha agar kita dapat menyimpan dan menabungnya Sebab tidak ada yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi besok. (QS.
untuk menjaga datangnya hal-hal yang tidak terduga atau untuk menjaga kelangsungan Luqman:34) Dengan demikian, menyimpan kelebihan untuk menghadapi kesulitan
hidup generasi yang akan datang. termasuk hukum kausalitas yang berlaku bagi manusia, walaupun tidak terlepas dari
ketentuan Allah swt. juga.
3. Hak Harta Keturunan Sebagai Generasi Mendatang
Dalam konsep Islam, kedua orang tua harus menyadari bahwa generasi mendatang
memiliki hak dari harta mereka sehingga mereka dianjurkan untuk tidak berlebih-
lebihan dan mengabaikan kelangsungan hidup generasi mendatang. (QS. Al-Hasyr:10).
Sabda Rasul: “Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya
itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang
dicukupi orang lain. Mungkin orang lain memberinya atau mungkin menolaknya.
Sesungguhnya tidaklah engkau memberikan nafkah dengan ikhlas karena Allah kecuali
engkau akan mendapat pahala karenanya.” (Muttafaq „Alaih). Di samping itu, setiap
individu harus meyakini bahwa bila ia meninggalkan anaknya yang shaleh dalam
keadaan dapat berdoa untuknya atau meninggalkan harta jariyah bagi fakir miskin dan

5|M a n aj eme n Isla mi Ke ua nga n d an H ar ta Kel ua rga


hamba-hamba Allah yang shaleh akan membuat ia tidak boros dan berlebih-lebihan,
sehingga ia dapat menyimpan kelebihan hartanya untuk generasi mendatang. Manajemen Islami Keuangan dan Harta
4. Tidak Menimbun dan Memonopoli Harta Kekayaan Keluarga (Bagian ke-4): Doktrin Kepemilikan
Islam mengharamkan penimbunan harta dengan segala bentuknya. Para ulama fiqih
mengambil hukum ini berdasarkan firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman,
dalam Keluarga Muslim
sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani
benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang- Dalam Islam, kepemilikan dianggap sebagai suatu hal yang penting sebab dapat
halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak mendorong semangat bekerja dan produktivitas dalam memakmurkan bumi, bahkan
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, merupakan dasar asasi dalam transaksi. (QS. Ali Imran:14).
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak
itu di dalam neraka Jahanam, lalu dibakarnya dahi mereka, lambung dan punggung Adapun aturan-aturan yang telah ditetapkan Islam dalam pemilikan harta dalam rumah
mereka (lalu dikatakan) kepada mereka:”Inilah harta bendamu yang kamu simpan tangga muslim dapat kita lihat berikut ini.
untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu
simpan”. (At-Taubah: 34-35). 1. Hak Milik (Kepemilikan) Pada Hakikatnya Bersifat Relatif dan Sementara
Hendaknya anggota rumah tangga muslim meyakini bahwa kepemilikan atas harta
Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan menafkahkan adalah sebagai amanah itu bersifat sementara dan akan berakhir jika ajal tiba. Harta akan
mengembangkannya dengan cara investasi mudharabah (bagi hasil) maupun usaha berpindah kepada para ahli waris yang telah Allah tetapkan. “Berimanlah kamu kepada
patungan musyarakah sehingga dapat memberi kesempatan pihak lain yang Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah
kekurangan atau kesulitan modal untuk melakukan usaha yang pada gilirannya akan menjadikan kamu menguasainya” (QS. Al-Hadid:7). “Sesungguhnya Kami mewarisi
menjadi amal jariah dalam pengembangan ekonomi umat. Pengembangan harta bumi dan semua orang yang ada di atasnya, dan hanya kepada Kamilah mereka
tersebut di antaranya melalui cara sebagai berikut: dikembalikan.” (QS. Maryam: 40).
a. bisnis swasta perniagaan dan produksi barang atau jasa
b. penanaman modal (investasi) mudharabah dengan pihak lain Dengan aturan-aturan tersebut seorang muslim akan menggunakan hak milik yang
c. perserikatan usaha patungan (musyarakah) sementara itu untuk mencapai kehidupan abadi yang bahagia. Bahkan aturan itu pun
d. penitipan dalam bentuk giro maupun tabungan pada bank Islam (syariah) akan menjadikan pemilikan sebagai sarana yang dapat memberikan semangat
e. kerja sama lainnya dalam pengembangan modal tambahan bagi seorang muslim, istri dan anak-anaknya dalam menyembah Allah,
sebab sebaik-baik harta itu berada pada tangan orang yang saleh. Di sisi lain, aturan
Kewajiban zakat atas harta kekayaan yang idle (nganggur) selama setahun dapat tersebut tidak menghalangi seorang muslim, istri dan anak-anaknya untuk
mendorong dan memotivasi pengembangan harta (modal) dalam kegiatan investasi memanfaatkan harta pada hal-hal kebaikan dan menjadikan harta itu hanya pada
sehingga terhindar dari praktik penimbunan. Hal itu sesuai dengan doktrin etos tangan mereka, bukan pada hatinya.
ekonomi Nabi saw.: “Barang siapa yang diserahi kepercayaan untuk mengurus harta 2. Perlu Pemisahan Jelas Harta Suami dari Harta Istri
anak yatim, hendaklah ia meniagakannya agar tidak dimakan zakat.” (HR.
Telah diterangkan bahwa Islam memberikan hak kepada wanita, seperti hak pemilikan,
Tirmidzi). “Kembangkanlah harta anak yatim itu agar tidak dimakan zakat.” (HR.
hak untuk usaha dan hak waris. Sehingga seorang suami tidak boleh mengambil harta
Thabrani)
istrinya kecuali dengan cara yang baik. Istri memiliki kebebasan untuk memiliki dan
bertanggung jawab atas keuangan pribadinya dan berhak mengatur sendiri hartanya.
Dengan hak atas hartanya, seorang istri berkewajiban mengeluarkan zakat dan ia
boleh berhibah atau berwasiat dengan hartanya. Meskipun demikian, hendaknya harta
yang dimilikinya itu tidak menjadikannya durhaka dan akhlaqnya rusak sehingga rumah
tangganya hancur. Hal ini dikuatkan oleh hadits Nabi tentang memilih calon istri yang

6|M a n aj eme n Isla mi Ke ua nga n d an H ar ta Kel ua rga


menunjukkan bahwa kaum wanita sebelum menikah pun berkesempatan untuk serta mengikat satu generasi dengan generasi lainnya secara kontinyu. Di samping itu,
memiliki harta baik karena warisan, hibah maupun hasil usahanya: “Janganlah kamu Islam mengharamkan pengubahan sistem waris berdasarkan hukum-hukum
menikahi wanita karena kecantikannya, sebab kecantikan itu akan hilang. Dan Allah. Wallahu A‟lam Wabillahit Taufiq wal Hidayah
janganlah kamu menikahi wanita karena hartanya, sebab harta itu akan membuat
mereka durhaka. Akan tetapi nikahilah wanita karena agamanya, sebab wanita yang
hitam dan beragama itu lebih baik daripada yang tidak beragama.” (HR. Ibnu Majah). Pengembangan Harta Harus Dilakukan melalui Usaha yang Baik dan Halal
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, kedudukannya, Keharusan pengembangan atau perniagaan harta harus dilakukan pada bidang yang
kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah wanita beragama. Niscaya pilihanmu baik dan halal, jauh dari riba dan hal-hal yang menimbulkan kerusakan. Usaha halal,
tepat.” (HR. Bukhari). pengeluaran halal dan pengembangan halal merupakan mata rantai yang saling
berhubungan. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga muslim harus menghayati
firman Allah “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.” (QS. Al-Baqarah:
276) dan Sabda rasul “Satu dirham riba yang dimakan seseorang yang mengetahui
3. Harta Anak Termasuk Harta Milik Orang Tuanya keharamannya itu lebih berat hukumnya daripada berzina tiga puluh enam kali yang
Islam mewajibkan seorang anak berbuat baik kepada orang tuanya dan hutang-hutang dilakukan seseorang yang mengetahui keharamannya.” (HR. Ahmad).
orang tua berada dalam tanggungan anak-anaknya. Hal itu merupakan penghormatan
Islam kepada orang tua. Seperti telah dijelaskan, seorang anak wajib menafkahi kedua
orang tuanya. Ibnu Taimiyah berfatwa bahwa seorang anak yang berkecukupan atau Sumber: www.dakwatuna.com
kaya, wajib menafkahi orang tuanya yang membutuhkan dan saudara-saudaranya yang
masih kecil. Jika ia tidak melaksanakan kewajiban tersebut, dikatakan bahwa ia telah
mendurhakai orang tuanya, memutuskan hubungan kekeluargaan dan akan mendapat
siksa Allah di dunia dan akhirat.
Ibnu Taimiyah pernah ditanya, apakah seorang ayah berhak mengatur harta putrinya
yang telah menikah? Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa seorang ayah tidak berhak
mengatur harta putrinya yang telah menikah. Jika melakukannya, ia telah menodai
keluarganya sendiri dan dikatakan tidak memiliki hak perwalian lagi bagi putrinya. Pada
dasarnya, seorang ayah memiliki hak perwalian terhadap putrinya sehingga dikatakan
juga bahwa ia memiliki hak mengatur harta milik putrinya, namun bukan untuk
kepentingannya sendiri. Seorang ayah akan kehilangan hak perwalian atas putrinya jika
ia tidak memiliki kemampuan untuk itu, sebab jika putrinya telah mampu mengelola
hartanya sendiri, hilanglah hak seorang ayah atas putrinya.
4. Warisan adalah Salah Satu Sumber Pemilikan
Allah telah mensyariatkan warisan untuk menjadi sarana pemindahan pemilikan dari
suatu generasi ke generasi lain. Allah telah membatasi dan menentukan bagian-bagian
ahli waris, lelaki dan wanita, agar salah satu dari keduanya tidak berbuat jahat terhadap
yang lain. Allah berfirman: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”. (QS. An-Nisa: 7) Aturan Islam tentunya berpengaruh besar dalam
menganjurkan umatnya untuk bekerja, meninggalkan warisan untuk anak-anaknya

7|M a n aj eme n Isla mi Ke ua nga n d an H ar ta Kel ua rga

Anda mungkin juga menyukai