Anda di halaman 1dari 63

REFERAT

GAMBARAN RADIOLOGI PADA


CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)

Disusun oleh:

Ayu Andini Putri 030.10.045


Dini Arintawati 030.11.081
Muhamad Lutfi Rahmat 030.10.187
Faizal Haris Anando 030.12.096

Pembimbing:
dr. Partogi, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM ANGKATAN LAUT Dr. MINTOHARDJO
PERIODE: 03 APRIL 2017 – 06 MEI 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA, 2017
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Gambaran Radiologi Pada Congestive Heart Failure (CHF)” dengan baik
dan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu
radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Periode 03 April 2017 – 06 Mei
2017. Di samping itu, referat ini ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita
semua tentang gambaran radiologi pada congestive heart failure (CHF)”.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada dr. Partogi, Sp. Rad selaku pembimbing dalam penyusunan referat
ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan – rekan anggota
Kepaniteraan Ilmu Radiologi serta berbagai pihak yang telah memberi dukungan dan
bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna dan tidak luput
dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya masukan, kritik
maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih yang
sebesar – besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan tambahan informasi bagi kita
semua.

Jakarta, April 2017

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

Dekompensasi kordis atau gagal jantung adalah suatu sindroma klinis yang
disebabkan oleh gagalnya mekanisme kompensasi otot miokard dalam mengantisipasi
peningkatan beban volume berlebihan ataupun beban tekanan berlebih yang tengah
dihadapinya, sehingga tidak mampu memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan tubuh. Kemampuan jantung sebagai pompa sesungguhnya
sangat bergantung pada kontraktilitas otot jantung. Dan kemampuan kontraksi ini,
ternyata tidak hanya ditentukan oleh kontraktilitas sarkomer miokard itu sendiri,
tetapi juga sangat dipengaruhi oleh besarnya preload (beban volume), afterload
(beban tekanan), dan heart rate (frekuensi denyut jantung).1,2
Gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure) adalah sindrom klinis
akibat penyakit jantung, ditandai dengan kesulitan bernapas serta retensi natrium dan
air yang abnormal, yang sering menyebabkan edema. Kongesti ini dapat terjadi dalam
paru atau sirkulasi perifer atau keduanya, bergantung pada apakah gagal jantungnya
pada sisi kanan atau menyeluruh.1,2 Risiko CHF akan meningkat pada lansia karena
penurunan fungsi ventrikel akibat penuaan. CHF ini dapat menjadi kronik apabila
disertai dengan penyakit - penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung katup,
kardiomiopati, penyakit jantung koroner, dan lain - lain.
Masalah kesehatan dengan gangguan sistem kardiovaskuler termasuk
didalammya Congestive heart Failure (CHF) masih menduduki peringkat yang
tinggi, menurut data WHO dilaporkan bahwa sekitar 3000 penduduk Amerika
menderita CHF. American Heart Association (AHA) tahun 2004 melaporkan 5,2 juta
penduduk Amerika menderita gagal jantung. Walaupun angka yang pasti belum ada
untuk seluruh Indonesia, tetapi dengan bertambah majunya fasilitas kesehatan dan
pengobatan dapat diperkirakan jumlah penderita gagal jantung akan bertambah per
tahunnya.

2
Dari radiologi sendiri, foto thorax merupakan elemen penting yang harus
dipertimbangkan untuk dilakukan. Foto thorax atau sering disebut chest x-ray (CXR)
adalah suatu proyeksi radiografi dari thorax untuk mendagnosis kondisi - kondisi
yang mempengaruhi thorax, isi dan struktur - struktur di dekatnya. Foto thorax
menggunakan radiasi terionisasi dalam bentuk x-ray. Dosis radiasi yang digunakan
pada orang dewasa unuk membentuk radiografer adalah sekitar 0,06 mSv. Foto
thorax digunakan untuk mendiagnosis banyak kondisi yang melibatkan dinding
thorax, tulang thorax dan struktur yang berada di dalam kavitas thorax termasuk paru
- paru, jantung, dan saluran - saluran yang besar.
Salah satu penegakan diagnosis adanya gagal jantung adalah pemeriksaan foto
rontgen toraks yang dapat menggambarkan ukuran dan bentuk jantung serta kondisi
kedua paru. Untuk itu penting bagi mahasiswa kedokteran dan para dokter untuk
memahami tanda - tanda penting pada gambaran foto rontgen toraks pada keadaan
gagal jantung.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Jantung

3
Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak
di rongga dada dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri
sternum. Ukuran jantung lebih kurang sebesar genggaman tangan kanan
dan beratnya kira-kira 250 - 300 gram.

Gambar 2.1 Anatomi Jantung


Jantung terdiri dari empat ruang, dua ruang berdinding tipis disebut
atrium dan dua ruang berdinding tebal disebut ventrikel. 1,2

1. Atrium
 Atrium kanan. Berfungsi menampung darah yang rendah oksigen
dari seluruh tubuh yang mengalir dari vena kava superior dan
inferior serta sinus koronarius yang berasal dari jantung sendiri.
Kemudian darah dipompakan ke ventrikel kanan dan selanjutnya
ke paru - paru.

4
 Atrium kiri. Berfungsi menerima darah yang kaya oksigen dari
paru - paru melalui empat buah vena pulmonalis. Kemudian darah
mengalir ke ventrikel kiri dan dipompakan ke seluruh tubuh
melalui aorta.
2. Ventrikel
 Ventrikel kanan. Berfungsi memompakan darah dari atrium kanan
ke paru - paru melalui vena pulmonalis.
 Ventrikel kiri. Berfungsi memompakan darah yang kaya oksigen
dari atrium kiri ke seluruh tubuh melalui aorta.

Gambar 2.2. Ruang - Ruang Jantung 2

Katup jatung terbagi menjadi 2 bagian, yaitu katup yang


menghubungkan antara atrium dengan ventrikel dinamakan katup
atrioventrikuler, sedangkan katup yang menghubungkan sirkulasi sistemik
dan sirkulasi pulmonal dinamakan katup semilunar. 1,2
 Katup atrioventrikuler terletak antara atrium dan ventrikel. Katup yang
terletak antara atrium kanan dan ventrikel kanan disebut katup
trikuspidalis. Katup yang terletak antara atrium kiri dan ventrikel kiri
disebut katup bikuspidalis atau katup mitral. Katup atrioventrikuler

5
memungkinkan darah mengalir dari masing - masing atrium ke
ventrikel pada saat diastolik dan mencegah aliran balik pada saat
ventrikel berkontraksi memompa darah keluar jantung yaitu pada saat
sistolik.
 Katup semilunar terdiri dari katup pulmonal yaitu katup yang
menghubungkan antara ventrikel kanan dengan pulmonal trunk, katup
semilunar yang lain adalah katup yang menghubungkan antara
ventrikel kiri dengan asendence aorta yaitu katup aorta.

Gambar 2.3. Katup Jantung 2

Lapisan otot jantung terdiri dari perikardium, epikardium, miokardium


dan endokardium. Lapisan perikardium adalah lapisan paling atas dari
jantung terdiri dari fibrosa dan serosa dan berfungsi sebagai pembungkus
jantung. Lapisan perikardium terdiri dari perikardium parietal
(pembungkus luar jantung) dan perikardium visceral (lapisan yang
langsung menempel pada jantung). Antara perikardium parietal dan
visceral terdapat ruangan perikardium yang berisi cairan serosa berjumlah
15 - 50 ml dan berfungsi sebagai pelumas.1,2
Lapisan epikardium merupakan lapisan paling atas dari dinding jantung.
Selanjutnya adalah lapisan miokardium yang merupakan lapisan fungsional
jantung yang memungkinkan jantung bekerja sebagai pompa. Miokardium

6
mempunyai sifat istimewa yaitu bekerja secara otonom (miogenik), durasi
kontraksi lebih lama dari otot rangka dan mampu berkontraksi secara
ritmik.1,2
Ketebalan lapisan miokardium pada setiap ruangan jantung berbeda -
beda. Ventrikel kiri mempunyai lapisan miokardium yang paling tebal
karena mempunyai beban lebih berat untuk memompa darah ke sirkulasi
sistemik yang mempunyai tahanan aliran darah lebih besar. 1,2

Gambar 2.4. Lapisan jantung 2


Miokardium terdiri dari dua berkas otot yaitu sinsitium atrium dan
sinsitium ventrikel. Setiap serabut otot dipisahkan diskus interkalaris yang
berfungsi mempercepat hantaran impuls pada setiap sel otot jantung.
Antara sinsitium atrium dan sinsitium ventrikel terdapat lubang yang
dinamakan anoulus fibrosus yang merupakan tempat masuknya serabut
internodal dari atrium ke ventrikel. Lapisan endokardium merupakan
lapisan yang membentuk bagian dalam jantung dan merupakan lapisan
endotel yang sangat licin untuk membantu aliran darah. 1,2

7
Gambar 2.5. Serabut otot jantung 2
Sirkulasi Jantung
Lingkaran sirkulasi jantung dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu
sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal. Namun demikian terdapat juga
sirkulasi koroner yang juga berperan sangat penting bagi sirkulasi jantung.
1,2

 Sirkulasi Sistemik
1. Mengalirkan darah ke berbagai organ tubuh.
2. Memenuhi kebutuhan organ yang berbeda.
3. Memerlukan tekanan permulaan yang besar.
4. Banyak mengalami tahanan.
5. Kolom hidrostatik panjang.
 Sirkulasi Pulmonal
1. Hanya mengalirkan darah ke paru.
2. Hanya berfungsi untuk paru-paru.
3. Mempunyai tekanan permulaan yang rendah.
4. Hanya sedikit mengalami tahanan.
5. Kolom hidrostatiknya pendek.
 Sirkulasi Koroner
Efisiensi jantung sebagi pompa tergantung dari nutrisi dan
oksigenasi yang cukup pada otot jantung itu sendiri. Sirkulasi koroner
meliputi seluruh permukaan jantung dan membawa oksigen untk
miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-kecil.

8
Gambar 2.6. Sirkulasi Sistemik dan Pulmonal 2

Persarafan Jantung
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom yaitu saraf simpatis dan
parasimpatis. Serabut - serabut saraf simpatis mempersarafi daerah atrium
dan ventrikel termasuk pembuluh darah koroner. Saraf parasimpatis
terutama memberikan persarafan pada nodus sino-atrial, atrio-ventrikuler
dan serabut - serabut otot atrium, dapat pula menyebar ke dalam ventrikel
kiri. 3,4,5
Persarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medulla spinalis
torakal atas, yaitu torakal 3 sampai dengan 6, sebelum mencapai jantung
akan melalui pleksus kardialis kemudian berakhir pada ganglion servikalis
superior, medial atau inferior. Serabut post-ganglionik akan menjadi saraf
kardialis untuk masuk ke dalam jantung. Persarafan saraf simpatis berasal
dari pusat nervus vagus di medulla oblongata; serabut - serabutnya akan
bergabung dengan serabut simpatis di dalam pleksus kardialis. Rangsang
simpatis akan dihantar oleh norepinefrin, sedangkan rangsang saraf

9
parasimpatis akan dihantar oleh asetilkolin. Pada orang normal kerja saraf
simpatis adalah mempengaruhi kerja otot ventrikel sedangkan parasimpatis
mengontrol irama jantung dan laju denyut jantung. 5,6

Perdarahan Jantung
1. Arteri
Pendarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh
koroner utama, yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua
arteri ini keluar dari sinus Valsava aorta. Arteri koroner kiri berjalan di
belakang arteri pulmonal sebagai arteri koroner kiri utama (LMCA =
Left Main Coronary Artery) sepanjang 1-2 cm. arteri ini bercabang
menjadi arteri sirkumfleks (LCx = Left Circumflex Artery) dan arteri
desendens anterior kiri (LAD = Left Anterior Descendens Artery). LCx
berjalan pada sulkus atrio-ventrikuler mengelilingi permukaan posterior
jantung, sedangkan LAD berjalan pada sulkus interventrikuler sampai
ke apeks. Kedua pembuluh darah ini bercabang-cabang mendarahi
daerah antara kedua sulkus tersebut.5
Setelah keluar dari sinus Valsava aorta, arteri koroner kanan (RCA
= Right Coronary Artery) berjalan di dalam sulkus atrio-ventrikuler ke
kanan bawah mencapai kruks. Cabang pertama adalah arteri atrium
anterior kanan (Right Atrial Anterior Branch) untuk mendarahi nodus
sino-atrial, dan cabang lain adalah arteri koroner desenden posterior
(PDA = Posterior Descending Coronary Artery) yang akan mendarahi
nodus atrio-ventrikuler.5
2. Vena
Aliran darah balik dari otot jantung dan sekitarnya melalui vena
koroner yang berjalan berdampingan dengan arteri koroner, akan masuk
ke dalam atrium kanan melalui sinus koronarius. Selain itu terdapat juga

10
vena-vena kecil yang disebut vena Thebesii, yang bermuara langsung ke
dalam atrium kanan.5
Pembuluh Limfe
Pembuluh limfe pada jantung terdiri dari 3 kelompok pleksus, yaitu
subendokardial, miokardial, dan subepikardial. Penampungan cairan limfe
dari kelompok pleksus yang paling besar adalah pleksus subepikardial,
dimana pembuuh-pembuluh limfe akan membentuk satu trunkus yang
berjalan sejajar dengan arteri koroner kemudian meninggalkan jantung
didepan arteri pulmonal dan berakhir pada kelenjar limfe antara vena kava
superior dan arteri inominata.5

2.2. Congestive Heart Failure


2.2.1 Definisi
Congestive Heart Failure atau Gagal jantung adalah suatu sindroma
klinis yang disebabkan oleh gagalnya mekanisme kompensasi otot miokard
dalam mengantisipasi peningkatan beban volume berlebihan ataupun beban
tekanan yang berlebih pada jantung, sehingga tidak mampu memompakan
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan tubuh.2,6
Keadaan ini dapat disebabkan oleh karena gangguan primer otot
jantung, atau beban jantung yang berlebihan, atau kombinasi keduanya.
Beban jantung yang berlebihan pada preload atau beban volume terjadi
pada defek dengan pirau kiri ke kanan, regurgitasi katup, atau fistula
arteriovena. Sedangkan beban yang berlebihan pada afterload atau beban
tekanan terjadi pada obstruksi jalan keluar jantung, misalnya stenosis aorta,
stenosis pulmonal, atau koarktasio aorta. 2,6

2.2.2 Insidensi dan Epidemiologi


1,5 sampai 2% orang dewasa di Amerika Serikat menderita CHF;
terjadi 700.000 perawatan di rumah sakit pertahun. Faktor risiko terjadinya
gagal jantung yang paling sering adalah usia. CHF merupakan alasan

11
paling umum bagi lansia untuk dirawat di rumah sakit (75% pasien yang
dirawat dengan CHF berusia antara 65 dan 75 tahun). 44% pasien
Medicare yang dirawat karena CHF akan dirawat kembali pada enam (6)
bulan kemudian. Terdapat dua (2) juta kunjungan pasien rawat jalan
pertahun yang menderita CHF; biayanya diperkirakan 10 miliar dollar
pertahun. Daya tahan hidup selama delapan (8) tahun bagi semua kelas
CHF adalah 30%; untuk CHF berat, angka mortalitas dalam satu (1) tahun
adalah 60%. Faktor risiko terpenting untuk CHF adalah penyakit arteri
koroner dengan penyakit jantung iskemik.2,4
Hipertensi adalah faktor risiko terpenting kedua untuk CHF. Faktor
risiko lain terdiri dari kardiomiopati, aritmia, gagal ginjal, diabetes, dan
penyakit katup jantung.2,4

2.2.3 Etiologi
Terdapat tiga kondisi yang mendasari terjadinya gagal jantung, yaitu : 2,6
1. Gangguan mekanik ; beberapa faktor yang mungkin bisa terjadi secara
tunggal atau bersamaan akibat penyakit jantung bawaan atau didapat
yaitu :
 Beban volume (preload)
 Beban tekanan (afterload)
2. Abnormalitas otot jantung
a. Primer : kardiomiopati, miokarditis metabolik (DM, gagal ginjal
kronik, anemia), rheumatoid heart disease, toksin atau sitostatika.
b. Sekunder : Iskemia, penyakit sistemik, penyakit infiltratif
3. Gangguan irama jantung atau gangguan konduksi

2.2.4 Patofisologi
A. Mekanisme Dasar

12
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada
gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu
kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel
kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup, dan meningkatkan
volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume akhir
diastolik) ventrikel, terjadi peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel
kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan bergantung pada kelenturan
ventrikel. Dengan meningkatnya LVDEP, terjadi pula peningkatan
tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan
langsung selama diastol. Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke
dalam pembuluh darah paru - paru, meningkatkan tekanan kapiler dan
vena paru - paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru -
paru melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi
cairan ke dalam interstisial. Jika kecepatan transudasi cairan melebihi
kecepatan drainase limfatik, akan terjadi edema interstisial. Peningkatan
tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam
alveoli dan terjadilah edema paru. Tekanan arteri paru - paru dapat
meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi
pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan.
Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan
terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan
kongesti sistemik.4
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat
diperberat oleh regurgitasi fungsional dari katup - katup trikuspidalis
atau mitralis secara bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan
oleh dilatasi anulus katup atroventrikularis, atau perubahan orientasi
otot papilaris dan korda tendinae akibat dilatasi ruang.4,6

13
Gambar 2.7. Mekanisme Edema Paru pada CHF 6
B. Mekanisme Kompensasi Pada Gagal Jantung
Bila curah jantung karena suatu keadaan menjadi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, maka jantung akan memakai
mekanisme kompensasi.4
Mekanisme kompensasi ini sebenarnya sudah dan selalu dipakai
untuk mengatasi beban kerja ataupun pada saat menderita sakit. Bila
mekanisme ini telah secara maksimal digunakan dan curah jantung tetap
tidak cukup maka barulah timbul gejala gagal jantung. Mekanisme
kompensasi ini terdiri dari beberapa macam dan bekerja secara
bersamaan serta saling mempengaruhi, sehingga secara klinis tidak
dapat dipisah - pisahkan secara jelas.4,6
Dengan demikian diupayakan memelihara tekanan darah yang
masih memadai untuk perfusi alat - alat vital. Mekanisme ini mencakup:
1. Mekanisme Frank Starling
Gagal jantung akibat penurunan kontrak tilitas ventrikel kiri
menyebabkan pergeseran kurva penampilan ventrikel ke bawah.
Karena itu, pada setiap beban awal, isi sekuncup menurun
dibandingkan dengan normal dan setiap kenaikan isi sekuncup pada
gagal jantung menuntut kenaikan volume akhir diastolik lebih tinggi
dibandingkan normal. 4,7,8
Penurunan isi sekuncup mengakibatkan pengosongan ruang yang
tidak sempurna sewaktu jantung berkontraksi; sehingga volume

14
darah yang menumpuk dalam ventrikel semata diastol lebih tinggi
dibandingkan normal. Hal ini bekerja sebagai mekanisme
kompensasi karena kenaikan beban awal (atau volume akhir
diastolik) merangsang isi sekuncup yang lebih besar pada kontraksi
berikutnya, yang membantu mengosongkan ventrikel kiri yang
membesar. 4,7,8
2. Hipertrofi Ventrikel
Pada gagal jantung, stres pada dinding ventrikel bisa meningkat
baik akibat dilatasi (peningkatan radius ruang) atau beban akhir yang
tinggi (misalnya pada stenosis aortik atau hipertensi yang tidak
terkendali). Peninggian stres terhadap dinding ventrikel yang terus
menerus merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel dan kenaikan
massa ventrikel. Peningkatan ketebalan dinding ventrikel adalah
suatu mekanisme kompensasi yang berfungsi untuk mengurangi stres
dinding (ingat bahwa ketebalan dinding adalah faktor pembagi pada
rumus stres dinding), dan peningkatan massa serabut otot membantu
memelihara kekuatan kontraksi ventrikel. 4,8
Meskipun demikian, mekanisme kompensasi ini harus diikuti oleh
tekanan diastolik ventrikel yang lebih tinggi dari normal dengan
demikian tekanan atrium kiri juga meningkat, akibat peninggian
kekakuan dinding yang mengalami hipertrofi. Pola hipertrofi yang
berkembang bergantung pada apakah beban yang di hadapi bersifat
kelebihan beban volume atau, tekanan yang kronis. Dilatasi ruang
yang kronis akibat kelebihan volume, misalnya pada regurgitasi
mitral atau aorta yang menahun, mengakibatkan sintesis sarkomer -
sarkomer baru Secara seri dengan sarkomer yang lama. Akibatnya
radius ruang ventrikel membesar dan ini berkembang sebanding
dengan peningkatan ketebalan dinding. Hal ini disebut hipertrofi
eksentrik.4,8

15
Kelebihan tekanan yang kronis, misalnya pada hipertensi atau
stenosis aortik, mengakibatkan sintesis sarkomer - sarkomer baru
yang berjalan sejajar dengan sarkomer lama, sehingga terjadilah
hipertrofi konsentrik, dimana tebal dinding meningkat tanpa adanya
dilatasi ruang. Dengan demikian stres dinding bisa dikurangi secara
bermakna.4,8
3. Aktifasi neurohormonal
Perangsangan neurohormonal merupakan mekanisme kompensasi
yang mencakup sistim syaraf adrenergik, sistim renin-angiotensin,
peningkatan produksi hormon antidiuretik, semua sebagai jawaban
terhadap penurunan curah jantung.4,8
Semua mekanisme ini berguna untuk meningkatkan tahanan
pembuluh sistemik, sehingga mengurangi setiap penurunan tekanan
darah (ingat rumus tekanan darah - curah jantung x tahanan perifer
total). Selanjutnya semua ini menyebabkan retensi garam dan air,
yang pada awalnya bermanfaat meningkatkan volume intravaskuler
dan beban awal ventrikel kiri, sehingga memaksimalkan isi sekuncup
melalui mekanisme Frank Starling.
Segi negatif aktifasi neurohormonal yang berlebih adalah
seringnya terjadi akibat yang jelek pada jantung yang sudah payah.4
C. Sistem syaraf adrenergic
Penurunan curah jantung pada gagal jantung dirasakan oleh reseptor
- reseptor di sinus karotis dan arkus aorta sebagai suatu penurunan
porfusi. Reseptor - reseptor ini lalu mengurangi laju pelepasan rangsang
sebanding dengan penurunan tekanan darah. Sinyalnya dihantarkan
melalui syaraf kranial ke IX dan X ke pusat pengendalian
kardiovaskuler di medula.4,8
Sebagai akibatnya arus simpatis ke jantung dan sirkulasi perifer
meningkat, dan tonus parasimpatis berkurang. Ada tiga hal yang
segeraterjadi:1) peningkatan laju debar jantung,2) peningkatan
kontraktilitas ventrikel, dan 3) vasokonstriksi akibat stimulasi reseptor -

16
reseptor alfa pada vena - vena dan arteri sistemik. Peninggian laju debar
jantung dan kontraktilitas ventrikel secara langsung meningkatkan curah
jantung. Vasokonstriksi pada sirkulasi vena dan arteri juga bermanfaat
pada awalnya.4,8
Konstriksi vena mengakibatkan peningkatan aliran balik darah ke
jantung, sehingga meningkatkan beban awal dan meningkatkan isi
sekuncup melalui mekanisme Frank Starling, bila jantung bekerja pada
bagian yang menaik pada kurva penampilan ventrikel.4
Konstriksi arteriolar pada gagal jantung meningkatkan tahanan
pembuluh perifer, sehingga membantu memelihara tekanan darah.
Adanya distribusi regional reseptor - reseptor alfa sedemikian rupa
menyebabkan aliran darah di redistribusi ke alat - alat vital (jantung dan
otak) dan dikurangi ke kulit, organ - organ splanknik dan ginjal.4,8
D. Sistem Renin Angiotensin
Sistem ini diaktifasi pada gagal jantung. Rangsang untuk
mensekresi renin dan sel - sel jukstaglomerular mencakup : 1)
penurunan perfusi arteri renalis sehubungan dengan curah jantung yang
rendah, dan 2) rangsang langsung terhadap reseptor - reseptor B2
jukstaglomerular oleh sistem syaraf adrenergik yang teraktifasi. Renin
bekerja pada angiotensiogen dalam sirkulasi, menjadi angiotensin I,
yang kemudian diubah dengan cepat oleh ensim pengubah angiotensin
(ACE) menjadi angiotensin II (All), suatu vasokonstriktor yang kuat.4,16,
Peningkatan kadar All berperan meningkatkan tahanan perifer total
dan memelihara tekanan darah sistemik. Angiotensin II juga bekerja
meningkatkan volume intravaskuler melalul dua mekanisme yaitu di
hipotalamus merangsang rasa haus dan akibatnya meningkatkan
pemasukan cairan, dan bekerja pada korteks adrenal untuk
meningkatkan sekresialdosteron. Aldosteron meningkatkan resorpsi
natrium dan tubuh distal ke dalam sirkulasi. Kenaikan volume

17
intravaskuler lalu meningkatkan beban awal dan karenanya
meningkatkan curah jantung melalui mekanisme Frank Starling.4
E. Hormon antidiuretlk
Pada gagal jantung, sekresi hormon ini oleh kelenjar hipofisis
posterior - meningkat, mungkin diantarai oleh rangsang terhadap
baroreseptor di arteri dan atrium kiri, serta oleh kadar All yang
meningkat dalam sirkulasi.
Hormon antidiuretik berperan meningkatkan volume intravaskuler
karena ia meningkatkan retensi cairan melalui nefron distal. Kenaikan
cairan intravaskuler inilah yang meningkatkan beban awal ventrikel kiri
dan curah jantung.4,14
Meskipun ketiga mekanisme kompensasi neurohormonaI yang
sudah diuraikan diatas pada awalnya bisa bermanfaat, pada akhirnya
membuat keadaan menjadi buruk. Peningkatan volume sirkulasi dan
aliran balik vena ke Jantung bisa memperburuk bendungan pada
vaskuler paru sehingga memperberat keluhan-keluhan akibat kongesti
paru. Peninggian tahanan arteriol meningkatkan beban akhir dinama
jantung yang sudah payah harus berinteraksi, sehingga pada akhirnya isi
sekuncup dan curah jantung menjadi lebih berkurang. 4
Oleh karena itu terapi dengan obat - obatan sering disesuaikan
untuk memperlunak mekanisme kompensasi neurohormonal ini.

F. Peptida natrluretik atrium (atrial natriuretic peptide)


Ini adalah suatu hormon kontraregutasi yang disekresi oleh atrium
sebagai respon terhadap peninggian tekanan intrakardiak. Kerjanya
terutama berlawanan dengan hormon - hormon lain yang diaktifasi
dalam keadaan gagal jantung, sehingga mensekresi natrium dan air,
menimbulkan vasodilatasi, inhibisi sekresi renin, dan mempunyai sifat
antagonis terhadap efek All pada vasopresin dan sekresi aldosteron.

18
Meskipun kadar peptida ini dalam plasma meninggi, efeknya dapat
ditumpulkan oleh berkurangnya respon organ akhir (misalnya ginjal).4

2.2.5 Klasifikasi
Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. The
New York Heart Association (NYHA) classification for heart failure
membaginya, sebagai berikut : 2,6
1. Kelas I: Penderita dengan gagal jantung tanpa adanya pembatasan
aktivitas fisik, dimana aktivitas biasa tidak menimbulkan rasa lelah dan
sesak nafas.
2. Kelas II: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, merasa lega jika beristirahat.
3. Kelas III: Penderita dengan gagal jantung yang memperlihatkan adanya
pembatasan aktivitas fisik yang ringan, kegiatan fisik yang lebih ringan
dari kegiatan biasa sudah memberi gejala lelah, sesak nafas.
4. Kelas IV: Penderita dengan gagal jantung yang tidak sanggup
melakukan kegiatan apapun tanpa keluhan, gejala sesak nafas tetap ada
walaupun saat beristirahat.
Berdasarkan American College of Cardiology and the American Heart
Association, yaitu antara lain: 2,6
1. Stage A
Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung tetapi
tidak menunjukkan struktur abnormal dari jantung .
2. Stage B
Adanya stuktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak
bergejala.
3. Stage C
Adanya struktural yang abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal
jantung.
4. Stage D

19
Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan
pengobatan standar.

2.2.6 Manifestasi Klinis


Diagnosa gagal jantung kongestif menurut Framingham dibagi
menjadi 2 yaitu kriteria mayor dan kriteria minor. Diagnosis ditegakkan
dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor
harus ada di saat bersamaan. 2,6
Kriteria mayor :
1. Dispnea nocturnal paroksismal atau ortopnea.
2. Peningkatan tekanan vena jugularis
3. Ronkhi basah tidak nyaring
4. Kardiomegali
5. Edema paru akut
6. Irama derap S3
7. Peningkatan tekanan vena >16 cm H20
8. Refluks hepatojugular.
Kriteria minor :
1. Edema pergelangan kaki
2. Batuk malam hari
3. Dispneu d’effort
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Kapasitas vital berkurang menjadi 1/3 maksimum
7. Takikardi (120x/menit).

2.2.7 Pemeriksaan laboratorium

20
Tes darah mungkin akan diminta untuk menilai fungsi hati dan ginjal,
level/tingkat sodium dan potassium, jumlah sel darah, dan pengukuran-
pengukuran lainnya.7

Pemeriksaan darah perlu dilakukan untuk menyingkirkan anemia sebagai


penyebab susah bernapas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu
adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat.
Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya
gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi
peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme
inhibitor dan diuretic dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi
proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa
suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Pada gagal jantung
kongestif, tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal
karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid
dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaan penanda BNP sebagai penanda
biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100 pg/ml dan plasma non-
proBNP adalah 300 pg/ml. 7

2.2.8 Gambaran EKG

Dalam kasus kardiogenik, elektrokardiogram (EKG) dapat menunjukkan


bukti MI ( Miocardium Infark ) atau iskemia. Dalam kasus noncardiogenic,
EKG biasanya normal. 9

21
Gambar 2.8. Electrocardiograms menunjukan infark miokardium
anterior dengan gelombang Q pada anteroseptal leads ( atas ) dan
pada bagian kiri bundle branch block ( bawah ).9

2.2.9 Gambaran Radiologi


1. Foto Thoraks
Dua fitur utama dari radiografi dada berguna dalam evaluasi pasien
dengan gagal jantung kongestif:
(1) ukuran dan bentuk siluet jantung
(2) edema di dasar paru - paru.3,5

Gambar 2.9. Anatomi Radiografi Jantung 3

22
Pada gagal jantung hampir selalu ada dilatasi dari satu atau lebih pada
ruang - ruang di jantung, menghasilkan pembesaran pada jantung. Dari segi
radiologik, cara yang mudah untuk mengukur jantung apakah membesar
atau tidak, adalah dengan membandingkan lebar jantung dan lebar dada
pada foto toraks PA (cardio-thoracis ratio). Pada gambar, diperlihatkan
garis - garis untuk mengukur lebar jantung (a+b) dan lebar dada (c1-c2). 3,5

(normal : 48-50 %)

Gambar 2.10. Pengukuran CTR 3

Pada patfofisiologi Congestive Heart Failure teah dijelaskan bahwa


kegagalan jantung juga disebabkan oleh kontraktilitas miokard yang
kurang akibat infark miokard. Berikut adalah gambar yang menunjukan
adanya infark miokard dalam congestive heart failure.

23
Gambar 2.11. Foto Thorax menunjukan adanya infark miokard

dan tampak curvilinear kalsifikasi ( panah ) pada


ventrikel kiri.

24
Gambar 2.12. Congestive cardiac failure. Radiografi dada
memperlihatkan kardiomegali, pengalihan vena -
vena lobus atas (tanda panah), garis septum (garis
Kerley B) terlihat baik di zona bawah kanan (tanda
panah terbuka), dan penebalan/cairan di fisura
horizontal (mata panah). Cairan di fisura horizontal
kanan kadang - kadang disebut “Phantom tumour”,
itu bisa menghilang pada pemeriksaan radiologi
berikutnya, bila keadaan pasien membaik

Dengan perkembangan dari gagal jantung kongestif, atrium kiri


mengalami peningkatan tekanan yang paling pertama. Hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik, tekanan kapiler paru serta
pembentukan edema interstitial terutama pada daerah basal paru. Hal ini
menyebabkan peningkatan resistensi vaskuler yang mengalir ke basal paru,
menyebabkan pirau aliran darah ke pembuluh - pembuluh darah pada lobus

25
atas paru – paru sehingga menyebabkan adanya peralihan pada vena - vena
pada lobus atas. Pengalihan pada lobus atas dapat didiagnosis dengan
radiografi posisi erect (tegak), pembesaran pembuluh - pembuluh darah
pada lobus atas sama dengan atau melebihi pembuluh - pembuluh darah
pada lobus bawah yang berjarak sama dari hilum. 3,5

Gambar 2.13. Foto Thorax PA menunjukan adanya pembesaran


pada ventrikel kiri karena adanya aneurisme yang
mana tampak focal bulge ( panah ).

Peningkatan tekanan vena pulmonalis atau hipertensi pulmonal


berhubungan dengan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) dan
dapat di klasifikasikan menjadi beberapa derajat yang sesuai dengan
gambaran radiologisnya pada foto toraks. Pengklasifikasian ini merupakan
urut - urutan yang terjadi pada CHF. Menurut Elliots, klasifikasi hipertensi
vena pulmonalis dibagi menjadi : 3,5
1. Stage 1 :
Pada stage 1 PCWP [13-18 mm]. Terjadi redistribusi dari pembuluh
darah paru. Pada foto toraks PA normal, pembuluh darah pada lobus atas
lebih kecil dan sedikit dibanding pembuluh darah pada lobus bawah

26
paru. Pembuluh darah paru yang beranastomosis memiliki kapasitas
reservoir dan akan mengalir pada vaskular yang tidak menerima perfusi
darah, sehingga menyebabkan terjadinya ditensi pada vaskular yang
telah mendapat perfusi darah. Hal ini mengakibatkan terjadinya
redistribusi pada aliran darah pulmonal. Awalnya terjadi aliran darah
yang sama, kemudian terjadi redistribusi aliran darah dari lobus bawah
menuju lobus atas.
Pada gambaran radiologis tampak redistribusi dari pembuluh darah
paru, kardiomegali, dan broad vascular pedicle.
2. Stage 2 :
Pada stage 2, PCWP [18-25 mm]. Tahap ini ditandai oleh kebocoran
cairan kedalam interlobular dan interstitial peribronkial sebagai akibat
dari meningkatnya tekanan di dalam kapiler paru. Saat kebocoran cairan
masuk ke dalam septum interlobular perifer, akan tampak gambaran
garis Kerley B pada foto toraks. Saat kebocoran cairan masuk ke dalam
interstitial peribronkovaskular, pada foto toraks akan tampak gambaran
penebalan pada dinding bronkus yang disebut peribronchial cuffing dan
pengaburan pembuluh darah paru (perihilar haze). Selain itu, fisura
interlobaris juga akan terlihat menebal pada foto toraks.
3. Stage 3 :
Pada stage ini, PCWP [> 25 mm]. Tahap ini ditandai dengan
berlanjutnya kebocoran cairan menuju interstitial, yang tidak dapat
dikompensasi oleh drainase limfatik. Hal ini akan mengakibatkan
kebocoran cairan menuju alveoli (edema alveolar) dan kebocoran cairan
menuju cavum pleura (efusi pleura). Pada foto toraks akan tampak
gambaran konsolidasi, air bronchogram, cotton woll appearance, dan
efusi pleura.
4. Stage 4 :
Pada tahap ini terjadi proses hemosiderosis, osifikasi (tampak pada
hipertensi pulmonum yang lama).

27
Gambar 2.14. Klasifikasi CHF pada Gambaran Radiologi 5
Seiring dengan meningkatnya tekanan hidrostatik, terjadilah tanda-
tanda edema interstitial yang diikuti tanda - tanda edema alveolar:
a) Pengaburan dari tepi pembuluh darah
b) Perihilar kabur

Gambar 2.15. Cardiomegali dengan perihilar yang terlihat kabur5


c) Peribronchial cuffing :
Gambaran seperti donat kecil. Terjadi akibat akumulasi cairan
interstitial di sekeliling bronkus yang menyebabkan menebalnya
dinding bronkus.

28
Gambar 2.16. Peribronchial cuffing tampak seperti gambaran
donat kecil pada bronkus.5
d) Garis Kerley A :
Berupa gambaran garis yang agak panjang (2-6 cm) yang tampak
seperti garis bercabang dengan arah diagonal dari hilus menuju ke arah
perifer. Munculnya garis ini disebabkan oleh distensi saluran yang
beranastomosis antara pembuluh limfe paru perifer dan sentral. Garis
ini jarang ditemui dibanding garis Kerley B, dan tidak akan tampak
tanpa disertai adanya garis Kerley B atau garis Kerley C. 3,5

Gambar 2.17. Garis kerley A, Garis Kerley B, dan Kerley C 5


e) Garis Kerley B :
Berupa gambaran garis pendek yang berparalel pada daerah paru
perifer. Garis ini dapat terlihat ketika cairan mengisi dan mendistensi
septum interlobular. Panjangnya kurang dari 1 cm dan paralel antara
satu dengan lainnya pada sudut kanan bawah dari pleura. Garis ini bisa

29
tampak pada semua daerah paru, tapi lebih sering pada paru bagian
basal di sudut costofrenicus pada foto toraks PA. 3,5

Gambar 2.18. Garis kerley B tampak berupa garis putih


horizontal yang pendek-pendek pada bagian
basal paru 5
f) Garis Kerley C
Garis ini jarang terlihat dibanding garis yang lain. Bentuk garis
ini pendek dan tipis dengan gambaran reticular yang
merepresentasikan garis Kerley B en face. Munculnya garis ini
disebabkan oleh menebalnya anastomosis pembuluh limfe atau
superimpose dari beberapa garis Kerley B. 3,5
g) Efusi pleura
Efusi laminar yang berkumpul di bawah pleura viseral, yakni pada
jaringan ikat longgar antara paru dan pleura.

Gambar 2.19. Efusi pleura tampak pada foto torak PA dan lateral 5

30
Gambar 2.20. Ilustrasi Gambaran Foto Toraks Pasien CHF 3

Penyebab lain yang menyebabkan terjadinya gagal jantung juga


memiliki gambaran radiologis yang berbeda antara satu dengan lainnya,
seperti pada kelainan jantung didapat dan pada kelainan jantung bawaan.
Kelainan Jantung Didapat
a) Stenosis mitral
Penyakit reumatik atau infeksi oleh coccus, menimbulkan parut yang
dapat menyempitkan katup mitral. Penyempitan yang berat dengan
diameter 1 cm atau kurang, menyebabkan hambatan bagi darah yang
mengalir dari paru melalui vena - vena pulmonalis. Vena - vena ini
melebar karena bertambah isinya dan tampak pada foto sebagai
pembuluh darah lebar dan pendek diatas hilus dengan arah ke atas.
Selain bertambahnya vena - vena ini, tekanan atrium kiri dan vena
pulmonalis juga bertambah tinggi sehingga menyebabkan tekanan di
dalam sirkulasi paru juga bertambah tinggi. Kedaan ini disebut
hipertensi pulmonal karena bendungan pada vena.2,6

31
Pekerjaan ventrikel kanan menjadi bertambah. Otot ventrikel kanan
mengalami hipertrofi. Lama kelamaan hiupertrofi ini akan diikuti oleh
dilatasi venrikel kanan. Dilatasi ventrikel kanan ini akan nampak pada
foto jantung pada posisi lateral dan pada posisi PA. Vaskular paru, baik
yang arterial maupun yan venosus tampak bertambah melebar.
Pembesaran ventrikel kanan ini lama kelamaan dapat mempengaruhi
fungsi katup tricuspid. Katup ini akan mengalami insufisiensi. Kalau
ventrikel kanan mengalami kegagalan, maka darah yang mengalir ke
paru berkurang. Dilatasi ventrikel kanan akan bertambah, sehingga
kemungkinan terjadinya insufisiensi katup tricuspid semakin besar pula.
2,6

Ventrikel kiri biasanya tidak mengalami banyak perubahan. Pada


keadaan stenosis mitral yang berat, ventrikel kiri dapat menjadi kecil,
begitu juga aorta, karena kekurangan volume darah. Pembuluh darah
paru bertambah terutama di daerah suprahilar kanan. Vena - vena =
tampak sebagai pembuluh darah yang pendek dan lebar di hilus kana-
kiri bagian atas. 2,6

32
Gambar 2.21. Kardiomegali sedang dengan atrium kiri yang
mengalami dilatasi berat. Tampak perubahan pada
kedua lobus bawah paru akibat kongesti vena yang
berkepanjangan. Serta tampak garis Kerley B
pada kedua paru. 5
b) Insufisiensi mitral (Regurgitasi mitral)
Bila pada stenosis mitral katup menyempit, tetapi masih dapat
menutup dengan baik, maka pada insufisiensi mitral (regurgitsi mitral)
katup mitral tidak dapat menutup dengan sempurna. Hal ini disebabkan
oleh : 2,6
o Otot papilaris lemah karena meradang
o Otot papilaris putus karena trauma
o Prolaps katup
o Cincin katup melebar mengikuti dilatasi atrium kiri atau ventrikel
kiri
Pada waktu sistolik sebagian darah dari ventrikel kiri masuk lagi ke
dalam atrium kiri. Darah balik ini jumlahnya dapat besar, bergantung
pada parahnya kerusakan katup mitral. Pada diastolic darah dari atrium
yang jumlahnya menjadi besar ini mengalir ke dalam ventrikel kiri.
Akibat regurgitasi darah pada insufisiensi mitral ini terjadilah
pembesaran ventrikel kiri dan atrium kiri. Darah yang mengalir melalui
aorta menjadi kurang jumlahnya. Hal ini dapat berakibat mengecilnya
caliber aorta. Pembesaran atrium kiri ini akan menghambat masuknya
darah dari paru melalui vena-vena pulmonalis. Vena-vena pulmonalis
terbendung, melebar, dan ini menyebabkan tekanan di dalam vena
meninggi. Maka terjadilah hipertensi pulmonal. Ventrikel kanan
membesar karena hipertrofi dan dilatasi, sebagaimana terlihat pada
stenosis mitral. 2,6

33
Bentuk jantung pada insufisiensi mitral ini hampir sama dengan
stenosis mitral dan masih memiliki bentuk konfigurasi mitral. Pada
insufisiensi mitral, ventrikel kiri nampak besar, sedang pada stenosis
mitral ventrikel ini normal atau kecil. Aorta pada insufisiensi mitral
besarnya bergantung pada darah yang mengalir melalui aorta. Bila
regurgitasi itu besar, maka jumlah darah yang mengalir melalui aorta
menjadi kecil. Pada foto arkus aorta akan tampak kecil. Pada kelainan
mitral, baik yang bersifat stenosis atau insufisiensi sering terjadi
kelainan-kelainan pada paru. Perubahan ini akan nampak jelas bila
penderita menunjukkan tanda-tanda dekompensasi. 2,6
Perubahan - perubahan yang terjadi pada paru adalah : 2,6
a) Pelebaran pembuluh paru yaitu pembuluh vena dan kemudian juga
akan terjadi pelebaran arteri. Pelebaran ini disebabkan karena
bendungan pada vena pulmonalis. Selama arteri pulmonalis masih
nampak, biasanya ventrikel kanan masih bekerja baik. Bila arteri
ini mulai kecil dan sukar dilihat, maka kemungkinan ventrikel
kanan sudah menunjukka gejala kegagalan.
b) Terjadi bintik opak di parenkim paru. Biasanya dimulai sekitar
hilus kanan dan kiri. Bintik ini menunjukkan adanya edema di
jaringan interstitial. Gambaran paru menjadi lebih suram dari
normal. Makin banyak edema, bercak-bercak ini makin bertmabah
besar lebar dan mengakibatkan perselubungan di sekitar hilus
kanan dan kiri. Ini adalah edema alveolar.
i.Efusi pleura
Biasanya penimbunan cairan di kavum pleura ini agak
jarang. Efusi pleura dapat terjadi terutama pada dekompensasi
yang sudah lanjut.
ii. Bintik perkapuran di paru hemosiderosis.

34
c) Insufisiensi aorta (Regurgitasi aorta)
Pada insufisiensi aorta, katup aorta tidak dapat menutup sempurna.
Penyebabnya banyak sekali, atara lain radang reuma, radang sifilis, dan
cincin katup melebar karena dilatasi ventrikel kiri. 2,6
Pada sistolik, darah dari ventrikel kiri masuk ke dalam aorta secara
normal. Pada diastolic, darah dari aorta sebagian masuk ke dalam
ventrikel. Jumlahnya bergantung pada parahnya katup aorta. Dalam
keadaan parah yang lanjut, jumlah darah yang kembali itu besar. Darah
yang bolak balik ini disebut regurgitasi. Dengan demikian penyakit
katup ini disebut regurgitasi aorta atau insufisiensi aorta. 2,6
Aorta pada sistolik melebar, sedangkan pada diastolic mengecil, lebih
kecil daripada aorta yang normal sebagai akibat regurgitasi. Ventrikel
kiri mengalami hipertrofi dan juga dilatasi. Pada foto tampak
pembesaran aorta dan ventrikel kiri, sedang pinggang jantung
bertambah mendalam. Bentuk jantung semacam ini disebut konfigurasi
aorta atau bentuk sepatu. Bila ventrikel kiri mengalami kegagalan, maka
atrium kiri dan pembuluh darah paru melebar, terutama vena
pulmonalis. 2,6
d) Stenosis aorta
Stenosis katup aorta menyebabkan terjadinya dilatsi pasca stenotik
pada aorta asendens. Aorta desenden tidak berubah, tetapi kadang-
kadang menjadi lebih kecil dari normal. Ventrikel kiri mengalami
hipertrofi dan kemidian disertai dilatasi. 2,6
Selama ventrikel kiri cukup kompeten, keadaan vascular paru tidak
berubah. Bila ventrikel kiri mengalami kegagalan, maka darah tidak
dapat dipompa ke aorta secara biasa, dan akibat timbunan darah di
ventrikel kiri ini terjadilah pembesaran atrium kiri dan bendungan vena
pulmonalis. 2,6

35
Gambar 2.22. Kardiomegali sedang dengan batas jantung kiri yang
mendatar.5

Kelainan Jantung Bawaan


1. Stenosis Pulmonal
Stenosis pulmonal untuk sebagian besar merupakan kelaina
congenital. Sebagian lainnya disebabkan oleh pengisutan katup akibat
reuma.
Penyempitan pada arteri pulmonalis dapat terjadi di berbagai tempat,
yang penting adalah : 2,6
a) Penyempitan pada infundibular, mengakibatkan stenosis infundibular.
b) Penyempitan di katup pulmonal sendiri, stenosis valvular.
c) Penyempitan di cabang - cabang arteri pulmonalis, stenosis
supravalvular.
Stenosis dapat terjadi di dua tempat, misalnya stenosis infundibular
dan stenosis valvular atau stenosis supravalvular.
2. Atrial Septal Defect (ASD)
Defek pada sekat atrium dapat terjadi pada septum primum yang
tidak menutup. Atau terjadi pada septum sekundum (foramen ovale),
karena foramen ini terlalu lebar atau penutupnya kurang sempurna.

36
Pada kebocoran jantung dengan arah arus dari kiri ke kanan ini (L-R
shunt) hilus melebar, tebal, dan tampak pulsasi hilus. Pulsasi ini disebut
hilar dance. Hilar dance ini terjadi karena arteri pulmonalis penuh
darah dan melebar, sehingga pulsasi ventrikel kanan merambat sampai
ke hilus. Hilar dance ini dapat dilihat pada kedua hilus dengan
fluoroskopi. 2,6
Darah dari atrium kiri mengalir ke dalam atrium kanan (L-R shunt).
Bersama dengan darah dari atrium kanan, darah tersebut masuk ke
dalam ventrikel kanan lalu ke arteri pulmonalis. Jumlah darah dalam
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis menjadi besar dan terjadi dilatasi
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Darah yang masuk ke ventrikel
kiri berkurang. 2,6
Makin besar defeknya, makin kecil jumlah darah yang mengalir ke
ventrikel kiri, karena sebagian besar darah dari atrium kiri mengalir ke
atrium kanan melalui defek. Aorta menjadi kecil, hampir sukar dilihat,
sedangkan arteri pulmonalis menjadi 3-5 kali lebih besar. Pembuluh
darah hilus melebar demikian juga cabang-cabangnya. Lambat laun
pembuluh darah bagian tepi menyempit dan tinggal pembuluh darah
dari sentral (hilus) saja yang melebar. Bentuk hilus yang melebar,
meruncing ke bawah berbentuk seperti tanda koma terbalik (inverted
coma). 2,6
Gambaran ini menunjukkan adanya tekanan yang meninggi dari
pembuluh darah paru : hipertensi pulmonal (arterial). Tingginya
hipertensi pulmonal ini akan membawa perubahan pada arah kebocoran.
Tekanan di ventrikel kana dan di atrium kanan berangsur menjadi tinggi.
Bila tekanan atrium kanan lebih tinggi daripada atrium kiri, kebocoran
menjadi terbalik arahnya yaitu kebocoran dari kanan ke kiri (R-L
shubt). Pada awalnya penderita tidak sianotik, sekarang dengan

37
pembalikan arah arus darah penderita menjadi sianotik. Keadaan ini
disebut sindrom Eisenmenger. 2,6

Gambar 2.23. Gambaran arteri pulmonalis yang sedikit meningkat


dan arteri pulmonalis utama tampak konveks
dengan ukuran jantung yang normal. 3

3. Ventricular Septal Defect (VSD)


Kelainan congenital ini paling sering dijumpai pada anak-anak.
Kebocoran ini terjadi di septum intraventrikular. Kebocoran ini terjadi
karena kelambatan dalam pertumbuhannya. Biasanya terjadi di pars
muskularis atau di pars membranasea dari septum. Besarnya kebocoran
bervariasi, mulai dari ukuran kecil sampai besar. Darah dari ventrikel
kiri mengalir melalui defek ke dalam ventrikel kanan (L-R shunt). 2,6
Bersama-sama darah yang datng dari atrium kanan, darah di ventrikel
kanan jumlahnya bertambah besar. Seluruh pembuluh darah arteri
pulmonalis beserta pembuluh darah di paru melebar. Hilus melebar. 2,6

38
Arteri pulmonalis menonjol. Aorta menjadi kecil, karena darah yang
seharusnya mengalir ke aorta, sebagian mengalir kembali ke ventrikel
kanan. Atrium kiri yang menampung darah dari vena pulmonalis yang
julahnya banyak, akan melebar dari biasa dan dapat mengalai dilatasi.
Ventrikel kiri otot-ototnya mengalami hipertrofi. Hipertrofi ini agak
sukar dilihat pada foto polos. Arah arus dari kiri ke kanan dapat berbalik
menjadi dari kanan ke kiri bila terjadi kelainan pada pembuluh darah
paru, yaitu pembuluh darah paru lumennya menjadi sempit terutama di
bagian perifer. Hal ini berakibat tekanan di arteri pulmonalis menjadi
tinggi. Tekanan di ventrikel kanan juga meninggi. Bila tekanan di
ventrikel kanan menjadi lebih tinggi dari pada tekanan di ventrikel kiri,
maka terjadilah pembalikan arah kebocoran menjadi R-L shunt.
Perubahan arah kebocoran ini menyebabkan penderita menjadi sianosis,
sesuai dengan gejala Eisenmenger.2,6

Gambar 2.24. Kardiomegali sedang dengan apeks ventrikel kiri


yang membesar hingga dinding toraks kiri. Pem

39
buluh darah paru meningkat simetris dengan arah
aliran yang ber bentuk konveks 3
4. Patent Ductus Arteriosus (PDA)
Pada kelainan congenital ini terdapat hubungan antara aorta dengan
arteri pulmonalis. Penghubungnya adalah duktus arteriosus Botali. Pada
kehidupan intrauterine, duktus itu berfungsi untuk sirkulasi darah dari
arteri pulmonalis ke aorta. Pada waktu lahir, duktus ini menutup. Bila
duktus ini besar, maka ia akan tetap merupakan hubungan antara aorta
dan arteri pulmonalis. Darah dari aorta akan mengalir arteri pulmonalis
(L-R shunt). Kelainan ini disebut PDA. Aorta asenden terisi normal
dengan darah dari ventrikel kiri. Caliber arkus tampak normal. Setelah
sampai duktus, sebagian darah mengalir ke arteri pulmonalis. Arteri
pulonalis dan cabang-cabangnya menjadi lebar, sedangkan aorta
desenden mengecil. Pembuluh darah paru melebar, hilus melebar, dan
pada fluoroskopi tamapak hilar dance. 2,6
Bila kemudian tetjadi penyempitan pembuluh darah paru bagian tepi,
maka tekanan di arteri pulmonalis akan meninggi. Keadaan ini akan
memungkinkan arah arus kebocoran berbalik menjadi R-L shunt, dari
arteri pulmonalis ke aorta. Pada saat itu pasien akan mengalami sianosis
atau mengalami sindrom Eissenmenger. 2,6

40
Gambar 2.25. Kardiomegali ringan dengan arteri pulmonalis utama
yang berbentuk konveks dan arkus aorta yang prominen
diatas MPA.3
5. Tetralogi Fallot
Pada tetralogi fallot terdapat 4 kelainan pokok, yaitu : 2,6
a) Hipertrofi ventrikel kanan
Ventrikel kanan mengalami dilatasi dan penebalan otot
(hipertrofi) yang dapat dilihat jelas pada foto lateral.
b) Semitransposisi letak aorta
Posisi aorta dapat dilihat dari posisi septum. Septum tampak
sebagai bayangan hitam antara ventrikel kanan - kiri.
Semitransposisi aorta (overriding aorta) akan tampak dari posisi
aorta yang pangkalnya sebagian berada di ventrikel kiri dan
sebagian berada di ventrikel kanan.
c) VSD dengan kebocoran kanan ke kiri
d) Stenosis pulmonal
Pada foto polos tampak paru yang radioluse dari biasanya.
Pembuluh darah paru berkurang dan pembuluh yang Nampak
mempunyai caliber kecil. Jantung membesar ke kiri dengan
pinggang jantung yang mendalam atau konkaf. Arkus aorta sering
Nampak di sebelah kanan kolumna vertebra. Akibat kelaianan ini,
sejak lahir bayi menjadi sianosis. 2,6

41
Gambar 2.26. Bentuk jantung seperti sepatu (boot shaped) dengan
ukuran yang normal. Pembuluh darah paru tampak
berkurang dan arkus aorta tampak prominen di
sebelah kiri.3

2. Computed Tomography
CT scan jantung biasanya tidak diperlukan dalam diagnosis rutin
dan manajemen gagal jantung kongestif. 9
Multichannel CT scan berguna dalam menggambarkan kelainan
bawaan dan katup, namun, ekokardiografi dan pencitraan resonansi
magnetik (MRI) dapat memberikan informasi yang sama tanpa
mengekspos pasien untuk radiasi pengion. 9

Gambar 2.27. Penebalan garis septum dalam kaitan dengan edema


interstitial pada CHF

42
Gambar 2.28. Pada CT Scan posisi axial menunjukan adanya diffu
se bilateralair space opacities (Adanya perselubungan
yang diffuse di air space bilateral)

3. Echocardiografi
Ekokardiografi dua dimensi dianjurkan sebagai bagian awal dari
evaluasi pasien dengan gagal jantung kongestif yang diketahui atau
diduga. Fungsi ventrikel dapat dievaluasi, dan kelainan katup primer
dan sekunder dapat dinilai secara akurat. Ekokardiografi Doppler
mungkin memainkan peran berharga dalam menentukan fungsi diastolik
dan dalam menegakkan diagnosis HF diastolik. 9
HF dalam hubungan dengan fungsi sistolik normal, tetapi relaksasi
diastolik normal mempengaruhi 30 - 40% dari pasien dengan CHF.
Karena terapi untuk kondisi ini jelas berbeda dari yang untuk disfungsi
sistolik, menetapkan etiologi dan diagnosis yang tepat sangat penting.
Kombinasi dari 2-dimensi dan ekokardiografi Doppler
echocardiography efektif untuk tujuan ini. 9
Dua dimensi dan Ekokardiografi Doppler dapat digunakan untuk
menentukan kinerja sistolik dan diastolik LV(ventrikel kiri), cardiac

43
output (fraksi ejeksi), dan tekanan arteri pulmonalis dan pengisian
ventrikel. Echocardiography juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi penyakit katup penting secara klinis.Tingkat
kepercayaan di echocardiography adalah tinggi, dan tingkat temuan
positif palsu dan negatif palsu yang rendah. 9

Gambar 2.29. Transthoracic echocardiograms: dua dimensi yaitu


dari apical (atas) dan Doppler (bawah) menunjukan
beratnya kalsifikasi stenosis dengan gradien aortic
yang mencapai lebih dari 70 mm Hg ( A = ventrikel
kiri , B = aortic valve,dan C = atrium kiri.)

44
4. Angiografi
Kateterisasi jantung dan angiografi koroner memiliki peran yang
berguna pada pasien dengan gagal jantung kongestif, orang-orang
dengan penyakit jantung katup, dan mereka dengan penyakit jantung
bawaan, serta pasien dengan kondisi lain.9
Untuk pasien dengan CHF, kateterisasi jantung dan angiografi
koroner secara jelas ditunjukkan dalam situasi berikut:
 CHF yang disebabkan disfungsi sistolik dalam hubungan dengan
kelainan gerak angina atau daerah dinding dan / atau bukti
scintigraphic iskemia miokard reversibel bila revaskularisasi
sedang dipertimbangkan
 Sebelum transplantasi jantung
 CHF Sekunder untuk aneurisma ventrikel pasca infark atau
komplikasi mekanis lainnya dari MI 9

5. Histopatologi
Rongga jantung yang melemah dilatasi dan biasanya juga
hipertrofi. Pada gagal jantung kiri, paru sembap dan terbendung;
irisan pada permukaan akan menyebabkan pengeluaran campuran
berbusa cairan kaya surfaktan dan darah. Secara mikroskopis, kapiler
alveolus mengalami kongesti. Terjadi transudasi cairan, mula-mula
terbatas di ruang interstitium perivaskuler sehingga septum alveolus
mengalami kongesti. Seiring dengan waktu, cairan tumpah ke dalam
alveolus (edema paru). Cairan edema rendah-protein berwarna merah
muda pucat apabila dilihat di bawah mikroskop. Apabila tekanan
vena paru terus meningkat, kapiler dapat menjadi berkelok-kelok dan
mungkin pecah sehingga timbul perdarahan kecil ke dalam ruang
alveolus. Makrofag alveolus memfagosit sel darah merah, dan

45
akhirnya penuh dengan hemosiderin. Makrofag berpigmen ini disebut
sel gagal jantung. Menetapnya edema septum dapat memicu fibrosis
di dinding alveolus yang bersama dengan penimbunan hemosiderin,
merupakan cirri dari kongesti vena kronis di paru. Oleh karena iu,
paru menjadi cokelat tua dan padat, suatu gambaran yang disebut
indurasi cokelat paru. 13
Gagal jantung kanan kronis menyebabkan kongesti visera
abdomen, edema jaringan lunak, dan, pada beberapa kasus, cairan di
rongga pleura, pericardium dan abdomen. Perubahan pada hati
mencakup kongesti pasif kronis, yang ditandai dengan atrofi
hepatosit di sekitar vena sentral sehingga muncul gambaran buah
pala pada permukaan potongan. Nekrosis hemoragik hepatosit
sentrilobulus sering terjadi pada kasus berat, terutama pada pasien
yang juga mengalami gagal jantun kiri. Pada gagal jantung kronis,
hati mungkin fibrotic dan, pada kasus yang ekstrem, jelas sirotik. 13

2.2.9 Diagnosis Banding


1. Pneumonia
Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem
pernapasan dimana alveoli (mikroskopik udara mengisi kantong dari
paru yang bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer)
menjadi radang sehingga menyebabkan penimbunan cairan.Pneumonia
disebabkan oleh berbagai macam sebab,meliputi infeksi karena
bakteri,virus,jamur atau parasit.Pneumonia juga dapat terjadi karena
bahan kimia atau kerusakan fisik dari paru - paru, atau secara tak
langsung dari penyakit lain seperti kanker paru atau penggunaan
alkohol. 21

46
Gejala khas yang berhubungan dengan pneumonia meliputi batuk,
nyeri dada, demam,dan sesak nafas.Alat diagnosanya meliputi sinar-x
dan pemeriksaan sputum.Pengobatan tergantung penyebab dari
pneumonia; pneumonia kerena bakteri diobati dengan
antibiotika.Pneumonia merupakan penyakit yang umumnya terjadi pada
semua kelompok umur, danmenunjukan penyebab kematian pada orang
tua dan orang dengan penyakitkronik.Tersedia vaksin tertentu untuk
pencegahan terhadap jenis pnuemonia.Prognosis suntuk tiap orang
berbeda tergantung dari jenis pneumonia, pengobatan yang tepat,ada
tidaknya komplikasi dan kesehatan orang tersebut. 21

47
Gambar 2.30 Foto Thorax yang menggambarkan adanya
perselubungan pada air space perihilus yang
berprogress cepat ke seluruh bagian lapangan
paru.

Gambar 2.31. Menunjukan adanya infiltrasi oleh bacterial


pneumonia pada lobus paru kanan atas ( lobus
superior kanan )

2. Non-cardiogenic pulmonary edema


Non-cardiogenic pulmonary edema umumnya dapat disebabkan oleh:
 Acute respiratory distress syndrome (ARDS), kondisi yang
berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,

48
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru,
merokok kokain, atau radiasi pada paru-paru. Pada ARDS,
integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada
alveoli yang bocor yang dapat dipenuhi dengan cairan dari
pembuluh-pembuluh darah.
 Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari
tubuh dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-
pembuluh darah, berakibat pada pulmonary edema. Pada orang-
orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis mungkin perlu
untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
 High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh
kenaikan yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000
feet.
 Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage),
seizure-seizure yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya
berakibat pada akumulasi cairan di paru-paru, menyebabkan
neurogenic pulmonary edema.
 Paru yang mengembang secara cepa adakalanya dapat
menyebabkan re-expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi
pada kasus-kasus ketika paru mengempis (pneumothorax) atau
jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion)
dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat
berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh
(unilateral pulmonary edema).
 overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada
pulmonary edema.

49
 Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis
dapat menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua,
yang mungkin menyebabkan pulmonary edema.
 Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic
pulmonary edema mungkin termasuk pulmonary embolism
(gumpalan darah yang telah berjalan ke paru-paru), luka paru akut
yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related acute
lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia
pada wanita-wanita hamil.

Gambar 2.32.Perbedaan antara cardiogenic dan noncardiogenic


edema.

50
Gambar A ( atas ) menunjukan foto thorax AP 51 tahun pria dengan infark
miokard akut anterior dan akut cardiogenic pulmonari edema.
Gambar B menunjukan foto thorax AP dari wanita usia 22 tahun yang
diidentifikasi dengan komplikasi antara pneumonia dan ARDS.Pada foto
ini menunjukan diffuse alveolar infiltrat dengan air bronchogram sign.

2.2.10 Penatalaksanaan
Gagal jantung ditangani dengan tindakan umum untuk mengurangi
beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama
fungsi miokardium, baik secara sendiri-sendiri ataupun gabungan dan: (1)
beban awal, (2) kontraktilitas, dan (3) beban akhir. Penanganan biasanya
dimulai bila timbul gejala saat beraktivitas biasa (NYHA kelas fungsional
II). Regimen penangangan secara progresif ditingkatkan sampai mencapai
respons klinis yang diinginkan. Eksaserbasi akut dan gagal jantung atau
perkembangan menuju gagal jantung berat dapat menjadi alasan untuk
perawatan di rumah sakit dan penanganan yang lebih agresif. 2,6
Terapi :

a. Non Farmakalogi :
- Anjuran umum :
 Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala
dengan pengobatan.
 Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar
dapat dilakukan seperti biasa. Sesuaikan
kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa
dilakukan.
 Gagal jantung berat harus menghindari
penerbangan panjang.
- Tindakan Umum :
 Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada
gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung

51
berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat
dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.
 Hentikan rokok
 Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30
g/hari pada yang lainnya.
 Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu
selama 20-30 menit atau sepeda statis 5
kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80%
denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan
dan sedang).
 Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan
eksaserbasi akut.9

b. Farmakologi
Terapi farmakologik terdiri atas ; panghambat ACE,
Antagonis Angiotensin II, diuretik, Antagonis aldosteron,
β-blocker, vasodilator lain, digoksin, obat inotropik lain,
anti-trombotik, dan anti-aritmia.9
a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung
membutuhkan paling sedikit diuretik reguler dosis
rendah. Permulaan dapat digunakan loop diuretik
atau tiazid. Bila respon tidak cukup baik, dosis
diuretik dapat dinaikkan, berikan diuretik intravena,
atau kombinasi loop diuretik dengan tiazid. Diuretik
hemat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50
mg/hari dapat mengurangi mortalitas pada pasien
dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas
fungsional IV) yang disebabkan gagal jantung
sistolik.

52
b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan
aktivitas neurohormonal, dan pada gagal jantung
yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri.
Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi
selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif.
c. Penyekat Beta bermanfaat sama seperti penghambat
ACE. Pemberian dimulai dosis kecil, kemudian
dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol
ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila
keadaan sudah stabil. Pada gagal jantung klas
fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan
carvedilol, bisoprolol atau metaprolol. Biasa
digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE
dan diuretik.
d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan
bila ada intoleransi terhadap ACE ihibitor.
e. Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan
gagal jantung disfungsi sistolik ventrikel kiri dan
terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan
bersama-sama diuretik, ACE inhibitor, beta blocker.
f. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan
untuk pencegahan emboli serebral pada penderita
dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang
buruk. Antikoagulan perlu diberikan pada fibrilasi
atrial kronis maupun dengan riwayat emboli,
trombosis dan Trancient Ischemic Attacks, trombus
intrakardiak dan aneurisma ventrikel.
g. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien
yang asimptomatik atau aritmia ventrikel yang
menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali

53
pada aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia
klas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk
terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk terapi
aritmia atrial dan tidak dapat digunakan untuk
mencegah kematian mendadak.
h. Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan
kalsium antagonis untuk mengobati angina atau
hipertensi pada gagal jantung.9

Pada penderita yang memerlukan perawatan,


restriksi cairan (1,5 – 2 l/hari) dan pembatasan asupan
garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka
pendek dapat membantu perbaikan gejala karena
mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi
ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada
penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan
diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium,
gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.
9

Penderita gagal jantung akut datang dengan


gambaran klinis dispneu, takikardia serta cemas,pada
kasus yang lebih berat penderita tampak pucat dan
hipotensi. Adanya trias hipotensi (tekanan darah sistolik
< 90 mmHg), oliguria serta cardiac output yang rendah
menunjukkan bahwa penderita dalam kondisi syok
kardiogenik. Gagal jantung akut yang berat serta syok
kardiogenik biasanya timbul pada infark miokard luas,
aritmia yang menetap (fibrilasi atrium maupun
ventrikel) atau adanya problem mekanis seperti ruptur

54
otot papilari akut maupun defek septum ventrikel pasca
infark.9
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi
emergensi dimana memerlukan penatalaksanaan yang
tepat termasuk mengetahui penyebab, perbaikan
hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan
perbaikan oksigenasi jaringan. Menempatkan penderita
dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan
pertama yang dapat dilakukan. Monitoring gejala serta
produksi kencing yang akurat dengan kateterisasi urin
serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus.
Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin
rendah menunjukkan adanya asidosis laktat akibat
metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang
buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki
asidosis,pemberian bikarbonat hanya diberikan pada
kasus yang refrakter. 9

Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid


akan menyebabkan venodilatasi yang akan
memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop
diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin
vasdilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin
inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga
harus dihindari bila memungkinkan.9
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin
penting dalam penatalaksanaan gagal jantung akut
berat karena dapat menurunkan kecemasan, nyeri dan

55
stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga
menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel
serta udem paru. Dosis pemberian 2 – 3 mg intravena
dan dapat diulang sesuai kebutuhan.9
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus)
mengurangi preload serta tekanan pengisian ventrikel
dan berguna untuk pasien dengan angina serta gagal
jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai
vasodilator vena dan pada dosis yang lebih tinggi
menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri
koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat
sehingga terjadi.keseimbangan antara dilatasi vena dan
arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan.
Kekurangannya adalah teleransi terutama pada
pemberian intravena dosis tinggi, sehingga
pemberiannya hanya 16 – 24 jam.9
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai
vasodilator yang diberikan pada gagal jantung refrakter,
diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis
hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal
ginjal berat dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5
μg/kg/menit.9
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang
merupakan vasodilator. Nesiritide adalah BNP
rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan
ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki
hemodinamik dan neurohormonal, dapat menurunkan
aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar

56
epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma.
Pemberian intravena menurunkan tekanan pengisian
ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung,
meningkatkan stroke volume karena berkurangnya
afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg
dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01
μg/kg/menit. 9
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada
gagal jantung akut yang disertai hipotensi dan
hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau vasodilator
digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan
tekanan darah 85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik <
85 mmHg maka inotropik dan/atau vasopressor
merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang
berlebihan akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan
darah dianggap cukup memenuhi perfusi jaringan bila
tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.9
Pemberian dopamin 2 μg/kg/mnt menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah splanknik dan ginjal. Pada
dosis 2 – 5 μg/kg/mnt akan merangsang reseptor
adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan
curah jantung. Pada pemberian 5 – 15 μg/kg/mnt akan
merangsang reseptor adrenergik alfa dan beta yang
akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi.
Pemberian dopamin akan merangsang reseptor
adrenergik 1 dan 2, menyebabkan berkurangnya
tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan
meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3

57
μg/kg/mnt, untuk meningkatkan curah jantung
diperlukan dosis 2,5 – 15 μg/kg/mnt. Pada pasien yang
telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang
dibutuhkan lebih tinggi yaitu 15 – 20 μg/kg/mnt.9
Phospodiesterase inhibitor menghambat penguraian
cyclic-AMP menjadi AMP sehingga terjadi efek
vasodilatasi perifer dan inotropik jantung. Yang sering
digunakan dalam klinik adalah milrinone dan
enoximone. Biasanya digunakan untuk terapi penderia
gagal jantung akut dengan hipotensi yang telah
mendapat terapi penyekat beta yang memerlukan
inotropik positif. Dosis milrinone intravena 25 μg/kg
bolus 10 – 20 menit kemudian infus 0,375 – 075
μg/kg/mnt. Dosis enoximone 0,25– 0,75 μg/kg bolus
kemudian 1,25 – 7,5 μg/kg/mnt.9
Pemberian vasopressor ditujukan pada penderita
gagal jantung akut yang disertai syok kardiogenik
dengan tekanan darah < 70 mmHg. Penderita dengan
syok kardiogenik biasanya dengan tekanan darah < 90
mmHg atau terjadi penurunan tekanan darah sistolik 30
mmHg selama 30 menit.Obat yang biasa digunakan
adalah epinefrin dan norepinefrin. Epinefrin diberikan
infus kontinyu dengan dosis 0,05 – 0,5 μg/kg/mnt.
Norepinefrin diberikan dengan dosis 0,2 – 1 μg/kg/mnt.9
Penanganan yang lain adalah terapi penyakit
penyerta yang menyebabkan terjadinya gagal jantung
akut de novo atau dekompensasi. Yang tersering adalah
penyakit jantung koroner dan sindrom koroner akut. Bila

58
penderita datang dengan hipertensi emergensi
pengobatan bertujuan untuk menurunkan preload dan
afterload. Tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat seperti lood diuretik intravena,
nitrat atau nitroprusside intravena maupun natagonis
kalsium intravena(nicardipine). Loop diuretik diberkan
pada penderita dengan tanda kelebihan cairan. Terapi
nitrat untuk menurunkan preload dan afterload,
meningkatkan aliran darah koroner. Nicardipine
diberikan pada penderita dengan disfungsi diastolik
dengan afterload tinggi. Penderita dengan gagal
ginjal,diterapi sesuai penyakit dasar. Aritmia
jantungharus diterapi.9
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah
Pompa balon intra aorta, pemasangan pacu jantung,
implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist
device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada
penderita gagal jantung berat atau syok kardiogenik
yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan,
disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum
interventrikel. Pemasangan pacu jantung bertujuan
untuk mempertahankan laju jantung dan
mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel,
diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi.
Implantable cardioverter device bertujuan untuk
mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel.
Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang

59
mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada
penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon
terhadap terapi terutama inotropik.9

2.2.11 Prognosis

Meskipun penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung telah


sangat berkembang, tetapi prognosisnya masih tetap jelek, dimana
angka mortalitas setahun bervariasi dari 5% pada pasien stabil dengan
gejala ringan, sampai 30-50% pada pasien dengan gejala berat dan
progresif. Prognosisnya lebih buruk jika disertai dengan disfungsi
ventrikel kiri berat (fraksi ejeksi< 20%), gejala menonjol, dan
kapasitas latihan sangat terbatas (konsumsi oksigen maksimal < 10
ml/kg/menit), insufisiensi ginjal sekunder, hiponatremia, dan
katekolamin plasma yang meningkat. Sekitar 40-50% kematian akibat
gagal jantung adalah mendadak. Meskipun beberapa kematian ini
akibat aritmia ventrikuler, beberapa diantaranya merupakan akibat
infark miokard akut atau bradiaritmia yang tidak terdiagnosis.
Kematian lainnya adalah akibat gagal jantung progresif atau penyakit
lainnya. Pasien-pasien yang mengalami gagal jantung stadium lanjut
dapat menderita dispnea dan memerlukan bantuan terapi paliatif yang
sangat cermat.10

60
Gambar 2.33. Pilihan terapi pada Gagal jantung 2

DAFTAR PUSTAKA

61
1. Cremers, Simon., Bradshaw, Jennifer., Herfkens, Freek. 2010. Chest X Ray-Heart
Failure. The Radiology Assistant. Publication date : 1-9-2010
2. Kumar, Cotran, Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7 Volume 2. Jakarta :
EGC
3. Lorraine B. Ware, M.D., and Michael A. Matthay, M.D.Acute Pulmonary
Edema.http://www.nejm.org/
4. Meschan, Isadore. 1987. Roentgen Sign in Diagnostic Imaging, Volume 4 The
Chest. Philadelphia : Saunders Company
5. Rasad, Sjahriar. 2010. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI
6. Wilson, Sylvia A. Price dan Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta : EGC
7. Harbanu,H.Mariono,SantosoAnwar.Gagaljantung.Denpasar::
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/91088596.pdf.
8. .Michael S Figueroa MD,Jay I Peters.Congestive heart failure in Respiratory
care.April Vol 51 No 4.hal 403 - 411

9. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC Guidelines for the diagnosis


and treatment of acute and chronic heart failure 2008: the Task Force for the
Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008 of the
European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2008;29:2388–2442.

10. Panggabean MM, Manurung D, Ghanie A. Buku ajar ilmu penyakit dalam.edisi 2.
Jakarta: Interna publishing; 2009. h. 1583-97.

62

Anda mungkin juga menyukai