Anda di halaman 1dari 23

TREND DAN ISU KEPERAWATAN PALIATIF DI BERBAGAI NEGARA

Disusun Oleh
Kelompok 8 B
Josua F Sirait (032017067)
Agustina Manik (032017070)
Elvi Miranda Gultom (032017077)
Bunga A Siregar (032016006)
(Sr. Yoseline KSSY)

Dosen : Friska Handayani Ginting S.Kep.,Ns.,M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTA ELISABETH


MEDAN
TAHUN AJARAN 2019/2020
PROGRAM STUDY NERS TAHAP AKADEMIK

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karuia-Nya, sehingga penulisan makalah ini dapat menyelesaikan makalah ini dengan
”TREND DAN ISSU KEPERAWATAN PALIATIF”. Penulis menyadari, bahwa penulisan
makalah ini dapat diselesaikan dengan baik karena bantuan, bimbingan serta arahan dari dosen
pembimbing ibu Frisaka Ginting.S.Kep.,Ns.,M.Kep
Dan penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman memberikan
dukungaan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak memiliki kelemahan dan
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.

Medan,15 Agustus 2019

Kelompok 8B

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....
BAB I PENDAHULUAN
1.1 latar Belakang .........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................2
1.3 Tujun .......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Defnisi dari trend dan isu keperawatan paliatif ......................................................3
2.2 konsep paliatif dan p erkembangannya di Indonesia 4
2.3 Jenis penyakit yang termasuk dalam perawatan paliatif 5
2.4 Masalah Keperawatan Pada Pasien Paliatif ..........................................................6
2.5 Trend dan isu keperawatan paliatif care di berbagai negara ...................................8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Meningkatnya jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik
pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru
obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/heart failure, penyakit
genetika dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS yang memerlukan perawatan paliatif,
disamping kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Namun saat ini,
pelayanan kesehatan di Indonesia belum menyentuh kebutuhan pasien dengan penyakit
yang sulit disembuhkan tersebut, terutama pada stadium lanjut dan akhir dimana prioritas
pelayanan tidak hanya pada penyembuhan tetapi juga perawatan agar mencapai kualitas
hidup yang terbaik bagi pasien dan keluarganya ( Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:
812/Menkes/SK/VII/2007).
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup
pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit
yangmengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui
identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah
lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual. (World Health Organization (WHO)
2016).
Berdasarkan prevalensi di Kota Gorontalo menunjukan bahwa jumlah pasien yang
mengalami penyakit yang tidak dapat lagi disembuhkan dalam 1 tahun terakhir mengalami
peningkatan, mulai dari penyakit kanker 2,1%, stroke 10,8%, HIV/AIDS 60%, dan
penyakit ginjal kronis 4.0% (Riskesdas, 2018).
Berdasarkan prevalensi WHO tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 29 miliar kasus
paliatif sebanyak 20,4 miliar kasus membutuhkan pelayanan paliatif. Menurut profil WHO
tahun 2011 menyebutkan bahwa tingkat kematian di Indonesia mencapai 1.064.000
(Kementrian Kesehatan RI, 2012). Jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat
disembuhkan baik pada dewasa dan anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif,
penyakit paru obstruksi kronis, gagal jantung/heart failure, penyakit genetika, stroke, dan
penyakit infeksi seperti HIV/AIDS terus meningkat setiap tahunnya (KEPMENKES RI

4
NOMOR: 812, 2007). Pasien tersebut memerlukan perawatan paliatif, di samping kegiatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa defnisi dari trend dan isu keperawatan paliatif?
b. Bagaimana konsep paliatif dan perkembangannya di Indonesia?
c. Apa jenis penyakit yang termasuk dalam perawatan paliatif?
d. Bagaimana masalah Keperawatan Pada Pasien Paliatif ?
e. Apa trend dan isu keperawatan paliatif care di berbagai negara?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui apa defnisi dari trend dan isu keperawatan paliatif
b. Unutk mengetahui bagaimana konsep paliatif dan perkembangannya di Indonesia
c. Unutk mengetahui apa jenis penyakit yang termasuk dalam perawatan paliatif
d. Untuk mengetahui bagaimana masalah Keperawatan Pada Pasien Paliatif
e. Untuk mengetahui apa trend dan isu keperawatan paliatif care di berbagai negara

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Trend Dan Isu Keperawatan Paliatif


a. Trend dan isu menurut KBBI.
Trend adalah sesuatu hal yang sedang di bicarakan oleh banyak orang saat ini dan
kejadiannya berdasarkan fakta dan biasanya sedang popular di kalangan masyarakat.
Issue adalah suatu peristiwa atau kejadian yang dapat diperkirakan terjadi atau
tidak terjadi pada masa mendatang atau sesuatu hal yang sedang dibicarakan oleh banyak
orang namun belum jelas faktannya atau buktinya.
b. Definisi keperawatan paliatif
Paliative care is an approach that improves the quality of life of patients and their
families facing the problem associated with life-threathing illness,through the prevention
and relief of suffering by means of early identification and impeccable assessment and
treatment of pain and other problems,physical,psychosocial and spiritual. (World Health
Organization)
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup
pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan melalui identifikasi dini dan
penilaian yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial
dan spiritual.
Kualitas hidup pasien adalah keadaan pasien yang dipersepsikan terhadap keadaan
pasien sesuai konteks budaya dan sistem nilai yang dianutnya, termasuk tujuan hidup,
harapan, dan niatnya. Dimensi dari kualitas hidup menurut Jennifer J. Clinch, Deborah
Dudgeeon dan Harvey Schipper (1999) adalah :
1. Gejala dan Fungsi dalam bekerja
2. Kemampuan fungsional (aktivitas)
3. Kesejahteraan keluarga
4. Spiritual
5. Fungsi sosial
6. Kepuasan terhadap pengobatan (termasuk masalah keuangan)

6
7. Orientasi masa depan
8. Kehidupan seksual, termasuk gambaran terhadap diri sendiri

2.2 konsep paliatif dan perkembangannya di Indonesia


Perawatan paliatif adalah bentuk pelayanan yang bertujuan memperbaiki kualitas
hidup pasien dan keluarga dari penyakit yang dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan
dan peniadaan dengan cara identifikasi dini, penilaian yang tertib, penanganan nyeri dan
masalah-masalah lain yaitu fisik, psikososial dan spiritual.
perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan memperbaiki kualitas hidup
pasien dan keluarga yang menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang
dapat mengancam jiwa, melalui pencegahan dan peniadaan identifikasi dini dan penilaian
yang tertib serta penanganan nyeri dan masalah-masalah lain, fisik, psikososial dan
spiritual (KEMENKES RI NOMOR: 8122,2007)
Rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan perawatan paliat di Indonesia
masih terbatas 5 ibu kota provinsi yaitu Jakarta, Yogiakarta, Surabaya, Denpasar, dan
Makassar. Ditinjau dari besarnya kebutuhan dari pasien jumlah dokter yang mampu
memberikan pelayanan perawatan paliatif juga masih terbatas. Keadaan sarana pelayanan
perawatan paliatif di Indonesia masih belum merata sedangkan pasien memiliki hak untuk
mendapatkan pelayanan yang bermutu, komprehensif dan holistic, maka diperlukan
kebijakan perawatan paliatif di Indonesia yang member arah bagi sarana pelayanan
kesehatan untuk menyelenggarakan pelayanan perawatan paliatif (KEMENKES RI
NOMOR: 8122,2007).
Pelayanan perawatan perawatan paliatif untuk pasien dengan HIV di Indonesia
kurang berkembang. Padahal, pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan kebijakan untuk
mengintegrasikan pelayanan perawatan paliatif kedalam pelayanan komprehensif
HIV/AIDS sejak tahun 2011. Sampai tahun 2016, perawatan paliatif di rumah sakit masih
berfokus untuk pasien kanker (Depkes, 2016).
Apalagi kebijakan untuk paliatif care telah dicanangkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Nomor
604/MENKES/SK/IX/1989, dan telah lebih jelas lagi dengan terbitnya Surat Keputusan

7
Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 812/MenKes/SK/VII/2007 dengan
penjelasannya yang terdapat di dalam lapiran surat keputusan tersebut.
Adapun prinsip dari perawatan paliatif care menurut ferrel & coyle, 2007) yaitu:
a. menghormati atau menghargai martabat dan harga diri pasien dan keluarga pasien,
b. dukung untuk caregiver,
c. paliatif care merupakan akses yang competen dan compassionet,
d. mengembangakan professional dan social support untuk pediatrik paliatif care,
e. melanjutkan serta mengembangkan pediatric care malalui penelitian dan pendidikan.
Perawatan paliatif sangat dibutuhkan oleh pasien yang mengalami penyakit yang
tidak dapat disembuhkan lagi. Perawatan paliatif sesuai untuk semua pasien dengan
diagnosis kondisi yang mengancam nyawa. Layanan perawatan paliatif paling efektif
ketika diintegrasikan ke dalam layanan perawatan yang spesifik seperti:
a. rumah sakit,
b. perawatan rumah,
c. bantuan hidup,
d. panti jompo, dan sebagainya
Hal ini membutuhkan pelatihan dasar perawatan paliatif untuk praktisi di segala
bidang dalam layanan primer, seperti dengan membuat pola rujukan dan akses untuk
perawatan spesialis paliatif dan tim perawatan paliatif formal (Champbell, dkk, 2014).

2.3 Jenis penyakit yang termasuk dalam perawatan paliatif


Penyakit kardiovaskular dengan prevalensi a38,5%, kanker 34%, penyakit pernapasan
kronis 10,3%, HIV/AIDS 5,7%, diabetes 4,6% dan memerlukan perawatan paliatif sekitar
40-60%. Pada tahun 2012 terdapat 29 juta orang meninggalkan dikarenakan penyakit yang
membutuhkan perawat paliatif. Kebanyakan orang yang membutuhkan perawatan paliati
berada pada kelompok dewasa 60% dengan usia lebih dari 60 tahun, dewasa (usia 15-59
tahun) 25%, pada usia 0—14 tahun yaitu 6 % (Baxter, et al, 2014).
Berdasarkan prevalensi di Kota Gorontalo menunjukan bahwa jumlah pasien yang
mengalami penyakit yang tidak dapat lagi disembuhkan dalam 1 tahun terakhir mengalami
peningkatan, mulai dari penyakit kanker 2,1%, stroke 10,8%, HIV/AIDS 60%, dan

8
penyakit ginjal kronis 4.0% (Riskesdas, 2018). Sehingga perlu sekali adanya perawatan
paliatif.
Prevalensi penyakit paliatif di dunia berdasarkan kasus tertinggi yaitu Benua Pasifik
Barat 29%, diikuti Eropa dan Asia Tenggara masing-masing 22% (WHO,2014). Benua
Asia terdiri dari Asia Barat, Asia Selatan, Asia Tengah, Asia Timur dan Asia
Tenggara.Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam benua Asia
Tenggara dengan kata lain bahwa Indonesia termasuk dalam Negara yang membutuhkan
perawatan paliatif.
Jumlah pasien dengan penyakit yang belum dapat disembuhkan baik pada dewasa dan
anak seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruksi kronis, gagal
jantung/heart failure, penyakit genetika, stroke, dan penyakit infeksi seperti HIV/AIDS
terus meningkat setiap tahunnya (KEPMENKES RI NOMOR: 812, 2007). Pasien tersebut
memerlukan perawatan paliatif, di samping kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.

2.4 Masalah Keperawatan Pada Pasien Paliatif


Sesuai dengan Kepmenkes (2013), Perawatan paliatif diperlukan karena: Setiap
orang berhak dirawat dan mati secara bermartabat, menghilangkan nyeri: fisik,
emosional, spiritual dan sosial adalah hak asasi manusia, perawatan paliatif adalah
kebutuhan mendesak seluruh dunia untuk orang yang hidup dengan penyakit terminal
lanjutan. Permasalahan yang muncul pada pasien yang menerima perawatan paliatif
dilihat dari persepktif keperawatan meliputi masalah psikologi, masalah hubungan sosial,
konsep diri, masalah dukungan keluarga serta masalah pada aspek spiritual atau
keagamaan (Campbell, 2013).
a. Masalah fisik
Nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak menyenangkan
yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secara tiba-tiba dari
intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan diprediksi. Masalah nyeri
dapat ditegakkan apabiladata subjektif dan objektif dari pasien memenuhi minimal
tiga kriteria (NANDA, 2015).

9
b. Masalah psikososial
Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif adalah kecemasan.
Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa penyakit yang membuat
pasien takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi pasien maupun keluarga
(Misgiyanto & Susilawati, 2014).
NANDA (2015) menyatakan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak nyaman
atau kekhawatiran yang diseratai oleh respon otonom, perasaan takut yang
disebabkan olehantisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan tanda waspada yang
member tanda individu akan adanya bahaya dan mampukah individu tersebut
mengatasinya.
c. Masalah Spiritual
Faktor yang memengaruhi kesehatan spiritual seseorang adalah pertimbangan
tahap perkembangan, keluarga, latar belakang etnik dan budaya, agama dan
pengalaman hidup sebelumnya (Taylor, Lillis, LeMone P & Lynn, 2011).
Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan
mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik,
literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya (Hamid, 2008).Definisi lain
mengatakan bahwa distres spiritual adalah gangguan dalam prinsip hidup yang
meliputi seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis dan psikososial
(Keliat dkk, 2011).
d. Masalah Sosial
Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya ketidak normalan kondisi
hubungan social pasien dengan orang yang ada disekitar pasien baik itu keluarga
maupun rekan kerja (Misgiyanto & Susilawati, 2014).Isolasi sosial adalah suatu
keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap
yang negatif dan mengancam ( Twondsend, 1998 ). Atau suatu keadaan dimana
seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu
berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak
diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Kelliat, 2006 ).

10
2.5 Trend dan isu keperawatan paliatif di berbagai negara
a. Indonesia
1) Home Hospital
Dominasi penyakit pada pasien di Indonesia mulai bergeser dari penyakit akut
menjadi penyakit kronis. Perawatan jarak jauh (home hospital) merupakan tren pada
anak dengan penyakit kronis yang membutuhkan perawatan kontiniu dalam waktu
yang lama. Jurnal ini juga menggali potensi penerapan sistem mobile–health di
Indonesia. Mobile–health merupakan aplikasi yang menawarkan integrasi berbagai
fungsi perawatan melalui penggunaan telepon pintar. Beberapa negara percontohan
seperti Amerika Serikat, Swedia, dan Jepang telah membuktikan kontribusi mobile–
health dalam meningkatkan kualitas pelayanan. Indonesia sejauh ini belum
melakukan pengembangan mobile – health di berbagai layanan kesehatan.
Penggunaan telepon pintar di Indonesia telah meluas untuk berbagai
tujuan,sehingga aplikasi mobile – health untuk pelayanan keperawatan anak sangat
mungkin dan mudah diterapkan.
Indonesia merupakan salah satu negera yang memiliki pola peningkatan
angka kematian dan kesakitan akibat dari penyakit kronis (Muhammad, 2016).
Tahap lanjutan pada penyakit ini dapat mengakibatkan anak sering keluar masuk
rumah sakit dan membutuhkan perawatan jangka panjang. Anak dan orang tua
akan mengalami stres berkepanjangan, tekanan psikologis dan finansial sebagai
akibat dari hospitalisasi yang berkepanjangan (Theofanidis, 2008). Oleh karena
itu, diperlukan sebuah metode perawatan yang dapat mengurangi efek tersebut.
Salah satu metode yang ditawarkan adalah Hospital to Home yang menawarkan
konsep pemindahan rumah sakit kedalam rumah (Bond, Hacking, Milosevic, &
Zander, 2013).
Penawaran jenis perawatan yang diberikan pada Hospital to Home sesuai
dengan masalah klien. Misal diantaranya perawatan luka, perawatan pemenuhan
kebutuhan nutrisi enteral dan parenteral, hingga termasuk diantaranya yaitu
pemberian obat-obat dengan pengawasan ketat, pemberian cairan intra vena,
terapi oksigen, hingga operasi elektif (misal oprasi seksio sesaria pada ibu
bersalin). Hospital to Home tetap melakukan koordinasi dengan rumah sakit

11
sebagai induk perawatan, sehingga diperlukan alat komunikasi yang berbasis
teknologi informasi (Kristjánsdóttir, et al., 2013). Penerapan mobile-health
melibatkan penggunaan internet, gadget (telepon pintar), e-mail, dan halaman web
sebagai database. Salah satu aplikasi yang bisa digunakan adalah carewatch©.
Pengkajian dapat dilakukan secara langsung dan memasukan data hasil
pengkajian kedalam aplikasi mobile-health yang telah dipasang pada gadget.
Anak dan keluarga juga bisa memasukkan data misalnya skala nyeri yang dialami
saat ini. Diagnosis dan intervensi bisa ditetapkan dan disampaikan kepada
keluarga melalui halaman web yang telah terintegrasi dengan telepon pintar yang
ada di tangan keluarga pasien. Hasil pemeriksaan penunjang seperti hasil
pemeriksaan laboratorium rutin dapat dikirim melalui email, sehingga keluarga
tidak menjalani antrian panjang untuk mendapatkan hasil laboratorium tersebut.
Penggunaan mobile-health akan memudahkan semua pihak. Perawat akan
dimudahkan dalam membuat rancana asuhan keperawatan karena semua data
telah tersusun rapi dan lengkap. Pengkolaborasian rencana perawatan dapat
dilakukan dengan segera melalui halaman berbasis web yang bisa setiap saat
diakses oleh tenaga kesehatan lain tanpa harus bertatap muka. Keamanan data
juga dijamin melalui pemberian password akun baik untuk keluarga maupun
tenaga kesehatan (Heijden, Lucas, Lijnse, Heijdra, & Schermer, 2013).
Pengembangan Mobile – Health untuk Perawatan Klien dengan Penyakit
Kronis mulai berkembang luas di Amerika Serikat, Australia, dan beberapa
negera di Uni Eropa.
Do- it-yourself healthcare merupakan contoh aplikasi mobile–health yang
dikembangkan untuk memonitor kesehatan klien, dan pemberian promosi
kesehatan di komunitas. Melalui aplikasi do- it-yourself healthcare klien dapat
mengontrol, memprogram, dan melakukan perawatan mandiri dengan
pengawasan tim kesehatan.

12
Do- it-yourself healthcare memberikan tiga keuntungan diantaranya;
a) klien dapat berinteraksi dengan tim pelayanan kesehatan dengan biaya yang
lebih murah,
b) kualitas pelayanan yang lebih baik,
c) Jangkauan yang lebih luas karena pelayanan tidak lagi dibatasi jarak dan
waktu (Carrera & Dalton, 2014).
Isu-isu hambatan implementasi mobile-health seperti masalah etik
(keamanan dan kerahasiaan data, tingkat validitas informasi, dan sikap caring
perawat-klien) (Ahmed, et al., 2013), perbedaan infrastruktur kota besar dengan
pedesaan (Bond, Hacking, Milosevic, & Zander, 2013), minimnya dukungan
pemerintah sebagai pengambil kebijakan (Sheridan, 2012).
Mobile–health dapat diaplikasikan di Indonesia khususnya di area
keperawatan dengan penyakit kronis pada setting home hospital. Penerapan
program mobil–health lebih mudah dibanding dengan eHealth karena mobil
health menggunakan telepon pintar yang telah beredar luas di masyarakat
Indonesia sehingga penyedia layanan keperawatan tidak perlu membeli perangkat
khusus untuk menggunakan mobil–health. Masyarakat juga telah terpapar dengan
penggunaan telepon pintar sebagai alat multifungsi, sehingga baik perawat, klien,
dan tenaga kesehatan lain akan lebih mudah dalam proses adaptasi.
Penggunaan mobil–health dapat meningkatkan kualitas pelayanan home hospital
di berbagai kontinum perawatan, sehingga penggunaan mobile–health dalam
pelayanan keperawatan dengan penyakit kronis dengan seting home hospital patut
dipertimbangkan.
( Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 20 No.1, Maret 2017, hal 1-8)

2) Self-Selected Individual Music Therapy (SeLIMuT)


Saat ini, terapi musik merupakan bagian dari terapi komplementer pada
perawatan kanker yang berdampingan dengan terapi medis. Terapi musik
memiliki kelebihan sebagai intervensi yang dapat diterapkan secara sederhana,
noninvasif, perangsang relaksasi nonfarmakologis yang aman, murah,efektif
khususnya sebagai terapi komplementer pasien kanker paliatif dengan nyeri.

13
Terapi SeLIMuT adalah prosedur pemberian terapi musik yang mudah, murah,
dan efektif dengan mendengarkan jenis musik slow tempo stabil, level suara
rendah dan soft dynamic,serta tekstur konsisten (kombinasi suara dan
instrumental).
Terapi ini diberikan selama 15−20 menit dan memberikan kebebasan
pasien untuk memilih musik yang disukai dan dikombinasikan dengan napas
dalam. Intervensi SeLIMuT diberikan sebagai terapi komplementer setelah
responden minum obat analgesik sesuai dengan dosis dokter, kira-kira 1−2 jam
setelah jam terapi farmakologi. Setiap sesi terapi berlangsung selama 15−20
menit. Sebelum dan sesudah terapi, dilakukan pengukuran nyeri dan napas dalam
selama 1 menit.
SeLIMuT berperan dalam menurunkan nyeri dengan cara memengaruhi
hipofisis otak untuk melepaskan endorfin. Musik yang didengarkan akan masuk
melalui telinga, kemudian akan menggetarkan gendang telinga dan mengguncang
cairan yang ada di telinga bagian dalam. Musik juga menggetarkan sel-sel
berambut di dalam koklea, kemudian melalui saraf koklearis getaran tersebut
menuju ke otak dan memengaruhi hipofisis untuk melepaskan endorphin.
Mendengarkan musik yang disukai juga berpengaruh terhadap sistem limbik dan
saraf otonom. Pada sistem limbik, musik dapat membangkitkan respons
psikofisiologi melalui pengaruh pitch dan ritme musik. Musik juga menstimulasi
sistem neurohormonal dan pelepasan endorphin yang bereaksi pada reseptor
spesifik di otak untuk mengubah emosi, mood , dan fisiologi. Adanya respons
psikofisiologi ini juga dapat berpengaruh terhadap persepsi dan respons pasien
terhadap nyeri yang dirasakan.
Pengaruh SeLIMuT di saraf otonom dapat membantu menurunkan
aktivitas sistem saraf otonom yang berlebih. SeLIMuT menciptakan suasana
rileks, aman, dan menyenangkan sehingga merangsang pusat rasa ganjaran
(sistem analgesia) dan merangsang pelepasan substrat kimia seperti gamma amino
butyric acid (GABA), enkephalin, dan β endorfin yang dapat mengeliminasi
neurotransmitter rasa nyeri. Jenis musik SeLIMuT juga memengaruhi penurunan
nyeri pada responden kelompok intervensi.

14
Jenis musik yang digunakan pada terapi ini terdiri dari jenis musik pilihan
yang terlebih dahulu dipilih oleh peneliti sesuai dengan kriteria musik yang
relaxing dan meditative. Musik yang dipilih juga harus memberikan ketenangan
bagi pasien, misalnya musik-musik yang berirama rohani agar pasien merasa
dekat dengan Tuhan sehingga hal tersebut mampu mengurangi tingkat nyeri
maupun stres yang dihadapi, musik yang lembut (dengan pitch dan volume
terkontrol), familiar, aman, efektif, dan disukai oleh pasien.3 Responden dapat
memilih musik yang disukai dalam buku menu SeLIMuT yang telah disediakan
oleh peneliti. Ada bermacam-macam jenis musik yang dapat dipilih pasien, mulai
dari jenis musik pop, klasik, keroncong, campursari, religi, dangdut, hingga jazz.
Jenis musik perlu diperhatikan karena menurut penelitian Huron musik heavy
metal, hard rock atau trash dapat meningkatkan kadar testosteron sehingga akan
meningkatkan sikap agresif, konflik, dan konfrontasi.
Penelitian baru-baru ini juga menyatakan bahwa pemilihan musik yang
akan digunakan untuk terapi terlebih dahulu dipilih oleh peneliti. Selanjutnya,
peneliti akan menawarkan musik yang telah diseleksi kepada pasien agar mereka
dapat memilih sesuai dengan kesukaan. Tempo dan mode musik juga
memengaruhi kondisi emosional responden. Penelitian menyebutkan bahwa
tempo musik yang lebih cepat dapat meningkatkan pernapasan, tekanan darah,
dan denyut jantung. Fluktuasi tempo dan tinggi rendahnya nada memengaruhi
stimulus gelombang alfa di otak yang dapat memberikan ketenangan dan
kenyamanan. Terapi musik yang diberikan bersamaan dengan napas dalam dapat
meningkatkan relaksasi.
Kondisi relaks dapat meminimalkan aktivitas sistem saraf simpatis yang
ditandai dengan penurunan permintaan oksigen, memperlambat nadi dan
pernapasan, serta menurunkan tekanan darah. Relaksasi dapat mengeliminasi
stresor fisik maupun emosional sehingga pasien akan merasa nyaman. Penelitian
Kwekkeboom et al., menunjukkan bahwa metode relaksasi dengan napas dalam
secara signifikan menurunkan nyeri kronik yang dialami pasien kanker. Kegiatan
berdoa yang dilakukan sebelum dan sesudah terapi dapat memberikan sugesti
positif kepada responden. Penelitian mengindikasikan bahwa berdoa dapat

15
menimbulkan respons fisiologi seperti penurunan nadi dan tekanan darah. Selain
itu, juga dapat menurunkan nyeri dan stres.
Saat mendapatkan SeLIMuT, responden berbaring di tempat tidur dan
sebagian besar dari mereka memejamkan mata. Saat mata dipejamkan, pasien
akan terbawa dalam dunia imajinasi dan lebih menikmati musik yang mereka
dengarkan. Beberapa responden ikut menyanyikan lagu yang didengarkan dan
beberapa dari mereka juga ada yang menggerak-gerakkan anggota tubuh seperti
kepala, tangan atau kaki saat mendengarkan SeLIMuT. Respons tersebut dapat
membantu mengalihkan persepsi mereka terhadap nyeri yang dialami. Ada juga
responden yang diam menikmati terapi hingga tertidur. Bahkan, ada satu
responden yang sampai meneteskan air mata setelah terapi selesai. Hal ini
disebabkan oleh harmoni, irama, dan dinamika musik memiliki keterlibatan
emosional dengan responden.
Musik memang memiliki efek sebagai distraction, relaxation, familiarity,
dan endorphin release. Efek distraction karena pasien dapat mengalihkan
perhatian pada hal lain dan perhatiannya tidak terpusat pada rasa nyerinya. Efek
relaxation dapat memberikan efek menenangkan. Efek familiarity pasien dapat
merasa lebih nyaman. Efek endorphin release dapat merangsang otak
mensekresikan hormon endorphin.
(Indonesian Journal of Cancer Vol. 9, No. 4 October - December 2015)

3) Spiritual Emotional Freedom Technique (Seft) Menurunkan Stres Pasien Kanker


SEFT merupakan perpaduan teknik yang menggunakan energi psikologis
dan kekuatan spiritual serta doa untuk mengatasi emosi negatif. SEFT langsung
berurusan dengan “gangguan sistem energi tubuh” untuk menghilangkan emosi
negatif dengan menyelaraskan kembali sistem energi tubuh. SEFT efektif mengatasi
stres karena didalamnya terdapat beberapa teknik terapi yang terangkum dan
dipraktikkan secara sederhana, terapi tersebut meliputi doa, NLP (Neuro Linguistic
Programming), hypnotherapy, visualisasi, meditasi, relaksasi, imagery dan
desensitisasi (Zainudin, 2008).

16
Langkah pertama adalah The Set-up. Responden dibimbing untuk
mengucapkan kalimat “Ya Allah/Tuhan meskipun saya …….. (keluhan atau
perasaan negatif pasien), saya ikhlas menerima perasaan saya ini, saya pasrahkan
padaMu ketenangan batin saya” dengan penuh khusuk, ikhlas dan pasrah sebanyak
3 kali, sambil menekan dada kiri (titik yang dirasa nyeri) atau daerah “sore spot”
atau dapat dilakukan dengan mengetuk ringan dengan dua jari pada bagian “karate
chop”. The Set Up bertujuan untuk memastikan aliran energi tubuh terarah dengan
tepat dan untuk menetralisir emosi negatif yang timbul karena menderita kanker
serviks.
Langkah kedua adalah The Tune-in. Responden diarahkan memikirkan
sesuatu atau peristiwa spesifi k yang dapat membangkitkan emosi negatif (gejala
stres) yang ingin dihilangkan, bersamaan dengan ini hati dan mulut mengatakan
“Yaa Allaah/ ya Tuhan… saya ikhlas… saya pasrah”.
Bersamaan dengan tune-in responden diminta melakukan langkah ketiga,
the tapping, yaitu mengetuk ringan dengan dua ujung jari pada titik-titik energi
meridian tubuh sambil terus tune-in yang diakhiri dengan relaksasi pernafasan yaitu
“tarik nafas panjang lewat hidunghembuskan lewat mulut sambil mengucap rasa
syukur beberapa kali. Semua langkah di atas dilakukan sebanyak 3 kali putaran
selama 30 menit. Setelah selesai, responden diminta mengemukakan perasaan yang
dirasakan saat melakukan SEFT serta kendala yang dihadapi. Selain itu, dikaji pula
perasaan responden setelah dilakukan SEFT (dalam skala 1-10), dan diakhiri
dengan post test.
Hasil penelitian ini menunjukkan pasien kanker serviks yang menjalani
kemoterapi mengalami stres, dan setelah mendapatkan intervensi SEFT tampak
terjadi penurunan stres.
Saat pelaksanaan SEFT, pasien diminta menceritakan semua perasaan
negatif yang dialami selama menderita kanker serviks, dan bersamaan dengan hal
itu terjadi katarsis atau proses pengeluaran perasaan/beban emosi negatif pada
pasien. Stuart dan Laraia (2005) menyatakan bahwa teknik katarsis dapat dilakukan
dengan menceritakan masalah yang sedang dihadapi sehingga perasaan menjadi
lebih rileks dan tenang. Di samping itu, saat pelaksanaan SEFT, pasien juga diminta

17
berdoa kepada Tuhan, sehingga hati menjadi tenang, sebagaimana dikemukakan
oleh Larry Dossey dalam Zainudin (2008) bahwa doa efektif menurunkan stress.
Dalam praktek SEFT, aspek spiritual pasien lebih diperhatikan melalui
penekanan pada aspek khusuk, ikhlas dan pasrah, serta pasien diyakinkan bahwa
hasil yang akan diperoleh tergantung keikhlasan, kepasrahan, dan keyakinan pasien
kepada Tuhan. Semakin ikhlas, semakin pasrah, dan semakin yakin Tuhan yang
menyembuhkan atau menenangkan hati, maka hasilnya semakin optimal.

4) Inhalasi Aromatherapi CitruS


Pengaruh Inhalasi Aromatherapi Citrus Terhadap Efek Nausea Dan Vomitus
Pasca Kemoterapi Pasien Kanker Serviks Salah satu penatalaksanaan medis dari
pasien kanker serviks yaitu kemoterapi. Kemoterapi memiliki banyak efek samping
salah satunya yaitu mual dan muntah. Efek samping seperti mual dan muntah
hampir dialami lebih dari 30% pasien kemoterapi dan hal ini lebih jauh
menyebabkan kecemasan dan ketidakefektifan terapi yang sering menimbulkan
ketegangan secara fisilk dan psikis pada pasien (Mustian K, Jean Piere P, 2008).
Mual muntah akibat kemoterapi tidak selalu sama antar individu, tergantung pada
jenis obat dan dosis kemoterapi yang diberikan5 . Berdasarkan potensi emetiknya,
agen kemoterapi tersebut memiliki potensi emetik mulai dari emetik rendah sampai
emetik tinggi, maka akan menyebabkan mual muntah yang hebat dan apabila
seseorang mendapatkan kemoterapi dengan emetik rendah maka gejala mual
muntah yang akan menjadi relatif ringan.
Mual muntah telah dilaporkan terjadi pada sekitar 57% pasien kanker yang
mengalami kemoterapi (Grunberg, S.M. (2004). Terapi paliatif non farmakologis
juga diberikan untuk mengurangi mual muntah pada pasien kanker serviks ini,
antara lain dengan memberikan inhalasi aromatherapi. Penelitian penunjang
menunjukkan bahwa ada pengaruh aromatherapy yang diberikan untuk mengurangi
mual dan muntah setelah kemoterapi.
Mekanisme pemberian terapi dengan melalui inhalasi ini memberikan efek
lebih cepat daripada mekanisme lain. Mekanisme tindakan aromaterapi adalah
melalui sistem sirkulasi tubuh dan sistem penciuman. Melalui inhalasi ataupun

18
diterapkan pada permukaan kulit, minyak eterik akan diserap ke dalam tubuh
melalui kapiler, yang selanjutnya akan dilakukan oleh sistem peredaran darah baik
sirkulasi darah atau sirkulasi limfatik. Pembuluh kapiler kemudian akan
mengedarkan zat ke sistem saraf pusat dan otak akan menyampaikan pesan ke
target organ. Minyak eterik dapat diberikan melalui intervensi berupa pijatan yang
akan merangsang sistem peredaran darah untuk bekerja penuh semangat. Selain itu
aromaterapi juga dapat menimbulkan rangsangan saraf penciuman oleh kehadiran
aroma tertentu dan kemudian terhubung langsung ke hipotalamus. Hipotalamus
adalah bagian dari otak yang mengontrol sistem kelenjar, mengatur hormon, dan
mempengaruhi pertumbuhan, dan aktivitas tubuh (Kushariyadi, Setyoadi. 2011)

2. China
a. Traditional Chinese medicine (TCM)
Herbal medicine is the precursor of modern medicine and drug development.
It is still the useful knowledge and routines to foster new therapeutics in the clinic
and useful drugs against new diseases. This article brings a glimpse of this special
medical discipline. Comparisons between herbal medicine and modern
pharmaceutical/ medicines are provided.

3. Jepang
a. Complementary and alternative medicine (CAM)
Penggunaan CAM dalam praktik dan produknya yang saat ini tidak dianggap
sebagai bagian dari pengobatan konvensional, telah meningkat penggunaannya di
seluruh dunia dalam beberapa tahun terakhir. CAM telah digunakan diberbagai
populasi di Amerika Serikat (53-62%), negara-negara Eropa (20–50%), dan
Australia (52%) (Takata, Kuramoto, Imamura, Kishida, & Yasui, 2013). Di
Amerika Serikat, penggunaan modalitas CAM seperti akupunktur, pijat, meditasi
dan yoga meningkat antara tahun 2002 dan 2007 (Yamashita, Tsukayama, &
Sugishita. Alasan yang mendasari dalam peningkatan penggunaan CAM
berhubungan dengan perubahan dalam proporsi penyakit, seperti peningkatan

19
penyakit kronis, penyakit psikologis, malignansi, dan penyakit yang tidak dapat
dijelaskan (Takata et al., 2017).
Kategori Terapi
1) Alternative medical systems : Ayurvedic medicine, traditional Chinese,
Japanese, and Tibetan medicine, homeopathy and naturopathy
2) Natural product based therapies : Chelation therapy, hydrotherapy, nutrition-
based therapy (diet therapy, dietary supplements), oxygen therapy, ozone
therapy, herbal medicines, other plants or plant extracts, prolotherapy,
speleotherapy, topical therapies and unconventional synthetic drugs (laetrile,
procaine)
3) Energy therapies : Acupuncture (acupressure, acupuncture, electroacupuncture,
laser acupuncture, moxibustion), breathing exercises (qi gong, pranayama),
distant healing, electric stimulation therapy, magnetic therapy, phototherapy,
reiki, therapeutic touch and ultrasonic therapy
4) Manipulative and body-based methods : Alexander technique, chiropractic
manipulation/spinal, manipulation (craniosacral massage, Feldenkrais method),
massage (osteopathic manipulation), reflexology.
5) Mind-body interventions : Biofeedback, hypnosis, meditation, play therapy,
relaxation techniques, sensory art therapies (aromatherapy, art therapy, colour
therapy), dance therapy, drama therapy, music therapy, other sensory therapies,
tai chi, unconventional psychotherapies (morita therapy) and yoga.
Perkembangan Complementary/Alternative Medicine (CAM) pada layanan
keperawatan di Jepang. CAM dalam praktik keperawatan umumnya dilakukan pada
bidang paliatif care. Pengetahuan dan keterampilan perawat terkait CAM dalam
melakukan kunjungan rumah pada pasien paliatif care sangat diperlukan, karena
terjadi peningkatan penderita kanker dan dampak dari struktur penyakit degeneratif.
Untuk itu kebutuhan penggunaan CAM pada home care sangat tinggi, tetapi belum
banyak upaya pelaksanaan penggunaan CAM tersebut. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa hanya sekitar 30% dari praktik layanan home care di Jepang
telah dilatih tentang CAM (Tokushige & Tanaka, 2018).

20
Perkembangan hasil penelitian dalam penggunaan CAM di unit paliative care
di Jepang menunjukkan 64% institusi menyediakan setidaknya satu terapi modalitas
CAM. Hambatan penggunaan CAM antara lain ketersediaan praktisi yang
bersertifikat, biaya, tanggung jawab tambahan untuk anggota staf, dan bukti
keberhasilan yang tidak memadai. Bentuk CAM yang paling umum digunakan oleh
responden adalah pain relief pads (32,8%), obat-obatan herbal/suplemen (32,2%),
dan pijat oleh diri sendiri atau keluarga (32,0%).). Intervensi Complementary
therapy untuk menurunkan stress pada perawat (Onishi, 2016).

b. Home Visit
Di Jepang, permintaan untuk perawatan di rumah (home visit) tumbuh dan
menjadi trend. Kebijakan kesehatan untuk mengekang biaya perawatan kesehatan
Jepang yang terus meningkat, pemerintah menyusun sistem layanan perawatan
rumah (Ministry of Health, Labour and Welfare, 2013). Survei pemerintah, banyak
individu ingin menerima perawatan dan perawatan penyakit terminal di rumah,
tetapi bentuk layanan perawatan di rumah yang tersedia berbeda menurut wilayah
dan secara keseluruhan, sistem perawatan di rumah tidak berkembang dengan baik.
Karena itu, pemerintah mempromosikan rekonstruksi dari sistem perawatan
komunitas terpadu yang menyediakan dukungan hidup, perawatan medis,
perawatan, dan layanan pencegahan di rumah untuk meningkatkan layanan
perawatan di rumah di Jepang. Bentuk layanan Home care di Jepang bersifat
komprehensif yang mencakup layanan medis, kesejahteraan, dan kesehatan
masyarakat. Layanan medis termasuk pemeriksaan medis oleh dokter, perawatan
oleh perawat, dan pijat yang disediakan oleh praktisi pijat. (Tokushige, A., &
Tanaka, S. (2018). Home Visit Nurse’s Thoughts for Compementary and
Alternative Medicine (CAM) in Japan.)

21
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif adalah perawatan total dan aktif dari untuk penderita yang
penyakitnya tidaklagi responsive terhadap pengobatan kuratif. Berdasarkan definisi ini maka
jelas perawatan paliatif hanya diberikan kepada penderita yang penyakitnya sudah tidak
respossif terhadap pengobatan kuratif. Artinya sudah tidak dapat disembuhkan dengan upaya
kuratif apapun.
Tujuan umum kebijakan paliatif adalah meningkatkan kualitashidup yang seoptimal
mungkin bagi penderita dan keluarganya. Yang artinya meningkatkan kualitas hidup dan
menganggap bahwa kematian adalah proses yang normal, tidak mempercepat atau menunda
kematian, menghilangkan rasa nyeri dan keluhan lain yang menganggu, menjaga
keseimbangan psikososial dan spiritual, berusaha agar penderita tetap aktif sampai akhir
hayatnya serta berusaha membantu duka cita pada keluarga.

22
DAFTAR PUSTAKA
Lindayani, Maryam Nenden Nur Asriyani. 2017. Tinjauan sistematis: Efektifitas
Palliative Home Care untuk Pasien dengan HIV/AIDS Linlin. JKP - Volume 5
Adhisty Karolin, Rizona Firnaliza, Hudiyati Maya. 2019. Pengaruh Inhalasi
Aromatherapi Citrus Terhadap Efek Nausea Dan Vomitus Pasca Kemoterapi Pasien
Kanker Serviks Di Rsup Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Jurnal Keperawatan
Sriwijaya. Volume 6
Ilham Rosmin, Mohammad Sinta, Syukriani Muh Nur. 2019. Hubungan Tingkat
Pengetahuan Dengan Sikap Perawat Tentang Perawatan Paliatif. Jurnal komunity
nursing. Volume 1
Novita Nur Hasanah, Arianti. 2018. Martabat Pasien Paliatif Di Rumah Sakit Pku
Muhammadiyah Gamping. Jurnal Health of Studies Vol 3, No. 2.
KEPMENKES RI NOMOR: 812/ MENKES/SK/VII/2007. Tentang Kebijakan
Perawatan Palliative. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Diakses tanggal 7 april
2018 pukul 19:30).
file:///C:/Users/user/Downloads/20130506131833.Skmenkes_Nomor_812MENKESSKV
II2007_Tentang_Kebijakan_Perawatan_Paliatif.pdf
NANDA-1 diagnosa keperawatan.2015-2017. Defenisi dan klasifikasi. Jakarta:
EGC,2015
Desmaniarti & Nani Avianti. 2014. Spiritual Emotional Freedom Technique (Seft)
Menurunkan Stres Pasien Kanker Serviks. Jurnal Ners Vol. 9 No. 1

23

Anda mungkin juga menyukai