Anda di halaman 1dari 32

Referat

LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender)

Disusun Oleh:
Dokter Muda Stase Bagian Ilmu Psikiatri
Periode 6 Maret – 8 April 2017

Shafira Amalia, S.Ked 04011381320049


Naurah Nazhifah, S.Ked 04011381320011
Amanda Putri Utami, S. Ked 04054821618048
Nikodemus L. Tobing, S.Ked 04084821618173

Pembimbing
dr. Abdulah Shahab, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM MOH. HOESIN PALEMBANG
2017

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul

LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender)

Oleh:

Shafira Amalia, S.Ked 04011381320049


Naurah Nazhifah, S.Ked 04011381320011
Amanda Putri Utami, S. Ked 04054821618048
Nikodemus L. Tobing, S.Ked 04084821618173

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya Periode 6 Maret – 8 April 2017.

Palembang, Maret 2017


Pembimbing,

dr. Abdulah Shahab, Sp.KJ

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan sukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “LGBT
(Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender)” untuk memenuhi tugas ilmiah yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di
Departemen Ilmu Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah
Sakit Umum Moh. Hoesin Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Abdulah Shahab, Sp.KJ selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga tugas ilmiah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ilmiah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikian lah penulisan tugas
ilmiah ini, semoga bermanfaat.

Palembang, Maret 2017

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii
DAFTAR ISI.................................................................................................……iv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…........................................................................2
BAB III KESIMPULAN.....................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Orientasi seksual adalah komponen dari identitas yang termasuk ketertarikan
seksual dan emosional seseorang terhadap seseorang lainnya dan afiliasi perilaku
dan/atau sosial yang dapat dihasilkan dari ketertarikan ini. Seseorang dapat tertarik
kepada laki-laki, perempuan, dua-duanya, tidak ada, atau orang-orang yang genderqueer.
Individu tersebut diidentifikasi sebagai lesbian, gay, heteroseksual, biseksual, queer,
panseksual, atau aseksual.1
Lesbian, menurut kamus Oxford Advanced Learner, adalah wanita dengan
ketertarikan seksual terhadap wanita lain. Lesbianism adalah orientasi seksual wanita ke
wanita lain. Di lain kata, hal tersebut harus berhubungan dengan hubungan seksual antara
wanita dan wanita lain, bukan antara wanita dan pria (hubungan heterseksual).3
Istilah gay digunakan secara umum untuk menggambarkan seorang pria yang
tertarik secara seksual dengan pria lain dan menunjukkan komunitas yang berkembang
diantara orang-orang yang memiliki orientasi seksual yang sama. Orientasi seksual
merupakan ketertarikan seseorang pada jenis kelamin tertentu secara emosional, fisik,
seksual dan cinta.7
Menurut Masters (1992), biseksual adalah istilah untuk orang yang tertarik secara
seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Biseksual juga didefinisikan
sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara psikologis, emosional dan seksual kepada
laki-laki dan perempuan (Robin & Hammer, 2000 dalam Matlin, 2004).
Transgender adalah istilah yang merujuk pada orang-orang yang menampilkan
identitas gender yang berbeda dengan jenis kelamin bawaan lahirnya ataupun orang-
orang yang mengekspresikan peran gendernya berbeda secara signifikan dengan seperti
apa gender tersebut diasosiasikan. Transgender terbagi atas dua jenis yaitu female to male
transgender (FtM), dan male to female transgender (MtF) (IOM, 2011).
Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) merupakan suatu ganguan
identitas gender dan gangguan preferensi seksual. Menurut standar kompetensi dokter
indonesia (SKDI), tingkat kompetensi gangguan tersebut adalah 2, yaitu seorang dokter
mampu mendiagnosis dan merujuk. Oleh karena itu, melalui makalah ini akan membahas
mengenai definisi, etiologi, epidemiologi, faktor risiko, diagnosis dari LGBT.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Lesbian
2.1.1. Definisi
Orientasi seksual adalah komponen dari identitas yang termasuk ketertarikan
seksual dan emosional seseorang terhadap seseorang lainnya dan afiliasi perilaku
dan/atau sosial yang dapat dihasilkan dari ketertarikan ini. Seseorang dapat
tertarik kepada laki-laki, perempuan, dua-duanya, tidak ada, atau orang-orang
yang genderqueer. Individu tersebut diidentifikasi sebagai lesbian, gay,
heteroseksual, biseksual, queer, panseksual, atau aseksual.1
Homoseksualitas (lesbian dan gay) dihilangkan sebagai kategori diagnostik
oleh American Psychiatric Association (APA) pada tahun 1973 dan disingkirkan
dari DSM pada tahun 1980. Revisi ke-10 International Statistical Classification
of Diseases and Related Health Problems (ICD-10) menyatakan bahwa orientasi
seksual saja tidak dianggap suatu gangguan. Perubahan ini mencerminkan
perubahan pemahaman mengenai homoseksualitas, yang saat ini dianggap terjadi
dengan sejumlah keteraturan sebagai varian seksualitas manusia, bukan suatu
gangguan patologis. Istilah homoseksualitas sering menggambarkan perilaku
terbuka seseorang, orientasi seksual, dan rasa identitas pribadi atau sosial.2
Lesbian, menurut kamus Oxford Advanced Learner, adalah wanita dengan
ketertarikan seksual terhadap wanita lain. Lesbianism adalah orientasi seksual
wanita ke wanita lain. Di lain kata, hal tersebut harus berhubungan dengan
hubungan seksual antara wanita dan wanita lain, bukan antara wanita dan pria
(hubungan heterseksual).3

2.1.2. Etiologi
Menurut Sigmund Freud (1922 dan 1959), homoseksualitas terjadi dari hasil
identifikasi yang sesuai antara seseorang tersebut dengan orangtuanya yang
berbeda jenis kelamin selama masa perkembangan. Identifikasi yang tidak sesuai
dari dua orang dengan jenis kelamin berbeda dapat meningkatkan terjadinya
homoseksualitas.3

2
Seorang perempuan dapat menjadi homoseksual disebabkan oleh
ketergantungan ibunya karena sering disiksa suaminya terhadap perempuan
tersebut yang menyebabkan maskulinisasi dari perempuan tersebut yang
menjadikannya seorang lesbian. Penyebab lain dari lepasnya seorang perempuan
dari femininitas adalah kekerasan seksual.4

2.1.3. Epidemiologi
Angka kejadian dewasa sebagai homoseksual (lesbian dan gay) dipantau dari
beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, dan
Norwegia. Berdasarkan Norwegian Living Conditions Survey tahun 2010 dan UK
Integrated Household Survey tahun 2009−2010, persentase jumlah dewasa dengan
orientasi homoseksual masing-masing berjumlah 0,5%. Berdasarkan Canadian
Community Health Survey tahun 2005 (usia 18−59 tahun), persentase jumlah
dewasa dengan orientasi homoseksual adalah 0,8%. Berdasarkan Australian
Longitudinal Study of Health and Relationship tahun 2005, persentase jumlah
dewasa dengan orientasi homoseksual adalah 1,2%.5
Di Amerika Serikat sendiri, berdasarkan National Epidemiological Survey on
Alcohol and Related Conditions tahun 2004−2005, National Survey of Family
Growth tahun 2006−2008 (usia 18−44 tahun), General Social Survey tahun 2008,
California Health Interview Survey tahun 2009, dan National Survey of Sexual
Health and Behavior tahun 2009, persentase jumlah dewasa dengan orientasi
homoseksual masing-masing berjumlah 0,7%, 2,3%, 1,1%, 1,4%, dan 3,1%. Dari
data di atas, didapatkan bahwa homoseksual paling banyak ditemukan di Amerika
Serikat dibandingkan dengan negara lainnya yang diteliti. Selain itu didapatkan
pula bahwa kurang dari 50% dari angka-angka tersebut yang merupakan lesbian.
Pada survey tersebut, jumlah laki-laki gay lebih banyak daripada jumlah
perempuan lesbian.5

2.1.4. Faktor Risiko


Dalam tiga survei besar yang dilakukan di Inggris pada tahun 1992−1994
memberikan hasil berupa adanya hubungan antara perilaku genetik dan
lingkungan terhadap orientasi seksual. Pada studi perilaku genetik pada beberapa
keluarga oleh Pillard pada tahun 1990, Bailey dan Benishay pada tahun 1993,
Bailey et al. pada tahun 1993, dan Bailey dan Bell pada tahun 1993, didapatkan
3
data bahwa seorang perempuan lesbian mempunyai kecendrungan 6−25% untuk
mempunyai saudara perempuan yang lesbian pula.6
Pada survei yang dilakukan terhadap orang kembar oleh Bailey et al. pada
tahun 1993 dan 2000, baik kembar monozigot maupun kembar dizigot, didapatkan
hasil data berupa 24−48% dari kembar monozigot dan 15−16% dari kembar
dizigot adalah lesbian atau biseksual. Selain itu, pada survei yang dilakukan
Bailey et al. pada tahun 1993 didapatkan pula hasil 6% perempuan lesbian
mempunyai saudara perempuan angkat yang juga lesbian.6

2.1.5. Psikopatologi
Seorang perempuan dapat menjadi homoseksual disebabkan oleh
ketergantungan ibunya terhadap perempuan tersebut yang menyebabkan
maskulinisasi dari perempuan tersebut yang menjadikannya seorang lesbian. Ibu
tersebut biasanya ibu yang sering terluka karena memiliki suami abusif yang
sering menganiaya keluarga. Terdapat enam hal yang dapat merusak hubungan
ibu−anak perempuan yang menyebabkan lesbianism, yaitu dispassionate,
doormat, manipulatif, domineering, my best friend, dan self-consumed. Seorang
perempuan yang sering mendapatkan tindakan kekerasan dari suaminya
cenderung merasa lemah dan depresi. Merasa dirinya tidak berguna dan ada rasa
ingin bunuh diri. Ibu tersebut bergantung ke anak perempuannya dan terkadang
sering melalaikan anak perempuannya. Karena sering melihat ibunya, seorang
perempuan, disiksa dan menjadi wanita lemah yang tidak dapat berbuat apa-apa,
perempuan tersebut tidak mau menjadi perempuan. Sehingga, kebanyakan kasus
lesbianism disebabkan oleh keadaan ibunya yang tidak dapat diandalkan, bukan
karena ayahnya yang menyiksa ibunya.4
Penyebab lain dari lepasnya seorang perempuan dari femininitas adalah
kekerasan seksual. Kekerasan seksual pada perempuan yang sering didapati pada
wanita-wanita homoseksual adalah pemerkosaan. Wanita-wanita tersebut akhirnya
merubah perilaku mereka menjadi lebih maskulin dan tidak terlalu menonjolkan
sifat femininnya. Selain itu, kekerasan seksual membuat wanita-wanita tersebut
membenci laki-laki secara menyeluruh, yang merupakan tipe lesbian pada
umumnya.4

2.1.6. Komplikasi
4
Karena adanya pemikiran bahwa homoseksualitas adalah gangguan orientasi
seksual, orang-orang dengan homoseksualitas akan merasakan inferiority complex
dan sexually backwarness. Selain itu, orang-orang dengan homoseksualitas
memiliki keinginan untuk bunuh diri tinggi akibat rasa takut akan penolakan dari
orang-orang disekitarnya.3
Lesbian juga dapat terancam mendapatkan komplikasi berupa terinfeksi
HIV/AIDS dan penyakit berbahaya menular lainnya. Hal tersebut disebabkan
karena para perempuan tersebut mungkin tidak dapat memeroleh barang dengan
material mahal untuk praktik hubungan seksualnya, seperti vibrator, robot,
artificial pennies, dan lain-lain yang akhirnya menyebabkan mereka
menggunakan benda dengan material murah dan mudah didapatkan seperti
tongkat, lilin, pisang, dan lain-lain. Material-material murah tersebut bila
digunakan dapat menyebabkan memar dan lecet, sehingga dapat terjadi infeksi.
Terutama jika salah satu pasangan seksualnya menderita penyakit menular
seksual, pasangan satunya dapat tertular penyakit menular seksual.3

2.2. Gay
2.2.1. Definisi
Istilah gay digunakan secara umum untuk menggambarkan seorang pria
yang tertarik secara seksual dengan pria lain dan menunjukkan komunitas yang
berkembang diantara orang-orang yang memiliki orientasi seksual yang sama.
Orientasi seksual merupakan ketertarikan seseorang pada jenis kelamin tertentu
secara emosional, fisik, seksual dan cinta. 7 Identitas ego mengacu pada rasa
hubungan antara seseorang dan kelompok sosial tertentu. Identitas terbentuk
selama masa remaja dan awal dewasa dari pengalaman sebelumnya di
development. Rasa menjadi gay atau lesbian adalah aspek ego identity. Mungkin
sepenuhnya pribadi, atau mungkin dikomunikasikan kepada orang lain, dalam hal
ini menjadi bagian dari peran sosial seseorang.8

2.2.2. Etiologi
1. Faktor psikologis
Menurut psikoanalisis Freud, homoseksualitas sebagai suatu penghentian
perkembangan psikoseksual. Berdasarkan teori psikodinamik, situasi –
situasi di dapat mendukung terbentuknya perilaku homoseksual pria,
meliputi peran ibu yang mendominasi, kurangnya peran seorang ayah,
5
penghambatan perkembangan maskulin oleh orang tua, menetapnya
perkembangan fase narsisistik, dan hilangnya kompetisi dengan saudara
laki-laki atau perempuan.9

2. Faktor psikoanalitik
Berdasarkan psikoanalitik yang dikemukakan Richard Isay, awal mula gay
timbul akibat adanya fantasi terhadap sesama jenis terjadi di usia 3 hingga 5
tahun, yang normalnya pada heteroseksual memiliki fantasi pria – wanita.
Menurut Isay, fantasi erotis sesama jenis pada gay berpusat pada ayah atau
sosok pengganti ayah. Beberapa sifat “feminim” juga dapat disebabkan oleh
identifikasi dengan ibu atau pengganti ibu. Karakteristik berkembang
sevagai cara menarik cinta dan perhatian ayah.9

3. Faktor biologis
Dari sudut pandang biologis, homoseksual disebabkan oleh genetik dan
komponen biologis seperti hormon dan kromosom. Hormon seperti
androgen memiliki peranan dalam pembentukan sistem saraf pusat, yang
mengarah pada orientasi seksual. Adanya hormon androgen dalam jumlah
banyak akan membentuk orientasi seksual wanita, sedangkan sedikitnya
hormon androgen akan membentuk orientasi seksual pria.
Suatu studi meneukan insidensi kesesuaian homoseksual lebih tinggi
diantara kembar monozigotik dibandingkan diantara kembar dizigotik, yang
menyatakan predisposis genetik. Sebuah studi lain juga menemukan
kelompok sel di hipotalamus berukuran lebih kecil pada lesbian dan gay
dibandingkan pada heteroseksual. Tetapi studi kromosom belum dapat
membedakan homoseksual dari heteroseksual. Pria gay menunjukkan
distribusi familial dengan marker genetik pada sebagian kromosom X, yang
ditunjukkan dengan lebih banyaknya saudara yang gay pada homoseksual
daripada heteroseksual.9

2.2.3. Epidemiologi
Suatu studi menyatakan jumlah kaum homoseksual sebanyak dua hingga
empat persen dari seluruh total populasi di dunia. Survei tahun 1994 oleh Sensus
US Bureau menyimpulkan prevalensi pria homoseksual sebesar dua hingga tiga
persen dari total populasi di Amerika, dan di tahun 1989 studi yang dilakukan oleh
6
Universitas Chicago menyatakan kurang dari satu persen baik pria maupun wanita
merupakan homoseksual. Tahun 1993 Institut Alan Guttmacher menemukan satu
persen pria memiliki riwayat aktivitas homoseksual dan dua persen dilaporkan
memiliki hubungan homoseksual sepanjang hidupnya. Studi menyatakan 56
persen lesbian telah melakukan hubungan intim dengan lawan jenisnya sebelum
mereka mengalami pengalaman homoseksual genital, dibandingkan dengan gay
yang hanya 19 persen. Dalam sebuah survei menyatakan terdapat sekitar 40
persen lesbian yang juga memiliki hubungan heteroseksual.10
Perkembangan jumlah homoseksual di Indonesia tiap tahun terus
bertambah. Menurut hasil survey Yayasan Pendidikan Kartini Nusantara secara
nasional jumlah homoseksual mencapai 1% dari total penduduk Indonesia yaitu
sekitar 2 juta jiwa. Data statistik lain juga menunjukkan bahwa 8-10 juta populasi
pria Indonesia pada suatu waktu terlibat pengalaman homoseksual. Sedangkan
menurut Depkes (2002) diperkirakan pada tahun tersebut terdapat sekitar 1,2 juta
(600 ribu – 1,7 juta) kelompok gay, serta sekitar 8 – 15 ribu waria.Berdasarkan
hasil survey Kementerian Kesehatan di 13 kota di Indonesia yang dilakukan sejak
2009 hingga 2013, tercatat jumlah homoseks lelaki meningkat drastis dari 7% di
tahun 2009 menjadi 12,8 % pada 2013 atau mengalami peningkatan sebesar
83%.11

2.2.4. Faktor risiko


Ada beberapa faktor resiko seseorang menjadi seorang Gay, antara lain:

Mempunyai saudara laki-laki yang gay juga berpeluang lebih besar (22%)
dibandingkan yang mempunyai saudara laki-laki heterosexual (4%)

Orang dengan kembar monozigot yang juga gay berpeluang lebih besar
untuk menjadi gay (32%) dibandingkan kembar dyzigot (13%)12

2.2.5. Psikopatologi
Psikopatologi menilai tingkat stress pada lesbian dan gay juga terdapat pada
heteroseksual, walaupun tingkat bunuh diri lebih tinggi pada kelompok
homoseksual. Stress ini diakibatkan konflik diantara pria gay ataupun wanita
lesbian, namun tidak dapat dimasukkan dalam klasifikasi gangguan yang ada. Jika
terjadi stress berat dan memerlukan diagnosis, maka gangguan depresif dapat
dipertimbangkan. Beberapa gay dan lesbian dapat menunjukkan gejala utama
gangguan depresi yaitu rasa bersalah terhadap orientasi seksual mereka, dan
keinginan untuk reorientasi hanyalah simptomatis dari gangguan depresi tersebut.9
7
2.2.6. Terapi
Terapi CBT. Cognitive Behavioral Therapy (CBT) adalah istilah yang
digunakan untuk sekelompok perawatan psikologis yang didasarkan bukti-bukti
ilmiah. Perawatan ini telah terbukti efektif dalam mengobati banyak gangguan
psikologis. Terapi kognitif dan terapi perilaku biasanya berupa perawatan jangka
pendek (yaitu, antara 6-20 sesi) yang berfokus pada pengajaran keterampilan
khusus pada klien. CBT berbeda dari banyak pendekatan terapi lainnya, CBT
berfokus pada kognisi (yaitu, pikiran), emosi, dan perilaku seseorang, yang saling
terhubung dan mempengaruhi satu sama lain. Karena emosi, pikiran, dan perilaku
semua terkait, pendekatan CBT memungkinkan terapis untuk melakukan
intervensi di berbagai titik dalam siklus. Dalam CBT, terapis dan klien bekerja
sama untuk mencapai tujuan pribadi.
Tujuan mungkin melibatkan:
 Cara bertindak : seperti belajar bagaimana untuk mengatasi diskriminasi;
 Perasaan : seperti membantu seseorang mengatasi segala macam masalah
yang mengganggu
 Cara berpikir : seperti belajar untuk mengevaluasi apakah dan bagaimana
"jalan keluar" dari suatu masalah;
 Cara menangani masalah fisik atau medis : seperti belajar untuk mengelola
rasa takut dan kecemasan;
 Cara untuk mengatasi : seperti belajar teknik untuk meningkatkan hubungan
dengan pasangan.
Terapi kognitif dan terapi perilaku (CBT) biasanya fokus pada situasi saat
ini daripada masa lalu. CBT berkonsentrasi pada pandangan seseorang dan
keyakinan tentang kehidupan mereka, bukan pada kepribadian mereka. Terapi
perilaku dan kognitif dapat digunakan untuk mengobati individu, orang tua, anak,
pasangan, dan seluruh keluarga. CBT membantu orang mendapatkan kontrol atas
hidup mereka, menggantikan cara-cara hidup yang tidak berjalan dengan baik
dengan cara hidup yang baik.

Pada pasien dengan homoseksual, CBT dapat berfungsi sebagai berikut :


 Membantu mempelajari keterampilan baru.
 Membantu meningkatkan hubungan dengan pasangan, keluarga, teman dan
rekan kerja. Sebagai contoh, hal ini dapat mencakup belajar cara-cara baru
8
berkomunikasi dengan orang, berpikir tentang hubungan, mengelola
perasaan, atau menangani situasi konflik.
 CBT dapat menjadi pengobatan berguna untuk masalah kesehatan mental,
seperti depresi, kecemasan (termasuk kecemasan sosial), penyalahgunaan
zat, dan keinginan bunuh diri.
 CBT dapat membantu mengatasi berbagai masalah hidup, baik berhubungan
maupun tidak berhubungan dengan seksual atau orientasi seksual atau
terkait dengan respon orang lain dengan orientasi seksual klien.

Dalam pelaksanaannya, NARTH membagi pengobatan CBT menjadi empat


fase. Fase-fase ini dianggap mudah beradaptasi dan fleksibel, serta mewakili
aliran umum terapi. Seperti semua terapi, syarat utama terapi ialah pasien harus
memiliki motivasi untuk memahami asal-usul ketertarikan homoseksual dan harus
berkomitmen penuh untuk proses terapi.
Terapi pada penderita orientasi sexual masih kontroversial. Satu studi
melaporkan minimum 350 jam terapi psikoanalitik, kira-kira sepertiga laki-laki
biseksual dan gay memperoleh orientasi heteroseksualnya pada pengamatan
lanjutan 5 tahun, tetapi studi ini masih perlu diuji. Terapi perilaku dan teknik
pembelajaran penghindaran juga telah digunakan, tetapi dengan teknik ini,
perilaku dapat berubah di lingkungan laboratorium bukannya di luar. Faktor
prognostik yang berperan dalam orientasi heteroseksual untuk laki-laki mencakup
berusia kurang dari 35 tahun, memiliki beberapa pengalaman perangsangan hetero
sexual, perasaan sangat termotivasiuntuk reorientasi.14
Bentuk intervensi lainnya bertujuan membuat pasien dengan penderitaan
menetap dan nyata dengan homoseksualitas tanpa rasa malu, rasa malu, rasa
bersalah, ansietas, atau depresi.Pusat konseling gay terlibat dengan pasien
didalam program ini.Saat ini, studi dari pusat tersebut belum dilaporkan dengan
rinci.14

2.2.7. Komplikasi
Perilaku homoseksual tidak hanya mencakup interaksi seksual antar sesama
jenis, tetapi juga termasuk hubungan seksual antar sesama jenis. Kaum
homoseksual biasanya memiliki perkumpulan di tempat- tempat tertentu, dimana
perkumpulan tersebut biasa disebut dengan arisan kaum homoseksual. Kaum
homoseksual ini juga sangat dekat dengan kegiatan hura- hura dimana mereka
9
berpesta dengan sesama kaum homoseksual. Hal ini akhirnya akan membawa
mereka melakukan hubungan seksual melalui anus. Hubungan seksual yang
dilakukan melalui anus tersebut yang akan membawa beberapa komplikasi
kesehatan. Mukosa anus yang tipis akan memudahkan terjadinya perlukaan
apabila hubungan seksual dilakukan melalui anus. Hal ini akan menyebabkan
mudahnya pertukaran cairan tubuh seperti darah, sehingga penyebaran penyakit
menular seksual (PMS), diantaranya HIV, AIDS, hepatitis, sifilis, gonorrheae,
herpes.
Journal of American Medical Association menemukan bahwa tingkat kanker
dubur pada kalangan homoseksual 50 kali lebih tinggi dari kalangan biasa. Pada
tahun 1997 New England Journal of Medicine menemukan hubungan yang kuat
antara kanker dubur dan homoseksual laki- laki. Studi lain menemukan 80% dari
penderita sifilis adalah homoseksual dan sepertiga dari homoseksual tersebut
terinfeksi dengan herpes simpleks aktif. Klamidya menginfeksi 15% kaum
homoseksual, sejumlah parasit, bakteri, virus dan protozoa juga menyerang kaum
homoseksual. Untuk penyakit parasit sebanyak 32% menimpa kaum homoseksual
sedangkan giardiasis sebanyak 14%. Sementara itu sebanyak 14% kaum
homoseksual terserang gonorrheae. 13
Salah satu komplikasi paling berbahaya dari suatu hubungan homoseksual
yaitu AIDS (Acquired Immune Deficiency Virus), yang merupakan suatu keadaan
dimana terjadi kerusakan sistem kekebalan tubuh akibat infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). Infeksi HIV di Indonesia cenderung
meningkat. Sejak April 1987 hingga Juni 2011, di Indonesia tercatat 26.483 kasus
AIDS dengan angka kematian sebesar 5.056 dan pada beberapa tahun terakhir
jumlah kasus tersebut mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 jumlah kasus
AIDS yang dilaporkan sebesar 2.639 kasus dan pada tahun 2010 angka tersebut
meningkat menjadi 4.158 kasus AIDS. Dari semua kasus tersebut, cara penularan
AIDS yang terbanyak adalah melalui heteroseksual (54,8%), IDU (36,2%), MSM
(Male sex to Male) (2,9%), perinatal (2,8%), dan transfusi darah (0,2%).13
Pemuda LGBTQ lebih mungkin mengalami hal-hal di bawah ini daripada
para heteroseksual untuk15:
 Mengalami depresi
 Mencoba bunuh diri
 Diganggu di sekolah dan masyarakat

10
 Mengalami kekerasan fisik dan verbal
 Penyalahgunaan obat
 Putus sekolah
 Menjadi tuna wisma

Kekerasan/Bullying:
 84% diganggu secara lisan di sekolah.
 65.3% telah dilecehkan secara seksual.
 55% transgender pemuda melaporkan serangan fisik.
 100% dari pemuda LGBTQ di Kota New York melaporkan pelecehan
secara verbal dan 70% dilaporkan kekerasan fisik karena orientasi
seksual atau identitas gender mereka.
 Lebih dari 39% dari semua pemuda gay, lesbian dan biseksual
dilaporkan telah mengalami kekerasan fisik di sekolah karena orientasi
seksual mereka.
 77,9% dari pemuda LGBTQ melaporkan kadang-kadang atau sering
mendengar slogan anti-Gay. Mereka melaporkan mendengar ejekan
seperti "homo", dan "banci" sekitar 26 kali sehari atau sekali setiap 14
menit.
Penyalahgunaan zat:
 Pemuda yang diganggu karena orientasi seksual mereka lebih mungkin
menggunakan kokain, steroid anabolik, dan inhalansi daripada mereka
yang tidak diganggu.
 68% dari remaja laki-laki gay dan 83% dari remaja lesbian
menggunakan alkohol.
 46% remaja laki-laki gay dan 56% dari remaja lesbian menggunakan
obat lain.

Bunuh diri:
 33% dari siswa SMA LGBTQ dilaporkan mencoba bunuh diri.
 Pemuda LGBTQ 4 kali lebih mungkin untuk mencoba bunuh diri.
 16% diperlukan perhatian medis dibandingkan dengan 3% dari para
heteroseksual.

2.3. Bisexual
2.3.1. Definisi

11
Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan
sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu
spesies atau kejadian yang merupakan kebetulan dari karakteristik pria dan wanita
dalam satu tubuh (Bowie dalam Storr, 1999). Ellis (dalam Storr, 1999) kemudian
meninggalkan istilah psychosexual hermaphroditism dan memperluas makna dari
biseksual sebagai hasrat seksual untuk pria maupun wanita yang dialami oleh
individu.
Dalam pengertian umumnya, biseksual adalah orientasi seksual yang
mempunyai ciri-ciri berupa ketertarikan estetis, cinta romantis, dan hasrat seksual
kepada pria dan wanita. Menurut Masters (1992), biseksual adalah istilah untuk
orang yang tertarik secara seksual baik itu terhadap laki-laki maupun perempuan.
Biseksual juga didefinisikan sebagai orang yang memiliki ketertarikan secara
psikologis, emosional dan seksual kepada laki-laki dan perempuan (Robin &
Hammer, 2000 dalam Matlin, 2004).

2.3.2. Prevalensi
Gambar 1. Prevalensi LGBT di Amerika

Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa lebih dari setengah LGBT adalah
biseksual dan persentasi wanita lebih tinggi dibandingkan pria (Gates, 2014).

2.3.3. Etiologi
Menurut Freud (1905), biseksual merupakan kombinasi dari maskulinitas
dan feminitas, sedangkan menurut Stekel (1920) dan Klein (1978), biseksual
bukanlah merupakan kombinasi dari maskulinitas dan femininitas melainkan
heteroseksualitas dan homoseksualitas (dalam Storr, 1999).
12
Sigmund Freud (dalam Darmawan, 2008) menyatakan bahwa manusia
sebenarnya memiliki sifat biseksual bawaan. Ini berarti setiap orang memiliki
dasar dan peluang menjadi biseks. Merujuk pada teori hormonal bahwa setiap
manusia sebenarnya memiliki unsur hormon laki-laki maupun perempuan, tarik
menarik unsur tersebut sebagai hal yang biasa dan mudah terjadi.
Wiener dan Breslin (1995: 154-155) menyatakan bahwa terbentuknya
orientasi seksual seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain sistem
hormonal, neurofisiologi, sosiokultural (termasuk budaya, keluarga, perbedaan
sosioekonomi, dan pendekatan religiusnya), serta faktor psikologis lainnya
(seperti pengalaman seksual dan juga trauma seksual individu).
Pernyataan Wiener dan Breslin didukung oleh hasil penelitian The Kinsey
Institute for Research in Sex, Gender, and Reproduction (dalam Darmawan, 2008)
yang menunjukkan bahwa proses pembentukan orientasi seksual tidak semata
karena keturunan, tapi bisa juga karena faktor-faktor lain seperti lingkungan,
situasi dan juga psikososial. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat
Nugraha (2008) yang menyatakan bahwa biseksual bisa terbentuk karena adanya
faktor pendorong dari luar individu yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan keturunan, bisa jadi karena lingkungan tempat tinggal, pola asuh,
pengalaman masa lalu yang dalam hal ini pelecehan seksual.

2.3.4. Faktor risiko


Sebuah studi di Amerika (dalam RHO, 2011) menunjukkan bahwa
sebagian besar kaum biseksual memiliki pengalaman dilecehkan, diperkosa, dan
menjadi korban kekerasan di masa kanak-kanaknya. Katy (2009) juga menjabarkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh The National Health and Social Life Survey
(NHSLS) yang menunjukkan bahwa 1,51% dari populasi orang Amerika yang
diidentifikasi sebagai gay, lesbi, dan biseksual pernah mengalami pelecehan seksual

13

Gambar 2. Angka kejadian pelecehan seksual pada perempuan


pada masa kanak-kanaknya. Nevid, dkk (2005: 227) menyebutkan bahwa pengaruh
dari luar itu berlangsung perlahan dan tidak terasa namun memiliki dampak yang
parah dalam jangka panjang. Konsekuensi penganiayaan secara seksual terhadap
anak dapat berdampak parah dan berjangka panjang, menyebabkan masalah-masalah
emosional dan kesulitan dalam mengembangkan hubungan intim dalam jangka
panjang pada masa depan anak

14
Dari penelitian di Amerika, Biseksual lebih banyak tergolong ekonomi
menengah ke bawah, didiskriminasi di tempat kerja, dan memiliki riwayat pelecehan
seksual dibandingkan jenis LGBT lainnya. Pelecehan seksual seperti pemerkosaan
dan kekerasan fisik (lihat gambar 2) dialami 61% perempuan dan 57% laki-laki
biseksual. Dilaporkan bahwa penderita biseksual mengalami pemerkosaan pada usia
11-24 tahun (Gates, 2014).

2.3.5. Patofisiologi
Dinamika kepribadian subjek penelitian didominasi oleh id (konsep
Freud) dan tak sadar kolektif (konsep Jung) yang tinggi sehingga ego
(kesadaran) dan superego (nilai-nilai moralnya) lemah. Keinginan untuk selalu
memenuhi insting seksnya membuat Mothy tidak lagi menganggap aktivitas
seksualnya sebagai bentuk pelecehan, tetapi kenikmatan seksuallah yang
mengendalikan dirinya secara tidak disadari untuk terus melakukan
pengulangan (disebut Jung sebagai kompleks).
Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005: 24-25), dinamika kepribadian
ditentukan oleh cara energi psikis didistribusi dan dipakai oleh id-ego-
superego. Jumlah energi psikis yang tersedia jumlahnya terbatas, sementara
ketiga unsur struktur kepribadian itu bersaing untuk mendapatkannya. Kalau
salah satu unsur menjadi lebih kuat, maka dua unsur yang lainnya menjadi
lemah.

2.3.6. Cara penegakkan diagnosis


Terdapat empat tingkatan pada biseksual dalam menghadapi identitas
mereka (Weinberg dkk, 1994):
1. Initial Confusion
Merupakan periode yang sangat membingungkan, ragu dan berjuang
dengan identitas mereka sebelum mendefinisikan diri mereka sendiri
sebagai biseksual. Biasanya merupakan langkah awal dalam proses
menjadi biseksual. Bagi beberapa biseksual, periode ini dilewati dengan
perasaan seksual yang kuat terhadap kedua jenis kelamin yang sangat
mengganggu, tanpa orientasi, dan terkadang menakutkan.
2. Finding And Applying The Label
Pada beberapa orang yang awalnya belum mengenal istilah biseksual,
biasanya mereka mendapatkan istilah tersebut dengan mendengar,

5
membacanya di suatu sumber, atau mempelajarinya dari komunitas
biseksual. Penemuan ini membuat perasaan mereka menjadi lebih
bermakna sehinga hal ini kemudian menjadi titik balik dalam kehidupan
mereka. Dilain pihak ada pula yang sudah memiliki pengetahuan tentang
biseksual namun belum dapat melabelnya pada diri mereka. Hal ini terjadi
pada mereka yang awalnya merasakan dirinya sebagai homoseksual.
Selain itu ada pula yang tidak menjalani titik balik yang spesifik dalam
kehidupannya namun perasaan seksual terhadap kedua jenis kelamin
terlalu sulit untuk disangkal. Mereka pada akhirnya menyimpulkan untuk
tidak memilih. Faktor terakhir yang mengarahkan seseorang untuk
memakai label biseksual adalah dorongan yang datang dari temanteman
yang telah mendefinisikan diri mereka sebagai biseksual.

3. Settling into the identity


Tingkatan ini dikarakteristikkan dengan transisi yang lebih rumit
dalam selflabeling. Pada tingkat ini mereka lebih dapat menerima diri,
tidak begitu memperhatikan sikap negatif dari orang lain

4. Continued uncertainity
Banyak pria dan wanita yang meragukan identitas biseksual mereka
karena hubungan seksual yang eksklusif. Setelah terlibat secara eklusif
dengan pasangan berbeda jenis dalam waktu tertentu, beberapa diantara
mereka mempertanyakan sisi homoseksual dari seksualitas mereka.
Sebaliknya, setelah terlibat dengan pasangan sejenis, mereka mulai
mempertanyakan komponen heeroseksual dalam seksualitas mereka.

2.4. Transgender
2.4.1. Definisi Transgender
Transgender adalah istilah yang merujuk pada orang-orang yang
menampilkan identitas gender yang berbeda dengan jenis kelamin bawaan
lahirnya ataupun orang- orang yang mengekspresikan peran gendernya berbeda

6
secara signifikan dengan seperti apa gender tersebut diasosiasikan. Transgender
terbagi atas dua jenis yaitu female to male transgender (FtM), dan male to female
transgender (MtF) (IOM, 2011). Di Indonesia, male to female transgender ini
lebih akrab disebut dengan waria (STBP,2007). Dalam DSM IV-TR (2004),
gangguan identitas gender pada masa dewasa dimanifestasikan dengan adanya
keinginan yang kuat untuk melakukan peran seks lain (dalam hal ini, pria
memiliki keinginan untuk melakukan peran seks sebagai perempuan), atau
mendapatkan penampilan seks yang berbeda dengan manipulasi hormon dan
operasi. Perroto dan Culkin (1993) juga menungkapkan bahwa transgender
adalah individu yang merasakan adanya ketidaksesuaian fisik dan gendernya.
Biasanya orang-orang ini merasa adanya perbedaan persepsinya mengenai jenis
kelaminnya pada masa kanak-kanak dan pada masa kini Berdasarkan penjelasan
diatas dapat kita simpulkan bahwa male to female transgender adalah individu
dengan seks sebagai seorang lakilaki, akan tetapi memiliki identitas gender
sebagai seorang perempuan yang ditampilkan dengan melakukan peran gender
sebagai seorang wanita.

2.4.2. Etiologi
1. Faktor Biologis
Pada mamalia, jaringan awal adalah sebagai wanita, tetapi seiring
perkembangan fetus, pria diproduksi jika terdapat androgen (dihasilkan
oleh kromosom Y, yang bertanggung jawab dalam perkembangan
testikuler). Tanpa testis dan androgen, akan terjadi perkembangan organ
genitalia eksterna wanita. Steroid seks mempengaruhi periaku seksual
pada pria dan wanita; testosteron meningkatkan libido dan agesivitas pada
wanita, dan estrogen menurunkan libido dan agresivitas pria. Akan tetapi
maskulinitas, feminin, dan identitas gender lebih merupakan hasil dari
kejadian posnatal dibandingkan faktor hormonal prenatal.
Penyebab genetik dari disforia gender masih dalam tahap penelitian,
tetapi belum ada kandidat gen yang teridentifikasi, dan variasi kromosom
masih belum jelas pada populasi transgender. Penemuan insidental yaitu

7
seorang transgender cenderung seorang pengguna tangan kiri lebih
dominan (kidal).

2. Faktor Psikososial
Anak biasa mengembangkan indentitas gender yang sesuai dengan
gender yang didapat sjak lahir. Pembentukan identitas gender dipengaruhi
oleh interaksi antara temperamen anak dan kualitas dan atitude orang tua.
Secara sosia, seorang anak laki-laki tidak diharapkan bersifat feminin dn
anak perempuan bersifat maskulin. Terdpat permainan anak laki-laki
(seperti permainan polisi da perampok) serta permainan anak perempuan
(seperti boneka dan rumah boneka). Peran-peran ini dipelajari walaupun
beberapa peneliti yakin bahwa beberapa anak laki-laki temperamen nya
halus dan sensitif, dan ykin bahwa beberapa anak perempuan agresif dan
berenergi-ciri yang secara setreotipik, dikenal di budaya saat ini berturut-
turut sebagai feminin dan maskulin.
Kualitas hubungan ibu-anak pada tahun pertama kehidupan paling
penting dalam menegakkan identitas gender. Selama periode ini, ibu
normalnya memfasilitasi kesadaran anaknya dan rasa bangga mengenai
gender yang dimiliki; anak dinilai sebagai anak laki-lakki dan anak
perempuan kecil, tetapi ibu yang memusuhi dan merendahkan dapat
menimbulkan masala gender. Pada waktu yang bersamaan, perpisahan-
proses pengindividuan, bersifat terbuka. Ketika masalah gender menjadi
terkait dengan masalah pengindividuan-perpisahan, akibatnya dapat
berupa penggunaan sksualitas untuk teteap mempertahankan hubungan
yang ditandai oleh silih bergantinya kedekatan infantil yang putus asa dan
kerenggangan yang tidak bersahabat.
Sejumlah anak diberikan pesan bahwa mereka akan lebih berharga jika
mengadopsi identitas gender dari jenis kelamin yang berlawanan. Anak
yang tidak diinginkan atau disiksa dapat berlaku dengan keyakinan seperti
itu. Masalah identitas gender juga dapat dipicu oleh kematian ibu,
ketiadaan dalam waktu lama atau depresi, yang mengakibatkan seorang

8
anak laki-laki mungkin bereasi dengan benar-benar menganggap dirinya
sama dengan ibuya-aitu, dengan menjadi ibu untuk menggantikan ibunya.
Pera ayah juga penting pada tahun-tahun awal dan keberadaan ayah
biasaya membantu proses pengindividuan-perpisahan. Tanpa seorang
ayah, bi dan anak dapat terlalu dekat. Untuk anak perempuan, seorang
ayah biasanya menjadi prototipe objek yang dicintai di masa mendatang;
untuk anak laki-laki, ayah merupakan model untuk identifikasi laki-laki.

2.4.3. Diagnosis
Dalam DSM IV TR, gambaran penting pada gangguan identitas gender
adalah distress seseorang yang enetap dan hebat mengenai jenis kelamin aslinya
dan keinginan untuk menjadi, atau sikap bersikeras bahwa ia berjenis kelamin
sebaliknya. Sebagai anak-anak, anak laki-laki dan anak perempuan menunjukkan
ketidaksukaan terhadap cra berpakaian feminin atau maskulin yang normatif dan
stereotipik serta menyangkal ciri anatamis mereka. Adapun kriteria diagnosis
menurut DSM IV TR yaitu:
a. Adanya identitas yang kuat dan menetap terhadap gender lawan jenis.
Pada anak-anak, terdapat beberapa ciri, yaitu :
1. Berulangkali menyatakan keinginan untuk menjadi atau memaksakan
dirinya sebagai lawan jenis
2. Lebih suka memakai pakaian lawan jenis;
3. Lebih suka berperan sebagai lawan jenis dalam bermain atau terus-
menerus berfantasi menjadi lawan jenis;
4. Lebih suka melakukan permainan yang merupakan stereotip lawan
jenis;
5. Lebih suka bermain dengan teman-teman dari lawan jenis. Pada remaja
dan orang dewasa, simtom-simtom seperti, keinginan untuk menjadi
lawan jenis, berpindah ke kelompok lawan jenis, ingin diperlakukan
sebagai lawan jenis, keyakinan bahwa emosinya adalah tipikal lawan
jenis.

9
b. Adanya ketidaknyamanan terhadap seks atau adanya rasa ketidaksesuaian
terhadap peran gender seks tersebut
1. Pada anak-anak, terwujud dalam salah satu hal di antaranya :
- Pada laki-laki, merasa jijik dengan penisnya dan yakin bahwa
penisnya akan hilang seiring berjalannya waktu; tidak menyukai
permainan yang biasanya dimainkan anak laki-laki.
- Pada anak perempuan, menolak untuk membuang air kecil dengan
cara duduk; memiliki keyakinan bahwa penis akan tumbuh; merasa
tidak suka dengan payudara yang membesar dan menstruasi; merasa
benci atau tidak suka terhadap pakaian perempuan yang konvensional.

2. Pada remaja dan orang dewasa, terwujud dalam salah satu hal
diantaranya : keinginan kuat untuk menghilangkan karakteristik jenis
kelamin sekunder melalui pemberian hormon dan/atauoperasi; yakin
bahwa ia dilahirkan dengan jenis kelamin yang salah.

c. Gangguan ini tidak bersamaan dengan kondisi fisik interseks


d. Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lain.

2.4.4. Epidemiologi
Sebagian besar anak-anak dengan gender disforia datang untuk
pemeriksaan klinis pada usia awal sekolah. Orang tua biasanya melaporkan
perilaku yang tidak sesuai dengan gnederna pada usia sebelum 3 tahun. Pada
anak laki-laki usia dibwah 12 tahun yang datang untuk pemeriksaan kesehatan,
didapatkan sekitar 10% memiliki keinginan untuk memiliki gender yang
berlawanan, sedangkan pada anak perempuan usia dibawah 12 tahun, terdapat
5% anak yang ingin menjadi gender berlawanan. Perbandingan antara anak laki-
laki : perempuan yang mengalami disforia gender adalah 4 : 1. Berdasarkan
penelitian, didapatkan bahwa anak-anak yang dianggap memiliki perilaku yang
tidak sesuai dengan gender nya tidak akan tumbuh menjadi transgender pada saat

10
dewasa, sedangkan anak-anak yang tidak diidentifikasi memiliki perilaku tidak
sesuai dengan gender nya yang tumbuh menjadi transgender pada saat dewasa.
Berdasarkan DSM-5 prevalensi gender disforia pada usia dewasa adalah
0,005-0,014% pada laki-laki dan 0,002-0,003% pada perempuan. Prevalensi pria-
wanita disforia gender lebih tinggi daripada wanita-pria disforia gender tidak
lepas dari penerimaan sosial yang lebih tinggi pada disforia gender wanita-pria
atau biasa disebut tomboy, dibandingkan pria-wanita disforia gender.

2.4.5. Gambaran Klinis


Tidak ada garis tegas yang dapat ditarik mengenak kelanjutan gangguan
identitas gender anatara anak yang harus diberikan diagnosis formal dan anak
yang seharusnya tidak diberikan diagnsis tersebut. Anak perempuan dengan
gangguan ini biasanya memiliki banyak teman laki-laki dan minat yang kuat
pada olahraga permainan yang kasar serta bergulingan; mreka tidak tertarik
bermain boeka atau rumah-rumahan (kecuali mereka berperan sebagai ayah atau
peran laki-laki lainnya). mereka mungkin menolak untuk buang air kecil dengan
posisi duduk, menyatakan bahwa mereka memiliki atau akan tumbuh pnis, tidak
ingin tumbuh payudara atau mengalami menstruasi, dan menyatakan dengan
tegas bahwa merea akan tumbuh menjadi seorang laki-laki(bukan hana
memainkan peran laki-laki).
Anak laki-laki dengan gangguan ini biasanya memiliki perokupasi
tentang aktivitas perempua yang stereotipik. Mereka mungkin memiliki
kecendrungan berpakaian perempuan atau dapat mereka-reka pakaian tersebut
dari bahan yang tersedia jika pakaian aslinya tidak tersedia. (memakai pakaian
lawan jenis ini khasnya tidak menyebabkan kegairahan seksual, seperti pada
fetisme transvestik). mereka sering memiliki keinginan yang begitu kuat untuk
turut serta dalam permainan dan aktivitas anak perempuan. Boneka perempuan
sering menjadi pemainan favorit mereka dan anak perepuan adalah teman yang
mereka pilih. Saat sedang bermain rumah-rumahan, mereka mengambil peran
anak perempuan, sikap dan tindakannya sering dinilai feminin, dan mereka
biasanya menjadi subjek godaan dan penolakan dari kelompok sebaya laki-laki,
suatu fenomena yang terkadang terjadi pada nak pereempuan tomboi hingga

11
masa remaja. Anak laki-laki dengan gangguan ini mungkiin menyatakan bahwa
penis dan testis nya menjijikan atau akan hilang atau bahwa akan lebih baik jika
mereka tidak memiliki pnis atau testis. Sejumlah anak menolak datang ke sekolah
karena ejekan atau tekanan untuk berpakaian sesuai dengan jenis kelamin
aslinya. Sebagian besar anak menyangkal merasa terganggu dengan gangguan ini
kecuali bahwa gangguan ini menyebabkan konflik terhadap harapan keluarga
atau teman sebaya mereka.
Sebagian bsar studi retrospektif mengenai transeksual melaporkan adanya
masalah identitas gender selama masa kanak-kanak, tetapi studi prospektif pada
anak dengan gangguan identitas gendeer menunjukkan bahwa sedikit di antara
mereka yang menjadi transgender dan ingin menguubah jenis kelamin.
Transeksual dewasa viasanya engeluh bahwa mereka tidak nyaman mengenakan
pakaian sesuai jenis kelain aslinya; oleh karena itu, mereka berpakaian seperti
lawan jenis dan terlibat dalam aktivitas yang berkaitan dengan lawan jenis.
Mereka merasa alat kelamin mereka menjijika, suatu perasaan yang dapat
menyebabkan permintaan permanen untuk pembedahan. Keinginan ini mungkin
mengalahkan semua keinginan lain.
Laki-laki memakai estrogen utuk membentuk payudara dan kontur
femininya, melakukan elektrolisis untuk membuang rambut laki-lakinya, dan
menjalani pembedahan untuk membuang testis dan penis serta untuk membuat
vagina buatan. Perempuan mengikat payudaranya atau menjalani mastektomi
ganda, histerektomi, dan ooforektomi; memakai testosteron untuk membangun
massa otot dan memperberat suara; dan menajalani pembedahan untuk
membentuk penis buatan, prosedur ini dapat membuat orang tersebut tidak dapat
dibedakan dengan lawan jenisnya. Sejumlah penelitianya menggambarkan
perilaku orang yang mengubah jenis kelamin nyaris sebagai kariatur yang
mewakili peran gendernya yag baru.

2.4.6. Penatalaksanaan
Terapi gangguan identitas gender rumit dan jarang berhasil jika tujuannya
untuk menyembuhkan gangguan. Sebagian besar orang dengan gangguan

12
identitas gender memiliki gagasan dan nilai yang terfiksasi dan tidak ingin
berubah. Jika dan ketika mereka mengikuti psikoterapi, paling sering adalah
karena depresi atau anxietas yang menyertai keadaan mereka. Masalah
countertransference harus diselesaikan dengan hati-hati oleh therapis, banyak
terapis yang merasa tidak nyaman dengan pasien yang memiliki gangguan
identitas gender.
Pasien remaja sulit diterapi karena adanya krisis identitas normal dan
kebingungan identitas gender secara bersamaan. Remaja laim berpura-pura dan
arang memiliki motivasi kuat untuk mengubah stereotipe peran gender mereka
yang berlawanan. Pasien dewasa umumnya mengikuti psikoterapi untuk
mempelajari cara menghadapi gangguan mereka, bukan untuk mengubahnya.
Terapis biasanya membuat suatu tujuan untu membantu pasien merasa nyaman
dengan identitas gender yang mereka inginkan, bukan menciptakan orang dengan
identitas seksual seharusnya. Terapi juga menggali pembedahan ganti kelamin
dan indikasi serta kontraindikasi untuk prosedur tersebut, yang sering secra
impulsif, diptuskan oleh pasien yang sangat menderita dan cemas.

2.4.6.1. Pembedahan Ganti Kelamin


Terapi pembedahan bersifat definitf, dan karena bersifat
irreversibel, standar yang teliti sebelum pembedahan telah dikembangkan.
Diantara standar ini adalah sebagai berikut: Pasien harus menjalani
percobaan kehidupan gender berlawanan selama sedikitnya 3 bulan dan
kadang-kadang hingga 1 tahun. Untuk sebagian transeksual, uji keidupan
yang sebenarnya dapat mengubah pikiran mereka karena mereka merasa
tidak nyaman untuk berhubungan dengan tean, rekan kerja, dan kekasih
saat berperan tersebut. Pasien harus menerima terapi hormon, dengan
estradiol dan progesteron pada perubahan laki-laki menjadi perempuan
dan testosteron pada perubahan perempuan menjadi laki-laki. Banyak
transeksual menyukai perubahan yang terjadi di dalm tubuh merea
sebagai hasi terapi dan berhenti sampai disitu. Kira0kira 50% transeksual
yang memenuhi kriteria ini dengan pembedhan ganti kelamin. Penelitian
hasilnya sangat bervariasi menurut bagaiaman keberhasilan didefinisikan

13
dan diukur (contohnya, hubungan seks yang berhasil dan kepuasan citra
tubuh).
Kira-kira 70% pasien yang menjalani pembedahan ganti
kelamin dari laki-laki menjadi perempuan dan 80% perempuan menjadi
laki-laki melaporkan hasil yang memuaskan. Hasil yang tidak memuaskan
berhuubungan dengan gangguan jiwa yang telah ada sebelumnya. Bunuh
diri oleh pasien pascaoperasi ganti kelamin telah dilaporkan sampai 2 %
kasus. Pebedahan ganti kelamin merupakan suatu cara yang sangat
kontroversial yang sedang banyak diteliti.

2.4.6.2. Terapi Hormon


Kedua jenis kelamin dapat diterapi dengn hormon selain
pembedahan. Mereka yang secara biologis adalah laki-laki dapat
menggunakan estrogen, dan mereka yang secara biologis perepmuan
menggunakan testosteron. Pasien yag menerima estrogen biasanya
melaporkan kepuasan psikologis dengan segera, didasarkan pada rasa
tenang, ereksi yang lebih jarang, dan manifestasi dorongan seksual yang
lebih sedikit daripada sebelumnya. Kondisi steril yang baru bagi merea
bukanlah masalah. Setelah beberapa bulan, kontur tubuh merea menjadi
bundar, pembesaran payudara yang terbatas tteapi cukup memuaskan
terjadi, dan volume testis berkurang. Kualitas suara tidak berubah. Klinisi
harus mengamati adanya hipertensi, hiperglikemia, disfungsi hepatik, dan
fenomena tromboembolik pada pasien.
Perempuan yang mendapat androgen dengan cepat merasakan
adanya peningkatan dorongan seksual, pembesaran dan rsa geli pada
klitoris, dan setetlah beberapa bulan, amenore serta serak. Jika pasien
melakukan angkat bebsab, peningkatan massa otot yang menonjol terjadi.
Bergantung pada distribusi rambut yang telah ada, pasien daat mengalami
peningkatan sedang jmlah dan kekerasan rambut wajah dan tubuh;
beberapa dari merea mengalami kebotakan didaerah forntal. Fenomena
tromboembolik, disfungsi hepatik, dan peingkatan kadar kolestrol serta
trigliserida mungkin terjadi.

14
2.4.7. Prognosis
Prognosis untuk gangguan identitas gender bergantung pada onset usia
dan intensitas gejala. Anak laki-laki mulai memiliki gangguan ini sebelum usia 4
tahun, dan konflik dengan sebaya terjadi selama tahun-tahun awal, sekolah
sekitar usia 7 atau 8 tahun. Sikap feminin yang jelas dapat berkurang ketika anak
laki-laki bertambah usianya, terutama jika upaya dilakukan untuk menghambat
perilaku tersebut. Memakai pakaian lawan jenis dapat merupakan bagian dari
gangguan ini, dan 75% anak laki-laki yang mulai melakukannya, memulainya
sebelum usia 4 tahun. Onset usia biasanya dini untuk anak perempuan, tetapi
sebagian bbesar menunjukkan perilaku maskulin saat remaja.
Pada kedua jenis kelamin homoseksualitas cendeung terjadi sebaliknya
pada sepertiga hingga duapertiga kasus, walaupun alasannya tidak jelasm lebih
sedikit anak perempuan yang memiliki orientasi homoseksual daripada anak laki-
laki. Steven Levine melaporkan bahwa studi follow up pada anak laki-laki
dengan gangguan gender secara konsisten menujukkan bahwa orientasi
homoseksual biasanya merupakan hasil akhir pada remaja tersebut.
Gangguan fungsi sosial dan pekerjaan akibat keinginan seseorang turut
serta dalam peran gender yang diinginkan 9dan berlawanan) lazim terjadi.
Depresi juga merupakan asalah yang lazim terutama jika orang tersebut merasa
putus asa untuk mendapatkan perubahan jenis kelamin dengan pembedahan atau
hormon. Laki-laki telah diketahui mengastrasi diri mereka sendiri, bukan sebagai
percobaan bunuh diri tetapi sebagai cara memaksa seorang ahli bedah untuk
mengatasi masalah mereka.

15
BAB III
PENUTUP

Orientasi seksual adalah komponen dari identitas yang termasuk ketertarikan


seksual dan emosional seseorang terhadap seseorang lainnya dan afiliasi perilaku
dan/atau sosial yang dapat dihasilkan dari ketertarikan ini. Seseorang dapat tertarik
kepada laki-laki, perempuan, dua-duanya, tidak ada, atau orang-orang yang
genderqueer. Individu tersebut diidentifikasi sebagai lesbian, gay, heteroseksual,
biseksual, queer, panseksual, atau aseksual.1
Lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) merupakan suatu ganguan
identitas gender dan gangguan preferensi seksual. Menurut standar kompetensi dokter
indonesia (SKDI), tingkat kompetensi gangguan tersebut adalah 2, yaitu seorang
dokter mampu mendiagnosis dan merujuk. Oleh karena itu, melalui makalah ini akan
membahas mengenai definisi, etiologi, epidemiologi, faktor risiko, diagnosis dari
LGBT.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. American Psychological Association. 2015. Guidelines for Psychological


Practice With Transgender and Gender Nonforming People. American
Psychological Association Vol. 70(9): 832−864.
2. Sadock, B.J. dan V.A. Sadock. 2010. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis Edisi 2. Jakarta: EGC.
3. Edobor, J.O. dan E. Rosemary. 2015. Factor-Influencing Lesbiansm Among
Female Students in Rivers Stase University of Education, Port Harcourt,
Nigeria. International Journal of Academic Research and Reflection Vol. 3(6):
43−51.
4. Robinson, C.M. dan S.E. Spivey. 2015. Putting Lesbians in Their Place:
Deconstructing Ex-Gay Discourses of Female Homosexuality in a Global
Context. Social Siences Vol.4: 879−908.
5. Gates, G.J. 2011. How Many People are Lesbian, Gay, Bisexual, and
Transgender?. Williams Distinguished Scholar, The Williams Institute, UCLA
School of Law.
6. Dawood, K., J.M. Bailey, dan N.G. Martin. 2009. Handbook of Behavior
Genetics Chapter 19: Genetic and Environmental Influences on Sexual
Orientation. Springer Science and Business Media.
7. Caroll, Jamell L. (2005) Sexuality Now. Embaracing Diversity. Belmont :
Thomson Wadsworth
8. TROIDEN RR. B ECOMING HOMOSEXUAL : A MODEL OF GAY IDENTITY

ACQUISITION. PSYCHIATRY 1979;42:362-373


9. Kaplan, H.I., B.J. Sadock, dan J.A. Grebb. 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis
Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis Jilid I. Jakarta:
BINARUPA AKSARA
10. Elvira SD, Hadisukanto G. Gangguan Psikoseksual. Buku Ajar Psikiatri Edisi
2. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia, 2013;340 – 1.
11. Pranata TD. Perilaku dan Realitas Sosial Kehidupan Gay di Kota Samarinda.
eJournal Sosiatri – Sosiologi, 2015;3(3):135 – 50.
12. K.Dawood, et al. 2009. Genetic and Environmental Influences on Sexual
Orientation

17
13. Richard C. Friedman, dan Jennifer I. Downey. Homosexuality. N Engl J Med
1994; 331:p 923-930
14. Sadock BJ, Sadock VA. Seksualitas Manusia. Muttaqin H, Sihombing RNE,
Editor. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. 02 th ed. Jakarta : EGC;
2010. Hal. 298-22
15. Child Welfare League of America (2006). CWLA Best Practice Guidelines:
Serving LGBT youth in out-of-home care. Child Welfare League of America:
Washington, D.C.
16. Alwisol. 2005. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang: UMM Press.
17. Darmawan, A. 2008. Jangan Panik Menjadi Biseksual,
(Online). (http://cyberman.cbn. net. id/detil.asp?kategori=Sex&newsno=216),
diakses 26 September 2011.
18. Nevid, J.S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal. (Penerjemah: Tim Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia). Jakarta: Erlangga.
19. Nugraha, B. D. 30 Januari 2008. Biseksual Bukan Penyakit Menular. Nurani,
hlm. 18.
20. RHO. 2011. RHO Fact Sheet: Bisexual Health, (Online),
(http://www.RainbowHealthOntario.ca), diakses 27 September 2011.
21. Wiener, J. M. & Breslin, N. A. 1995. The Behavioral Science in Psychiatry.
USA: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.
22. Gates, G. 2014. Understanding Issues Facing Bisexual Americans. USA:
Bisexual Resource Center.

18

Anda mungkin juga menyukai