BAB I
Pengantar Konsep Dasar Bahasa dan Sastra Indonesia
A. Hakikat Bahasa
Menurut Keraf (1984:16) bahasa adalah alat komunikasi antar-anggota masyarakat, berupa
lambing bunyi suara, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Meskipun Batasan bahasa yang
dikemukakan Keraf ini terlihat sangat sederhana, apa yang menjadi hakikat ahasa dan lambing
bunyi suara itu tidaklah serta merta dapat dipahami dan disepakati dengan mudah oleh semua
pihak.
Bahasa merupakan sebuah sistem yang bersifat sistematis. Selain bersifat sistematis, juga
bersifat sistemis. Dengan sistematis maksudnya bahasa itu tersusun menurut pola tertentu, tidak
tersusun secara acak atau sembarangan. Sistemis artinya sistem bahasa itu bukan merupakan suatu
sistem tunggal, melainkan terdiri dari sebuah subsistem yakni subsistem fonologi, subsistem
morfologi, subsistem sintaksis, dan subsistem leksikon. Menurut sitem bahasa Indnesia baik
bentuk kata maupun urutan kata sama-sama penting, dan kepetingannya itu berimbang.
Secara tradisional, jika dikemukakan apakah bahasa itu, bahasa adalah alat untuk
berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasa,
konsep atau perasaan. Dalam hal ini, bahasa memiliki fungsi dan kedudukan dalam kehdiupan
manusia
Ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa yaitu:
1. Bahasa itu adalah sebuah sistem
Bahasa sebagai sebuah sistem merupakan suatu susunan teratur berpola yang
membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Ia terdiri dari unsur-unsur atau
komponen-komponen yang secara teratur menurut pola tertentu, dan membentuk satu kesatuan.
Sebagai sebuah sistem, bahasa sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Bersifat sistematis
artinya bahwa bahasa tersusun menurut satu pola yang tidak tersusun secara acak atau
sembarangan. Sementara secara sistemis berarti bahwa bahasa itu bukan merupakan sistem
tunggal, tapi terdiri juga dari ub-sistem atau sistem bawahan, seperti sub-sistem fonologi, sub-
sistem morfologi, sub-sistem sintaksis, sub-sistem semantik. Kemudian tiap-tiap unsur dalam
subsistem- subsistem tersebut juga tersusun menurut aturan pola tertentu, yang secara
1
Wahyu Nugroho
PGSD UNU Yogyakarta
keseluruhan membentuk satu sistem. Jika tidak tersusun menurut aturan atau pola tertentu,
maka subsistem tersebut tidak dapat berfungsi.
2. Bahasa itu Berwujud Lambang
Lambang dengan berbagai seluk beluknya dikaji orang dalam bidang kajian ilmu
semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam kehidupan manusia.
Dalam semiotika dibedakan adanya beberapa tanda yaitu: tanda (sign), lambang (simbol),
sinyal (signal), gejala (sympton), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon. Lambang
bersifat arbitrer, artinya tidak ada hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang
dengan yang dilambangkannya.
3. Bahasa bersifat arbiter
Kata arbiter mengandung arti manasuka. Tetapi istilah arbiter disis adalah tidak adanya
hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan konsep atau pengertian
yang dimaksud oleh lambang tersebut (chaer 1994:45). Yang dimaksud dengan arbiter adalah
tidak adanya hubungan langsung yang bersifat wajib antara lambang bahasa dengan yang
dilambangkannya. Dengan kata lain, hubungan antara bahasa dengan wujud bendanya hanya
didasarkan pada kesepakatan antara penurut bahasa di dalam masyarakat bahasa yang
bersangkutan. Misalnya, lambang bahasa yang berwujud bunyi kuda dengan rujukannya yaitu
seekor binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, tidak ada hubungannya sama sekali, tidak
ada ciri alamiahnya sedikitpun.
4. Bahasa bersifat konvensional
Konvensional dapat diartikan sebagai satu pandangan atau anggapan bahwa kata-kata
sebagai penanda tidak memiliki hubungan intrinsik atau inhern dengan objek, tetapi
berdasarkan kebiasaan, kesepakatan, atau persetujuan masyarakat yang didahului pembentukan
secara arbiter. Tahapan awal adalah manasuka/arbiter, hasilnya disepakati,dikonversikan,
sehingga menjadi konsep yang terbagi bersama.
5. Hanya dikenal didunia manusia
Alat komunikasi manusia berbeda dengan binatang. Alat komunikasi binatang bersifat
tetap, statis. Sedangkan alat komunikasi manusia, yaitu bahasa bersifat produktif dan dinamis.
Maka, bahasa bersifat manusiawi, dalam arti bahasa itu hanya milik manusia dan hanya dapat
digunakan oleh manusia.
2
Wahyu Nugroho
PGSD UNU Yogyakarta
3
Wahyu Nugroho
PGSD UNU Yogyakarta
Selain bersifat unik, bahasa juga bersifat universal. Artinya, ada ciri-ciri yang sama yang
dimiliki oleh setiap bahasa yang ada di dunia ini. Misalnya, ciri universal bahasa yang paling
umum adalah bahwa bahasa itu mempunyai bunyi bahasa yang terdiri dari vokal dan konsonan.
11. Bahasa itu bersifat produktif
Bahasa bersifat produktif, artinya meskipun unsur-unsur bahasa itu terbatas, tetapi
dengan unsur-unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan-satuan bahasa yang tidak
terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu. Misalnya,
kita ambil fonem dalam bahasa Indonesia, /a/, /i/, /k/, dan /t/. Dari empat fonem tersebut dapat
kita hasilkan satuan-satuan bahasa:
/i/-/k/-/a/-/t/
/k/-/i/-/t/-/a/
/k/-/i/-/a/-/t/
/k/-/a/-/i/-/t/
4
Wahyu Nugroho
PGSD UNU Yogyakarta
menjadi dinamis. Perubahan itu dapat berupa pemunculan kata atau istilah baru, peralihan
makna sebuah kata, dan perubahan-perubahan lainnya.
B. Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa anak melibatkan dua keterampilan, yaitu kemampuan untuk
menghasilkan tuturan secara spontan dan kemampuan memahami tuturan orang lain. Jika
dikaitkan denga hal itu, maka yang dimaksud dengan pemerolehan bahasa adalah proses pemilikan
kemampuan berbahasa, baik berupa pemahaman atau pun pengungkapan, secara alami, tanpa
melalui kegiatan pembelajaran formal (Tarigan dkk., 1998). Selain pendapat tersebut, Kiparsky
dalam Tarigan (1988) mengatakan bahwa pemerolehan bahasa adalah suatu proses yang digunakan
oleh anak-anak untuk menyesuaikan serangkaian hipotesis dengan ucapan orang tua sampai dapat
memilih kaidah tata bahasa yang paling baik dan paling sederhana dari bahasa bersangkutan.
Dengan demikian, proses pemerolehan adalah proses bawah sadar. Penguasaan bahasa
tidak disadari dan tidak dipengaruhi oleh pengajaran yang secara eksplisit tentang sistem kaidah
yang ada di dalam bahasa kedua. Berbeda dengan proses pembelajaran, adalah proses yang
dilakukan secara sengaja atau secara sadar dilakukan oleh pembelajar di dalam menguasai bahasa.
Adapun karakteristik pemerolehan bahasa menurut Tarigan dkk. (1998) adalah: (a)
berlangsung dalam situasi informal, anak-anak belajar bahasa tanpa beban, dan di luar sekolah; (b)
pemilikan bahasa tidak melalui pembelajaran formal di lembagalembaga pendidikan seperti
sekolah atau kursus; (c) dilakukan tanpa sadar atau secara spontan; dan (c) dialami langsung oleh
anak dan terjadi dalam konteks berbahasa yang bermakna bagi anak.
Kalau kita perhatikan, posisi bahasa Indonesia dalam pemerolehan bahasa bagi anak
Indonesia akan ditemukan bahwa ada anak yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama dan ada pula menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Anak yang menjadikan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, bahasa pertama yang dikenal dan dikuasai adalah bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesialah yang pertama-tama dijadikan sebagai sarana komunikasi verbal
sejak dia bayi. Anak yang bahasa pertamanya bahasa Indonesia banyak dijumpai sekarang ini,
terutama pada keluarga yang tinggal di kota. Penyebabnya sebagai berikut.
(1) Perkawinan antarpenutur bahasa yang berbeda. Masing-masing pihak tidak saling memahami
bahasa daerah pasangannya.
(2) Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang sama dengan situasi berikut ini.
5
Wahyu Nugroho
PGSD UNU Yogyakarta
6
Wahyu Nugroho
PGSD UNU Yogyakarta
Contoh
Ujaran makna
Bum-bum (sambal menunjuk motor) ingin naik motor
Kata-kata pertama yang lazim diucapkan berhubungan dengan objekobjek nyata atau
perbuatan. Kata-kata yang sering diucapkan orang tua sewaktu mengajak bayinya berbicara
berpotensi lebih besar menjadi kata pertama yang diucapkan si bayi. Selain itu, kata tersebut
mudah bagi dia. Misalnya kata “papa” itu kan konsonan bilabial yang mudah diucapkan. Selain
itu, kata-kata tersebut mengandung fonem “a” yang secara artikulasi juga mudah diucapkan
(tinggal membuka mulut saja).
Memahami makna kata yang diucapkan anak pada masa ini tidaklah mudah. Untuk
menafsirkan maksud tuturan anak harus diperhatikan aktivitas anak itu dan unsur-unsur non-
linguistik lainnya seperti gerak isyarat, ekspresi, dan benda yang ditunjuk si anak. Mengapa
begitu? Menurut Tarigan dkk, (1998) ada dua penyebab, yaitu sebagai berikut.
Pertama, bahasa anak masih terbatas sehingga belum memungkinkan mengekspresikan ide
atau perasaannya secara lengkap. Keterbatasan berbahasanya diganti dengan ekspresi muka, gerak
tubuh, atau unsur-unsur nonverbal lainnya.
Kedua, apa yang diucapkan anak adalah sesuatu yang paling menarik perhatiannya saja.
Sehingga, tampa mengerti konteks ucapan anak, kita akan kesulitan untuk memahami maksud
tuturannya.
3. Tahap dua-kata (18 – 24 bulan)
Pada masa ini, kebanyakan anak sudah mulai mencapai tahap kombinasi dua kata. Kata-
kata yang diucapkan ketika masih tahap satu kata dikombinasikan dalam ucapan-ucapan pendek
tanpa kata penunjuk, kata depan, atau bentuk-bentuk lain yang sseharusnya digunakan. Anak mulai
dapat mengucapkan “Ma, pelgi”, maksudnya “Mama, saya mau pergi”. Pada tahap dua kata ini
anak mulai mengenal berbagai makna kata tetapi belum dapat menggunakan bentuk bahasa yang
7
Wahyu Nugroho
PGSD UNU Yogyakarta
menunjukkan jumlah, jenis kelamin, dan waktu terjadinya peristiwa. Selain itu, anak belum dapat
menggunkan pronomina saya, aku, kamu, dia, mereka, dan sebaginya.
4. Tahap banyak-kata (3 – 5 tahun)
Pada saat anak mencapai usia 3 tahun, anak semakin kaya dengan perbendaharaan
kosakata. Mereka sudah mulai mampu membuat kalimat pertanyaan, penyataan negatif, kalimat
majemuk, dan berbagai bentuk kalimat. Terkait dengan itu, Tompkins dan Hoskisson dalam
Tarigan dkk. (1998) menyatakan bahwa pada usia 3 – 4 tahun, tuturan anak mulai lebih panjang
dan tatabahasanya lebih teratur. Dia tidak lagi menggunakan hanya dua kata, tetapi tiga atau lebih.
Pada umur 5 – 6 tahun, bahasa anak telah menyerupai bahasa orang dewasa. Sebagian besar aturan
gramatika telah dikuasainya dan pola bahasa serta panjang tuturannya semakin bervariasi. Anak
telah mampu menggunkan bahasa dalam berbagai cara untuk berbagai keperluan, termasuk
bercanda atau menghibur.
Selanjutnya, tidak berbeda jauh dengan tahapan perkembangan bahasa anak seperti yang
telah diurakan, Piaget (dalam Nurhadi dan Roekhan, 1990) membagi tahap perkembangan bahasa
sebagai berikut.
(1) Tahap meraban (pralinguistik) pertama pada usia 0,0 – 0,5
(2) Tahap meraban (pralinguistik) kedua: kata nonsens, pada usia 0,5 – 1,0.
(3) Tahap linguistik I: holofrastik, kalimat satu kata, pada usia 1,0 – 2,0.
(4) Tahap linguistik II: kalimat dua kata, pada usia 2,0 – 3,0.
(5) Tahap linguistik III: pengembangan tata bahasa, pada usia 3,0 – 4,0.
(6) Tahap linguistik IV: tata bahasa pradewasa, pada usia 4,0 – 5,0.
(7) Tahap lingistik V: kompetensi penuh, pada usia 5,0.