FREEPORT
INDONESIA
Disusun Oleh:
Andy Saputra
(141434077) (141434038)
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat bimbingan dan kasih-Nya penulis
dapat menyelesaikan paper yang berjudul "Dampak Buruk Aktivitas Pertambangan PT. Freeport
Indonesia". Paper ini berisi paparan dan ulasan yang cukup mendalam mengenai berbagai dampak
yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan PT. Freeport Indonesia di Papua, yang telah
mengakibatkan kerugian besar serta kerusakan alam. Selain itu, aktivitas pertambangan PT. Freeport
Indonesia juga mengganggu berbagai siklus alam sehingga tidak hanya berdampak pada kerusakan
lingkungan tetapi juga pada kematian makhluk hidup.
Penulis berharap paper ini dapat menjadi sumber belajar yang bermanfaat bagi para pembaca
sehingga pembaca memeroleh pengetahuan mengenai apa saja dampak buruk aktivitas tambang PT.
Freeport Indonesia dan dapat berefleksi untuk melakukan tindakan nyata sebagai sumbangsih bagi
kebaikan lingkungan dan kesejahteraan manusia. Penulis sadar bahwa paper ini masih perlu
pengembangan lagi agar lebih baik, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca. Selamat berkarya dan Tuhan memberkati.
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam sehingga sejak dahulu
kala negeri ini dijajah oleh kaum asing yang rakus dan ingin mengambil hasil buminya. Meski
telah merdeka selama 70 tahun, Indonesia masih saja dijajah oleh negara asing yang berusaha
menguasai hasil bumi Indonesia, seperti PT. Freeport yang telah berdiri sejak era orde baru.
PT. Freeport Indonesia (PTFI) adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas
sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini adalah pembayar
pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan perusahaan penghasil konstentrat emas dan
tembaga terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan
eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang
Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Dalam melakukan eksplorasi di dua tempat tersebut PTFI melakukan perjanjian kontrak
sebanyak dua kali dengan pemerintah Indonesia. Perbandingan kontrak karya I dan II adalah
pada kontrak karya I luas arena kawasan pertambangan adalah 27.000 acres (11 ribu Ha) dengan
jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1967 sampai 1997. Fasilitas fiskalnya antara lain,
pajak hariannya selama 3 tahun setelah berproduksi dan tidak ada royalti sampai tahun 1986.
Kewajiban fiskalnya yaitu, pajak penghasilannya selama tahun 1976-1983 sebesar 35% dan pada
tahun 1983-kontrak berakhir sebesar 41,75%. Sedangkan kewajiban royaltinya sejak tahun 1986
untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak. Kepemilikannya sebesar 100%
oleh pihak asing sejak tahun 1967-1986 dan 0,5% oleh pihak pemerintah Indonesia serta 91,5
FCX pada tahun 1986 sampai masa kontrak berakhir.
Sedangkan pada kontrak karya ke II luas arena kawasan pertambangan adalah 6,5 juta acres (26 juta
Ha) dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1991 sampai 2021 dan
kemudian diperpanjang 20 tahun hingga tahun 2041. Dalam kontrak karya II tidak ada
fasilitas fiskal, namun kewajiban fiskalnya antara lain, pajak penghasilan 35%, pajak dividen dan
interest 15%, iuran tetap untuk wilayah KK, pajak penghasilan karyawan, PPn dan pajak barang
mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, pungutan, pajak, beban dan bea pemda serta bea pungutan
lainnya. Kewajiban royaltinya sejak tahun 1986 untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk
emas dan perak. Sedangkan kepemilikannya 81,28% oleh FCX, 9,36% oleh pemerintah
Indonesia dan 9,36% oleh PT. Indocopper Investama.
Aktivitas pertambangan PTFI menimbulkan pro kontra di negara ini, sebab selain
menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi warga negara Indonesia dan sumber pemasukan
devisa negara yang besar, aktivitas pertambangan mereka telah merusak ribuan hektar hutan dan
mencemari sungai di sekitar lokasi tambang. Isu ini selama beberapa tahun menjadi sangat
hangat dan ramai diperbincangkan oleh khalayak umum, pemerintah dituntut untuk segera
mengambil tindakan untuk menanggulangi kasus ini sehingga dampak buruk dapat diminimalisir.
Berdasarkan masalah ini, penulis mencoba mengulas secara mendalam dan kritis tentang apa
sebenarnya yang terjadi dan solusi apa yang hendak dihadirkan untuk mengatasi masalah ini.
Sehingga, para pembaca dapat menambah wawasan dan ikut terinspirasi dalam melakukan
gerakan hijau untuk lingkungan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1. Untuk menguraikan dampak pertambangan PTFI dilihat dari perspektif ekologis, sosial-
ekonomi, dan hukum.
2. Untuk mengetahui nilai apa saja yang hilang akibat adanya pertambangan PTFI.
D. Manfaat
Penulis berharap paper ini dapat memberi manfaat bagi seluruh pembaca sehingga pembaca dapat
memiliki wawasan mengenai dampak buruk aktivitas pertambangan PTFI di lihat dari berbagai
perspektif. Selain itu, penulis berharap paper ini dapat menyadarkan pemerintah dan masyarakat
Indonesia untuk segera melakukan tindakan nyata dalam mengatasi kasus ini.BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Definisi Pertambangan
Salim (dalam Sulton 2011) menyatakan bahwa paradigma baru kegiatan industri pertambangan
ialah mengacu pada konsep pertambangan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, yang
meliputi; 1) Penyelidikan Umum (prospecting), 2) Eksplorasi: eksplorasi pendahuluan, eksplorasi
rinci, 3) Studi Kelayakan : teknik, ekonomik, lingkungan (termasuk studi amdal), 4) Persiapan
produksi (development, construction), 5) Penambangan (pembongkaran, pemuatan, pengangkutan,
penimbunan), 6) Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan, 7) Pengolahan (mineral dressing), 8)
Pemurnian/metalurgi ekstraksi, 9) Pemasaran, 10) Corporate Social Responsibility (CSR), 11)
Pengakhiran tambang.
Dari sekian jenis bahan tambang yang ada itu dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
1. ) Bahan galian strategis golongan A, terdiri atas : minyak bumi, aspal, antrasit, batu
bara, batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair, bitumen padat, gas alam, lilin
bumi, radium, thorium, uranium, dan bahanbahan galian radio aktif lainnya (antara lain
kobalt, nikel dan timah);
2. ) Bahan galian vital golongan B, terdiri atas: air raksa, antimon, aklor, arsin, bauksit,
besi, bismut, cerium, emas, intan, khrom, mangan, perak, plastik, rhutenium, seng,
tembaga, timbal, titan/titanium, vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam langka lainnya
(antara lain barit, belerang, berrilium, fluorspar, brom, koundum, kriolit, kreolin, kristal,
kwarsa, yodium, dan zirkom); dan
3. ) Bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah uruk, dan batu kerikil. Bahan ini
merupakan bahan tambang yang tersebar di berbagai daerah yang ada di Indonesia.
Berdasarkan jenis pengelolaannya, kegiatan penambangan terdiri atas dua macam yaitu
kegiatan penambangan yang dilakukan oleh badan usaha yang ditunjuk secara langsung oleh
negara melalui Kuasa Pertambangan (KP) maupun Kontrak Karya (KK), dan penambangan
yang dilakukan oleh rakyat secara manual. Kegiatan penambangan oleh badan usaha biasanya
dilakukan dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih sehingga hasil yang diharapkan
lebih banyak dengan alokasi waktu yang lebih efisien, sedangkan penambangan rakyat
merupakan aktivitas penambangan dengan menggunakan alat-alat sederhana.
C. Peraturan Pemerintah tentang Pertambangan
Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri
yang padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high technology).
Selain itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi
lokasi dimana cadangan bahan galian. Dengan karakteristik kegiatan usaha pertambangan
mineral dan batubara tersebut maka diperlukan kepastian berusaha dan kepastian hukum di
dunia pertambangan mineral dan batubara (Putri, 2012).
Tahun 2009 merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dengan
disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(UU Minerba). Perubahan mendasar yang terjadi
adalah perubahan dari sistem kontrak karya dan perjanjian menjadi sistem perijinan, sehingga
Pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang
memberi ijin kepada pelaku usaha di industri pertambangan mineral dan batubara. Kehadiran UU
Minerba tersebut menuai pro dan kontra. Ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa
beberapa kebijakan dalam UU Minerba tersebut tidak memberikan kepastian hukum terkait dengan
kegiatan usaha di bidang pertambangan mineral dan batubara dan memberikan hambatan masuk
bagi pelaku usaha tertentu. Industri mineral dan batubara menyangkut kepentingan banyak orang,
oleh karena itu kondisi di industri tersebut harus berada di dalam persaingan usaha yang sehat. Salah
satu syarat terciptanya persaingan yang sehat tersebut adalah tidak adanya hambatan masuk yang
berlebihan ke dalam industri tersebut, termasuk hambatan yang berasal dari kebijakan Pemerintah
(Putri, 2012).
Undang-undang Mineral dan batu bara mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1) Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan
pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
bersama dengan pelaku usaha.
2) Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum
Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan
mineral dan batu bara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh
Pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
3) Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan
mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi
yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah.
4) Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar- besar bagi
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan
ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan mencegah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang
pertambangan.
5)
7) Pertambangan mineral dan batubara dikelola dengan berazaskan manfaat, keadilan, dan
keseimbangan; keberpihakan pada kepentingan bangsa; partisipatif, transparasnsi dan
akuntabilitas; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
2) Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan hidup;
3) Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan atau sebagai sumber energi
untuk kebutuhan dalam negeri;
4) Mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di
tingkat nasional, regional, dan internasional;
5) Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara, serta menciptakan lapangan
kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan
6) Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara.
Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No.4 Tahun 2009 (UU Minerba) dapat dikatakan
sebagai langkah maju, tetapi masih dipenuhi dengan tantangan. Sebagian ruang bagi peran daerah
(provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi dalam undang-undang ini. Secara umum, aspek
pembagian kewenangan antar pemerintahan (pusat dan daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU
No.32 tahun 2004 yang menjadi landasan dalam penyusunan UU No.4 tahun 2009, maka substansi
yang terkandung dalam UU No.4 Tahun 2009 menggariskan kewenangan eksklusif pemerintah
(pusat) dalam hal sebagai berikut:
1) Penguasaan mineral dan batubara oleh Negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau
Pemerintah Daerah. (Pasal 4)
2) Pemerintah dan DPR menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan batubara bagi
kepentingan nasional. (Pasal5)
4) Penggolongan tambang mineral: radioaktif, logam, non logam dan batuan. (Pasal 34)
8) Wilayah pertambangan adalah bagian dari tata ruang nasional, ditetapkan pemerintah
setelah koordinasi dengan Pemda dan DPR. (Pasal 10)
5) IUPK bagi badan usaha berbadan hukum Indonesia dengan prioritas pada
BUMN/BUMD. (Pasal 75)
6) Kewajiban keuangan bagi Negara: Pajak dan PNBP. Tambahan bagi IUPK
pembayaran 10% dari keuntungan bersih.
A. Kajian Ekologis
Menurut data yang dilansir Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), aktivitas
pertambangan Freeport telah menghasilkan 1 milyar ton limbah industri dalam bentuk tailings
yang mengandung Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) ke sistem sungai Aghwagon-
Otomona-Ajkwa, meskipun pembuangan limbah tambang kedalam sungai telah dilarang oleh PP
82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pembuangan
tailings yang mengandung Air Asam Batuan PT. Freeport ini jelas telah memberikan dampak
yang cukup serius bagi ekosistem sekitar, mulai dari perusakan habitat muara, kontaminasi pada
rantai makanan di muara khususnya bagi spesies hewan dan tumbuhan yang berada disepanjang
sungai Ajkwa serta di kawasan Taman Nasional Lorentz.
Sungai Ajkwa merupakan satu dari tiga sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah
Freeport.Sungai ini merupakan area yang memiliki peranan penting bagi daerah sekitar serta
penduduk lokal (Suku Kamoro) pada khususnya. Dikarenakan pada muara sungai Ajkwa terdapat
lingkungan daratan dan perairan yang memiliki keragaman habitat diantaranya hutan bakau
setinggi 25-30 meter, hutan rawa dan sagu lahan basah (Ratih, 2014).
Suku Kamoro adalah salah satu suku yang mendiami dataran rendah sejak dahulu kala dan
masyarakatnya memiliki ketergantungan pada air sungai untuk kelangsungan hidup
mereka.Menurut penelitian antropologi oleh Universitas Cendrawasih dan Australian National
University menunjukkan persentase yang tinggi dari keluarga-keluarga suku Kamoro yang
menggunakan air sungai dalam kegiatan sehari-hari. Mulai dari untuk mencuci (mencapai 95%)
dan sebagai sumber air minum utama (mencapai 60%).Disamping itu, sungai Ajkwa yang
bermuara di laut Arafura atau Arafuru juga merupakan sumber air bagi makhluk hidup di Taman
Nasional Lorentz, yang letaknya berdampingan dengan kawasan Kontrak Karya PT. Freeport
Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, dapat tercermin betapa pentingnya aliran sungai Ajkwa bagi
kelangsungan hidup manusia serta makhluk akuatik
lainnya, yang hidup di sungai maupun di laut Arafura atau Arafuru sehingga perlu dijaga kualitas
airnya.
Penumpukan tailing ini telah mencapai kedalaman 17 meter membuat air yang berada didalam
sungai meluap. Sehingga, daerah ADA mengalami kekurangan karbon organik dan gizi kunci
lainnya dengan kapasitas menahan air yang sangat buruk. Pencemaran yang parah di sungai ajwka
merusak hutan bakau seluas 21 sampai 63 km2, menghambat proses fotosintesis perairan. Rantai
makanan pada hutan bakau yang ada di sungai ajkwa mati karena pencemaran logam dari tailing.
Total Padatan Tersuspensi (TPT) dari tailing yang ditemukan secara langsung berbahaya bagi insang
dan telur ikan yang berkembang, organisme pemangsa, organisme yang membutuhkan sinar
matahari (Photosynthetic), dan organisme yang menyaring makanan filter feeding).
Pada daerah yang dimasuki tailing Freeeport menunjukan kandungan logam berbahaya yang
secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan muara-muara terdekat yang tak terkena dampak dan
dijadikan acuan. Kandungan logam tembaga berbahaya yang ditemukan adalah tembaga, arsenic,
mangan, timbal, perak dan seng. Kandungan logam berat seperti tembaga (Cu) yang melampaui
ambang batas yang diperkenankan. Kandungan tembaga terlarut dalam efluent air limbah Freeport
yang dilepaskan ke sungai maupun ke Muara Sungai Ajkwa 2 kali lipat dari ambang yang
diperkenankan. Sementara itu untuk kandungan padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) yang
dibuang 25 kali lipat dari yang diperkenankan. Sedimentasi yang terjadi di perairan dapat
berpengaruh antara lain pada pendangkalan dan perubahan bentang alam dasar laut, kesuburan
perairan, dan keanekaragaman hayati.
Hujan asam yang diakibatkan oleh emisi gas karbondioksida hasil aktifitas pertambangan di
PT. Freeport juga telah menghilangkan biodiversitas di area baik yang dekat dengan area
pertambangan maupun area yang masih termasuk dalam wilayah tersebut. Hujan asam yang
dihasilkan dari limbah pertambangan telah mematikan 23.000 Ha wilayah kehutanan yang ada di
wilayah tersebut. Hujan asam dapat melarutkan nutrisi yang terdapat dalam tanah sehingga tumbuhan
yang ada di sana dapat mati karena tidak memeroleh nutrisi untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Zat kimia beracun seperti aluminium juga akan terlepas dan bercampur dengan
nutrisi. Apabila nutrisi ini diserap oleh tumbuhan maka akan menghambat pertumbuhan dan
mempercepat daun berguguran. Hujan asam yang ini juga berakibat pada matinya ekosistem di
perairan. Contohnya pada Sungai Ajkwa di mana yang dulunya terdapat ikan-ikan yang berkembang
serta hidup dan dapat dikonsumsi oleh penduduk sekitar namun sungai ini sudah tercemar oleh
limbah serta telah tercampur oleh hujan asam sehingga kehidupan ekosistem di perairan tersebut
mati. Hujan asam akan meningkatkan keasamaan air di sungai tersebut sehingga biota air yang ada di
dalamnya terganggu akibat rusaknya rantai makanan yang menjadi sumber berlangsungnya
kehidupan biota tersebut.
Pembukaan lahan untuk area pabrik pertambangan dan lokasi pengambilan material
menyebabkan rusaknya vegetasi di daerah tersebut karena banyak tumbuhan yang akan mati tergusur
menyebabkan rendahnya pengikatan CO2 oleh tumbuhan sehingga akumulasi CO2 di udara
meningkat. Tambang PTFI dibangun di bawah tanah karena akumulasi hasil
tambang di daerah tersebut, adanya tambang bawah tanah menyebabkan gas metana (CH 4) harus
dibuang keluar demi keselamatan para pekerja tambangnya. Sehingga, apabila gas metana
dibuang keluar maka akan menghasilkan emisi karena metana merupakan salah satu gas pemicu
yang paling berpengaruh terhadap terjadinya efek rumah kaca. Selain itu, gas CO 2 merupakan
emisi dari peralatan pertambangan, kendaraan pengangkutan, mesin dalam ruang penyimpanan,
serta mesin pendingin dalam fasilitas pemukiman, bandara dan pelabuhan.
Tentunya dampak buruk yang ditimbulkan akibat aktivitas pertambangan PFTI sangat
berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Papua terutama Suku Kamoro yang hidup di sana,
sebab mereka kehilangan sumber daya alam yang menjadi sumber utama kebutuhan hidup
mereka sehari-hari. Hal ini merupakan realita yang juga disampaikan oleh Paus Fransiskus
dalam Laudato si bahwa kerusakan alam membawa dampak buruk bagi kaum miskin sebab
mereka hidup mengandalkan kekayaan alam. Ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk
segera menindaklanjuti kasus ini dan membuat kebijakan yang tegas sehingga dapat
meminimalisir kerusakan alam di Papua akibat tambang PTFI. Percayalah, uang yang diperoleh
negara dari hasil tambang PTFI tidak akan pernah dapat menggantikan kekayaan alam yang
perlahan musnah dan habis dikeruk 'keserakahan' manusia yang hanya mementingkan
kepentingan pribadi.
B. Kajian Sosial-Ekonomi
Kedatangan PT. Freeport Indonesia di Mimika, Papua telah membawa perubahan yang
cukup besar bagi kehidupan masyarakat Papua pada umumnya dan masyarakat suku Kamoro
pada khususnya. Perubahan yang cukup besar tersebut dapat dilihat dari kehadiran PT. Freeport
telah menimbulkan kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial ini timbul dikarenakan Freeport
gagal dalam menepati janji untuk mensejahterakan hidup masyarakat Suku Kamoro dan Suku
Amungme, (yang merupakan penduduk asli Papua dimana perusahaan ini melakukan
penambangan). Menurut data Freeport tahun 2005, hanya 20% dari tenaga kerja tambang yang
berasal dari Papua. Kebanyakan dari mereka bukan merupakan suku asli pemilik tanah dataran
tinggi (Suku Amungme) dan dataran rendah (Suku Kamoro) sekitar situs tambang. Hal yang
lebih mencengangkan adalah jumlah pekerja tambang yang berasal dari Suku Kamoro, yang
merupakan pemilik tradisional dari tanah di
dataran rendah, yang harus menerima dampak terberat akibat operasional tambang tersebut bagi
sumber daya alam ] produktif mereka hanya dipekerjakan dalam jumlah yang sedikit.
Suku Kamoro adalah suku yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai nelayan.
Dikarenakan lingkungan dataran rendah yang menjadi tempat masyarakat Suku Kamoro mencari
ikan, molusca dan tambelo telah tercemar maka masyarakat beralih mata pencaharian dengan
berusaha untuk mencari sumber pendapatan lain. Masyarakat Suku Kamoro berusaha mencari
sumber pendapatan lain dengan mencari tempat lain yang letaknya lebih tinggi untuk bertani dan
beralih cara bercocok tanam. Disamping itu, mereka juga beralih mata pencaharian dengan menjadi
peternak.agar mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya untuk makan dan memperoleh
penghasilan. Sejak kedatanga PTFI pun, Suku Kamoro menjadi masyarakat marginal yang
kondisinya kurang diperhatikan oleh perusahaan dan pemerintah Indonesia.
Kemudian pada sosial-politik operasional PT. Freeport Indonesia di Mimika, Papua telah
membawa dampak bagi segala aspek kehidupan masyarakat Suku Kamoro pada khususnya dan
masyarakat Papua pada umumnya. Dampak tersebut diantaranya adalah timbulnya kesenjangan
sosial, pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan, hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dari
kesemua itu memicu adanya protes atau aksi demonstrasi sebagai bentuk ketidakpuasaan masyarakat
akan keberadaan Freeport di Papua. Protes ini aplikasikan masyarakat suku asli Papua dalam bentuk
pemasangan patok-patok silang pada lokasi operasional perusahaan, perusakan fasilitas dan
penyanderaan mobilmilik perusahaan.
Kehadiran perusahaan berskala internasional yang telah mengeksploitasi kekayaan alam Papua
ini beresiko tinggi terhadap lingkungan hidup. Karena sifat perusahaannya mengorbankan aspek
lingkungan hidup demi keberlangsungan kegiatan operasional perusahaan. Dimulai dari adanya
tindakan penebangan pohon untuk keperluan konstruksi, penggundulan hutan sampai pada
pembuangan limbah sisa hasil ekstraksi kedalam badan sungai.Hal ini secara tidak langsung telah
mengacam kelestarian lingkungan hidup sekitar.
C. Kajian Hukum
Dilihat dari kacamata hukum di Indonesia sendiri, sudah jelas bahwa aktivitas tambang
PTFI tidak sesuai dengan peraturan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengenai substansi bumi, air dan kekayaan alam "dikuasai negara"
dan "dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat". Apa yang terjadi selama ini
justru menimbulkan pertanyaan dimana peran pemerintah dalam menangani kasus ini.
Menurut berita yang dilansir tempo, WALHI pernah menuntut PTFI karena dugaan
pencemaran yang dilakukan dan meningkatkan kualitas air Danau Wanagon dari unsur Bahan
Berbahaya dan Beracun (B3) menjadi ambang batas baku air.21 Majelis hakim pun memutuskan
bahwa PTFI bersalah dan diharuskan melakukan upaya-upaya perbaikan terhadap kerusakan
yang telah mereka lakukan, antaranya adalah meminimalkan pencemaran yang dilakukan dan
meningkatkan kualitas air Danau Wanagon dari unsur Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
menjadi ambang batas baku air. Mengenai pengawasan, majelis hakim memutuskan, akan
dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah yang terkait. Bahkan,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk menutup PT
Freeport Indonesia (FI) dan melakukan nasionalisasi aset terkait dengan maraknya pelanggaran
HAM atas operasi tersebut.
Sejak awal penandatanganan Kontrak Karya tahun 1967, pemerintah Indonesia tidak sadar
bahwa kedatangan perusahaan Asing Freeport akan menjadi momok berbahaya bagi negeri ini.
Mulanya kerjasama ini hanyalah strategi Presiden Soeharto untuk menstabilkan kondisi ekonomi
Indonesia yang kala itu sangat buruk dikarenakan pergantian
kepemimpinan dan sebagainya. Kemudian diadakan renegosiasi kontrak karena diduga terjadi
ketidakseimbangan pembagian hasil, terjadinya manipulasi, penyalahgunaan jabatan, dan korupsi
dalam pembuatan kontrak. Selain itu, adanya praktik penyelundupan hukum yang berakibat
merugikan negara misalnya pembelian dan pengendalian kegiatan perusahaan.
Berdasarkan KK Pemerintah Indonesia dengan PTFI disepakati besar royalti yang dibayarkan
oleh PTFI ke Pemerintah sebesar 1% (satu persen). Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku di
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, royalti PTFI menjadi 3.75% (tiga koma tujuh puluh
lima persen) untuk emas, perak, dan tembaga walaupun kenaikan dari 1% (satu persen) menjadi
3.75% (tiga koma tujuh puluh ima persen) baru dibayarkan PTFI pada tahun 2014. Pengenaan royalti
hanya sebesar 1% (satu persen) pada tahun 1991 ketika KK PTFI diperpanjang sesungguhnya bentuk
kasat mata pe-rela-an negara untuk tidak mendapatkan manfaat yang maksimal dari kekayaan dalam
yang diusahakan oleh PTFI. Bila tahun 1967 ketika PTFI pertama kali datang ke Indonesia,
Indonesia tidak memiliki kemampuan finansial, teknologi, dan sumber daya manusia sehingga
royalti 1% (satu persen) dianggap sudah cukup baik bagi Pemerintah. Namun, kondisi tersebut
tersebut telah berubah di tahun 1991 ketika PTFI memperpanjang KK-nya sampai dengan 2021 yang
seharusnya royalti kepada negara tidak hanya sebesar 1% (satu persen). Ada persoalan kapasitas para
pembuat kebijakan pada tahun 1991 yang rela negara hanya mendapat royalti 1% (satu persen) dari
tiap kilogram emas, tembaga, dan perak yang dihasilkan oleh PTFI.
Sesuai dengan maksud dari strategi pengelolaan kualitas lingkungan ada cara untuk
menentukan kualitas lingkungan yang lebih baik, maka ada 5 cara yang dapat dilakukan
(Listiatoko, 2012):
Dilihat dari lokasi penambangan utama PT. Freeport Indonesia Blok A Grassberg yang
berada di ketinggian 4200 m di permukaan laut. Lokasi penambangan PT. Freeport Indonesia
adalah berupa gunung cadas yang kaya akan mineral tambang. Tetapi, dilihat dari
ketinggiannya yang berada 4200 meter di atas permukaan laut, lokasi penambangan ini tentu
saja merupakan kawasan yang ditopang oleh ekosistem di bawahnya. Jadi, apabila kawasan
ini terganggu maka akan merusak keseimbangan ekosistem yang berada di bawahnya. Jadi
seharusnya, apabila akan dilakukan penambangan di lokasi penambangan PT. Freeport
Indonesia yang sekarang maka harus dilakukan studi mengenai dampak kerusakan
lingkungan yang akan terjadi yang dilakukan secara komprehensif dan mendalam. Jelas, hal
ini tidak dilakukan oleh PT. Freeport maupun oleh Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini
sebagai pemilik wilayah.
Sistem pengelolaan limbah yang dilakukan PT. Freeport Indonesia saat ini adalah limbah batuan
akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan
mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tambang secara sengaja dan
terbuka akan dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah
penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura.
Tempat penyimpanan limbah batuan dilakukan di Danau Wanagon. Danau Wanagon bukanlah
danau seperti dalam bayangan umum. Wanagon lebih tepat disebut basin (kubangan air besar)
yang terbentuk dari air hujan. Sejak PT. Freeport Indonesia (FI) menambang mineral di Grasberg
tahun 1992, Wanagon dipilih sebagai lokasi pembuangan batuan penutup (overburden) yang
menutupi mineralnya (ore).
Demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah di masa datang, sekali lagi Walhi
meminta pemerintah untuk melaksanakan pengambilan sampel secara berkala dan cermat,
daripada mengandalkan laporan dari perusahaan. Pemerintah juga harus menerbitkan semua
informasi lingkungan pada masyarakat sesuai Undang-undang Lingkungan Hidup (1997).
Mengkaji ulang peraturan pajak dan royalti demi meningkatkan keuntungan bagi komunitas
yang terkena dampak, propinsi Papua, demi mengurangi beban kerusakan lingkngan sejauh
ini. Kajian ini kemudian harus digunakan sebagai dasar untuk pembahasan mengenai masa
depan tambang oleh penduduk lokal dan pihak berkepentingan lainnya.
1) Bagi Pemerintah
- Pemerintah sebaiknya segera melakukan negosiasi dengan PTFI terkait Kontra Karya
serta mengambil tindakan tegas berupa pengambil alihan tambang PTFI dan
menyerakannya untuk dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan begitu
kepentingan rakyat akan lebih diutamakan terutama dalam pengelolaan hasil tambang.
- Pemerintah juga perlu memfasilitasi sebuah konsultasi penuh dengan penduduk asli
Papua yang berada di wilayah operasi Freeport dan pihak berkepentingan lainnya
mengenai masa depan pertambangan tersebut serta memetakan dan mengkaji sejumlah
skenario bagi masa depan Freeport, termasuk kemungkinan penutupan, kapasitas
produksi, dan pengolahan limbah.
2) Bagi Masyarakat
- Terus mengawasi secara penuh kerja pemerintah dalam usaha mengambil alih PTFI dan
menyerahkannya untuk dikelola BUMN.
-
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil analisis dan kajian dari segi ekologis, sosial-ekonomi, dan hukum maka
dapat disimpulkan bahwa aktivitas pertambangan PTFI menimbulkan dampak buruk bukan
hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi masyarakat Indonesia terutama masyarakat Suku
Kamoro di Mimika, Papua.
2. Aktivitas pertambangan PTFI tidak memerhatikan nilai ekologis, etika, dan spiritualitas
dimana seharusnya aktivitas pertambangan memerhatikan dampak terhadap lingkungan dan
makhluk hidup serta tuntutan untuk menjaga alam yang adalah anugerah dari Tuhan.
3. Upaya penanganan limbah PT. Freeport difokuskan pada 5 hal yaitu tata letak lokasi,
teknologi yang digunakan, sistem pengolahan limbah, pengelolaan media lingkungan, dan
perubahan baku mutu.
B. Saran
Sesuai dengan hasil pemaparan di atas mengenai dampak buruk aktivitas pertambangan
PT. Freeport pada lingkungan, pemerintah diharapkan dapat melakukan tindakan tegas untuk
menanggulangi kasus ini. Selain itu, masyarakat hendaknya mendukung pemerintah dalam
menghadirkan solusi nyata dalam penanggulangan dampak buruk terhadap lingkungan akibat
aktivitas tambang PTFI.
DAFTAR PUSTAKA
Listiatoko, Ajun, dkk. 2012. Limbah Berbahaya dan Beracun (B3). Yogyakarta: Universitas Gajah
Mada.
Putri, Sari. 2012. Pengaruh Industri Tambang Batubara terhadap Perkembangan Kota Sawahlunto
(1891-1935). Skripsi S-1 Arkeologi. Fakultas Ilmu Budaya UGM. Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada.
Ratih. 2014. eJournal Hubungan Internasional, 2014, 2, (2): 411-426. Dampak Operasional PT.
Freeport pada Kehidupan Suku Kamoro. Diakses pada tanggal 20 Mei 2017 dalam
http://ejournal.hi .fisip-
unmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2014/06/Ratih%20H%20PDF%20%2806-03-14-02- 45-
44%29.pdf
Sulton, Ali. 2011. Dampak Aktivitas Pertambangan Bhan Galian Golongan C terhadap Kondisi
Kehidupan Masyarakat Desa. Diunduh dalam
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48165 pada tanggal 30 Mei 2017 pukul 09.10
WIB.
WALHI. Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto
di Papua. Diunduh dalam www.walhi.or.id pada tanggal 01 Juni 2017 pukul 10.29 WIB.