Anda di halaman 1dari 30

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertusis atau batuk rejan adalah infeksi menular pada saluran pernafasan atas
yang disebabkan oleh Bordertella pertusis. Pertusis sering juga disebut batuk
rejan, batuk seratus hari, tussis quinta, atau violent cough. (Marcdante et al.,
2011). Pertusis dapat menyerang semua kelompok umur, terutama anak-anak.
Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan dan individu yang tidak divaksinasi
memiliki resiko tinggi untuk terinfeksi pertusis. Penyakit ini ditularkan secara
langsung melalui droplet yang dikeluarkan oleh seseorang ketika batuk (Kilgore
et al., 2016).
Kejadian pertusis per tahunnya mencapai 100-200 per 100.000 populasi pada
era sebelum vaksinasi dilakukan, dan saat ini angka kejadiannya cukup tinggi di
Negara Berkembang. Di Amerika Serikat ditemukan sebanyak 15.000 kasus
ditemukan pada tahun 2006 dengan usia tertinggi bayi dibawah 4 bulan. Di
Inggris angka kejadian pertusis mengalami penurunan sejak cakupan vaksinasi
tinggi pada tahun 1970. Namun, angka kejadian kembali meninggi saat cakupan
vaksinansi menurun. Hal ini membuktikan efikasi vaksinasi (Marcdante et al.,
2011).
Menurut salah satu lembaga penelitian kesehatan dunia Communicable
Disease Control (CDC) 2010 Annual Morbidity Report mengatakan bahwa
insiden pertusis meningkat setiap 3 sampai 5 tahun sekali. Pada 2010
peningkatan kembali terjadi, seperti di Los Angeles terjadi peningkatan kasus
sejak 50 tahun terakhir yaitu 972 kasus saat ini dengan angka kejadian 9.91 kasus
per 100.000 jiwa (Turner, 2010)
Pertusis tetap merupakan penyebab penting kematian bayi di seluruh dunia
Setelah pengenalan vaksinasi pertusis selama tahun 1950 - 1960, penurunan
dramatis (> 90%) dalam insiden pertusis dan mortalitas diamati di dunia industri.
Vaksin pertusis telah demikian menjadi bagian dari Program Imunisasi WHO
sejak tahun 1974 (WHO, 2015).
Komplikasi utama yang sering terjadi pada anak kecil adalah hipoksia, apnea,
pneumonia, kejang, enselopati, dan malnutrisi. Batuk paroksismal dengan
tekanan yang kuat dapat mengakibatkan terjadinya pneumomediastinum,
pneumotoraks, emfisema subkutan, epistaksis, dan hernia (Marcdante et al.,
2011). Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, secara komprehensif
diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat
sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih
lanjut.
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi pertusis
2. Mengetahui epidemiologi pertusis
3. Mengetahui etiologi pertusis
4. Mengetahui patogenesis pertusis
5. Mengetahui patofisiologi pertusis
6. Mengetahui manifestasi klinis pertusis
7. Mengetahui pemeriksaan penunjang pertusis
8. Mengetahui penegakan diagnosis pertusis
9. Mengetahui komplikasi pertusis
10. Mengetahui tatalaksana pertusis
11. Mengetahui pencegahan pertusis
12. Mengetahui prognosis pertusis

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pertusis adalah infeksi berat saluran napas yang disebabkan oleh Bordetella
pertussis. Penularan penyakit ini melalui droplet pasien pertusis atau individu
yang belum diimunisasi/imunisasi tidak adekuat, dengan attack rate mencapai
angka 100% (Kilgore et al., 2016). Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan
akut yang disebabkan oleh berdetella pertusis (Long, 2005). Nama lain penyakit
ini adalah Tussisi Quinta, whooping cough, batuk rejan. (Mansjoer, 2009 )
Menurut Bayhan et al. (2012), pertussis atau disebut juga dengan batuk rejan,
“whooping cough”, adalah batuk yang ditandai dengan adanya suara tarikan
nafas yang keras atau inspiratory whoop yang mengikuti serangan batuk yang
hebat sebelumnya. (Zouhari et al., 2012). Batuk pada pertussis dapat
berlangsung beberapa hari, minggu, hingga berbulan-bulan. Gejala ini
mengganggu kegiatan sehari-hari dan dapat menyebabkan gangguan tidur yang
signifikan (Heininger, 2012).
Masa inkubasi berlangsung selama 7 sampai 10 hari. Gejala klasik pertusis
adalah batuk rejan (whooping cough) yang ditandai dengan batuk yang cepat dan
ekspulsi udara paru yang cepat dimana pasien kemudian dipaksa untuk
menghirup udara dengan suara keras (whooping). (Kilgore et al., 2016).
B. Epidemiologi
Pertusis bisa dicegah dengan vaksinasi dan sejak adanya imunisasi rutin,
morbiditas dan mortalitas batuk rejan telah menurun tajam. Meskipun sudah
ada vaksinasi, penyakit tersebut belum diberantas dan dilaporkan terdapat
peningkatan kejadian selama dua dekade terakhir pada tahun 1990 an. Hal
tersebut masih berlangsung hingga saat ini (Muloiwa et al., 2015). Menurut
Espinoza et al (2015) dan Gabutti dan Rota (2012), di seluruh dunia, setiap
tahun terdapat sekitar 16 juta kasus pertusis, 95% diantaranya terjadi di negara
berkembang, dan mengakibatkan 195.000 anak meninggal setiap tahunnya.
Kejadian pertusis selalu meningkat dari tahun ke tahun dengan angka
peningkatan yang bermakna, bahkan di negara-negara yang cakupan
vaksinasinya tinggi sekalipun (Cherry, 2012; Espinoza et al., 2015; Kayina et

3
al., 2015). Puncak insidensi pertusis terjadi setiap 2 – 5 tahun sekali (Crespo et
al., 2011). Berdasar data CDC, di Amerika Serikat saat ini terdapat kejadian
pertusis terbanyak dalam 50 tahun terakhir. Jumlah kejadiannya mencapai
800.000 sampai 1 juta kasus setiap tahunnya (Cherry, 2012).

Gambar 2.1. Insidensi Pertusis di Amerika Serikat tahun 1980 – 2011


(Cherry, 2012).

Meskipun orang dewasa dan anak-anak memiliki gejala ringan hingga


sedang, bayi kurang dari 6 bulan, yang belum menerima 3 dosis vaksin DTP
(Difteri-Pertussis-Tetanus) dan anak pra-sekolah yang belum diimunisasi
lengkap memiliki resiko tinggi terjadinya pertussis berat dan berujung pada
komplikasi yaitu kematian. Batuk rejan sangat menular. 70-100% anggota
rumah tangga yang rentan dan 50-80% kontak sekolah yang retan menjadi
terinfeksi setelah terpapar kasus pertussis akut (Altunaiji, 2012).
Tingkat kejadian rata- rata tahunan yang tertinggi terjadi pada bayi berusia
< 1 tahun (55,5 kasus per 100.000 penduduk). Anak usia 1-4 tahun lebih
rendah, yaitu 5,5 kasus per 100.000 penduduk. Anak usia 5-9 tahun 3,6 kasus
per 100.000 penduduk. Anak usia 10-19 tahun 5,5 kasus per 100.000

4
penduduk, dan individu berusia > 20 tahun sebanyak 0,8 kasus per 100.000
penduduk (Altunaiji, 2012).
Sebelum adanya antibiotik dan imunisasi, insidensi dan case fatality rate
dari penyakit ini sangat tinggi. Adanya terapi antibiotik dan imunisasi
menurunkan angka kejadian dan kematian dari penyakit ini. Vaksinasi juga
menggeser insidensi penyakit dari yang pada awalnya umum menyerang anak-
anak dengan usia dini, menjadi lebih sering pada dewasa. Hal tersebut karena
munculnya imunitas tubuh pasca vaksinasi dan menghilangnya kekebalan
setelah 4 – 12 tahun (Gabutti dan Rota, 2012).

Gambar 2.2. Epidemiologi Pertusis Pre dan Post Imunisasi


(Gabutti dan Rota, 2012)

Di Indonesia angka kejadian pertusis jarang ditemukan berkat


terselenggaranya program Imunisasi Nasional dimana lebih dari 87% anak di
Indonesia sudah mendapatkan imunisasi secara lengkap. Begitu dianggap
pentingnya pemberian kekebalan pada anak-anak sehingga imunisasi standar
diberikan secara gratis di Puskesmas. BCG untuk menangkal TBC, DPT untuk
menangkal Dipteri Pertusis (batuk) dan Tetanus, lalu vaksin Polio, Campak dan
Hepatitis D. Program imunisasi ini diperkuat oleh program imunisasi gratis di
sekolah-sekolah, yaitu vaksinasi Dipteri Tetanus untuk siswa kelas I SD dan
vaksinasi TT untuk siswa kelas II dan III SD. Program ini merupakan
perwujudan Pasal 10 UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, dimana upaya
kesehatan juga dilakukan lewat pencegahan penyakit (Depkes, 2011)

5
C. Etiologi
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,
adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus
gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan
suatu bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak kecil yang ditandai
dengan batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang (Turner,
2010).
Bordetella. pertussis adalah bakteri gram-negatif, kokobasil aerobik
pleomorfik yang tumbuh secara optimal pada kedua media agar Bordet-Gengou
atau Regan-Lowe antara 35°C dan 37°C. B. pertussis adalah bakteri fastidious,
nonmotile, catalase- and oxidative positive spesies. Organisme ini menghasilkan
toksin yang merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik
berupa sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai
nada mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada
akhir batuk disertai bunyi yang khas (Kilgore et al., 2016). Spesies lain
Bordetella, terutama Bordetella parapertussis dan Bordetella bronchiseptica,
dapat menyebabkan gejala seperti pertusis namun lebih ringan. Variasi dalam
ekspresi faktor pertusis mempengaruhi virulensi (Malvin dan Jeffrey, 2014).
Adapun ciri-ciri organisme ini antara lain (Cahyono, 2010):
1. Berbentuk batang (coccobacilus)
2. Tidak dapat bergerak
3. Bersifat gram negative.
4. Tidak berspora, mempunyai kapsul
5. Mati pada suhu 55 º C selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º- 10º C)
6. Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar
metakromatik
7. Tidak sensitive terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi resisten
terhdap penicillin
8. Menghasilkan 2 macam toksin antara lain :
a. Toksin tidak yahan panas (Heat Labile Toxin)
b. Endotoksin (lipopolisakarida)

6
Gambar 2.3. Pewarnaan gram Bordetella pertussis (Bocka, 2019)
D. Patogenesis
Pertusis dihasilkan dari interaksi yang terkoordinasi dari beberapa faktor
virulensi (Kilgore et al., 2016):
1. Toksin B. pertussis seperti pertussis toxin (PT), adenylate cyclase toxin (AC),
dermonecrotic toxin (DNT), dan tracheal cytotoxin (TCT).
2. Struktur permukaan B. pertussis seperti filamentous hemagglutinin (FHA),
fimbriae (FIM), pertactin (PRN), the type III secretion system, and
lipopolysaccharide (LPS), and metabolic proteins (e.g., BrkA, BapC, and
BatB).
3. Pada B. pertussis gen bvgAS positif mengontrol ekspresi beberapa faktor
virulensi termasuk PT, AC, DNT, FHA, TcfA, pertactin, FIM, BrkA, BipA,
BcfA, and Vag8. Dua komponen sistem transduksi sinyal BvgAS pada B.
pertussis memainkan peranan penting dalam patogenesis pertusis.

7
Gambar 2.4. Faktor Virulensi B. Pertussis (Kilgore et al., 2016):
Tabel 2.1. Peran Aktivitas Biologik Komponen Toksin B pertussis
(Juliana, 2012)
Komponen toksin Aktifitas biologik
Pertusis toxin (IPT) Memproduksi eksotoksin, sensitisasi histamin,
limfositosis, merangsang sistem imun
Filamentaous hemaglutinin melekatnya B.pertussis pada sel epitel saluran nafas
(IFHA)
Pertactine 69-kDa OMP Nonfibrial agglutinogen, berhubungan dengan
kerja adenyl cyclase
Aglutinogen Surface antigen berhubungan dengan fimbriae
untuk melekatnya B.pertussis pada sel epitel
Adenyl cyclase Menghambat fungsi fagositosis
Tracheal cytotoxin Menyebabkan ciliary stasis dan cytopathic pada
mukosa trakea

Patogenesis B. pertusis dipengaruhi oleh perubahan lingkungan seperti


perubahan suhu yang menentukan ekspresi faktor virulensi didalam tubuh
manusia (host). Selama transmisi dari orang ke orang, B. pertussis berpindah
dari suhu lingkungan lokal/sekitar ke suhu tubuh yang lebih tinggi yang muncul
untuk mempengaruhi regulasi gen bvgA dan bvgS. Sistem regulasinya
dikodekan oleh bvgA dan bvgS yang dapat diaktifkan oleh suhu (seperti sulfat
SO4 dan nikotinat) dan kemudian meregulasi ekspresi faktor virulensi B.
pertussis dan E. coli. Mekanisme virulensi B. pertusis terdiri dari kaskade
kejadian yang diinisiasi oleh adheren/perlekatan bakteri melalui FHA dan
fimbriae ke epitel trakea dan paru-paru sebagai langkah utama yang penting.
Setelah terjadi perlekatan, sel B. Pertusis bermultiplikasi secara lokal,
mengeluarkan toksin, melawan mekanisme pertahanan tubuh host (misalnya,
mukosiliar clearance, peptida antimikroba, dan sel-sel inflamasi), dan
menyebabkan kerusakan lokal pada saluran pernapasan bagian atas dan bawah
dengan manifestasi sistemik. Kerusakan pada saluran napas dapat berupa
menurunnya pergerakan silia dan nekrosis epitel sehingga terjadi penumpukan
mukus yang menyebabkan obstruksi jalan napas (Kilgore et al., 2016).

8
Gambar 2.5. Patogenesis Pertusis (Kilgore et al., 2016)
E. Patofisologi
Bordetella merupakan kombinasi kokobasili gram-negatif yang sangat kecil
yang tumbuh secara aerobik pada darah tepung atau media sintetik keseluruhan
dengan faktor pertumbuhan nikotinamid, asam amino untuk energi dan arang
atau resin siklodekstrin untuk menyerap bahan-bahan berbahaya. B. Pertusis
yang mengeluarkan toksin pertusis (TP) sebagai virulen utama. Penggolongan
serologis tergantung pada aglutinogen K labil panas. Dari 14 aglutinogen, 6
adalang spesifik untuk B. Pertusis (Long, 2005).
Bordetella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis,
banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan
imunitas. Pasca penambahan aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF),
beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3), dan protein permukaan
nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap
sel epitel bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan TP
tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor
demonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan
cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan
mempermudah penyerapan TP. TP terbukti mempunyai banyak aktivitas
biologis. Beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit (Long,
2005).

9
Percikan droplet infeksius dari penderita pertusis dapat menularkan penyakit
kepada orang disekitarnya terutama pada bayi yang belum mendapatkan
imunisasi pertusis. Pada orang yang terinfeksi, masa inkubasi berlangsung 6-12
hari sampai munculnya gejala. Bakteri yang masuk melalui saluran pernapasan
bagian atas akan menempel pada sel-sel epitel bersilia yang diperantarai oleh
FHA dan fimbriae bakteri. Setelah terjadi perlekatan, sel B. Pertusis
bermultiplikasi secara lokal dan menyebar ke seluruh permukaan sel epitel
saluran napas disertai dengan pengeluaran toksin. Adenylate cyclase toxic dapat
menyebabkan kerusakan epitel saluran napas dan hiperplasia jaringan limfoid
sehingga terjadi pengeluaran mukus. Sitokin trakea dapat menyebabkan stasis
silia sehingga terjadi gangguan pengeluaran benda asing termasuk mukus,
sehingga merangsang refleks batuk dan terjadi batuk yang terus-menerus. Ketika
batuk, posisi diafragma akan turun menyebabkan penekanan pada abdomen dan
dapat terjadi muntah ketika batuk. Selain itu, kurangnya oksigen ketika batuk
dapat menyebabkan hipoksia sehingga timbul sianosis. Toksin pertusis yang
dikeluarkan dapat merangsang pengeluaran histamin yang dapat merangsang
pusat batuk dan menginduksi leukosit sehingga terjadi leukositosis (Bocka,
2019).
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi dari infeksi B. pertussis bermacam-macam mulai dari
asimptomatis, batuk-batuk ringan sampai batuk yang tak menentu sampai
muntah pasca batuk. Manifestasi bergantung dari beberapa faktor seperti riwayat
infeksi sebelumnya, riwayat imunisasi, jenis bakteri, dan jenis kelamin. Pasien
dengan riwayat infeksi atau imunisasi tidak terjadi limfositosis dan berbeda
dengan pasien yang baru pertama kali terinfeksi. Pada pasien pertusis demam
bukan manifestasi klinis utama kecuali terdapat infeksi sekunder seperti
pneumonia (Cherry dan Paddock, 2012).
Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan
penyakit ini berlangsung antara 6-8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis
penyakit ini dapat berlangsung dalam tiga stadium, yaitu stadium kataralis
(prodromal), stadium paroksismal (spasmodik), dan stadium konvalesens.

10
1. Stadium Kataral
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu yang ditandai dengan gejala yang
menyerupai infeksi saluran napas bagian atas seperti rinore dengan lendir
yang cair dan jernih, demam ringan, malaise, batuk ringan, lakrimasi, dan
panas tidak begitu tinggi dan injeksi konjungtiva. Pada stadium ini diagnosis
pertusis belum bisa ditegakan karena sulit dibedakan dengan common cold.
Sejumlah besar organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius,
pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi (IDAI, 2011; Kilgore et al.,
2016)
Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari dan
menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan
melengket. Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel
(James, 2005).
2. Stadium Paroksismal
Fase ini berlangsung selama 2-4 minggu. Selama stadium ini, frekuensi
dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali batuk kuat
selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak dan
menimbulkan bunyi melengking (whoop). Beberapa serangan paroksismal
dapat terjadi pada waktu malam hari dan frekuensinya meningkat pada
minggu ke 1-2 pada fase ini sampai minggu ke 2-3.. Batuk ini dapat
berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa adanya infeksi aktif
dan dapat menjadi lebih berat. Selain adanya episode batuk paroksismal,
stadium ini juga ditandai dengan adanya muntah setelah batuk (post-tussive
vomiting), sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, hipersalivasi,
distensi vena leher selama serangan. Episode batuk paroksismal dapat dipicu
oleh pemberian makan (bayi), menangis dan tertawa serta dapat terjadi lagi
sampai mucous plug pada saluran napas menghilang (IDAI, 2011; Kilgore et
al., 2016)
Pada bayi kurang dari 3 bulan, whoop-nya biasanya tidak ada, namun bayi
tersebut sering apnea lama dan meninggal. Sebanyak 80% kasus fatal terjadi
pada pasien kurang dari 2 tahun. Remaja dan dewasa sering tidak bersuara

11
whoop, hanya ada batuk ngikil yang bertahan lama. Anak yang sudah
divaksinasi lengkap masih dapat terinfeksi Pertusis dengan gejala yang lebih
ringan, tetapi bisa menular (Soedarmo, 2010).
Selama serangan, muka penderita menjadi merah atau sianotis, mata
tampak menonjol, lidah menjulur keluar dan gelisah. Pada akhir serangan,
penderita sering sekali memuntahkan lendir kental Walaupun batuknya khas,
tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan seperti biasa. Setelah 1 – 2
minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan frekuen, kemudian
menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu dan berangsur –angsur
menurun sampai whoop dan muntah menghilang (Irawan, 2008).
3. Stadium Konvalesens
Fase penyembuhan lamanya kira-kira 1-2 minggu, Terjadi pada minggu ke
4 – 6 setelah gejala awal. Pada fase ini derajat dan keparahan batuk
paroksismal berkurang, meskipun dapat bertahan hingga 6 minggu. Selain itu,
fase ini ditandai pula dengan berhentinya whoop dan muntah serta nafsu
makan timbul kembali (IDAI, 2011; Kilgore et al., 2016)

Gambar 2.6. Perjalanan Penyakit Pertusis (Kilgore et al., 2016)


G. Pemeriksaan Penunjang
Gold standard penegakan diagnosis untuk pertusis adalah dengan kultur dan
uji molekuler salah satunya adalah PCR (Espinoza et al., 2015). Isolasi B.
pertussis pada spesimen klinis memiliki tingkat spesifisitas yang tinggi sehingga
banyak digunakan untuk penegakan diagnosis, meskipun tingkat sensitifitasnya
bergantung dari berbagai macam faktor, seperti transportasi dan metode

12
pemeriksaan laboratorium yang digunakan, fase penyakit, usia pasien, status
vaksinasi, dan terapi antibiotik yang telah diterima sebelumnya. Untuk
mengatasi kekurangan dari teknik kultur tersebut, telah dikembangkan teknik
amplifikasi DNA (seperti PCR) untuk mendeteksi DNA pertusis dengan
mentarget regio promoter dari gen yang mengkode ptxA, elemen insersi IS481
and IS 1001, gen adenylate cyclase, dan gen porin (Bayhan et al., 2015). Teknik
amplifikasi DNA dapat lebih cepat dan lebih sensitif dalam mendeteksi B.
pertussis. Namun dalam praktek klinis, diagnosis biasanya ditegakkan tanpa
melakukan pemeriksaan mikrobiologi untuk mempercepat pemberian terapi dan
mencegah komplikasi (Espinoza et al., 2015).
B. pertusis banyak hidup di epitel bersilia pada saluran pernafasan, oleh
karena itu, pengambilan spesmen klinis dilakukan pada permukaan sel epitel
bersilia yang terdapat di tenggorokan, swab nasofaring, dan aspirasi nasofaring.
Pengambilan sputum atau epitel rongga hidung bagian anterior tidak disarankan
karena tidak mengandung epitel bersilia yang adekuat. Aspirasi melalui pipa
endotrakheal dan bronkoalveoler juga bisa dilakukan untuk mengambil
specimen (Zouhari et al., 2012).
Swab nasofaring, digunakan swab dakron atau kalsium alginat yang fleksibel.
Swab kalsium alginat sebaiknya tidak digunakan untuk PCR. Swab dakron
direkomendasikan untuk PCR terutama apabila kedua prosedur kultur dan PCR
dilakukan. Swab dengan ujung kapas tidak direkomendasikan karena
mengandung asam lemak yang bersifat toksik terhadap Bordatella dan
menginhibisi PCR. Gagang swab diinsersi secara perlahan melalui lubang
hidung dan diputar perlahan selama beberapa detik. Idealnya, swab ditempelkan
selama 10 detik pada dinding faring posterior sebelum ditarik keluar (Zouhari et
al., 2012).
Pengumpulan sampel dengan cara aspirasi, feeding tube ukuran balita
disambungkan dengan hand-operated vacuum pump with tubing melalui mucus
trap. Ujung kateter dimasukkan ke dalam lubang hidung menuju faring
posterior, sepanjang dasar nasofaring. Setelah aspirasi, kateter dibilas dengan 1
ml normal saline untuk mengangkat spesimen. Teknik aspirasi lebih disukai
untuk dilakukan apabila memungkinkan karena memiliki tingkat isolasi B.

13
pertussis yang lebih tinggi. Namun prosedur ini lebih sulit dan harus dikerjakan
oleh tenaga medis yang professional (Zouhari et al., 2012).
Transport sampel adalah proses yang penting dalam keberhasilan
pemeriksaan. Untuk keberhasilan transport, medium transport yang digunakan
harus dapat mencegah hilangnya B. pertussis dan mencegah pertumbuhan flora
normal nasofaring. Medium yang banyak dipilih adalah Regan – Lowe medium.
Preinkubasi medium dilakukan pada suhu 36°C selama semalam sebelum
digunakan memungkinkan pertumbuhan Bordatella maksimal dan
meningkatkan multiplikasinya media transport non-nutritif seperti asam
Casamino yang terbuat dari asam hydrolyzedcasein 1% juga bisa digunakan.
Waktu transport harus diusahakan secepat mungkin, jarak antara pengambilan
sampel hingga dilakukan kultur tidak boleh melebihi 24 jam (Zouhari et al.,
2015).
Medium klasik yang digunakan untuk mengisolasi Bordatella adalah agar
Bordet–Gengou (BG). Medium ini terbuat dari kentang sehingga mengandung
banyak serat. Serat berfungsi untuk menetralkan material toksik yang
terkandung dalam agar maupun dalam spesimennya sendiri. Medium ini juga
mengandung gliserol sebagai agen penstabil dan sumber karbon. Untuk
mengisolasi Bordatella, agar plates diinkubasi pada suhu 36°C ± 1°C dengan
tekanan udara sama dengan lingkungan dan kelembaban tinggi. Inkubasi pada
udaran dengan kadar karbondioksida tinggi harus dihindari. Plates diinkubasi
selama 7 – 10 hari (Zouhari et al., 2015).
Pertusis dapat sulit didiagnosis pada anak berusia kurang dari 1 tahun pada
musim dingin, karena patogen lain seperti influenza juga umum menginfeksi.
Pada kasus ini, gejala akut pertusis dapat bertumpang tindih dengan bronkiolitis
atau infeksi pernafasan lain yang tidak spesifik (Espinoza et al., 2015).
H. Kriteria Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat
kontak dengan penderita pertusis, adanya serangan khas yaitu batuk paroksismal
diikuti suara whoop saat inspirasi dan sering disertai muntah. Pada bayi muda
(<6 bulan) mungkin tidak disertai adanya whoop, akan tetapi batuk yang diikuti

14
oleh berhentinya nafas atau sianosis, atau nafas berhenti tanpa batuk. Perlu juga
ditanyakan mengenai riwayat imunisasi (belum diimunisasi/imunisasi tidak
adekuat). Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa (IDAI, 2011).
Isolasi B. pertussis dari sekret nasofaring dipakai untuk membuat diagnosis
pertusis pada media khusus Bordet-gengou. Biakan positif pada stadium kataral
95-100%, stadium paroksismal 94% pada minggu ke-3, dan menurun sampai
20% untuk waktu berikutnya. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut pada akhir
stadium kataral dan selama stadium paroksismal (IDAI, 2011).
Pemeriksaan ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA
serum terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan
respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG toksin
pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk mengetahui
infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lainnya
yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelektasis, atau
empisema (IDAI, 2011).
Tabel 2.2 Tanda dan gejala pertusis berdasarkan fasenya (IDAI, 2011)
Fase kataralis Fase paroksismal Fase konvalesens
Gejala
Batuk ++ +++ ++
Batuk paroksismal -/+ +++ -/+
Batuk rejan - +++ -/+
Muntah - +++ -/+
Sianosis - +++ -
Apnea - +++ -
Tes sensitivitas
Kultur ++ -/+ -
PCR ++ ++ -
Serologi -/+ ++ ++
Pengaruh terhadap antibiotik
Gejala berkurang ++ -/+ -

15
Berdasarkan WHO (2003), pertussis didefinisikan sebagai (Gabutti dan Rota,
2012) :
1. Penyakit yang didiagnosis oleh dokter sebagai pertusis,
2. Seseorang yang mengalami batuk yang berlangsung selama lebih dari 2
minggu, dengan minimal 1 dari gejala:
a. Serangan batuk yang hebat
b. Tarikan nafas yang keras/berat
c. Muntah pasca batuk tanpa penyebab lain yang jelas
Kriteria laboratorum:
a. Isolasi Bordatella pertussis
b. Terdeteksinya sekuens genom yang bermakna pada pemeriksaan PCR
c. Pemeriksaan serologi positif
Berdasarkan CDC (2011), dinyatakan pertusis bila terjadi batuk ≥14 hari
dengan minimal 1 dari gejala (Gabutti dan Rota, 2012) :
1. Serangan batuk yang hebat
2. Suara nafas keras/berat
3. Muntah pasca batuk
Kriteria laboratorium:
1. Isolasi Bordatella pertussis dari spesimen klinis
2. Pemeriksaan PCR positif untuk B. pertussis

Tabel 2.3 Metode laboratorium untuk mendiagnosis pertussis (Gabutti dan


Rota, 2012)
Total Sensitifitas Spesifisitas Waktu Keuntungan Kerugian
(%) (%) optimal
Kultur 12 – 60 100 < 2 minggu Sangat Kurang
setelah spesifik sensitif,
onset terdapat
jangka waktu
antara
pengambilan
spesimen dan
diagnosis

16
PCR 97 – 99 86 – 100 < 4 minggu Rapid test, Tidak
setelah lebih sensitif terstandarisasi
onset dibanding FDA,
kultur, potensial
organisme positif palsu,
tidak harus dapat terjadi
viable, hasil kontaminasi
tetap positif DNA silang
meskipun
paska terapi
antibiotik

Serologi 90 – 92 72 – 100 Awal Efektif untuk Diagnosis


berpasangan gejala s/d 4 menentukan terlambat,
– 6 minggu antibiotik tidak ada
setelahnya yang efektif standarisasi
FDA
Serologi 36 – 76 99 Minimal 2 Berguna Tidak ada
tungal minggu untuk standarisasi
setelah diagnosis FDA, bisa
onset, yang bias akibat
sebaiknya terlambat atau vaksinasi
4–8 paska terapi
minggu antibiotik
setelah
onset

Uji laboratorium yang dapat menentukan jenis bakteri dan spesifik pada
penyakit pertusis adalah biakan sekret nasofaring pada saat stadium kataralis dan
stadium paroksismal. Waktu yang paling tepat untuk melakukan biakan adalah
kurang dari 2 minggu pasca batuk terjadi (Snyder dan Fisher, 2012).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis pertusis
antara lain (Gabutti dan Rota, 2012) :
1. Anamnesis
a. Waktu muncul gejala
b. Karakteristik batuk: serangan batuk hebat, muntah setelah batuk, suara
tarikan nafas berat, memburuk ketika malam hari
c. Riwayat kontak dengan pasien pertussis pada masa inkubasi (7 – 21 hari)
d. Status vaksinasi: vaksinasi pertusis terdahulu

17
2. Konfirmasi biologis
a. Bayi baru lahir dan balita di rumah sakit: kultur dan real-time PCR pada
aspirasi nasofaring atau swab nasofaring, kultur harus dilkukan untuk
menganalisis evolusi populasi bakteri
b. Anak-anak, remaja, dan dewasa:
1) Durasi batuk ≤ 21 hari: real-time PCR, kultur
2) Durasi batuk > 21 hari:
a) PCR dan kultur tidak lagi bermakna
b) Apabila terdapat pasien kedua yang terinfeksi setelah pasien
pertama, maka PCR harus dilakukan pada pasien kedua
c) Jika tidak ada pasien kedua, analisis serologis harus dilakukan
untuk memberi antibodi toxin anti-pertussis jika pasien belum
pernah mendapatkan vaksinasi pertussis sebelumnya, atau dalam
2 tahun terakhir.
c. Kultur
1) Aspirasi nasofaring dan transport ke laboratorium secepatnya
2) Sensitifitas tinggi pada fase awal penyakit, penyakit yang berat, pasien
yang belum mendapat vaksinasi, dan pada balita
3) Hasil kultur bergantung pada antibiotik yang dikonsumsi sebelumnya
d. PCR
1) Kemungkinan diagnosis meningkat jika dikombinasi dengan kultur
2) PCR paling sensitif pada fase awal penyakit dan pada fase paroksismal
3) Akurasi diagnostik mungkin bervariasi pada berbagai laboratorium
e. Serologi
1) Diagnosis serum tunggal dapat berguna untuk fase akhir penyakit (3 –
4 minggu setelah onset), pemeriksaan serologi berpasangan dengan
pengambilan spesimen klinis kedua pada fase selanjutnya dapat
membantu penegakan diagnosis
2) Antibodi (IgG dan IgA) terhadap toksin pertussis atau filamentous
haemagglutinin dapat ditemukan di serum

18
3) Satu hasil titer IgG terhadap toksin pertussis yang tinggi (>100 – 125
U/ml pada pemeriksaan ELISA) memiliki sensitifitas dan spesifisitas
yang tinggi untuk diagnosis
4) Interpretasi pada hasil serologi dapat sulit pada pasien yang baru saja
mendapat imunisasi.
I. Komplikasi
Komplikasi utama yang sering ditemukan adalah pneumonia bakterial,
gangguan neurologis berupa kejang dan ensefalopati akibat hipoksia.
Komplikasi ringan yang sering ditemukan adalah otitis media, anoreksia,
dehidrasi, dan juga akibat tekanan intra abdominal yang meningkat saat batuk
antara lain epistaksis, hernia, perdarahan konjungtiva, pneumothorax dan
lainnya (Juliana, 2012).
1. Pada saluran pernafasan
a. Bronkopnemonia
Infeksi saluran nafas atas yang menyebar ke bawah dan menyebabkan
timbulnya pus dan bronki, kental sulit dikeluarkan, berbentuk gumpalan
yang menyumbat satu atau lebih bronki besar, udara tidak dapat masuk
kemudian terinfeksi dengan bakteri. Paling sering terjadi dan
menyebabkan kematian pada anak dibawah usia 3 tahun terutama bayi
yang lebih muda dari 1 tahun. Gejala ditandai dengan batuk, sesak nafas,
panas, pada foto thoraks terlihat bercak-bercak infiltrate tersebar.
b. Otitis media / radang rongga gendang telinga
Batuk hebat menyebabkan kuman masuk melalui tuba eustaki yang
menghubungkan dengan nasofaring, kemudian masuk telinga tengah
sehingga menyebabkan otitis media. Jika saluran terbuka maka saluran
eustaki menjadi tertutup dan jika penyumbat tidak dihilangkan pus dapat
terbentuk yang dapat dipecah melalui gendang telinga yang akan
meninggalkan lubang dan menyebabkan infeksi tulang mastoid yang
terletak di belakang telinga.
c. Bronkhitis
Batuk mula-mula kering, setelah beberapa hari timbul lender jernih
yang kemudian berubah menjadi purulen.

19
d. Atelaktasis
Timbul akibat lender kental yang dapat menyumbat bronkioli.
e. Emphisema Pulmonum
Terjadi karena batuk yang hebat sehingga alveoli pecah dan
menyebabkan adanya pus pada rongga pleura.
f. Bronkhiektasis
Terjadi pelebaran bronkus akibat tersumbat oleh lender yang kental dan
disertai infeksi sekunder.
g. Aktifitas Tuberkulosa
h. Kolaps alveoli paru
Terjadi akibat batuk proksimal yang lama pada anak-anak sehingga
dapat menebabklan hipoksia berat dan pada bayi dapat menyebabkan
kematian mendadak.
2. Pada saluran pencernaan
a. Emasiasi dikarenakan oleh muntah-muntah berat.
b. Prolapsus rectum / hernia dikarenakan tingginya tekanan intra
abdomen.
c. Ulkus pada ujung lidah karena tergosok pada gigi atau tergigit pada
saat batuk.
d. Stomatitis.
3. Pada sistem saraf pusat terjadi karena kejang :
a. Hipoksia dan anoksia akibat apneu yang lama
b. Perdarahan sub arcknoid yang massif
c. Ensefalopat, akibat atrof, kortika yang difus
d. Gangguan elektrolit karena muntah
J. Penatalaksanaan
Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan
dengan perawatan panjang. Umur < 6 bulan dirawat dirumah sakit. Demikian
juga pada anak dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti nafas
lama, atau kebiruan setelah batuk (Tim Adaptasi Indonesia, 2009).

20
1. Antibiotik
Antibiotik golongan makrolid (misalnya, azithromycin, clarithromycin,
atau azitromisin) terbukti efektif dan merupakan andalan pengobatan untuk
pasien dengan pertusis. Efektivitas terapi antibiotik tergantung pada fase
pertusis di mana terapi dimulai. Pada 3 minggu pertama (fase kataral) adalah
waktu yang optimal untuk pemberian antibiotik untuk memperbaiki gejala
pertusis dan membasmi B. pertusis. Namun, pengobatan jarang diberikan
cukup awal untuk mempengaruhi perjalanan penyakit. Untuk alasan ini, CDC
AS mendorong dokter untuk memulai pengobatan antibiotik berdasarkan
penilaian klinis dan bahkan sebelum hasil laboratorium diketahui (Kilgore et
al., 2016).
Di antara tiga makrolid yang paling banyak diresepkan, azitromisin adalah
satu-satunya antimikroba direkomendasikan untuk neonatus (<1 bulan).
Trimetropim-sulfametoksazol (TMP-SMZ/Kotrimoksazol) digunakan
sebagai alternatif pengganti makrolid tetapi hanya boleh digunakan pada anak
usia lebih dari 1 bulan dan pada dewasa jika makrolid tidak dapat ditoleransi.
Karena berpotensi menyebabkan kernikterus pada bayi, kotrimokaszol tidak
boleh diberikan kepada wanita hamil, ibu menyusui dan bayi usia <2 bulan
(Kilgore et al., 2016).
Ampisilin, sefalosporin, tetrasiklin, kloramfenikol, dan fluoroquinolones
belum menunjukkan efektivitasnya dalam mengobati pertusis pada bayi,
anak-anak, dan orang dewasa. Selanjutnya, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
fluoroquinolones memiliki efek samping yang berbahaya pada anak-anak.
Oleh karena itu, tidak satu pun dari agen-agen antimikroba tersebut
direkomendasikan untuk pengobatan pertusis (Kilgore et al., 2016).
Pengobatan gejala pertusis menggunakan kortikosteroid, bronkodilator,
antitusif, antitoksin (pertusis immunoglobulin), atau antihistamin belum
dievaluasi secara memadai. Dengan demikian, terapi ini umumnya tidak
dianjurkan (Kilgore et al., 2016).

21
Tabel 2.4 Rekomendasi Pemberian Antimikroba dan Profiaksis
Pascapajanan Pertusis (Kilgore et al., 2016)
Rekomendasi Usia Dosis

Eritromisin >1 bulan 40-60 mg/kg/hari dibagi 3-4


dosis selama 7-14 hari

Dewasa 500 mg setiap 6-8 jam selama 7-


14 hari

Azitromisin <6 bulan 10 mg/kg/hari selama 5 hari

≥6 bulan 10 mg/kg pada hari ke 1,


selanjutnya 5 mg/kg pada hari ke
2-5

Dewasa 500 mg pada hari ke 1,


selanjutnya 250 mg pada hari ke
2-5

Klaritromisin >1 bulan 15 mg/kg/hari dibagi 2 dosis


selama 7 hari

Dewasa 500 mg setiap 12 jam selama 7


hari

TMP-SMZ >2 bulan TMP 8 mg/kg/hari ditambah


SMZ 40 mg/kg/hari setiap 12
jam selama 14 hari

Dewasa TMP 320 mg/hari ditambah


SMZ 1600 mg/hari setiap 12 jam
selama 14 hari

2. Suportif umum
Berikan oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti nafas
atau batuk paroksismal berat atau yang saturasi oksigennya rendah <90%
pada oksimetri. Gunakan nasal prongs (tidak menggunakan kateter
nasofaringeal atau kateter nasal, karena akan memicu batuk). Letakan nasal
prongs pada lubang hidung, atur aliran oksigen 1-2 liter per menit (0.5 liter
per menit untuk bayi muda). Terapi oksigen dilanjutkan sampai gejala yang
disebutkan diatas tidak ada lagi. Periksa sedikitnya setiap 3 jam, bahwa nasal
prongs berada pada posisi yang benar dan tidak tertutup mukus dan bahwa
sambungan aman (WHO, 2013).

22
Selama batuk paroksismal, letakan anak dengan posisi kepala lebih rendah
dalam posisi telungkup atau miring untuk mencegah aspirasi muntahan dan
membantu pengeluaran sekret. Bila anak mengalami episode sianotik, isap
lendir dari hidung dan tenggorokan dengan lembut dan hati-hati. Bila apnea,
segera bersihkan jalan nafas, beri bantuan pernafasan manual atau dengan
pompa ventilasi dan berikan oksigen (WHO, 2013).
Hindarkan sejauh mungkin segala tindakan yang dapat merangsang
terjadinya batuk, seperti pemakaian alat isap lendir, pemeriksaan tenggorokan
dan penggunaan NGT. Jangan memberi penekan batuk, obat sedatif,
mukolitik atau antihistamin. Obat antitusif dapat diberikan bila batuk sangat
menganggu. Jika anak demam (> 390C) yang dapat diberikan parasetamol.
Beri ASI atau cairan peroral. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa
nasogastrik dan berikan makanan cair porsi kecil tetapi sering untuk
memenuhi kebutuhan harian anak. Jika terdapat distres pernafasan, berikan
cairan rumatan IV untuk menghindari resiko terjadinya aspirasi dan
mengurangi rangsang batuk (WHO, 2013).
Anak harus dinilai oleh perawat setiap 3 jam dan oleh dokter sekali sehari.
Agar dapat dilakukan observasi deteksi dan terapi dini terhadap serangan
apnu, serangan sianotik, atau episode batuk yang berat, anak harus
ditempatkan pada tempat tidur yang dekat dengan perawat dan dekat dengan
oksigen. Juga ajarkan orang tua untuk mengenali tanda serangan apnu dan
segera memanggil perawat bila ini terjadi. (WHO, 2013).
K. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan melalui imunisasi aktif dan pasif (CDC, 2008) :
1. Imunisasi pasif
Imunisasi pasif diberikan human hyperimmune globulin.
2. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif diberikan vaksinasi. Ada dua vaksin yang digunakan saat
ini yaitu acelllular pertusis vaksin (aP) dikombinasikan dan whole cell
pertusis vaksin (wP) dengan difteri dan tetanus toksoid menjadi DTaP dan
DTwP. DTwP merupakan vaksin DPT yang berisi sel bakteri pertusis utuh
yang tersedia sejak tahun 1940, namun terkait dengan alasan keamanan, maka

23
dilakukan pengembangan vaksin pertusis asellular (aP). Remaja usia 11-18
tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat dosis tunggal Tdap 0,5 mL
i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi bila terdapat riwayat reaksi
anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati (koma, kejang lama)
dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis (Klein et al., 2013).
Berikut jadwal Imunisasi khususnya imunisasi DPT yang
direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Indonesia tahun 2014.

Gambar 2.7 Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun (IDAI, 2014)

Beberapa hal yang menyebabkan anak tidak mendapatkan vaksin DPT


yaitu anak dengan penyakit ringan seperti flu, dapat memperoleh vaksin DPT
tapi anak dengan penyakit sedang sampai berat harus menunggu sembuh
terlebih dahulu sebelum mendapatakan vaksin DPT. Setiap anak yang
mengalami reaksi alergi setelah mendapatkan vaksin DPT sebelumnya.
Setiap anak yang menderita penyakit otak atau sistem saraf (CDC, 2008).
Beberapa resiko setelah vaksin DPT yaitu resiko ringan seperti demam,
kemerahan atau bengkak di daerah bekas suntikan, rasa nyeri setelah suntikan
diberikan, anak rewel, mual, muntah, diare, dan sakit perut, kurang nafsu
makan, sakit kepala, rasa lelah, menggigil dan nyeri sendi serta ruam. Resiko
sedang seperti kejang, tidak berhenti menangis selama 3 jam atau lebih.,
demam tinggi lebih dari 1050F, reaksi alergi yang serius. Resiko berat seperti
kejang jangka panjang, koma dan penurunan kesadaran serta kerusakan otak
permanen (CDC, 2008).

24
Menurut FK UI (2005), tindakan untuk mecegah pertusis adalah :
1. Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
yang imunisasinya belum lengkap.
2. Beri DPT ulang untuk anak yang sebelumnya telah diimunisasi.
3. Beri eritromisin suksinat (12.5 mg/kgBB/kali 4 kali sehari) selama 14 hari
untuk setiap bayi yang berusia di bawah 6 bulan yang disertai demam atau
tanda lain dari infeksi saluran pernapasan dalam keluarga.
Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum
mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari
sesudah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin
diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama
7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu
terjadi epidemi (Long, 2005)
Pencegahan penyakit dilakukan dengan cara (CDC, 2008) :
1. Isolasi
Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai
5-7 hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah
terapi antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi
setelah pemberian terapi hari ke-5. Atau 3 minggu setelah batuk
paroksismal reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.
2. Karantina
Kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak
diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat
publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotik selama 5 hari
dari 14 hari pemberian secara lengkap.
L. Prognosis
Sebagian besar anak akan membaik, mengalami perbaikan epitel pada
saluran respiratori dan fungsi paru yang normal setelah sembuh. Pada anak
dengan usia lebih muda akan cenderung membutuhkan rawat inap, hal ini
disebabkan memiliki angka kematian lebih besar. Pada anak yang terkena
pertusis dapat mengalami gangguan disabilitas akibat enselopati
(Marcdante et al., 2011).

25
Prognosis penyakit dapat memburuk pada tahun pertama dan kedua
kehidupan dimana angka masuk rumah sakit dan angka kematiannya tinggi
(Case Fatality Rate 0,2% dan 4% pada negara maju dan negara
berkembang). Pada anak yang sudah mendapat imunisasi, gejala biasanya
ringan dan tidak spesifik, sehingga jarang terdiagnosis (Gabutti dan Rota,
2012)

26
III. KESIMPULAN

1. Pertusis (batuk rejan) adalah infeksi menular dari saluran pernapasan atas
yang disebabkan oleh gram basil negatif Bordetella pertusis.
2. Infeksi oleh Bordetella pertusis diperoleh melalui droplet.
3. Insiden pertusis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun.
Insidensi terutama terjadi pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.1
4. Pertusis terdiri dari tiga fase yaitu fase kataralis, fase paroksismal, fase
konvalensen.
5. Gejala klinis yang khas pada pertusis yaitu batuk paroksismal yg diikuti
dengan whoop, muntah, sianosis atau apnu, bisa dengan atau tanpa demam,
belum imunisasi DPT atau imunisasi DPT tidak lengkap, perdarahan
subkonjungtiva, klinis bisa baik diantara episode batuk.
6. Komplikasi pertusis dapat berpengaruh pada sistem pernapasan,
pencernaan dan sistem saraf pusat.
7. Tatalaksana utama pada pertusis yaitu pemberian antibiotik yaitu
eritomisin oral (12,5 mg/kg, 4x sehari) selama 10 hari. Alternatif, jika
tersedia, berikan azitromisin dengan dosis 10 mg/kg (maksimal 500 mg)
pada hari pertama, kemudian dilanjutkan 5 mg/kg (maksimal 250 mg)
sekali sehari dalam empat hari.
8. Pencegahan penyebaran dan penularan dilakukan dengan imunisasi atau
vaksinasi. Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam
keluarga yang imunisasinya belum lengkap

27
DAFTAR PUSTAKA

Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics for
whooping cough (pertussis) (Review). Evid.-Based Child Health 7:3: 893–956

Bayhan GI, Tanir G, Otgun SN, Teke TA, Timur OM, Oz FN. 2012. The clinical
characteristics and treatment of pertussis patients in a tertiary center over a
four-year period. The Turkish Journal of Pediatrics. 54 : 596-60

Bocka, Joseph. 2019. Pertussis. OhioHealth MedCentral Health System;


Emergency Medical Service Medical Director. Medscape.

Cahyono, J B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi. Yogyakarta

Centers for Disease Control and Prevention. 2008. Tetanus, Diphtheria (Td) or
Tetanus, Diphtheria, Pertusis (Tdap) Vaccine: What You Need to Know.
Department of Health and Human Services. Vaccine Information Statement.

Cherry JD. 2012. Epidemic Pertussis in 2012: The Resurgence of a Vaccine-


Preventable Disease. The New England Journal of Medicine. 367 : 9

Cherry JD dan Paddock CD. 2014. Pathogenesis and histopathology of pertussis :


implications for immunization Expert Rev. Vaccines. 9 : 1115–112

Crespo I, Cardenosa N, Godoy P, Carmona G, Sala MR, Barrabeig I, et al 2011.


Epidemiology of pertussis in a country with high vaccination coverage.
Vaccine. 29 : 4244 – 4248

Departemen Kesehatan. 2011. Imunisasi Murah dan Efektif Imunisasi Melindungi


Anak Indonesia dari Wabah, Kematian atau Kecacatan. Jakarta: Pusat
Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI.

Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH, Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al 2015.
BioMed Central Infectious Disease, 15: 554

28
Gabutti G dan Rota MC. 2012. Pertussis: A Review of Disease Epidemiology
Worldwide and in Italy. International Journal of Environmental Research anf
Public Health. 9: 4626-4638

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Jilid II. Jakarta :
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Juliana D. 2012. Pengaruh Pengetahuan, Sikap Dan Norma Ibu Serta Pelayanan
Imunisasi Terhadap Pemberian Imunisasi DPT/HB3 Di Kecamatan Kuta Baro
Dan Darussalam Kabupaten Aceh Besar. Universitas Sumatera Utara : Medan.
Tesis.

Heininger U. 2012. Pertussis: What the Pediatric Infectious Disease Specialist


Should Know. The Pediatric Infectious Disease Journal. 31 (1) : 78-79.

Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. 2008. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik
Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI.

James D. Cherry. [Serial Online]. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5 May 2005, pp. 1422-
1427.

Kayina V, Kyobe S, Katabazi FA, Kigozi E, Odongkara B, Babikako HM, et al.,


2015. Pertussis Prevalence and Its Determinants among Children with
Persistent Cough in Urban Uganda, PLOS ONE. 1-12

Kilgore P.E., Abdulbaset M.S., Marcus J.Z. dan Heinz-Josep S. 2016. Pertussis :
Microbiology, Diasease, Treatment and Prevention. American Society For
Microbiology 29(3) : 449-86

Long, Sarah. 2005. Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta : EGC.

Mansjoer Arif, Suprohaita, 2009. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III (jilid2).
Jakarta: Media Aesculpius FKUI.

Marcdante, Karen J et al. 2011. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6.
Elsevier : Singapura, pp: 523-525

29
Melvin dan Jeffrey A. 2014. Bordetella pertussis pathogenesis: current and future
challenges.

Muloiwa R, Kagina BM, Engel ME, Hussey GD. 2015. The burden of pertussis in
low- and middle-income countries since the inception of the Expanded
Programme on Immunization (EPI) in 1974: a systematic review protocol .
Systematic 4:62.

Snyder J dan Fisher D. 2012. Pertussis in Childhood. Pediatrics in Review, 33 :


412
Staf pengajar Anak FKUI. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta,
Indonesia. Jilid 2. h: 564-566.

Soedarmo, SSP., Garna, H., Hadinegoro SRS., Satari HI. 2010. Pertusis. Dalam:
Buku Ajar Infeksi dan Peiatri Tropis Edisi 2. Jakarta: Balai penerbit IDAI.

Tim Adaptasi Indonesia. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.


Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota.
Jakarta : WHO Indonesia.

Turner, B, Lewis, NE. 2010. Annnual Morbidity Report of Pertusis. Journal of


Communicable Disease Control.

World Health Organization. 2013. Guidlines for The Management of Common


Childhood Illnesses. Geneva : WHO Press

World Health Organization. 2015. Pertussis. Geneva : WHO Press

Zouhari A, Smaoi H, Kechrid A. 2012. The diagnosis of pertussis: which method


to choose?. Informa Healthcare. 38(2): 111–121

30

Anda mungkin juga menyukai