Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Alergi merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak dijumpai di
masyarakat.Umumnya masyarakat menganggap bahwa penyakit alergi hanya
terbatas pada gatalgatal di kulit.Alergi sebenarnya dapat terjadi pada semua
bagian tubuh, tergantung pada tempat terjadinya reaksi alergi tersebut. Alergi
merupakan manifestasi hiperresponsif dari organ yang terkena seperti kulit,
hidung, telinga, paru, atau saluran pencernaan. Pada hidung gejala alergi yang
timbul berupa pilek, pada paru-paru berupa asma, pada kulit berupa
urtikaria/biduran, eksema, serta dermatitis atopik, sedangkan pada mata berupa
konjungtivitis.Gejala hiperresponsif ini dapat terjadi karena timbulnya respon
imun dengan atau tanpa diperantarai oleh IgE (Mahdi, 2003).
Pada studi populasi, penyakit alergi dapat timbul pada usia yang berbeda-
beda, seperti alergi makanan dan eksim terutama pada anak-anak, asma
didapatkan pada anak dan dewasa, dan rinitis alergika didapatkan pada dekade
kedua dan ketiga (Mahdi, 2003).Di Indonesia, prevalensi alergi pada anak-anak
dan dewasa cukup tinggi. Penyakit alergi akan timbul pada individu yang
mempunyai kecenderungan yang didasari faktor genetik, yang biasanya
diwariskan dari kedua orangtua.Bila kedua orangtua menderita alergi
kemungkinan anak menunjukkan gejala alergi sekitar 50%, namun bila hanya
salah satu yang menderita alergi kemungkinannya hanya 25% (Hidayati, 2002).
Penyakit alergi memiliki pola perjalanan penyakittersendiriyang
menggambarkan dermatitis atopic pada periodebayi akan berlanjut menjadi
rhinitis alergika, alergi makanan dan atau asma. Perjalanan penyakit alergi
dipengaruhi oleh faktor genetik, dan faktor lingkungan mulai dari masa intrauterin
sampai dewasa(Wahn, 2004). Manifestasi penyakit alergi dapat dicegah dengan
melakukan deteksi dan intervensi dini, salah satunya adalah dengan identifikasi
kelompok risiko tinggi atopi melalui riwayat atopi keluarga(Harsono, 2005)
Penyakit alergi seperti dermatitis atopik, rhinitis alergika, asma dan
urtikaria adalah keadaan atopi yang cenderung terjadi pada kelompok keluarga

1
dengan kemampuan produksi IgE yang berlebihan terhadap rangsangan
lingkungan (Harsono, 2005). Dermatitis atopik merupakan penyakit
peradangan kulit yang bersifat kronis, dengan onset puncak terjadi pada usia
kurang dari 12 bulan dan sebagian besar kasus dermatitis atopik terjadi pada
beberapa tahun pertama dalam kehidupan.Dermatitis atopik merupakan
manifestasi paling dini dari penyakit alergi. Sebesar 50% penderita dermatitis
atopik akan menjadi asma dan 75% menjadi rhinitis alergika
I.2 Tujuan
Agar lebih memahami definisi alergi dan cara pemeriksaan alergi
I.3 Manfaat
Mahasiswa dapat lebih lebih memahami definisi alergi dan cara pemeriksaan
alergi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dasar Teori
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
Secara umum alergi atau hipersensitivitas tipe I (1 dari 4) adalah
kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam
bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik
(antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata
lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan
yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk
orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan
hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Istilah alergi pertama kali digunakan dalam dunia kedokteran pada tahun
1906 oleh Clemens von Pirquet, seorang dokter anak di Austria.Pirquet melihat
alergi ini adalah sebagai suatu reaksi yang aneh dari tubuh.Alergi sebenarnya
adalah hasil dari respon tubuh terhadap partikel-partikel asing yang masuk ke
dalam tubuh.Tubuh mengadakan reaksi terhadap partikel-partikel asing tersebut
melalui sistem kekebalan dan daya tahan tubuh seperti ketika penyakit memasuki
tubuh, padahal sebenarnya partikel asing yang masuk itu bukanlah penyakit dan
tidak membahayakan tubuh.Reaksi tubuh yang berlebihan ini malah membuat
tubuh menjadi sakit.
Alergi merupakan kepekaan tubuh terhadap bendaasing (alergen) di dalam
tubuh. Reaksi setiap individu terhadap alergen berbeda-beda, sehingga individu
yang satu bisa lebih peka daripada individu yang lain. Untuk mencegah reaksi
alergi, selain menghindari kontak dengan alergen, masyarakat banyak
menggunakan obat kimiawi karena menganggap obat kimiawi cepat
menyembuhkan serta mudah diperoleh. Seiring dengan timbulnya kesadaran
akandampak buruk produk-produk kimiawi, timbul pula kesadaran akan

3
pentingnya kembali ke alam (back to nature). Masyarakat mulai beralih pada
pengobatan alami dengan menggunakan berbagai tanaman obat dalam mengobati
penyakit alergi. Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi oleh
mekanisme imunologis spesifik yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE).
Proses alergi meliputi dua langkah yaitu langkah pertama dimulai dengan
kepekaan, selama tahap awal dari sensitisasi, menghasilkan sejumlah besar
antibodi IgE terhadap alergen yang dihirup, ditelan, atau zat disuntikkan.
Sebagian sel B memori akan muncul yang mampu menghasilkan lebih banyak
antibodi IgE spesifik jikaterpapar kembali dengan alergen yang sama di kemudian
hari. Tahap keduapembentukan antibodi IgE untuk menempel pada reseptor yang
dimiliki oleh basofil atau sel mast di mukosa permukaan kulit, saluran
pencernaan, dan sistem pernafasan.
Tes alergi telah digunakan sejak 30 tahun yang lalu.Pemeriksaan IgE
spesifik digunakan sejak tahun 1990an. Pemeriksaan alergi meliputi tes in
vitrodan in vivo.Pemeriksaaan in vivoberupa tes uji kulit.Pemeriksaan in
vitroberupa pemeriksaan IgE, yaitu IgE total dan IgE spesifik.Pemeriksaan IgE
spesifik sangat spesifik namun sensitifitasnya tidak sebaik teskulit.
IgE merupakan mediator pada hipersensitivitas tipe cepat termasuk asma,
rinitis alergik, urtikaria dan dermatitis atopik.Kondisi ini merupakan hasil
interaksi antara alergen, IgE spesifik, mast sel atau basofil yang menyebabkan
terjadinya perubahan pada membran sel. IgE ini dapat dideteksi dalam serum
melalui immune assay.Spesifisitas dan sensitivitas IgE spesifik adalah dalam
kisaran 85-95%. Pemeriksaan IgE spesifik untuk mengevaluasi anak dengan
gejala alergi dapat dilakukan dengan jenis alergen yaitu pada dermatitis atopik
yang tersering adalah putih telur, susu, tepung, tungau debu rumah dan pada
rhinitis atau asma alergen tersering adalah tungau debu rumah, kucing atau anjing,
kecoa dan alternaria tenuis.
Ø Setelah seseorang terkena alergi, serangkaian kegiatan menciptakan reaksi
alergi:
1. Tubuh mulai menghasilkan antibodi jenis tertentu, yang disebut IgE, untuk
mengikat allergen.

4
2. Antibodi melampirkan ke bentuk sel darah yang disebut sel mast. sel Mast
dapat ditemukan di saluran udara, di usus, dan di tempat lain. Kehadiran
sel mast dalam saluran udara dan saluran pencernaan membuat daerah ini
lebih rentan terhadap paparan alergen.
3. Mengikat alergen ke IgE, yang melekat pada sel mast. Hal ini menyebabkan
sel mast untuk melepaskan berbagai bahan kimia ke dalam darah.
Histamin, senyawa kimia utama, menyebabkan sebagian besar gejala
reaksi alergi.
Ø Gejala umum dari suatu reaksi alergi terhadap alergen yang terhirup atau kulit
meliputi:
a. Gatal, mata berair, mata merah
b. rhinorrhea, eksim, urticaria, atau serangan asma.
c. Bersin
d. Gatal, hidung beringus
e. Ruam
f. Merasa lelah atau sakit
g. Hives (gatal-gatal dengan bercak merah)
Ø Partikel-partikel penyebab alergi dapat masuk ke dalam tubuh dengan berbagai
cara, seperti:
A. Melalui saluran pernapasan: Pada saat bernapas, disamping menghirup
Oksigen, dapat juga menghirup partikel-partikel lain yang ada di udara.
B. Melalui makanan: Ketika tubuh mengonsumsi makanan atau pun obat-
obatan, kemungkinan faktor allergen pun bisa masuk melalui saluran
pencernaan di dalam tubuh, dan kemudian menyatu dengan aliran darah
dan bisa merangsang timbulnya alergi. Banyak jenis makanan
menyebabkan alergi, tetapi 90 persen alergi disebakan oleh susu sapi,
kedelai ,telur ,wheat ,kacang tanah, treenuts, ikan, dan crustacea/udang/
rajungan/ kepiting. Alergi makanan lainnya terjadi kurang dari 1 per
10.000 orang, dapat dianggap jarang.
C. Alergi obat, obat juga dapat menyebabkan alergi terutama yang
mengandung beberapa antibiotic antara lain antibiotika penisilin dan

5
turunannya (ampisilin, amoksisilin, kloksasilin), antibiotika
sulfonamide, obat antidemam dan antinyeri (seperti asam salisilat,
parasetamol, dll).
Obat apapun dapat menyebabkan reaksi alergi. Beberapa yang umum adalah:
1. Penicillins (seperti nafcillin, ampicillin atau amoxicillin). Jenis obat-obatan
yang paling menyebabkan alergi obat.
2. Sulfa obat-obatan.
3. Barbiturates.
4. Insulin.
5. Vaksin.
6. Alergi cuaca dingin, tubuh akan mengalami reaksi yang berlebihan jika udara
disektar dingin. Yang paling berbahaya bagi penderita yang mengalami
alergi dingin ini akan timbul bercak merah gatal pada kulit serta timbul
selaput lendir pada mulut dan mata.
7. Melalui sentuhan dengan kulit: Ketika penyebab alergi bersentuhan dengan
kulit, maka kulit pada orang yang sensitif itu pun akan bereaksi. Hal ini
terjadi karena saat kulit bersentuhan dengan faktor allergen, partikel-partikel
itu diserap oleh kulit dan masuk ke dalam tubuh.
8. Melalui suntukan ke tubuh: Reaksi yang paling berat terjadi adalah ketika
allergen penyebab alergi ini secara tidak sengaja disuntikkan ke tubuh dan
mendapat akses langsung ke dalam aliran darah.
9. Factor keturunan yaitu dimana penyakit alergi timbul dalam keluarga, kembar
identik akan sama alerginya sekitar 70 persen sepanjang waktu, tetapi
kembar non-identik hanya 40 persen. Orang tua yang alergi biasanya anak-
anaknya juga alergi, dan anak-anak tersebut akan menderita alergi lebih
berat daripada anak-anak dari orang tua yang tak alergi.
Penyakit alergi sering dijumpai di masyarakat dengan tempat predileksi
tersering saluran napas, kulit, dan saluran pencernaan. Diagnosis cepat dan terarah
dibutuhkan agar komplikasi tidak terjadi. Hal yang perlu dilakukan pada pasien
dengan kecurigaan alergi adalah memastikan apakah pasien tersebut benar
menderita alergi dengan melakukan:

6
1.Anamnesis
 kapan gejala timbul dan apakah munculnya mendadak atau bertahap.
 karakter, lama, frekuensi, dan beratnya gejala, seperti urtikaria akut lebih
mungkin disebabkan oleh alergen daripada urtikaria kronik.
 waktu timbulnya gejala seperti pada pagi, siang, atau malam hari.
 pekerjaan dan hobi. Pastikan apakah gejala muncul akibat pekerjaan seperti
halnya 5% kasus asma. Kemudian, pastikan apakah terdapat faktor lainnya
yang mempengaruhi seperti faktor musim dan cuaca, hawa dingin, hewan
piaraan, kelelahan, obat, makanan, emosi, kehamilan, asap, bau-bauan,
kebiasaan merokok, dan lain-lain. Dalam hal mencari alergen, hubungan
antara gejala, waktu, dan tempat menjadi sangat penting.
 jumlah, warna, dan kekentalan dahak perlu ditanyakan pada pasien asma atau
alergi saluran napas lainnya.
 pengaruh penyakit terhadap kualitas hidup.
 kaitan penyakit dengan riwayat keluarga.
2.Pemeriksaan fisis yang lengkap dengan perhatian lebih tertuju pada manifestasi
di kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru.
 seluruh kulit harus diperhatikan apakah ada peradangan kronik
seperti ekskoriasi, bekas garukan, dan terdapat lesi urtikaria, angioedema,
dermatitis, dan likenifikasi.
 mata diperiksa untuk melihat hiperemia konjungtiva, edema,
sekret mata yang berlebihan dan katarak terkait atopi atau
pengobatan kortikosteroid dengan dosis tinggi. Kemudian,
allergic shiners berupa daerah gelap dan bengkak di bawah mata,
khas dijumpai pada penderita rhinitis alergi.
 pemeriksaan membran timpani untuk melihat otitis media,
penyulit pada alergi saluran napas, perlu dilakukan. Kemudian,
pada sinusitis, sinus dapat diperiksa secara palpasi dan
transiluminasi.

7
 pada pemeriksaan hidung, terdapat beberapa tanda seperti
allergic salute dimana pasien menggosok hidung ke arah atas
dengan telapak tangan, allergic crease berupa garis melintang
akibat lipatan kulit ujung hidung, allergic facies berupa
pernapasan mulut, dan kelainan gigi-geligi.
 pada pemeriksaan mulut dan orofaring dinilai eritema, edema,
hipertrofi tonsil, dan post nasal drip. Mukosa kemerahan dan
edema sering dijumpai pada pasien rhinitis alergi.
 inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada pemeriksaan
dada untuk menilai adanya penggunaan otot bantu pernapasan
dan mengi.
 pemeriksaan lainnya berupa tekanan darah yang rendah (90-
110 mmHg) sering dijumpai pada pasien penyakit alergi.Pemeriksaan
penunjang dilakukan untuk memperkuat dugaan adanya
penyakit alergi, dan bukan untuk menentukan diagnosis. Adapun indikasi
dari tes alergi adalah rhinitis alergi, angioedema dan sengatan lebah, alergi
makanan, dermatitis kontak, dan lain-lain.
Pemeriksaan penunjang untuk alergi meliputi:
1. Pemeriksaan laboratorium Jumlah leukosit dan hitung jenis sel
Jumlah leukosit normal pada penyakit alergi. Sel eosinofil normal pada
orang dewasa adalah 0-450 sel/mm . Pada penyakit alergi, eosinofilia
sering dijumpai tapi tidak spesifik dan berkisar 5-15% beberapa hari
setelah pajanan. Hal ini dapat menjadi penanda dan beratnya hipersensitivitas
tersebut. Sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung, dan sputum Eosinofil
banyak dijumpai pada sekret pasien rhinitis alergi. Namun, apabila terdapat
infeksi maka neutrofil lebih dominan. Serum IgE total Pemeriksaan ini mulai
ditinggalkan karena peningkatan serum IgE total dapat dijumpai pula pada
infeksi parasit, sirosis hati, mononukleosis, penyakit autoimun, dan lain-lain.
Pemeriksaan masih dilakukan apabila
a) alergi pada anak dengan riwayat orang tua yang juga menderita alergi,

8
b) alergi pada anak dengan bronkiolitis, c)membedakan asma dan rhinitis
alergi dengan non alergik,
d) membedakan dermatitis atopi dengan lainnya,
e) diagnosis aspergilosis bronkopulmoner alergik. Pada rhinitis alergi,
terjadi peningkatan serum IgE. IgE spesifik Pengukuran ini dilakukan
pada pasien dengan penyakit kulit yang luas,
tidak dapat menghentikan pengobatan, dan kasus alergi berat sehingga
menghalangi tes kulit. IgE diukur secara in vitro dengan teknik RAST
(Radio Allergo Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent Assay). Rasio ikatan dan tidak terikat IgE ≥ 2 menggambarkan
respons spesifik terhadap alergen. Namun, tes ini kurang sensitif (tapi
lebih spesifik) dibanding tes kulit dan hasilnya tidak langsung
diketahui.
Pemeriksaan komplemen Pada kasus angioedema berulang tanpa
urtikaria dilakukan pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen.
2.Tes kulit Tes tusuk (prick test)
Sebelum melakukan tes ini, pasien harus menghentikan
penggunaan obat seperti antihistamin (generasi I minimal 72 jam dan
generasi II minimal 1 minggu sebelum tes) dan kortikosteroid (dosis kecil
seperti prednisone <20 mg dihentikan 3 hari sedangkan dosis tinggi 1
minggu). Sedangkan teofilin, obat simpatomimetik, dan nedocromil tidak
perlu dilarang karena tidak mempengaruhi hasil tes. Tes boleh dilakukan
pada pasien berusia > 2 tahun.
Kontraindikasi absolut dari tes ini adalah lesi luas pada kulit,
kooperasi pasien buruk, dan pasien tidak bisa menghentikan pengobatan
yang dapat mengganggu hasil. Sedangkan kontraindikasi relatif berupa asma
yang persisten dan instabil, anafilaksis, kehamilan, dan penggunaan obat-
obatan seperti antihistamin, antidepresan trisiklik, dan beta blocker. Bagian
volar lengan bawah, lengan atas, atau punggung dibersihkan dengan
alkohol. Ketika kering, dibuat garis dengan jarak 2-3 cm. Lalu, dengan
jarum disposibel ukuran 26, dilakukan tusukan dangkal dengan

9
ujung jarum pada daerah yang sudah diteteskan kontrol negatif (larutan
phosphate buffered saline dengan fenol 0,4%) atau kontrol positif (larutan
histamin fosfat 0,1%). Setiap penusukan, dilakukan dengan jarum yang
baru. Dengan metode yang sama, alergen diinjeksikan dengan jarum
sehingga disebut intradermal skin test, biasanya dipakai untuk allergen
spesifik seperti bisa lebah atau penisilin. Akan tetapi, tes intradermal tidak
digunakan untuk alergi makanan karena hasil positif palsu yang tinggi dan
risiko terjadinya reaksi alergi yang parah. Sedangkan scratch test sudah
jarang dilakukan karena hasilnya yang inkonsisten.

Pembacaan dilakukan 15-20 menit dengan mengukur diameter


bentol dan eritema. Positif apabila rata-rata diameter satu bentol 3 mm
lebih besar daripada kontrol negatif. Adapun interpretasi hasil tes:
Hasil negatif: sama dengan kontrol negatif.
Hasil +1 : 25% dari kontrol positif.
Hasil +2 : 50% dari kontrol positif.
Hasil +3 : 100% dari kontrol positif.
Hasil +4 : 200% dari kontrol positif.
3. Tes tempel (patch test)
Biasanya digunakan pada dermatitis kontak dengan menempelkan bahan
pada kertas saring yang diletakkan di atas kertas impermeabel.
Selanjutnya, ditempel pada kulit punggung dengan plester. Bahan yang
digunakan adalah benzokain, merkapto benzotiazol, kolofoni, lanolin

10
alkohol, dan lain-lain. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam dan diulangi
96 jam sesudah pemasangan agar hasil lebih jelas terlihat.
Adapun interpretasi hasil tes:
0= tidak ada reaksi
+/- = eritema ringan, meragukan
1+ = reaksi ringan (eritema dengan edema ringan)
2+ = reaksi kuat (papular eritema dengan edema)
3+ = reaksi sangat kuat (vesikel atau bula)
3.Tes provokasi
Hanya dilakukan apabila terdapat kesulitan dalam diagnosis dan
ketidakcocokan gambaran klinis dengan tes lainnya. Adapun contoh tes
provokasi adalah:
 Tes provokasi nasal dengan menyemprot salah satu alergen
melalui satu lubang hidung dan lubang hidung lainnya ditutup.
Tes dianggap positif apabila timbul bersin-bersin, pilek, hidung
tersumbat, batuk, atau mukosa hidung edema.
 Tes provokasi bronkial biasanya untuk asma dan harus dilakukan
di rumah sakit serta ditangani oleh tenaga medis. Cara yang
dipakai adalah tes kegiatan jasmani dimana 42% pasien
memberikan hasil jasmani positif (Sutopo et.al.: 1984). Selain itu,
dilakukan tes inhalasi antigen dan histamine serta metakolin. Tes
inhalasi histamin dan metakolin menimbulkan 90% reaksi pada
pasien asma sehingga menjadi kriteria diagnosis asma.
 Tes eliminasi dan provokasi terhadap makanan. Eliminasi
makanan yang dicurigai sebagai penyebab alergi selama
beberapa minggu dan kemudian dikonsumsi kembali pada suatu
waktu secara perlahan kemudian dilihat reaksi alergi. Oral food
challenge dengan metode double blind placebo dianggap sebagai
gold standard. Prosedur ini tidak dilakukan pada pasien dengan
riwayat hipersensitivitas yang jelas. Pasien diminta untuk
pantang makanan selama 2 minggu, antihistamin dihentikan

11
sesuai waktu paruhnya, dan di bawah pengawasan medis untuk
mengantisipasi reaksi berat seperti syok anafilaktik. Makanan
diberikan dalam bentuk suatu seri kapsul yang diberikan
bergantian dengan kapsul plasebo. Hasil negatif apabila setelah
menelan makanan dalam jumlah besar, tidak ada reaksi alergi.
4. Punch biopsy dengan ukuran 4 mm dapat digunakan untuk membantu
diagnosis urtikaria karena adanya kelainan histopatologis yang luas
dengan infiltrat seperti neutrofil, limfosit, dan eosinofil.
5. Pemeriksaan pelengkap lainnya berupa spirometri, pemeriksaan
sputum, foto dada, dan analisis gas darah dapat dilakukan untuk
penegakan diagnosis asma bronkial.

12
DAFTAR PUSTAKA
Tanjung A, Yunihastuti E. Prosedur diagnostik penyakit alergi. Dalam Buku Ajar
Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal. 377-
81.
MedLine Plus. Allergy testing. Diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/ article/ 003519 .htm. Diakses
pada 28 Maret 2012, pk. 20.00 WIB.
Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalzo J. Allergies, anaphylaxis, and systemic mastocytosis: introduction.
In Harrison’s Princip le of Internal Medicine. 17 ed. USA: The.McGraw-Hill
Companies; 2008, chap.311.
Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. Urtikaria dan angioedema.
Dalam Buku A jar Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing;
2010, hal. 400-1.
Douglass JA, O’Hehir RE. Diagnosis, treatment and prevention of allergic
disease: the basics. Med J Aust. 2006; 185 (4): 228-233.
Rengganis I, Yunihastuti E. Alergi makanan. Dalam Buku Ajar Penyakit
Dalam. Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal. 385-6.
Sundaru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam.
Jilid I. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2010, hal. 406-7.

13

Anda mungkin juga menyukai