Anda di halaman 1dari 13

TUMOR KOLOREKTAL

Oleh

Fatah Abdul Khair

1908110447

Kakak Asuh :

Annisa Sarah Utami S. Ked.

1908436692

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kanker kolorektal (colorectal cancer / CRC) merupakan suatu
penyakit keganasan yang sangat heterogen, yang disebabkan oleh interaksi
antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Penyakit ini merupakan salah
satu penyakit keganasan dengan prevalensi dan insidensi tertinggi di seluruh
dunia dan diperkirakan sebanyak 1,2 juta orang didiagnosis CRC setiap
tahunnya. World Health Organization (WHO) memperkirakan akan terjadi
peningkatan sebesar 77% kasus baru CRC dan 80% kematian akibat CRC
pada tahun 2030.
CRC merupakan penyakit keganasan tersering kedua pada wanita (614
ribu kasus/tahun) dan penyakit kanker tersering ketiga pada pria (746 ribu
kasus/tahun). Insiden dan mortalitas CRC meningkat dengan pertambahan
usia. Lebih kurang 90% kasus baru dan 93% kasus kematian akibat CRC
terjadi pada usia ≥ 50 tahun.
Di Indonesia, CRC merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan
peringkat penyakit keganasan ketiga tertinggi. Insiden per 100.000 orang
adalah 19,1 pada pria dan 15,6 pada wanita, dengan rentang usia rata-rata
45-50 tahun.3 Di RS M Djamil Padang, dari bulan Januari 2011 s/d
Desember 2013, ditemukan 102 kasus CRC, dengan rentang usia 41-65
tahun dan terbanyak pada pria (66%).
Lebih kurang 15% pasien CRC datang dengan stadium TNM 0-I, 20-
30% dengan stadium II, 30-40% dengan stadium III, dan 20-25% dengan
stadium IV. Sebagian besar kasus kanker kolorektal ditemukan sudah
stadium / staging lanjut dan sedikit yang ditemukan pada stadium / staging
awal (stadium I atau staging localized).
Terapi kuratif terbaik dalam penatalaksanaan kanker kolorektal adalah
reseksi bedah, namun dengan rekurensi yang tinggi. Dari 158 orang pasien
CRC yang menjalani reseksi, sebanyak 71,2% mengalami rekurensi dalam 2
tahun pertama, 17,6% dalam 2-3 tahun setelah pembedahan, 11,3% setelah
lebih dari 3 tahun, dan hanya 0,01% yang tidak rekuren dalam 5 tahun
tersebut.
Tingginya angka rekurensi tindakan reseksi pada pasien CRC menjadi
alasan pentingnya modalitas terapi lain, seperti kemoterapi dan radioterapi.
Kemoterapi pada CRC dapat dilakukan sebelum atau setelah pembedahan /
radioterapi, atau sebagai tindakan paliatif.
Peningkatan disease free survival (DFS) dan overal survival (OS)
yang cukup signifikan pada pasien CRC stadium II dan III dengan
microsatellite stabil (MSS) / microsatellite instability low (MSI-L) (DFS
70% vs 59%; OS 76% vs 68%) atau dengan proficient mismatch repair
(pMMR) (DFS 64% vs 53%; OS 71% vs 62%), tetapi tidak pada CRC
stadium II dan III dengan microsatellite instability high (MSI-H) (DFS 69%
vs 83%; OS 71% vs 88%) atau dengan deficient mismatch repair (dMMR)
(DFS 72% vs 76%; OS 75% vs 81%).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Defenisi
Kanker kolorektal adalah jenis kanker yang tumbuh pada usus besar
(kolon), atau pada bagian paling bawah dari usus besar yang terhubung ke
anus (rektum). Kanker ini bisa dinamai kanker kolon atau kanker rektum,
tergantung pada lokasi tumbuhnya kanker.
2.2. Epidomiologi
Menurut American Cancer Society, kanker kolorektal (KKR) adalah
kanker ketiga terbanyak dan merupakan kanker penyebab kematian ketiga
terbanyak pada pria dan wanita di Amerika Serikat.1 Berdasarkan survei
GLOBOCAN 2012, insidens KKR di seluruh dunia menempati urutan
ketiga (1360 dari 100.000 penduduk [9,7%], keseluruhan laki-laki dan
perempuan) dan menduduki peringkat keempat sebagai penyebab kematian
(694 dari 100.000 penduduk [8,5%], keseluruhan laki-laki dan
perempuan).2 Di Amerika Serikat sendiri pada tahun 2016, diprediksi akan
terdapat 95.270 kasus KKR baru, dan 49.190 kematian yang terjadi akibat
KKR.3 Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal
adalah 1 dari 20 orang (5%).1 Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada
wanita dibandingkan pada pria. Banyak faktor lain yang dapat
meningkatkan risiko individual untuk terkena kanker kolorektal. Angka
kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20 tahun terakhir. Ini
berhubungan dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada
penanganan kanker kolorektal.
2.3. Faktor Resiko
Tumbuhnya sel-sel secara abnormal merupakan penyebab di balik
semua kanker, termasuk kanker kolorektal. Namun, hingga saat ini belum
diketahui secara pasti apa yang menyebabkan sel-sel tersebut berkembang
secara tidak terkendali.

Meskipun penyebabnya belum diketahui, ada beberapa faktor yang


dapat memicu kanker kolorektal, yaitu:
 Usia. Risiko kanker kolorektal akan meningkat seiring bertambahnya
usia. Lebih dari 90% kasus kanker kolorektal dialami oleh seseorang
berusia 50 tahun atau lebih.
 Riwayat penyakit. Seseorang dengan riwayat penyakit kanker atau
polip kolorektal lebih berisiko terserang kanker kolorektal. Begitu juga
seseorang dari keluarga yang pernah mengalami penyakit kanker atau
polip kolorektal.
 Penyakit genetik. Seseorang dengan penyakit yang diturunkan dari
keluarga, seperti sindrom Lynch, berisiko tinggi mengalami kanker
kolorektal.
 Radang usus. Kanker kolorektal berisiko tinggi menyerang penderita
kolitis ulseratif atau Penyakit Chron.
 Gaya hidup. Kurang olahraga, kurang asupan serat dan buah-buahan,
konsumsi minuman beralkohol, obesitas atau berat badan berlebih, dan
merokok meningkatkan risiko kanker kolorektal.
 Radioterapi. Paparan radiasi pada area perut meningkatkan risiko
kanker kolorektal.
 Diabetes.

2.4. Diagnosis
Keluhan utama dan pemeriksaan klinis: Perdarahan per-anum disertai
peningkatan frekuensi defekasi dan/atau diare selama minimal 6 minggu
(semua umur) Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun)
Peningkatan frekuensi defekasi atau diare selama minimal 6 minggu (di atas
60 tahun) Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur) Massa intra-
luminal di dalam rektum Tanda-tanda obstruksi mekanik usus. Setiap pasien
dengan anemia defisiensi Fe (Hb < 11g% untuk laki-laki atau <10g% untuk
perempuan pascamenopause).
Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada
setiap pasien dengan gejala ano-rektal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menetapkan keutuhan sfingter ani dan menetapkan ukuran dan derajat
fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok
dubur ini yang harus dinilai adalah: Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada
dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix
uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis. Mobilitas tumor:
Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan.
Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan sirkuler.
Endoskopi Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat
dilakukan dengan sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid)
atau dengan kolonoskopi total. 2. Enema barium dengan kontras ganda
Pemeriksaan enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda. 3.
CT colonography (Pneumocolon CT) Modalitas CT yang dapat melakukan
CT kolonografi dengan baik adalah modalitas CT scan yang memiliki
kemampuan rekonstruksi multiplanar dan 3D volume rendering.
Kolonoskopi virtual juga memerlukan software khusus. Penetapan stadium

pra-operatif 
 Penetapan stadium pre-operatif harus dilakukan, karena

strategi terapi untuk setiap stadium berbeda. Prosedur yang dilakukan untuk
penetapan stadium pre-operatif adalah: Deteksi perluasan tumor primer dan
infiltrasinya; Deteksi kelenjar getah bening regional dan para-aorta; Deteksi
metastasis ke hepar dan paru-paru; Deteksi metastasis ke cairan
intraperitoneal.
. Endorectal Ultrasonography (ERUS), Dilakukan oleh spesialis bedah
kolorektal (operator dependent) atau spesialis radiologi, Digunakan
terutama pada T1 yang akan dilakukan eksisi transanal, Digunakan pada T3-
4 yang dipertimbangkan untuk terapi neoajuvan, Digunakan apabila
direncanakan reseksi trans-anal atau kemoradiasi
Computed Tomography (CT) Scan, Memperlihatkan invasi ekstra-
rektal dan invasi organ sekitar rektum, tetapi tidak dapat membedakan
lapisan-lapisan dinding usus, Akurasi tidak setinggi ultrasonografi
endoluminal untuk mendiagnosis metastasis ke kelenjar getah bening,
Berguna untuk mendeteksi metastasis ke kelenjar getah bening
retroperitoneal dan metastasis ke hepar, Berguna untuk menentukan suatu
tumor stadium lanjut apakah akan menjalani terapi adjuvan pre-operatif
Untuk mengevaluasi keadaan ureter dan buli-buli.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) Rektum, Dapat mendeteksi lesi
kanker dini (cT1-T2), Lebih akurat dalam menentukan staging lokal T dan
N (margin sirkumferensial dan keterlibatan sakral pada kasus rekurens).
Jarak terdekat antara tumor dengan fascia mesorektal dapat mempredikisi
keterlibatan fascia mesorektal: o Jika jarak tumor dengan fascia mesorektal
≤ 1mm terdapat keterlibatan fascia mesorektal o Jika jarak tumor dengan
fascia mesorektal 1-2mm ancaman keterlibatan fascia mesorektal o Jika
jarak tumor dengan fascia mesorektal >2mm tidak terdapat keterlibatan
fascia mesorektal. Lebih sensitif dibandingkan CT untuk mendeteksi
metastasis hati pada pasien dengan steatosis (fatty liver).

2.5. Diagnosisi Banding


 Irritable bowel syndrome (IBS)
gangguan jangka panjang pada sistem pencernaan yang umum
terjadi. Penyakit ini menyerang usus besar untuk jangka waktu yang
lama, dengan gejala yang kambuh dari waktu ke waktu.
IBS lebih sering dialami oleh wanita dewasa muda yang berusia
kurang dari 50 tahun. Setiap kambuh, IBS bisa terjadi selama beberapa
hari atau bisa juga beberapa bulan, dan keadaan ini dapat dipicu oleh
keadaan stres, makanan tertentu, atau perubahan hormon (seperti saat
periode menstruasi).
 Kolitis ulseratif
Peradangan kronis yang terjadi pada usus besar (kolon) dan rektum.
Pada kelainan ini, terdapat tukak atau luka di dinding usus besar
sehingga menyebabkan tinja bercampur dengan darah. Kolitis ulseratif
dapat terjadi pada setiap kelompok usia. Tetapi kondisi ini umumnya
mulai terjadi pada mereka yang berusia di bawah 30 tahun.

 Crohn
Salah satu penyakit radang usus kronis yang menyebabkan
terjadinya peradangan pada seluruh lapisan dinding sistem pencernaan,
mulai dari mulut hingga ke anus. Akan tetapi penyakit Crohn umumnya
muncul pada bagian usus kecil tepatnya pada bagian ileum dan usus
besar (kolon). Kondisi ini bisa terasa menyakitkan, membuat tubuh
merasa lemah, dan terkadang bisa menyebabkan komplikasi yang
mengancam nyawa penderitanya. Komplikasi yang terjadi umumnya
adalah penyempitan ruang usus dan terbentuknya saluran (fistula) yang
menghubungkan ujung usus dengan dengan permukaan kulit di dekat
anus atau vagina.
Penderita penyakit Crohn memiliki masa remisi yaitu masa tidak
timbul gejala apa pun atau hanya mengalami gejala-gejala ringan. Masa
remisi ini akan diikuti masa kekambuhan dan terkadang menyulitkan
penderitanya.
 Hemoroid
Pembengkakan atau pembesaran dari pembuluh darah di usus besar
bagian akhir (rektum), serta dubur atau anus. Penyakit ini dapat
menyerang segala usia, namun umumnya lebih sering menimbulkan
keluhan pada 50 tahun atau lebih. Penyakit ini tidak selalu
menimbulkan keluhan, tetapi bila keluhan muncul, penderita dapat
merasa tidak nyaman dan gatal pada anus, serta pendarahan lewat anus.
 Fisura Anal
kondisi luka terbuka atau robekan pada jaringan kulit dan mukosa
yang melapisi saluran anus serta lubang anus. Saluran anus merupakan
bagian paling akhir dari usus besar, yang terletak di antara tempat
penyimpanan tinja (rectum) dan lubang tempat keluarnya kotoran
(anus). Fisura ani umumnya timbul karena dipicu oleh tinja berukuran
besar dan keras ketika seseorang buang air besar. Tinja yang keras dan
berukuran besar tersebut dapat mengikis dinding anus yang
menyebabkan rasa sakit, perdarahan, dan ketegangan pada otot yang
berfungsi membuka dan menutup lubang anus
 Divertikulum
Peradangan atau infeksi yang terjadi pada divertikula, yaitu
kantung-kantung yang terbentuk di sepanjang saluran percernaan,
terutama di usus besar (kolon). Kondisi terbentuknya divertikula di
dinding usus besar disebut juga dengan divertikulosis. Divertikula
umumnya terbentuk pada orang berusia 40 tahun ke atas karena
ususnya sudah melemah, serta pada orang-orang yang jarang
mengonsumsi makanan berserat, seperti sayur dan buah.
2.6. Penatalaksanaan
1. Kemoterapi
Kemoterapi pada kanker kolorektal dapat dilakukan sebagai terapi
ajuvan, neoaduvan atau paliatif. Terapi ajuvan direkomendasikan untuk
KKR stadium III dan stadium II yang memiliki risiko tinggi. Yang
termasuk risiko tinggi adalah: jumlah KGB yang terambil <12 buah,
tumor berdiferensiasi buruk, invasi vaskular atau limfatikn atau
perineural; tumor dengan obstruksi atau perforasi, dan pT4. Kemoterapi
ajuvan diberikan kepada pasien dengan WHO performance status (PS)
0 atau 1. Selain itu, untuk memantau efek samping, sebelum terapi
perlu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji
fungsi ginjal (ureum dan kreatinin), serta elektrolit darah.
2. Terapi biologis (Targeted therapy)
a) Bevacizumab
Bevacizumab merupakan rekombinan monoklonal antibodi
manusia yang berikatan dengan semua isotipe Vascular Endothelial
Growth FactorA (VEGF-A / VEGF)., yang merupakan mediator
utama terjadinya vaskulogenesis dan angiogenesis tumor, sehingga
menghambat pengikatan VEGF ke reseptornya, Flt-1 (VEGFR-1)
dan KDR (VEGFR-2). Bevacizumab diberikan secara infus
intravena dalam waktu 30-90 menit dengan dosis 5 mg/kg bila
dikombinasi dengan regimen kemoterapi siklus 2 mingguan
(FOLFOX atau FOLFIRI) dan dosis 7,5 mg/kg bila dikombinasi
dengan regimen kemoterapi siklus 3 mingguan (CapeOx).
Bevacizumab diberikan sebelum oxaliplatin.
b) Cetuximab
Cetuximab merupakan antibodi monoklonal chimeric 15
mouse/rekombinan manusia yang mengikat secara spesifik reseptor
faktor pertumbuhan epidermal (EGFR, HER1, c-ErB-1) dan secara
kompetitif menghambat ikatan EGF dan ligan lain. Ikatan dengan
EGFR akan menghambat fosforilasi dan aktivasi reseptor kinase
terkait, menghasilkan hambatan pertumbuhan sel, induksi
apoptosis, dan penurunan matrix metalloproteinase serta produksi
VEGF.Pemberian cetuximab diindikasi pada pasien metastasis
kanker kolorektal dengan KRAS dan NRAS wild type. Bila kedua
hasil RAS tersebut hasilnya wild type, perlu dipertimbangkan
pemeriksaan BRAF, dan pemberian cetuximab efektif bila
didapatkan BRAF wild type. Pasien dengan KRAS/NRAS, BRAF
dan TP53 wild-typeakan memberikan hasil yang maksimal pada
pemberian terapi dengan cetuximab, oxaliplatin dan fluorourasil
oral. Kombinasi cetuximab dengan oxaliplatin pada regimen
FOLFOX atau CapeOx tidak mempunyai keuntungan dan harus
dihindari. Oleh karena itu pemberian cetuximab sebaiknya
dikombinasi dengan irinotecan (FOLFIRI).
c) Ziv-Aflibercept
Aflibercept merupakan protein rekombinan yang memiliki
bagian reseptor 1 dan 2 VEGF manusia yang berfusi pada porsi Fc
dari IgG1 manusia. Didesain sebagai perangkap VEGF untuk
mencegah aktivasi reseptor VEGF dan selanjutnya menghambat
angiogenesis. Obat ini secara signifikan menunjukkan peningkatan
response rates, PFS, dan OS bila dikombinasi dengan FOLFIRI
pada lini kedua.
2.7. Komplikasi
Efek samping atau toksisitas yang bisa terjadi pada pemberian obat
kemoterapi yang mengandung fluorourasil, leucovorin, oxaliplatin dan
irinotecan dapat berupa: anemia, leukopenia, neutropenia, trombositopenia,
mual, muntah, diare, mukositis, alopesia, sindroma kolinergik, neuropati,
panas, asthenia, gangguan jantung, gangguan kulit ataupun reaksi
hipersensitivitas. Juga untuk obat-obatan terapi target, bevacizumab akan
memberikan efek samping berupa peningkatan tekanan darah, proteinuria,
gangguan penyembuhan luka, perforasi traktus digestivus, emboli pembuluh
darah, dan perdarahan. Sedang untuk cetuximab yang paling sering
memberikan efek samping gangguan pada kulit, dan jarang menimbulkan
gangguan mual, justru adanya skin rash ini menunjukkan respons terapi.
Dalam praktek sehari-hari, obat kemoterapi sering dipakai dalam bentuk
kombinasi, oleh karena sulit itu menentukan efek samping tersebut dari satu
macam obat.
2.8. Pencegahan
pencegahan dapat dilakukan dengan cara membuat pola hidup yang
lebih sehat, dimulai dari makanan dan rutin dalam berolahraga.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Dari informasi yang telah dipaparkan diatas, Tumor Kolorektal adalah
sebuah penyakit kanker luar biasa yang dapat menyerang seseorang bila
pola hidupnya tidak sehat dan dikarenakan faktor umur. Akan berbahaya
jika tidak segera ditindak lanjuti.
DAFTAR PUSTAKA
1. Melissa Indah Sari, Irza Wahid, Avit Suchitra. Kemoterapi Adjuvan pada
Kanker Kolorektal. Padang: Fakultas Kedokteran Andalas; 2019.
2. Muhammad Yamin Lubis, Murdani Abdullah, Irsan Hasan, Suhendro
Suwarto. Probabilitas Temuan Kanker Kolorektal pada Pasien Simtomatik
Berdasarkan Unsur-Unsur Asia Pacific Colorectal Sceening (APCS).
Jakarta: Universitas Indonesia; 2015.
3. Kinanthi P. Rizki, Wahyu W. Rochmah, Nandan G. Cempaka, Sugi
Hartono, Fifteen A. Fajrin. Aktivitas Antikanker Pektin Kulit Buah Kakao
Terhadap Jumlah Sel Goblet Kolon. Jawa Timur: Universitas Jember.
4. Isti Rochatul Munawaroh, Winarsih Nur Ambarwati
S.Kep.,Ns.ETN.,M.Kep, Okti Sri Purwanti, S.Kep.Ns. Gambaran Profil
Penderita Kanker Usus Besar dan Penatalaksanaanya di RSUD dr.
Moewardi. Jawa Tengah: Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
5. Wahyuni Syukuriah Tatuhey, Helfi Nikijuluw, Josepina Mainase.
Karakteristik Kanker Kolorektal di RSUD dr. M Haulussy Ambon Periode
Januari 2012–Juni 2013. Maluku: Universitas Pattimura; 2012.

Anda mungkin juga menyukai