Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

TENTANG

KETENAGA KERJAAN DAN PENENTUAN UPAH

Untuk memenuhi tugas mata kuliah: Ekonomi Mikro Islam


Dosen Pengampu :Bapak Wasilul Chair, M.E

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

AINUR ROHIM

IS’ADATUR ROFIQOH

PRODI EKONOMI SYARI’AH

JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAM ISLAM NEGERI PAMEKASAN

TAHUN AKADEMIK 2016


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kehadirat Allah Swt. berkat rahmat dan ridho- Nya kami
dapat menyelesaikan tugas makalah Ekonomi Mikro Islam. Makalah ini diajukan sebagai
salah satu syarat tugas mata kuliah .

Di dalam makalah ini yang berjudul”Ketenaga Kerjaan dan Penentuan Upah”


membahas tentang tenaga kerja, upah, dan perbedaan penentuan upah antara Islam dan
konvensional. Kami menyadari pada saat penulisan penelitian ini tidak terlepas dari
bimbingan dan bantuan dari segala pihak. Karena itu kami ingin mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Wasilul Chair selaku Dosen Pembimbing mata kuliah Ekonomi Mikro Islam,
dan kepada teman-teman yang telah membantu sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kesalahan. Untuk itu diharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini. Demikian kiranya semoga makalah yang telah dibuat ini
dapat memberikan manfaat bagi pengembangan dan peningkatan ilmu pengetahuan.

Pamekasan, 6 Mei 2017

Kelompok 7

ii
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1

C. Tujuan ............................................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2

A. Pengertian Tenaga Kerja ................................................................................................. 2

B. Pandangan Islam Terhadap Tenaga Kerja ...................................................................... 2

C. Prinsip Ketenaga Kerjaan ............................................................................................... 2

D. Pengertian upah ............................................................................................................... 4

E. Bentuk dan Syarat Upah ................................................................................................. 5

F. Penentuan Upah .............................................................................................................. 6

G. Tingkatan dalam Pemberian Upah .................................................................................. 7

BAB III PENUTUP ................................................................................................................. 10

A. Kesimpulan ................................................................................................................... 10

B. Saran ............................................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tenaga kerja merupakan salah satu factor produksi yang penting. Keberadaan tenaga
kerja tidak boleh begitu saja dikesampingkan yang harus diperhatikan kesehatan dan
kesejahteraannya. Hal yang tidak bisa lepas begitu saja dari tenaga kerja adalah upah.
Penentuan upah merupakan salah satu penentu efisien atau tidaknya kerja seorang tenaga
kerja seperti yang sering terjadi di Indonesia sekarang tidak sedikit perusahaan yang
menghentikain aktifitas produksinya karena para karyawan berdemo menuntut kenaikan
upah.

Oleh karena itu perlu di perhatikan standar upah agar memberikan kerugian kepada
kedua belah pihak yaitu pihak perusahaan dan karyawan, seperti yang terjadi pada masa
Rasulullah SAW dan pada masa kekholifahan. Jika para pekerja tidak mendapatkan upah
yang adil dan wajar, ini tidak hanya akan mempengaruhi daya beli dan taraf hidup para serta
keluarganya, Dengan demikian secara ekonomi sangat berbahaya bagi suatu Negara jika
menghapuskan hak tenaga kerja atas pembagian deviden.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi dari tenaga kerja?
2. Bagaimana pandangan islam terhadap tenaga kerja?
3. Apa saja prinsip-prinsip ketenaga kerjaan?
4. Bagaimana definisi dari upah?
5. Apa saja bentuk dan syarat-syarat upah?
6. Bagaimana perbedaan penetapan upah antara Islam dengan konvensional?

C. Tujuan
1. Untuk memahami definisi dari tenaga kerja.
2. Untuk memahami pandangan islam terhadap tenaga kerja.
3. Untuk mengetahui prinsip-prinsip ketenaga kerjaan.
4. Untuk memahami definisi dari upah.
5. Untuk mengetahui bentuk dan syarat-syarat upah.
6. Untuk memahami perbedaan penetapan upah antara Islam.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tenaga Kerja


Tenaga Kerja adalah penduduk berusia kerja yang siap melakukan pekerjaan antara
lain mereka yang sudah bekerja, mereka yang sedang mencari kerja, mereka yang bersekolah,
dan mereka yang mengurus rumah tangga.

Sedangkana menurut pendapat Sumitro Djojohadikusumo, 1987 mengenai arti tenaga


kerja adalah semua orang yang bersedia dan sanggup bekerja, termasuk mereka yang
menganggur terpaksa akibat tidak ada kesempatan kerja.1

B. Pandangan Islam Terhadap Tenaga Kerja


Sumber daya manusia dalam ilmu ekonomi diperlakukan sebagai input, sebagai salah
satu faktor produksi dengan jasa yang mereka berikan,mereka turut mengubah input lainnya
(modal, material, dll) menjadi output (barang atau jasa).

Sumber daya manusia dianggap sama dengan barang-barang lainnya, hal ini
menyebabkan timbulnya pemikiran, bagaimana membuat kerja menjadi efisien. Efisiensi
yang membuat manusia tidak lebih dari sekedar “baut” yang melengkapi barang-barang
produksi. Kenyataan ini mulai di pahami oleh pemikir human relation yang mulai
mendudukkan tenaga kerja bukan hanya sekedar pelengkap, namun makhluk sosial yang
lebih tinggi dari itu , yang membutuhkan interaksi dan juga memiliki emosi.

Pemikiranpun terus berkembang dan pada akhirnya kembali kepada pemikiran islam
yang memperlakukan tenaga kerja sebagai mitra, bukan “baut”. Manusia sebagai tenaga kerja
memiliki kedudukan yang sama di mata Allah SWT. Yang membedakannya adalah tingkat
ketakwaannya.2

C. Prinsip Ketenaga Kerjaan


Ada empat prinsip tenaga kerja3 :

1
Masyhuri, Teori Ekonomi Dalam Islam, (Yogyakarta: Kreas Wacana 2005) hlm. 173.
2
Ibid, hlm. 174-175.
3
Muhammad Djakfar , Etika bisnis perpektif islam, (Malang, pres 2007) hlm. 43-45.

2
1. kemerdekaan manusia.

Ajaran Islam yang direpresentasikan dengan aktivitas kesalehan sosial


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan tegas mendeklarasikan sikap anti
perbudakan untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang toleran dan berkeadilan.

2. prinsip kemuliaan derajat manusia.

Islam menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam posisi yang
mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan Islam sangat mencintai umat Muslim yang gigih
bekerja untuk kehidupannya.

Kemuliaan orang yang bekerja terletak pada kontribusinya bagi kemudahan orang lain
yang mendapat jasa atau tenaganya. Salah satu hadis yang populer untuk menegaskan hal ini
adalah “Sebaik-baik manusia di antara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi
orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).

3. keadilan dan anti-diskriminasi.

Islam tidak mengenal sistem kelas atau kasta di masyarakat, begitu juga berlaku
dalam memandang dunia ketenagakerjaan. Dalam sistem perbudakan, seorang pekerja atau
budak dipandang sebagai kelas kedua di bawah majikannya. Hal ini dilawan oleh Islam
karena ajaran Islam menjamin setiap orang yang bekerja memiliki hak yang setara dengan
orang lain, termasuk atasan atau pimpinannya. Bahkan hingga hal-hal kecil dan sepele, Islam
mengajarkan umatnya agar selalu menghargai orang yang bekerja.

4. kelayakan upah pekerja.

Upah atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi kewajiban
dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang mempekerjakan. Sebegitu
pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam memberi pedoman kepada para pihak yang
mempekerjakan orang lain bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil
dan mencukupi.

Prinsip tersebut terangkum dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Al-
Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan
ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”

3
Seorang pekerja berhak menerima upahnya ketika sudah mengerjakan tugas-tugasnya,
maka jika terjadi penunggakan gaji pekerja, hal tersebut selain melanggar kontrak kerja juga
bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Selain ketepatan pengupahan, keadilan
juga dilihat dari proporsionalnya tingkat pekerjaan dengan jumlah upah yang diterimanya.

D. Pengertian upah
Upah dalam bahasa Arab sering disebut dengan ajrun/ajrān yang berarti memberi
hadiah/ upah. Kata ajrān mengandung dua arti, yaitu balasan atas pekerjaan dan pahala.
Sedangkan upah menurut istilah adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas
jasa atau bayaran atas tenaga yang telah dicurahkan untuk mengerjakan sesuatu. Upah
diberikan sebagai balas jasa atau penggantian kerugian yang diterima oleh pihak buruh
karena atas pencurahan tenaga kerjanya kepada orang lain yang berstatus sebagai majikan.

Peraturan pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang perlindungan upah memberikan


definisi bahwa upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha atau majikan
kepada tenaga kerja atau pekerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan
dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu
perjanjian atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjajian kerja
antara pengusaha atau majikan (pemberi kerja) dan pekerja termasuk tunjangan baik untuk
pekerja sendiri maupun untuk keluarganya.

Upah disini dibagi menjadi 2:

1. Upah Uang adalah jumlah uang yang diterima pekerja dari pengusaha sebagai
pembayaran atas tenaga mental dan fisik para pekerja dalam proses produksi.
2. Upah Riil adalah menggambarkan daya beli dari Pendapatan / Upah yang diterima
Pekerja / Buruh. Upah riil dihitung dari besarnya upah nominal dibagi dengan Indeks
Harga Konsumen (IHK).4

4
Penulis : Ahmad Sugiono http://digilib.uin-suka.ac.id/4398/2/BAB%20II,III,IV.pdf. Di akses pada tanggal 3
Mei 2017 jam 10.00.

4
E. Bentuk dan Syarat Upah
1. Bentuk-bentuk upah
Sesuai dengan pengertiannya bahwa upah bisa berbentuk uang yang dibagi menurut
ketentuan yang seimbang, tetapi upah dapat berbentuk selain itu. Adapun upah dapat
dibedakan dalam dua bentuk, yaitu upah dalam bentuk uang dan upah dalam bentuk barang.

Taqiyyudin an-Nabhani mengatakan bahwa upah dapat dibedakan menjadi:

a. Upah (ajrun) musamma, yaitu upah yang telah disebutkan dalam perjanjian dan
dipersyaratkan ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan kedua belah pihak
dengan upah yang telah ditetapkan tersebut, tidak ada unsur paksaan.
b. Upah (ajrun ) misl’ yaitu upah yang sepadan dengan kondisi pekerjaannya, baik
sepadan dengan jasa kerja maupun sepadan dengan pekerjaannya saja.
2. Syarat-syarat upah
Adapun syarat-syarat upah, Taqiyyudin an-Nabhani memberikan kriteria sebagai
berikut:

a. Upah hendaklah jelas dengan bukti dan ciri yang bisa menghilangkan
ketidakjelasan dan disebutkan besar dan bentuk upah.
b. Upah harus dibayarkan sesegera mungkin atau sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan dalam akad.
c. Upah tersebut bisa dimanfaatkan oleh pekerja untuk memenuhi kebutuhan
kehidupannya dan keluarganya (baik dalam bentuk uang atau barang atau jasa).
d. Upah yang diberikan harus sesuai dan berharga. Maksud dari sesuai adalah sesuai
dengan kesepakatan bersama, tidak dikurangi dan tidak ditambahi. Upah harus
sesuai dengan pekerjaan yang telah dikerjakan, tidaklah tepat jika pekerjaan yang
diberikan banyak dan beraneka ragam jenisnya, sedangkan upah yang diberikan
tidak seimbang. Sedangkan berharga maksudnya adalah upah tersebut dapat diukur
dengan uang.
e. Upah yang diberikan majikan bisa dipastikan kehalalannya, artinya barang-barang
tersebut bukanlah baring curian, rampasan, penipuan atau sejenisnya.
f. Barang pengganti upah yang diberikan tidak cacat, misalnya barang pengganti
tersebut adalah nasi dan lauk pauk, maka tidak boleh diberikan yang sudah basi
atau berbau kurang sedap.5

5
Masyhuri, Teori Ekonomi Dalam Islam, hlm. 192-193.

5
F. Penentuan Upah
Proses penentuan upah yang islami berasal dari dua faktor : objektif dan subjektif.
Objektif adalah upah ditentukan melalui pertimbangan tingkat upah di pasar tenaga kerja.
Sedangkan subjektif, upah ditentukan melalui pertimbangan-pertimbangan sosial. Maksud
pertimbangan-pertimbangan sosial adalah nilai-nilai kemanusiaan tenaga kerja.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dari Abdullah bin
Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: ‘Berikanlah upah orang upahan
sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).

Upah menurut prinsip Islam adalah, dalam penentuan upah, Islam menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan dari tenaga kerja. Selama ini hak-hak tenaga kerja selalu
dipinggirkan. Model Asia Timur misalnya, tenaga kerja tidak dilindungi hak-haknya. Upah
yang mereka terima rendah, tidak cukup untuk menghidupi mereka dan keluarganya. Hal ini
sangat bertentangan dengan pandangan Islam, karena syarat upah dalam Islam adalah adil.
Adil itu tidak hanya dilihat dari sisi tenaga kerja (ajir), tetapi juga dari sisi
majikan (musta’jir).Oleh sebab itu Islam tidak membenarkan penetapan upah yang hanya
memperhatikan tenaga kerja, yaitu bertujuan hanya untuk mensejahterakan tenaga kerja
semata. Di sisi lain pihak produsen atau majikan juga diperhatikan kesejahteraannya.

Jadi, maksud adil adalah harus ada kejelasan atau aqad (perjanjian)
antara musta’jir dan ajir. Seorang musta’jir harus adil dan tegas dalam proses penentuan
upah. Hak (upah) seorang ajir akan diberikan jika ia telah mengerjakan kewajibannya
(pekerjaannya) terlebih dahulu. Dalam implementasi nilai-nilai keadilan, pemerintah bertugas
melakukan intervensi dalam penentuan upah. Intervensi pemerintah dilandasi oleh dua hal.
Yakni (1) Adanya kewajiban untuk mengawasi, menjaga, dan mengoreksi implementasi nilai-
nilai keIslaman kehidupan rakyatnya, termasuk didalamnya kebijakan mengenai upah; (2)
Adanya kewajiban pemerintah untuk menjaga keadilan dan kesejahteraan rakyatnya, dalam
hal ini baik musta’jir maupun ajir.

Ada alternatif yang ditawarkan oleh Islam, jika penentuan upah melalui mekanisme
pasar dan kebijakan upah minimum pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ada
dua alternatif yang ditawarkan. Yakni: (1) Memberikan subsidi kepada pihak produsen.
Subsidi tersebut diberikan agar produsen tetap dapat memberikan upah yang layak kepada
tenaga kerja. (2) Memberikan subsidi kepada pihak tenaga kerja. Subsidi ini lebih tepatnya
disebut dengan jaminan sosial. Jadi tenaga kerja tetap mendapat tingkat upah pasar, namun

6
mereka juga mendapat jaminan sosial sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap
kesejahteraan mereka.

Dalam langkahnya pemerintah dapat menggunakan dana baitul maal (keuangan


negara). Contoh dari subsidi dapat dari, misalnya, masa pemerintahan Umar, subsidi itu
diberikan dalam bentuk: (1) Ransum atau jatah tetap setiap orang; dan (2) Subsidi tahunan
tunai yang bersifat tetap bagi mereka yang ikut berjihad.6

G. Tingkatan dalam Pemberian Upah


Dalam hal tingkatan dalam pemberian upah, ada beberapa faktor yang menyebabkan
perbedaannya dalam kehidupan berbisnis, di antaranya mengacu pada bakat dan keterampilan
seorang pekerja. Adanya pekerja intelektual dan pekerja kasar atau pekerja yang handal
dengan pekerja yang tidak handal, mengakibatkan upah berbeda tingkatannya. Selain itu
perbedaan upah yang timbul karena perbedaan keuntungan yang tidak berupa uang karena
ketidaktahuan atau kelambanan dalam bekerja dan masih banyak lagi faktor-laktor lainnya.
Mengenai perbedaan upah, Islam mengakui adanya berbagai tingkatan pekerja. Hal
tersebut dikarenakan adanya perbedaan kemampuan dan bakat yang dimiliki masing-masing
pekerja.

1. Tingkat upah minimum


Pekerja dalam hubungannya dengan majikan berada dalam posisi yang sangat lemah.
Selalu ada kemungkinan kepentingan para pekerja tidak dilindungi dengan baik. Mengingat
posisinya yang lemah itu, Islam memberikan perhatian dalam melindungi hak para pekerja
dari segala gangguan yang dilakukan oleh majikannya (pengusaha). Oleh karena itu untuk
melindungi kepentingana dari pelanggaran hak perlu ditentukan upah minimum yang dapat
mencakup kebutuhan pokok hidup, termasuk makanan, pakaian, tempat tinggal dan lainya,
sehingga pekerja akan memperoleh kehidupan yang layak.

2. Tingkat upah tertinggi


Bakat dan keterampilan seorang pekerja merupakan salah satu faktor upahnya tinggi
atau tidak. Pekerja yang intelektual dengan pekerja kasar, atau pekerja yang handal dengan
pekerja yang tidak handal, mengakibatkan upah berbeda tingkatanya.Selain itu perbedaan
upah timbul karena perbedaan keuntungan yang tidak berupa uang, karena ketidaktahuan atau
kelambanan dalam bekerja, dan masih banyak lagi faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu,
6
Penulis: Sutrisno http://wid11.blogspot.com/2013/04/makalah-upah-dalam-islam.html. Di akses pada tanggal:
3 Mei 2017 jam 10.13.

7
Islam memang tidak memberikan upah berada di bawah upah minimum yang telah
ditetapkan, demikian halnya Islam juga tidak membolehkan kenaikan upah melebihi tingkat
tertentu melebihi sumbangsih dalam produksinya. Oleh karena itu, tidak perlu terjadi
kenaikan upah yang melampaui batas tertinggi dalam penentuan batas maksimum upah
tersebut. Setidak-tidaknya upah dapat memenuhi kebutuhan pokok pekerja dan keluarga agar
tercipta keadilan dan pemerataan kesejahteraan.
3. Tingkat upah sebenarnya
Islam telah menyediakan usaha pengamanan untuk melindungi hak majikan dan
pekerja. Jatuhnya upah di bawah tingkat upah minimum atau naiknya upah melebihi batas
upah maksimum seharusnya tidak terjadi. Upah yang sesungguhnya akan berubah dengan
sendirinya berdasarkan hukum penawaran dan permintaan tenaga kerja, yang sudah tentu
dipengaruhi oleh standar hidup pekerja, kekuatan efektif dari organisasi pekerja, serta sikap
para majikan yang mencerminkan keimanan mereka terhadap balasan Allah SWT.
Sebagai hasil interaksi antara kedua kekuatan antara majikan dan buruh, maka upah
akan berada di antara upah minimum dan maksimum yang mengacu pada taraf hidup yang
lazim serta kontribusi yang telah diberikan para pekerja. Jika pada suatu waktu upah
minimum jatuh di bawah tingkat minimum ataupun sebaliknya, maka negara berhak
melakukan campur tangan dan menetapkan upah sesuai dengan kebutuhan saat itu.7

H. Perbedaan Penentuan Upah Konvensional Dan Islam

NO ASPEK EKONOMI EKONOMI ISLAM


KONVENSIONAL
1. Adanya keterkaitan TIDAK YA
antara upah dengan
moral
2. Upah memiliki dua TIDAK YA
dimensi, yaitu dunia
dan akhirat
3. Upah diberikan YA YA
dengan prinsip
keadilan

7
Masyhuri, Teori Ekonomi Dalam Islam, hlm. 195-196.

8
4. Upah di berikan YA YA
berdasarkan prinsip
kelayakan

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tenaga Kerja adalah penduduk berusia kerja yang siap melakukan pekerjaan antar
lain mereka yang sudah bekerja, mereka yang sedang mencari kerja, mereka yang bersekolah,
dan mereka yang mengurus rumah tangga.

Sumber daya manusia dalam ilmu ekonomi diperlakukan sebagai input, sebagai salah
satu faktor produksi dengan jasa yang mereka berikan,mereka turut mengubah input lainnya
(modal, material, dll) menjadi output (barang atau jasa).

Upah dalam bahasa Arab sering disebut dengan ajrun/ajrān yang berarti memberi
hadiah/ upah. Kata ajrān mengandung dua arti, yaitu balasan atas pekerjaan dan pahala.
Sedangkan upah menurut istilah adalah uang dan sebagainya yang dibayarkan sebagai balas
jasa atau bayaran atas tenaga yang telah dicurahkan untuk mengerjakan sesuatu. Upah
diberikan sebagai balas jasa atau penggantian kerugian yang diterima oleh pihak buruh
karena atas pencurahan tenaga kerjanya kepada orang lain yang berstatus sebagai majikan.

Sesuai dengan pengertiannya bahwa upah bisa berbentuk uang yang dibagi menurut
ketentuan yang seimbang, tetapi upah dapat berbentuk selain itu. Adapun upah dapat
dibedakan dalam dua bentuk, yaitu upah dalam bentuk uang dan upah dalam bentuk barang.
Taqiyyudin an-Nabhani mengatakan bahwa upah dapat dibedakan menjadi:
 Upah (ajrun) musamma, yaitu upah yang telah disebutkan dalam perjanjian dan
dipersyaratkan ketika disebutkan harus disertai adanya kerelaan kedua belah pihak dengan
upah yang telah ditetapkan tersebut, tidak ada unsur paksaan.
 Upah (ajrun ) misl’ yaitu upah yang sepadan dengan kondisi pekerjaannya, baik sepadan
dengan jasa kerja maupun sepadan dengan pekerjaannya saja.

B. Saran
Saran kami dalam tenaga kerja dan upah tentunya tidak luput dari peraturan
pemerintah di dalam hal itu. Maka untuk makalah selanjutnya kami harap penulis lebih
menguatkan data tentang peran pemerintah dalam tenaga kerja dan tingkat upah.

10
DAFTAR PUSTAKA

Masyhuri, Teori Ekonomi Dalam Islam, Yogyakarta: Kreas Wacana 2005.


Djakfar Muhammad, Etika bisnis perpektif islam, Malang, pres 2007.
Penulis : Ahmad Sugiono http://digilib.uin-suka.ac.id/4398/2/BAB%20II,III,IV.pdf. Di akses
pada tanggal 3 Mei 2017 jam 10.00.
Penulis: Sutrisno http://wid11.blogspot.com/2013/04/makalah-upah-dalam-islam.html. Di
akses pada tanggal: 3 Mei 2017 jam 10.13.

11

Anda mungkin juga menyukai