Anda di halaman 1dari 31

Case Report Session

ASMA

Disusun Oleh:

Fanny Dwi Putri 1410312005


Vinda Meydina Bestari 1410311086

Preseptor
1. dr. Yessy Susanty Sabri, SpP (K)
2. dr. Afriani, SpP

BAGIAN PULMONOLOGI
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga laporan kasus dengan judul
“Asma” ini dapat kami selesaikan dengan baik dan sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan.
Laporan kasus ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan
penulis mengenai Asma, serta menjadi salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan
kepaniteraan klinik senior di bagian Pulmonologi RSUP Dr. M. Djamil Padang
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Kami sampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah
banyak membantu dalam pembuatan laporan kasus ini, khususnya dr. Yessy
Susanty Sabri, SpP (K) dan dr. Afriani, SpP sebagai preseptor dan dokter-dokter
residen paru yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan saran,
perbaikan dan bimbingan kepada kami. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan
kepada rekan-rekan sesama dokter muda dan semua pihak yang telah banyak
membantu dalam penyusunan laporan kasus ini yang tidak dapat kami sebutkan
satu per satu disini.
Dengan demikian, kami berharap laporan kasus ini dapat menambah
wawasan dan pengetahuan serta meningkatkan pemahaman semua pihak tentang
Asma.

Padang, Mei 2018

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 2


DAFTAR ISI ......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang………………………………………………….……...... .... 4
1.2 Batasan Masalah ............................................................................................ 4
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................................ 4
1.4 Metode Penulisan ........................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 5
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................ 21
BAB IV DISKUSI ................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 31

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Asma adalah masalah kesehatan global yang serius yang mempengaruhi
semua kelompok usia, dengan prevalensi global berkisar antara 1% sampai 21%
pada orang dewasa dan dengan 20% anak-anak berusia 6-7 tahun. Meskipun
beberapa negara telah mengalami penurunan rawat inap dan kematian karena
asma, beban global untuk pasien dari eksaserbasi dan gejala sehari-hari telah
meningkat hampir 30% dalam 20 tahun terakhir. Dampak asma dirasakan tidak
hanya oleh pasien, tapi juga oleh keluarga, sistem kesehatan dan masyarakat.
Asma adalah salah satu penyakit kronis yang paling umum yang menyerang anak-
anak dan orang dewasa muda, dan semakin meningkatnya pengaruhnya terhadap
orang dewasa yang bekerja.1
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas tentang sebuah kasus Asma mengenai penegakan
diagnosis hingga penatalaksanannya.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk meningatkan pengetahuan dan
pemahaman mengenai diagnosis hingga penatalaksanaan kasus Asma.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan yang dipakai pada laporan kasus ini berupa hasil
anamnesis dan pemeriksaan pasien, diagnosis dan tatalaksana kasus serta tinjauan
kepustakaan yang mengacu kepada berbagai literatur termasuk buku teks dan
artikel ilmiah.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi 1
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan
jalan napas kronis. Hal ini didefinisikan dengan adanya riwayat gejala pernafasan
seperti mengi, sesak napas, dada terasa seperti terhimpit dan batuk yang bervariasi
dari waktu ke waktu dan juga variasi intensitasnya, bersamaan dengan
keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi.1
2.2 Epidemiologi 1
Asma adalah masalah kesehatan global yang serius yang mempengaruhi
semua kelompok usia, dengan prevalensi global berkisar antara 1% sampai 21%
pada orang dewasa dan dengan 20% anak-anak berusia 6-7 tahun. Meskipun
beberapa negara telah mengalami penurunan rawat inap dan kematian karena
asma, beban global untuk pasien dari eksaserbasi dan gejala sehari-hari telah
meningkat hampir 30% dalam 20 tahun terakhir. Dampak asma dirasakan tidak
hanya oleh pasien, tapi juga oleh keluarga, sistem kesehatan dan masyarakat.
Asma adalah salah satu penyakit kronis yang paling umum yang menyerang anak-
anak dan orang dewasa muda, dan semakin meningkatnya pengaruhnya terhadap
orang dewasa yang bekerja.1

5
2.3 Klasifikasi 2

Tabel 2.1 klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum


pengobatan) 2

6
Tabel 2.2 Klasifikasi derajat asma pada penderita dalam pengobatan 2

3.3 Faktor Resiko 2


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi
genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma,
alergik (atopi) , hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi
faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

7
1. pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu
dengan genetik asma,
2. baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.2
3.
Tabel 1. Faktor Risiko pada asma 2
Faktor Pejamu
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras/ etnik
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan
predisposisi asma
Alergen di dalam ruangan
Mite domestik
Alergen binatang
Alergen kecoa
Jamur (fungi, molds, yeasts)
Alergen di luar ruangan
Tepung sari bunga
Jamur (fungi, molds, yeasts)
Bahan di lingkungan kerja
Asap rokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Polusi udara
Polusi udara di luar ruangan
Polusi udara di dalam ruangan
Infeksi pernapasan

8
Hipotesis higiene
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat, Obesiti

Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala-gejala
asma menetap
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan),
obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray)

9
3.4 Patogenesis 2,3
Kejadian asma merupakan penyakit inflamasi kronik dengan peran sel
mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel sebagai agen
inflamasi disertai adanya faktor penyebab dan pencetus inflamasi pada penderita

asma.

Inflamasi Akut
1.1. Reaksi Asma Tipe Cepat
Terjadi proses ikatan antara alergen pada IgE yang menempel pada sel mast
sehingga terjadi degranulasi sel mast yang akan mnegeluarkan performed
mediator seperti histamin,protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos

Gambar 2.1 Patogenesis Asma 3

10 asma lambat 3
Gambar 2.2 Respon
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
1.2. Reaksi Fase Lambat
Reaksi yang timbul setelah paparan alergen dan aktivasi eosinofil, sel T
CD4+, neutrofil dan makrofag dengan proses yang berlangsung 6-9 jam setelah
paparan.

2. Inflamasi Kronik

Gambar 2.3 Inflamasi kronik 3

2.1. Limfosit T
Limfosit T-CD4+ subtipe Th2 berperan sebagai inflamator saluran napas
dengan mengeluarkan sitokin seperti IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama
IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-CSF
berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.
2.2. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi dapat mengekspresi membran markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.
Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih
diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule
protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan
metaloprotease sel epitel.

11
2.3. Eosinofil
Terjadinya aktivasi eosinofil pada saluran napas penderita asma adalah dalam
keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah
sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara
lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi,
aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang
mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic
protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin
(EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.
2.4. Sel Mast
Sel mast memiliki reseptor IgE dengan afinitas yang tinggi. Aktivasi sel mast
terjadi karena adanya persilangan antara reseptor IgE dengan “factors” pada sel
mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti
histamin, protease serta prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga
mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
2.5. Makrofag
Merupakan sel terbanyak pada organ pernapasan, baik pada orang normal
maupun penderita asma, dapat ditemukan di alveoli dan seluruh percabangan
bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin,
PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag
juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran tersebut melalui a.l sekresi
growth- promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-beta
3. Airway remodeling
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process)
yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan
sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan
jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian
jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung yang menghasilkan
jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses
penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan
struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks dan banyak belum

12
diketahui dikenal dengan airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat
heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi,
dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
3.5 Gejala Klinis 1
Dalam menegakkan diagnosis asma tanda dan gejala yang muncul bisa
ringan, sedang atau berat. Gejala yang mungkin muncul seperti nafas yang
pendek, suara nafas menciut, dan batuk yang hilang timbul sesuai dengan faktor
pencetus dari asma diikuti dengan perbaikan setelah serangan lalu kembali
memunculkan gejala hingga muncul gejala kronik yang berat.
Asma eksaserbasi akut merupakan keadaan yang menakutkan pada
penderita asma, terutama pada pasien yang tahu akan potesi progresif pada asma.
Gejala eksaserbasi asma paling sering berkembang secara bertahap tetapi kadang-
kadang bisa mendadak timbul. Paling sering asma eksaserbasi didahului oleh
infeksi saluran pernapasan atas virus. Banyak pasien yang mengeluhkan sensasi
sesak dada retrosternal.Terdengar suara menciut saat ekspirasi dan inspirasi
mengikuti derajat kesulitan bernafas pada pasien. Diikuti keluhan batuk dapat
menjadi batuk berdahak yang produktif dengan sputum purulen.
Pada keadaan eksaserbasi yang berat, pasien akan lebih nyaman dengan
posisi duduk, terlihat bantuan otot otot pernafasan untuk meningkatkan
pernafasan. Muncul gejala takipnea yang disebabkan oleh rasa takut, obstruksi
saluran napas, atau perubahan tekanan gas darah dan jaringan atau pH. Hipertensi
dan takikardia mencerminkan terjadinya peningkatan output katekolamin,
meskipun denyut nadi lebih besar dari 110 hingga 130 denyut / menit dapat
menyebabkan terjadinya hipoksemia yang signifikan (PaO2 <60 mm Hg). Pulsus
paradoxus (≥10 mm Hg) dapat menyertai hiperinflasi pulmonal, terjadi ketika
forced expiratory volume pada detik pertama ( FEV1) dibawah 30% dari nilai
prediksi normal. Jika muncul gejala hipoksemia dan hiperkapnia berat dengan
asidosis respiratorik, pasien akan terlihat sianosis, lelah, bingung dan terjadi
agitasi. Pemeriksaan paru memperlihatkan perkusi hipersonor, diafragma rendah,

13
adanya tanda hiperinflasi yang lain. Ekspirasi memanjang, dan terdengar suara
menciut pada saat ekspirasi.

14
3.6 Diagnosis

15
16
3.6.1 Riwayat penyakit dan keluarga
Adanya keluhan gangguan pernafasan saat kecil, riwayat rinitis alergi atau
eksim, atau riwayat alergi atau asma pada keluarga, menngkatkan probabilitas
keluhan pernafasan kepada diagnosis asma. Walaupun, tidak spesifik untuk asma
dan tidak selalu terlihat pada pasien dengan fenotip asma namun hal ini perlu
digali sebagai bahan dan faktor resiko terjadinya asma.
3.6.2 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma sering normal tanpa ditemukan
kelainan. Kelainan yang paling sering ditemukan pada pemeriksaan fisik adalah
suara menciut saat ekspirasi (auskultasi). Suara menciut ini juga bisa hilang atau
tidak terdengar pada eksaserbasi akut yang berat karena sangat berkurangnya
aliran udara (silent chest), namun saat hal itu terjadi biasanya sudah akan terlihat
kelainan pada pemeriksaan lain yang menandakan telah terjadi gagal nafas.
3.6.3 Test faal paru
Kejadian asma ditandai dengan adanya keterbatasan aliran ekspirasi,
fungsi ekspirasi paru bervariasi tiap waktu dalam skala yang lebih besar
dibandingkan dengan populasi yang sehat. Faal paru pada penderita asma bisa
ditemukan normal atau ada gangguan pada pasien yang sama. Kontrol asma yang
buruk menjadi penyebab terjadinya variabilitas yang berbeda pada faal paru
seseorang dengan kontrol asma yang baik.
Pada pasien dengan keluhan pernafasan, menemukan variabilitas yang
berlebihan pada faal paru merupakan komponen paling penting dalam
menengakkan diagnosis asma. dengan beberapa kriteria spesifik diantaranya:

• Peningkatan faal paru setelah pemberian bronkodilator, atau setelah mendapat


pengobatan.

• Terlihat adanya faal paru yang menurun setelah melakukan aktifitas atau setelah
uji provokasi bronkus.

• Variasi fungsi paru di atas rentang normal ketika diulang dari waktu ke waktu,
baik pada kunjungan terpisah atau pada pemantauan di rumah selama 1-2
minggu.
3.6.4 Spirometri

17
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasitas
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita. Untuk
mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.

 Reversibilitas, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau


setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/
oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
 Menilai derajat berat asma
3.6.5 Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter
(PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan
mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas
ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/
dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di
rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE
dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
3.6.6 Pemeriksaan Penunjang lain
3.6.6.1 Uji provokasi bronkus
Uji provokasi bronkus dilakukan untuk menunjukan adanya
hiperreaktivitas bronkus. Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi
bronkus seperti uji dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin,
larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua destilata. Uji provokasi
bronkus bermakna jika terjadi penurunan FEV1 sebasar 20 % atau lebih.
3.6.6.2 Tes alergi

18
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai kecil
untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor risiko/
pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan.
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara yang
tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif maupun negatif
palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan
hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran IgE spesifik
dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan
lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/ atopi.

3.7 Tatalaksana1
Terapi inisial utama termasuk inhalasi berulang bronkodilator kerja
singkat, kortikosteroid sistemik, dan suplementasi oksigen terkontrol. Tujuan
pengobatan yaitu meringankan obstruksi saluran napas dan hipoksemia secara
cepat, mengetahui patofisiologi inflamasi penyebab, dan mencegah relaps.
 SABA Inhalasi
 Terapi Oksigen Terkontrol
 Kortikosteroid Sistemik
 Obat Controller
 Antibiotik (tidak direkomendasikan)

19
20
BAB III
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. E
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Pasar Ambacang, Kuranji
Pekerjaan : Buruh
Tanggal Pemeriksaan : 16 Mei 2018
ANAMNESIS
Telah dirawat seorang pasien laki-laki berusia 42 tahun sejak tanggal 14
Mei 2018 di Bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan:

Keluhan Utama : Sesak napas yang meningkat sejak 1 hari sebelum masuk RS.
Riwayat Penyakit Sekarang:
 Sesak napas meningkat sejak satu hari yang lalu, sesak menciut dan
dipengaruhi oleh cuaca, emosi dan makanan. Di luar serangan pasien masih
bisa beraktivitas biasa. Pasien terbangun pada malam hari > 1x dalam
seminggu. Serangan terakhir 4 bulan yang lalu. Sesak napas sudah dirasakan
sejak 3 tahun yang lalu. Pasien sudah dikenal dengan asma dari hasil
spirometri, mendapat obat rutin berotec dan seretide
 Batuk (+) berdahak, dahak sukar dikeluarkan sejak 3 hari yang lalu, dahak
berwarna putih.
 Demam (-), riwayat demam sebelumnya (-)
 Batuk darah (-), riwayat batuk darah (-)
 Nyeri dada (-)
 Keringat malam (-)
 Mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-)
 Penurunan nafsu makan (-)
 Penurunan berat badan (-)

21
 BAB dan BAK tidak ada keluhan

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat minum OAT (-)
 Riwayat diabetes melitus (-)
 Riwayat hipertensi (-)

Riwayat Pengobatan Sebelumnya


 Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat minum OAT dalam keluarga (-)
 Riwayat hipertensi dalam keluarga (-)
 Riwayat diabetes melitus dalam keluarga (-)

Riwayat Pekerjaan, Sosial dan Ekonomi, Kejiwaan dan Kebiasaan:


 Pasien seorang pedagang
 Merokok (+) 6 batang/hari selama lebih kurang 20 tahun sudah berhenti 2
tahun yang lalu.

PEMERIKSAAN FISIK
TandaVital
- Keadaan umum : Sakit sedang
- Kesadaran : CMC
- Frekuensi nadi : 130x/menit
- Frekuensi nafas : 34x/menit
- Tekanan darah :130/80 mmHg
- Suhu : 36,8°C
- Berat badan : 72 kg
- Tinggi badan : 168 cm

22
Kepala : Normocephal, tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher
JVP : 5-2 cmH20
Trakea : Di tengah, tida ada deviasi
KGB : Tidak ditemukan pembesaran
Paru Depan (Dada)
Inspeksi : Simetris kiri = kanan (Statis)
Pergerakan dinding dada kiri = kanan (Dinamis)
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : Sonor pada lapangan paru kanan dan kiri
Auskultasi : Ekspirasi memanjang, ronkhi +/+, wheezing +/-+
Paru Belakang (Punggung)
Inspeksi : Simetris kiri = kanan (Statis)
Pergerakan kiri = kanan (Dinamis)
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : Sonor pada lapangan paru kanan dan kiri
Auskultasi : Ekspirasi memanjang, ronkhi +/+, wheezing +/+
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V,
Perkusi : Batas jantung atas : RIC II
Batas jantung kanan : LSD
Batas jantung kiri : 1 jari medial LMCS RIC V
Auskultasi : S1-S2 reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Perut tidak tampak membuncit
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Edem (-/-), sianosis (-/-), clubbing finger (-/-)

23
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah Lengkap dan AGD
Hb : 15,8 g/dl
Ht : 47 %
Leukosit : 13.030/mm3
Trombosit : 223.000/mm
GDS : 114 mg/dl
pH : 7,27
PaCO2 : 59,7
PaO2 : 61,5
HCO3- : 27,9
BE : 0,9
SaO2 : 87%
Kesan : Asidosis respiratorik dengan hipoksemia ringan
Gambaran Rontgen Thorak

Foto toraks Tn. E 42 tahun pada tanggal 14 Mei 2018, densitas sedang, foto
sentris tidak simetris, inspirasi cukup, kelainan yang tampak infiltrat di
parakardial dan perihilus kiri kanan.
Kesan : Pneumonia
DIAGNOSA KERJA

24
Asma persisten berat dalam serangan akut berat + CAP
TATALAKSANA
O2 3 L/menit via nasal kanul
IVFD Asering 12 jam/kolf
Drip Aminofilin 1,5 ampul dalam 3cc D5% kec 42cc/jam
Metilprednisolon 2 x 125
Combivent 3 x 1 resp (nebu) selang seling nairet 3 x 10, 3cc
Fluimucyl 2 x 300 (nebu)

25
BAB IV
DISKUSI

Seorang pasien laki-laki umur 42 tahun datang ke RSUP Dr. M. Djamil


Padang dengan keluhan sesak nafas meningkat sejak 1 hari yang lalu. Sesak
menciut, dipengaruhi oleh cuaca, emosi dan makanan. Diluar serangan pasien
mengaku masih bisa beraktifitas biasa. Pasien terbangun saat tidur malam hari
lebih dari 1 kali dalam seminggu. Serangan terakhir empat bulan yang lalu.
Sesak nafas sudah dirasakan sejak 3 tahun yang lalu. Pasien telah dikenal
dengan asma dari hasil spirometri, mendapat obat rutin berotec dan seretide.
Pasien mengalami batuk berdahak, namun dahak sulit dikeluarkan sejak 3 hari
yang lalu. Pasien tidak demam, tidak ada batuk darah, tidak ada riwayat batuk
darah, tidak ada nyeri dada, tidak ada keringat malam, tidak mual, tidak muntah,
tidak ada nyeri ulu hati. Pasien tidak mengalami penurunan nafsu makan, tidak
ada penurunan berat badan, tidak ada kelainan pada saat buang air kecil dan
buang air besar.
Pasien sebelumnya tidak pernah mengonsumsi obat antituberkulosis, tidak
ada riwayat diabetes mellitus, dan tidak ada riwayat hipertensi. Dalam keluarga
pasien tidak ada riwayat penggunaan obat antituberkulosis, tidak ada riwayat
diabetes melitus, dan tidak ada riwayat hipertensi. Pasien dulu merokok 6
batang sehari selama 20 tahun dengan indeks brinkman sedang, sekarang sudah
berhenti sejak 2 tahun yang lalu.
Pada pasien yang datang dengan keluhan sesak perlu diperhatikan sesak
disebabkan oleh kelainan paru, kelainan jantung atau kelainan metabolik. Sesak
pada pasien asma berhubungan dengan respon berlebihan mengakibatkan
inflamasi jalan nafas kronik sehingga terjadi penyempitan jalan nafas yang
menimbulkan bunyi seperti menciut. Inflamasi tersebut mengakibatkan
terjadinya remodeling pada saluran napas, hambatan aliran udara dan
hiperreaktivitas bronkus.1

26
Pasien mengaku mengalami nafas pendek, batuk dan sesak dada yang
sering memburuk ketika malam hari selama lebih dari satu kali seminggu. Batuk
yang dialami pasien merupakan temuan klinis lain yang sering berkaitan dengan
serangan asma akut. Batuk ini mungkin disebabkan oleh stimulasi “reseptor
iritan” pada bronkhial oleh mediator-mediator kimia inflamasi (misalnya,
leukotrien) yang dilepas oleh sel mast atau akibat mekanik kontraksi otot polos.4
Hal ini sesuai dengan gejala tipikal asma memiliki karakteristik seperti :
1. Memiliki lebih dari satu gejala (wheezing, nafas pendek, batuk, dan sesak
dada)
2. Gejala diatas sering memburuk ketika malam hari atau menjelang pagi
3. Gejala muncul dengan waktu dan intensitas yang bervariasi
Gejala di atas biasanya dipicu oleh infeksi virus (common cold), latihan
fisik, paparan alergen, perubahan cuaca, dan merokok.
Untuk menentukan derajat keparahan dan tindakan pengobatan asma
bronkial klasifikasi serangan asma ditentukan oleh frekuensi serangan, berat-
ringannya serangan dan obat yang digunakan sehari-hari. Global Initiative for
Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala
dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Klasifikasi
tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan
berat.1

Tabel 4.1 Klasifikasi derajat asma

27
Pada pemeriksaan fisik paru pasien ini didapatkan paru simetris kanan dan
kiri (statis), pergerakan dada kanan dan kiri sama (dinamis). Hasil pemeriksaan
taktil fremitus paru kanan sama dengan paru kiri. Perkusi paru kanan dan kiri
sonor. Suara nafas ekspirasi memanjang, terdengar wheezing dan ronkhi. Pada
asma diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama
inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama ekspirasi paksa menekan
bagian luar bronkiolus. Bronkiolus yang sudah tersumbat sebagian selanjutnya
akan mengalami obstruksi berat akibat dari tekanan eksternal. Penderita asma
biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sulit
melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional
dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat
kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Keadaan ini bisa menyebabkan
terjadinya barrel chest. Wheezing adalah bunyi seperti siulan yang dihasilkan
aliran udara turbulen melalui konstriksi (penyempitan) pembukaan dan biasanya
terdengar pada ekspirasi. Ronkhi yang ditemukan pada pasien ini akibat dari
sekresi disaluran nafas besar dan secara khas akan terdenga lebih jelas setelah
dibatukkan yang biasanya muncul pada bronkitis atau pneumonia.4
Hasil pemeriksaan laboratorium pasien menunjukkan peningkatan leukosit
bukti adanya proses inflamasi yang berlangsung selama serangan asma.
Sedangkan pada pemeriksaan Analisis Gas Darah (AGD) menunjukkan asidosis
respiratorik dengan hipoksemia ringan. Asidosis respiratorik adalah gangguan
klinis dimana pH kurang dari 7,35 dan tekanan parsial karbondioksida arteri
(PaCO2) lebih besar dari 42 mmHg. Kondisi ini terjadi akibat tidak adekuatnya
ekskresi CO2 dengan tidak adekuatnya ventilasi sehingga mengakibatkan
kenaikan kadar CO2 plasma. Hal ini biasanya terjadi karena danya hambatan
pertukaran gas seperti Asma berat, PPOK, dan Pneumothoraks.4
Pasien ini diduga menderita asma bronkial persisten berat dalam serangan
akut berat dan pasien telah mendapat obat. Sebelumnya pasien telah rutin
mengonsumsi Berotec dan Seretide. Berotec merupakan jenis merek dagang dari

28
Fenoterol hydrobromide yang mempunyai Onset of Action cepat dan Duration of
Action (DOA) pendek atau biasa disebut Short Acting β2-agonist (SABA).
Fenoterol memiliki aktifitas intrinsik lebih tinggi dari salbutamol sehingga
memiliki efek sistemik lebih besar saat digunakan dalam dosis konvensional.
Bentuk sediaan dapat berupa Metered dose inhaler (MDI) atau larutan untuk
inhalasi. Sedangkan Seretide mengandung Salmeterol dan Fluticasone propionat.
Salmeterol adalah selektif β2-agonist yang poten dan mempunyai DOA panjang
atau biasa disebut Long Acting β2-agonist (LABA).4
Saat serangan berat di rumah sakit pasien diberikan drip Aminofilin,
dilakukan nebulisasi dengan Combivent selang seling dengan Nairet,
Ceftriaxon, Fluimicyl, Metilprednisolon, Levofloxasin dan dianjurkan APE pagi
dan sore. Aminofilin merupakan golongan Xantin dengan mekanisme kerja
seperti Teofilin, akan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan
pembuluh darah pulmonal. Combivent adalah gabungan dari Ipratropium
bromide dan Albuterol yang bekerja sebagai antikolinergik (parasimpatolitik)
yang akan menghambat refleks vagal dengan cara mengantagonis kerja
asetilkolin. Bronkodilatasi yang dihasilkan bersifat lokal, pada tempat tertentu
dan tidak bersifat sistemik. Sedangkan Nairet mengandung Terbutaline sulfat
yang bekerja sebagai bronkodilator simpatomimetik. Metilprednisolon diberikan
sebagai antiinflamasi pada serangan asma. Pemberian Fluimucyl, Ceftriaxon
dan Levofloksasin sebagai pengobatan pada pasien yang diduga menderita
pneumonia.5

29
Gambar 4.1 Tatalaksana farmakologis pada asma bronkial 5

Penatalaksanaan pada asma terdiri atas terapi non-farmakologis dan


terapi farmakologis. Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan
dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Terapi non-farmakologis yang
dapat diberikan seperti edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai
pemahaman terhadap asma, pencegahan sekunder agar terhindar dari
perburukan dan penatalaksanaan segera yang dapat dilakukan saat muncul
serangan.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. GINA
2. PDPI
3. Netter
4. Lyrawati D. Buku Ajar PSF-FKUB Sistem pernafasan: Assesment,
patofisiologi dan terapi gangguan nafas. Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya. Malang : 2012
5. Canonica GW. Treating asthma as an infl ammatory disease. Chest.
2006;130:218-88.

31

Anda mungkin juga menyukai