Anda di halaman 1dari 23

PENDARAHAN POSTPARTUM ET CAUSA ATONIA UTERI

Maria Bernarda Aga Bata

102009124

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No. 6 Kebun Jeruk, Jakarta Barat

Email: nard_czy164@yahoo.com

Latar Belakang

Pendarahan setelah melahirkan adalah konsekuensi pendarahan berlebihan di tempat


implantasi plasenta, trauma di traktus genitalia dan struktur di sekitarnya atau keduanya.
Secara tradisional, pendarahan post partum didefinisikan sebagai hilangnnya 500 ml atau
lebih darah setelah kala 3 persalinan selesai. Bagaimanapun, hampir seluruh wanita yang
melahirkan pervaginam mengeluarkan darah dalam jumlah tersebut atau lebih, apabila diukur
secara kuantitatif. Hal ini setara dengan pengeluaran darah 1000 ml pada seksio sesarea, 1400
ml pada histerektomi sesarea selektif, dan 3000 sampai 3500 ml untuk histerektomi sesarea
darurat.

Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah pendarahan sampai sebanyak itu sebab
menghentikan pendarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya
bila terdapat pendarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda
vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi
<90 mmHg dan nadi >100/menit) maka penanganan harus segera dilakukan.

Pendarahan pasca persalinan bukanlah suatu diagnosis akan tetapi suatu kejadian
yang harus dicari kausalnya. Misalnya karena atonia uteri, robekan jalan lahir, karena sisa
plasenta, atau oleh karena gangguan pembekuan darah. Sifat pendarahan bisa banyak,
bergumpal-gumpal sampai menyebabkan syok atau terus merembes sedikit demi sedikit tanpa
henti.

1
ANAMNESIS

Keluhan yang menyebabkan ibu memeriksakan diri biasanya berkaitan dengan


kehamilan atau adanya infeksi yang menyertai kehamilan. Ibu yang memeriksakan diri
berkaitan dengan kehamilannya karena ingin mengetahui terjadinya kehamilan; ingin
menggugurkan kehamilan dengan alasan khusus; terjadi penyulit kehamilan muda yang dapat
meliputi gangguan muntah berlebihan, terjadi pendarahan, atau sakit pada perut, kehamilan
tua yang mungkin disertai pendarahan, atau sakit perut, keluhan hamil tua yang mungkin
disertai pendarahan, mengeluarkan air ketuban, gerak anak berkurang atau hiperaktif,
terlambat melahirkan atau ingin melahirkan karena perut mulai sakit.

Pemeriksaan kehamilan meliputi anamnesis, pemeriksaan kehamilan, diagnosis


kehamilan, atau manajemen kehamilan dan persalinan.

 Identitas pasien
Ditanyakan nama, usia, pekerjaan, suami, agama, dan alamat. Usia untuk menetapkan
risiko tinggi kehamilan bila kurang dari 19 tahun sudah hamil atau lebih dari 35 tahun
bila hamil pertama kali.
 Keluhan utama yang mendorong ibu memeriksakan diri
 Riwayat perkawinan
Dengan anamnesis dapat juga dikaji perkawinan ibu apakah menikah atau tidak menikah,
berapa kali menikah, atau lamanya menikah, dan setelah berapa tahun baru hamil.
Catatan: perkawinan lebih dari 5 tahun baru hamil termasuk dalam risiko tinggi.
 Riwayat kehamilan, persalinan dan kala nifas
- Apakah kehamilan pertama, kedua, atau lebih.
- Apakah kehamilan ini mendapat gangguan berupa emesis gravidarum atau
hiperemesis gravidarum, terjadi pendarahan hamil muda atau gangguan hamil tua.
- Bagaimana persalinan dan kehamilan yang lalu, apakah lahir spontan, aterm dan
hidup serta berapa berat lahir bayi; siapa yang menolong dan di mana pertolongan
dilakukan; apakah pertolongan persalinan dengan tindakan vakum-forsep ekstraksi,
tindakan seksio sesaria, dilakukan induksi persalinan; jumlah anak yang hidup dan
usia anak terkecil, apakah mengalami komplikasi kala nifas, apakah terdapat keluhan
pada tempat kehamilan.1

2
 Riwayat penyakit pasien
Perlu ditanyakan apakah pernah menderita penyakit berat, seperti penyakit
tuberculosis, penyakit jantung, riwayat penyakit ginjal, penyakit darah, diabetes mellitus,
dan penyakit jiwa.
 Riwayat penyakit keluarga
Gambaran atau diagram usia dan keadaan kesehatan atau usia dan penyebab
kematian, apakah bersumber dari saudara kandung, orangtua, dan kakek nenek. Dokumen
yang menunjukan ada atau tidak adanya penyakit khusus dalam keluarga, seperti
hipertensi, penyakit arteri koroner, dan sebagainya.
 Riwayat pribadi dan sosial
Ditanyakan kebiasaan ibu misalnya merokok, minum obat dan jamu, atau hewan
peliharaan.2

PEMERIKSAAN FISIK

1. Pemeriksaan Keadaan Umum


Pemeriksaan keadaan umum meliputi kesan umum tentang keadaan gizi (anemia,
ikterus), dan pernapasan (sianosis, dispnea). Apakah terdapat edema, bagaimana bentuk
dan tinggi badan, apakah ada perubahan pigmentasi, kloasma gravidarum, striae alba,
striae livida, striae nigra, hiperpigmentasi, dan areola mamae.
Pemeriksaan umum meliputi tekanan darah, nadi, suhu, dan berat badan;
pemeriksaan paru dan jantung; pemeriksaan refleks lutut. Catatan: persalinan spontan,
aterm dan hidup menunjukan kerja sama 3P sempurna sehingga kehamilan ini diharapkan
berjalan baik; persalinan yang memerlukan tindakan harus diwaspadai dan dapat
digolongkan hamil resiko tinggi; usia anak terkecil lebih dari 5 tahun waspadai
kemungkinan kesulitan persalinan; jumlah anak lebih dari 5 orang harus diwaspadai dan
tergolong ‘grandemultipara” dengan kemungkinan komplikasi persalinan dan kala nifas;
gangguan fisiologis kala nifas perlu diperhatikan karena mungkin dapat berlangsung
kejadian yang sama (perdarahan pasca partus, penyakit diabetes melitus, hepar, ginjal,
serta gangguan jiwa atau cacat jasmani.
2. Pemeriksaan Khusus Obstetri
Pemeriksaan ini meliputi inspeksi abdomen (tinggi fundus uteri, pigmentasi
dinding abdomen, dan penampakan gerak janin), palpasi menurut Leopold I-IV, Kneble,
Buddin, Ahfeld, kontraksi Braxton Hicks, dan tanda cairan bebas; perkusi untuk

3
mengetahui meteorisme dan tanda cairan bebas; auskultasi untuk mengetahui bising usus,
gerak janin dalam rahim, denyut jantung janin, aliran tali pusat, aorta abdominalis, dan
pendarahan retroplasenter.
3. Pemeriksaan Dalam
Pemeriksaan dalam dilakukan baik pada kehamilan muda maupun kehamilan tua.
Pemeriksaan ini untuk mengetahui tanda Hegar, tanda Chadwick, dan tanda Piskacek
pada kehamilan muda yang ditunjukan dengan adanya kontraksi Braxton Hicks, terdapat
balotement, dan pembukaan serviks. Pemeriksaan dalam kehamilan tua dilakukan
terhadap:
- Serviks, yaitu mengetahui perlunakan serviks dan pembukaan serviks;
- Ketuban, yaitu mengetahui apakah sudah pecah atau belum dan apakah ada
ketegangan ketuban;
- Bagian terendah janin, yaitu untuk mengetahui bagian apakah yang terendah dari
janin, penurunan bagian terendah, apakah ada kedudukan rangkap, apakah ada
pengahalang di bagian bawah yang mengganggu jalannya persalinan.
- Perabaan forniks, yaitu untuk mengetahui apakah ada bantalan forniks dan apakah
bagian janin masih dapat didorong ke atas.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.


Pemeriksaan lab khusus meliputi uji biologis kehamilan (uji fungsi hati, ginjal, dan
hormonal), pemeriksaan laboratorium yang berkaitan dengan penyakit menular seksual juga
dilakukan (VDRL-Khan, HIV AIDS, penyakit infeksi dengan kemungkinan kelainan
kongenital (TORCH dan Hepatitis D), serta alfa fetoprotein (kelainan kongenital sistem saraf
pusat).

Pemeriksaan diagnostik terhadap kehamilan dilakukan dengan ultrasonografi,


amnioskopi, atau sitologi cairan vagina. Ultrasonografi pada trimester pertama dilakukan
untuk mengetahui:

- Kepastian kehamilan
- Kehamilan intra atau ekstra uterin
- Kehamilan ganda
- Kelainan kongenital-blighied ovum
- Kehamilan mola hidatidosa

4
- Kehamilan dengan komplikasi perdarahan
- Menentukan usia kehamilan
Pemeriksaan ultrasonografi pada trimester kedua dan ketiga dilakukan untuk:
- Menentukan adanya kelainan kongenital
- Menentukan posisi pasti letak kehamilan dan letak plasenta
- Menentukan usia kehamilan (biparietal, lingkaran perut dan dada, panjang femur)
- Mengetahui aktivitas janin dalam rahim (ekstremitas, jantung, pernapasan janin)
- Mengetahui keadaan air ketuban (hidraamnion-oligohidraamnion, kekeruhan air ketuban,
penuntun amniosentesis)
- Mengetahui tentang plasenta (besar-lebar plasenta, klasifikasi plasenta, perdarahan
retroplasenter)
- Mengetahui air ketuban janin dalam rahim (menentukan maturitas paru, kekeruhan air
ketuban, uji biologis lainnya, jenis kelamin janin dalam rahim, dan jumlah air ketuban).
Amnioskopi dengan alat khusus amnioskop dilakukan untuk mengetahui kekeruhan
air ketuban dan mengidentifikasi adanya asfiksia intrauterin dan jumlah air ketuban.
Sitologi cairan vagina dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi kandida/
trikomonas, infeksi bakteriologis, atau kemungkinan keganasan serviks.1

DIAGNOSIS KERJA

 Pendarahan Post Partum et causa Atonia Uteri


Pendarahan post partum adalah pendarahan 500 cc atau lebih setelah kala III
selesai (setelah plasenta lahir). Pengukuran darah yang keluar sukar dilakukan secara
tepat. Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus/ kontraksi rahim yang menyebabkan
uterus tidak mampu menutup pendarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta
setelah bayi dan plasenta lahir.
Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata pendarahan
masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus uteri masih
setinggi pusat dan lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu diperhatikan bahwa pada
saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada darah sebanyak 500-
1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih terperangkap dalam
uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian darah pengganti.

5
DIAGNOSIS BANDING

 Pendarahan Post Partum et causa Robekan Jalan Lahir


Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat
pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi atau karena versi
ekstrasi. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan
perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perinei totalis (sfingter ani terputus),
robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan
bahkan, yang terberat, ruptura uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan hendaklah
dilakukan inspeksi yang teliti.3

Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan pasca
persalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca
persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan
serviks atau vagina. Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan
perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah
persalinan.

a. Robekan vulva
Sebagai akibat persalinan, terutama pada seorang primipara, bisa timbul luka pada
vulva di sekitar introitus vagina yang biasanya tidak dalam akan tetapi kadang-kadang
bisa timbul perdarahan banyak, khususnya pada luka dekat klitoris.

b.Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga
pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan
menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil
daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih
besar dari sirkumferensia suboksipitobregmatika atau anak dilahirkan dengan
pembedahan vaginal.

6
Tingkatan robekan pada perineum:

 Tingkat 1: hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek


 Tingkat 2: dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-
otot diafragma urogenitalis pada garis tengah terluka.
 Tingkat 3: robekan total m. Spintcher ani externus dan kadang-kadang dinding
depan rektum.
Pada persalinan yang sulit, dapat pula terjadi kerusakan dan peregangan m. puborectalis
kanan dan kiri serta hubungannya di garis tengah. Kejadian ini melemahkan diafragma
pelvis dan menimbulkan predisposisi untuk terjadinya prolapsus uteri.

c. Perlukaan vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum jarang dijumpai.
Kadang ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat
ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat
pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan spekulum. Robekan atas vagina
terjadi sebagai akibat menjalarnya robekan serviks. Apabila ligamentum latum terbuka
dan cabang-cabang arteri uterina terputus, dapat timbul perdarahan yang banyak.
Apabila perdarahan tidak bisa diatasi, dilakukan laparotomi dan pembukaan
ligamentum latum. Jika tidak berhasil maka dilakukan pengikatan arteri hipogastika.

 Kolpaporeksis
Adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina. Hal ini terjadi
apabila pada persalinan yang disproporsi sefalopelvik terdapat regangan segmen
bawah uterus dengan serviks uteri tidak terjepit antara kepala janin dengan tulang
panggul, sehingga tarikan ke atas langsung ditampung oleh vagina. Jika tarikan ini
melampaui kekuatan jaringan, terjadi robekan vagina pada batas antara bagian
teratas dengan bagian yang lebih bawah dan yang terfiksasi pada jaringan
sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa timbul apabila pada tindakan per vaginam
dengan memasukkan tangan penolong ke dalam uterus terjadi kesalahan, dimana
fundus uteri tidak ditahan oleh tangan luar untuk mencegah uterus naik ke atas.

 Fistula
Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena tindakan
vaginal yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan seksio secarea.
Fistula dapat terjadi mendadak karena perlukaan pada vagina yang menembus

7
kandung kemih atau rektum, misalnya oleh perforator atau alat untuk dekapitasi,
atau karena robekan serviks menjalar ke tempat menjalar ke tempat-tempat tersebut.
Jika kandung kemih luka, urin segera keluar melalui vagina. Fistula dapat berupa
fistula vesikovaginalis atau rektovaginalis.

d.Robekan serviks

Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang


multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks
yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus.
Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap
dan uterus sudah berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya
robekan serviks uteri.

Apabila ada robekan, serviks perlu ditarik keluar dengan beberapa cunam ovum,
supaya batas antara robekan dapat dilihat dengan baik. Apabila serviks kaku dan his
kuat, serviks uteri dapat mengalami tekanan kuat oleh kepala janin, sedangkan
pembukaan tidak maju. Akibat tekanan kuat dan lama ialah pelepasan sebagian serviks
atau pelepasan serviks secara sirkuler. Pelepasan ini dapat dihindarkan dengan seksio
secarea jika diketahui bahwa ada distosia servikalis.

Apabila sudah terjadi pelepasan serviks, biasanya tidak dibutuhkan pengobatan,


hanya jika ada perdarahan, tempat perdarahan di lanjut. Jika bagian serviks yang
terlepas masih berhubungan dengan jaringan lain, hubungan ini sebaiknya diputuskan.

8
 Pendarahan Post Partum et causa Retensio Plasenta
Bila plasenta tetap tertinggal dalam uterus setengah jam setelah anak lahir disebut
sebagai retensio plasenta. Plasenta yang sukar dilepaskan dengan pertolongan aktif kala
tiga bisa disebabkan oleh adhesi yang kuat antara plasenta dan uterus. Disebut sebagai
plasenta akreta bila implantasi menembus desidua basalis dan nitabuch layer, disebut
sebagai plasenta inkreta bila plasenta sampai menembus miometrium dan disebut plasenta
perkreta bila vili korialis sampai menembus perimetrium. Faktor predisposisinya terjadi
plasenta akreta adalah plasenta previa, bekas seksio sesarea, pernah kuret berulang, dan
multiparitas. Bila sebagian kecil dari plasenta masih tertinggal dalam uterus disebut rest
placenta dan dapat menimbulkan PPP primer atau (lebih sering) sekunder. Proses kala III
didahului dengan tahap pelepasan/separasi plasenta akan ditandai oleh pendarahan per
vaginam (cara pelepasan Duncan) atau plasenta sudah sebagian lepas tetapi tidak keluar
pervaginam (cara pelepasan Schultze) sampai akhirnya tahap ekspulsi, plasenta lahir.
Pada retensio plasenta, sepanjang plasenta belum terlepas, maka tidak menimbulkan
pendarahan. Sebagian plasenta yang sudah lepas dapat menimbulkan pendarahan yang
cukup banyak (pendarahan kala III) dan harus diantisipasi dengan segera melakukan
placenta manual, meskipun kala uri belum lewat setengah jam.
Sisa plasenta bisa diduga bila kala uri berlangsung tidak lancar, atau setelah
melakukan plasenta manual atau menemukan adanya kotiledon yang tidak lengkap pada
saat melakukan pemeriksaan plasenta dan masih ada pendarahan dari ostium uteri
eksternum pada saat kontraksi rahim sudah baik dan robekan jalan lahir sudah terjahit.
Untuk itu, harus dilakukan eksplorasi ke dalam rahim dengan cara manual/ digital atau
kuret dan pemberian uretonika. Anemia yang ditimbulkan setelah pendarahan dapat diberi
transfusi darah sesuai dengan keperluannya.

Sebab-sebab terjadinya retensio plasenta ini adalah:

1. Plasenta belum terlepas dari dinding uterus karena tumbuh melekat lebih dalam.
Perdarahan tidak akan terjadi jika plasenta belum lepas sama sekali dan akan terjadi
perdarahan jika lepas sebagian. Hal ini merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi:

a. Plasenta adhesiva, melekat pada endometrium, tidak sampai membran basal.


b. Plasenta inkreta, vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai
ke miometrium.

9
c. Plasenta akreta, menembus lebih dalam ke miometrium tetapi belum menembus
serosa.
d. Plasenta perkreta, menembus sampai serosa atau peritoneum dinding rahim.
2. Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh
tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga
terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya
plasenta (plasenta inkarserata)
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah fundus naik dimana pada perabaan uterus
terasa bulat dan keras, bagian tali pusat yang berada di luar lebih panjang dan terjadi
perdarahan sekonyong-konyong. Cara memastikan lepasnya plasenta:

1. Kustner
Tangan kanan menegangkan tali pusat, tangan kiri menekan di atas simfisis. Bila tali
pusat tak tertarik masuk lagi berarti tali pusat telah lepas.

2. Strassman
Tangan kanan menegangkan tali pusat, tangan kiri mengetuk-ngetuk fundus. Jika
terasa getaran pada tali pusat, berarti tali pusat belum lepas.

3. Klein
Ibu disuruh mengejan. Bila plasenta telah lepas, tali pusat yang berada diluar
bertambah panjang dan tidak masuk lagi ketika ibu berhenti mengejan.

Apabila plasenta belum lahir ½ jam-1 jam setelah bayi lahir, harus diusahakan
untuk mengeluarkannya. Tindakan yang dapat dikerjakan adalah secara langsung dengan
perasat Crede dan Brant Andrew dan secara langsung adalah dengan manual plasenta.

 Pendarahan Post Partum et causa Kelainan Pembekuan Darah


Kausal pendarahan pasca persalinan karena gangguan pembekuan darah baru
dicurigai bila penyebab yang lain dapat disingkirkan apalagi disertai adanya riwayat
pernah mengalami hal yang sama pada persalinan sebelumnya. Akan ada tendensi mudah
terjadi pendarahan setiap dilakukan penjahitan dan pendarahan akan merembes atau
timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan, pendarahan dari gusi, rongga hidung, dan
lain-lain.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hasil pemeriksaan faal hemostasis yang
abnormal. Waktu pendarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi

10
hipofibrinogenemia, dan terdeteksi adanya FDP (fibrin degradation product) serta
perpanjangan tes protrombin dan PTT (partial tromboplastin time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solutio plasenta, kematian janin dalam
kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang dilakukan adalah
dengan transfusi darah dan produknya seperti plasma beku segar, trombosit, fibrinogen
dan heparinisasi atau pemberian EACA (epsilon amino caproid acid). (buku merah)

Kegagalan pembekuan darah atau koagulopati dapat menjadi penyebab dan akibat
perdarahan yang hebat. Gambaran klinisnya bervariasi mulai dari perdarahan hebat
dengan atau tanpa komplikasi trombosis, sampai keadaan klinis yang stabil yang hanya
terdeteksi oleh tes laboratorium. Setiap kelainan pembekuan, baik yang idiopatis maupun
yang diperoleh, dapat merupakan penyulit yang berbahaya bagi kehamilan dan
persalinan, seperti pada defisiensi faktor pembekuan, pembawa faktor hemofilik A
(carrier), trombopatia, penyakit Von Willebrand, leukemia, trombopenia dan purpura
trombositopenia. Dari semua itu yang terpenting dalam bidang obstetri dan ginekologi
ialah purpura trombositopenik dan hipofibrinogenemia.

a. Purpura trombositopenik
Penyakit ini dapat bersifat idiopatis dan sekunder. Yang terakhir disebabkan oleh
keracunan obat-obat atau racun lainnya dan dapat pula menyertai anemia aplastik,
anemia hemolitik yang diperoleh, eklampsia, hipofibrinogenemia karena solutio
plasenta, infeksi, alergi dan radiasi.

b. Hipofibrinogenemia
Adalah turunnya kadar fibrinogen dalam darah sampai melampaui batas tertentu,
yakni 100 mg%, yang lazim disebut ambang bahaya (critical level). Dalam kehamilan
kadar berbagai faktor pembekuan meningkat, termasuk kadar fibrinogen. Kadar
fibribogen normal pada pria dan wanita rata-rata 300mg% (berkisar 200-400mg%),
dan pada wanita hamil menjadi 450mg% (berkisar antara 300-600mg%).4

11
ETIOLOGI

Pendarahan postpartum dibagi atas dua yaitu pendarahan postpartum dini bila
pendarahan terjadi dalam 24 jam pertama dan pendarahan postpartum lambat bila pendarahan
terjadi setelah 24 jam pertama.

Etiologi pendarahan postpartum dini:

- Atonia uteri. Pada atonia uteri, uterus tidak mengadakan kontraksi dengan baik dan ini
merupakan sebab utama dari pendarahn postpartum. Uterus yang sangat teregang
(hidraamnion, kehamilan ganda atau kehamilan dengan janin besar), partus lama dan
pemberian narkosis merupakan predisposisi untuk terjadinya atonia uteri.
- Laserasi jalan lahir. Perlukaan serviks, vagina dan perineum dapat menimbulkan
pendarahan yang banyak bila tidak direparasi segera.
- Hematoma. Hematoma biasanya terdapat pada daerah-daerah yang mengalami laserasi
atau pada daerah jahitan perineum.
- Lain-lain
a. Sisa plasenta atau selaput janin yang menghalangi kontraksi uterus, sehingga masih
ada pembuluh darah yang tetap terbuka.
b. Ruptura uteri
c. Inversio uteri

Etiologi pendarahan postpartum lambat:

- Tertinggalnya sebagian plasenta


- Subinvolusi di daerah insersi plasenta
- Dari luka bekas seksio sesarea3

EPIDEMIOLOGI

Kehamilan yang berhubungan dengan kematian maternal secara langsung di


Amerika Serikat diperkirakan 7 – 10 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup. Data statistik
nasional Amerika Serikat menyebutkan sekitar 8% dari kematian ini disebabkan oleh
perdarahan post partum. Di negara industri, perdarahan post partum biasanya terdapat pada 3
peringkat teratas penyebab kematian maternal, bersaing dengan embolisme dan hipertensi. Di
beberapa negara berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000

12
kelahiran hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan
oleh perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000 kematian matenal tiap tahunnya.

Amerika Serikat dan negara industri

Frekuensi PPH terkait dengan manajemen kala III persalinan. Ini adalah periode dari
pengiriman selesai dari bayi sampai pengiriman selesai plasenta. Data dari beberapa sumber,
termasuk beberapa uji coba besar secara acak dilakukan di negara industri, menunjukkan
bahwa tingkat prevalensi PPH lebih dari 500 mL adalah sekitar 5% pada saat manajemen
aktif digunakan dibandingkan 13% pada saat manajemen hamil digunakan. Tingkat
prevalensi PPH lebih dari 1000 mL adalah sekitar 1% saat manajemen aktif digunakan
dibandingkan 3% pada saat manajemen hamil digunakan.

Negara-negara berkembang

Meningkatnya frekuensi PPH di negara berkembang yang lebih mungkin


dicerminkan dengan tingkat yang diberikan di atas untuk manajemen hamil karena kurangnya
ketersediaan luas obat digunakan dalam manajemen aktif kala III. Sejumlah faktor juga
berkontribusi terhadap apalagi menguntungkan hasil PPH di negara berkembang. Yang
pertama adalah kurangnya pengasuh berpengalaman yang mungkin bisa berhasil mengelola
PPH jika itu terjadi. Selain itu, obat yang sama digunakan untuk profilaksis terhadap PPH
dalam manajemen aktif kala III juga merupakan agen utama dalam pengobatan PPH.
Kurangnya layanan transfusi darah, jasa anestesi, dan kemampuan operasi juga memainkan
peran. Akhirnya, komorbiditas disebutkan sebelumnya lebih sering diamati pada negara
berkembang dan bergabung untuk menurunkan toleransi wanita kehilangan darah. 5

Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut:3

1. Regangan rahim berlebihan karena kehamilan gemeli, polihidramion, atau anak terlalu
besar.
2. Kelelahan karena persalinan lama atau karena persalinan kasep.
3. Kehamilan grande-multipara
4. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit menahun.
5. Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.
6. Infeksi intrauterin (korioamnionitis).
7. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

13
GEJALA KLINIS

Hemorraghe postpartum digunakan untuk persalinan dengan umur kehamilan lebih dari 20
minggu, karena apabila umur kehamilan kurang dari 20 minggu disebut sebagai aborsi
spontan. Beberapa gejala yang bisa menunjukkan hemorraghe postpartum :

1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol

2. Penurunan tekanan darah

3. Peningkatan detak jantung

4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematocrit )

5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum

Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan ditatalaksana sesuai


penyebabnya. Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan menakutkan
sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa
perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi terus menerus sehingga akhirnya
menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok. Pada perdarahan
melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan darah, nadi dan napas cepat,
pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok. Pada perdarahan sebelum plasenta lahir
biasanya disebabkan retensio plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta
maka perdarahan akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah
plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan
lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembek dan membesar jika ada atonia
uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta
atau laserasi jalan lahir.6

14
PATOFISIOLOGI

Atonia uteri adalah kedaan lemahnya atau gagalnya tonus/ kontraksi otot rahim yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup pendarahan terbuka dari tempat implantasi
plasenta setelah bayi dan plasenta lahir. Pendarahan postpartum bisa dikendalikan melalui
kontraksi dan retraksi serta-serta miometrium. Kontraksi dan retraksi ini menyebabkan
terlipatnya pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah ke tempat plasenta terhenti.
Kegagalan mekanisme akibat gangguan fungsi miometrium dinamakan atonia uteri.

Pendarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat


miometrium terutama yang berada di sekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada
tempat implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi karena miometrium tidak dapat berkontraksi.

15
Atonia uteri merupakan penyebab tersering pendarahan postpartum, sekurang-kurangnya 2/3
dari semua pendarahan post partum disebabkan oleh atonia uteri.6

Kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga uterus dalam


keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi
pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya perdarahan. Perdarahan pada
atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta
yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan.

Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang
terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan perdarahan pasca persalinan. Miometrum
lapisan tengah tersusun sebagai anyaman dan ditembus oleh pembuluh darah. Masing-masing
serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira
berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas,
jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk
berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan pasca persalinan.

Atonia uteri dapat terjadi sebagai akibat :

1. Partus lama

2. Pembesaran uterus yang berlebihan pada waktu hamil, seperti pada hamil kembar,
hidramnion atau janin besar

3. Multiparitas

4. Anestesi yang dalam

5. Anestesi lumbal

Selain karena sebab di atas atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan
kala III persalinan, yaitu memijat uterus dan mendorongnya ke bawah dalam usaha
melahirkan plasenta, dimana sebenarnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus (chapter
II)

Selama kehamilan, volume darah ibu meningkat sekitar 50% (dari 4 sampai 6 L L).
Volume plasma meningkat agak lebih dari volume sel darah merah total, menyebabkan
penurunan konsentrasi hemoglobin dan nilai hematokrit. Peningkatan volume darah berfungsi

16
untuk memenuhi kebutuhan perfusi dari unit rendah resistensi uteroplasenta dan untuk
menyediakan cadangan untuk kehilangan darah yang terjadi saat persalinan.

Pada panjang, aliran darah ke rahim diperkirakan adalah 500-800 mL / menit, yang
merupakan 10-15% dari curah jantung. Sebagian besar ini melintasi aliran tempat tidur
rendah resistensi plasenta. Pembuluh darah uterus yang memasok situs plasenta melintasi
menenun serat miometrium. Seperti pengiriman kontrak berikut serat, retraksi miometrium
terjadi. Pencabutan adalah karakteristik unik dari otot rahim untuk mempertahankan
panjangnya dipersingkat setelah setiap kontraksi berturut-turut. Pembuluh darah dikompresi
dan tertekuk oleh banji silang, dan, biasanya, aliran darah dengan cepat tersumbat. Ini
susunan ikatan otot telah disebut sebagai "ligatures hidup" atau "jahitan fisiologis" rahim.

Atonia uteri adalah kegagalan dari serat miometrium rahim untuk berkontraksi dan
menarik kembali. Ini adalah penyebab paling penting dari PPH dan biasanya terjadi segera
setelah melahirkan bayi, sampai 4 jam setelah melahirkan. Trauma pada saluran kelamin
(yaitu, rahim, serviks uterus, vagina, labia, clitoris) dalam hasil kehamilan pada perdarahan
signifikan lebih daripada yang terjadi di negara tidak hamil karena peningkatan suplai darah
ke jaringan-jaringan. Trauma secara khusus berkaitan dengan melahirkan bayi, baik melalui
vagina secara spontan atau dibantu atau dengan kelahiran sesar, juga sangat besar dan dapat
menyebabkan gangguan signifikan dari jaringan lunak dan robeknya pembuluh darah. 3

PENATALAKSANAAN

Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien. Pasien
bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat hipovolemik.
Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya.

Pada umumnya dilakukan secara simultan (bila pasien syok) hal-hal sebagai berikut:

 Sikap trendelenburg, memasang venous line, dan memberikan oksigen.


 Sekaligus memasang kontraksi uterus dengan cara:
- Masase fundus uteri dan merangsang puting susu
- Pemberian oksitosin dan turunan ergot melalui suntikan secara i.m, i.v, atau s.c
- Memberikan derivat prostaglandin F2α (carboprost tromethamine) yang kadang
memberikan efek samping berupa diare, hipertensi, mual muntah, febris, dan
takikardia.
- Pemberian misoprostol 800-1000 μg per rektal.

17
- Kompresi bimanual eksternal dan atau internal.
- Kompresi aorta abdominalis.
- Pemasangan “tampon kondom”, kondom dalam kavum uteri disambung dengan
kateter, difiksasi dengan karet gelang dan diisi cairan infus 200 ml yang akan
mengurangi pendarahan dan menghindari tindakan operatif.
- Catatan: tindakan memasang tampon kasa utero-vaginal tidak dianjurkan dan hanya
bersifat temporer sebelum tindakan bedah ke rumah sakit rujukan.
 Bila semua tindakan itu gagal, maka dipersiapkan untuk dilakukan tindakan operatif
laparotomi dengan pilihan bedah konservatif (mempertahankan uterus) atu melakukan
histerektomi. Alternatifnya berupa:
- Ligasi arteria uterina atau arteria ovarika
- Operasi ransel B Lynch
- Histerektomi supravaginal
- Histerektomi total abdominal3

Penanganan atonia uteri yaitu :

1). Masase uterus + pemberian utero tonika (infus oksitosin 10 IU s/d 100 IU dalam 500 ml
Dextrose 5%, 1 ampul Ergometrin I.V, yang dapat diulang 4 jam kemudian, suntikan
prostaglandin.
2). Kompresi bimanual
Jika tindakan poin satu tidak memberikan hasil yang diharapkan dalam waktu yang
singkat, perlu dilakukan kompresi bimanual pada pada uterus. Tangan kiri penolong
dimasukkan ke dalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakkan pada forniks
anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut penderita dengan memegang fundus
uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-jari lain dibelakang
uterus. Sekarang korpus uteri terpegang dengan antara 2 tangan; tangan kanan
melaksanakan massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan kiri.

18
3). Tampon utero-vaginal secara lege artis, tampon diangkat 24 jam kemudian.
Tindakan ini sekarang oleh banyak dokter tidak dilakukan lagi karena umumnya dengan
dengan usaha-usaha tersebut di atas pendarahan yang disebabkan oleh atonia uteri sudah
dapat diatasi. Lagi pula dikhawatirkan bahwa pemberian tamponade yang dilakukan
dengan teknik yang tidak sempurna tidak menghindarkan pendarahan dalam uterus
dibelakang tampon. Tekanan tampon pada dinding uterus menghalangi pengeluaran darah
dari sinus-sinus yang terbuka; selain itu tekanan tersebut menimbulkan rangsangan pada
miometrium untuk berkontraksi.

4). Tindakan operatif


Tindakan operatif dilakukan jika upaya-upaya diatas tidak dapat menhentikan
pendarahan. Tindakan opertif yang dilakukan adalah :

a) Ligasi arteri uterina

b) Ligasi arteri hipogastrika

Tindakan ligasi arteri uterina dan arteri hipogastrika dilakukan untuk yang masih
menginginkan anak. Tindakan yang bersifat sementara untuk mengurangi perdarahan
menunggu tindakan operatif dapat dilakukan metode Henkel yaitu dengan menjepit
cabang arteri uterina melalui vagina, kiri dan kanan atau kompresi aorta abdominalis.

c) histerektomi

Tabel jenis uterotonika dan cara pemberiannya

JENIS DAN CARA OKSITOSIN ERGOMETRIN MISOPROSTOL

Dosis dan cara IV : 20 IU dalam 1 l IM atau IV (lambat) Oral atau rektal 400
pemberian larutan garam fisio : 0.2 mg μg dapat diulang
logis dengan tetesan sampai 1200 μg
cepat
IM : 10 IU

Dosis lanjutan IV : 20 IU dalam 1 l Ulangi 0.2 mg IM 400 μg 2-4 jam


larutan garam fisio- setelah 15 menit setelah dosis awal
logis dengan 40 tetes
/ menit

19
Dosis maksimal per Tidak lebih dari 3 l Total 1 mg atau 5 Total 1200 μg atau 3
hari larutan dengan Oksi- dosis dosis
tosin
Kontra Indikasi Pemberian IV secara Preeklampsia, Nyeri kontraksi
cepat atau bolus vitium cordis, Asma
hipertensi

KOMPLIKASI

Komplikasi pendarahan post partum yang harus diperhitungkan adalah:

1. Syok hipovolemik.
2. Mudah terjadi komplikasi infeksi terutama akibat pendarahan yang berasal dari trauma
jalan lahir.
3. Sindroma sheehan:
a. Terjadi atropi dan nekrosis dari master of gland, kelenjar hipofisis dan berbagai
tingkatannya.
b. Gambaran gejala penuh digambarkan pertama kali olehn Sheehan dan Murdoch 1938,
sebagai berikut:
 Amenorrhea
 Gagal memberikan laktasi karena payudara atropi
 Hilangnnya bulu sebagai tanda seksual sekunder:
- Pada pubis
- Pada ketiak
 Gangguan kelenjar lainnya:
- Hipotiroidisme
- Insufisiensi kelenjar adrenal
c. Patogenesisnya tidak diketahui dengan pasti, tetapi terjadi gangguan dalam sekresi
hormon tropik pada kelenjar sehingga mengalami gangguan.
d. Gangguan klinik sesuai dengan fungsi hormonalnya.
e. Sindroma Sheehan dapat terjadi pada pendarahan antepartum dan post partum.
 Whitehead menemukan terjadi atropi dan nekrosis sel tertentu pada master of
gland hipophise sehingga pengeluaran hormon atropik terganggu.

20
f. Anemia berkepanjangan
 Terjadi gangguan untuk dapat pulih kembali.
 Memerlukan waktu yang panjang.7

PENCEGAHAN

Klasifikasi kehamilan resiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan


penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat
perawatan antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai
dan jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, salah satunya
adalah pendarah pasca persalinan. Antisipasi terhadap hal tersebut dapat dilakukan sebagai
berikut:

- Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum dan mengatasi setiap
penyakit kronis, anemia, dan lain-lain sehingga pada saat hamil dan persalinan pasien
tersebut dalam keadaan optimal.
- Mengenal faktor predisposisi pasca persalinan seperti multiparitas, anak besar, hamil
kembar, hidraamnion, bekas seksio, ada riwayat pendarahan pasca persalinan
sebelumnya dan kehamilan risiko tinggi lainnya yang risikonya akan muncul saat
persalinan.
- Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan pencegahan partus lama.
- Kehamilan risiko tinggi agar melahirkan di fasilitas rumah sakit rujukan.
- Kehamilan risiko rendah agar melahirkan di tenaga kesehatan terlatih dan
menghindari persalinan dukun.
- Menguasai langkah-langkah pertolongan pertama menghadapi pendarahan pasca
persalinan dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.7

PROGNOSIS

Kematian karena pendarahan postpartum akibat terus menerus terjadi pendarahan


yang jumlahnya kadang-kadang tidak menimbulkan kecurigaan. Yang menimbulkan
kematian bukanlah perdarahan sekaligus dalam jumlah banyak tapi justru pendarahan terus
menerus yang terjadi sedikit demi sedikit. Interval rata-rata antara kelahiran dan kematian
adalah 5 jam 20 menit. Kenyataan ini menunjukan adanya cukup waktu untuk
melangusngkan terapi yang efektif, jika pasiennya selalu diamati dengan seksama, diagnosis
dibuat secara dini, dan tindakan yang tepat segera dikerjakan.

21
KESIMPULAN

Pendarahan post partum adalah hilangnnya 500 ml atau lebih darah setelah kala 3
persalinan selesai. Bagaimanapun, hampir seluruh wanita yang melahirkan pervaginam
mengeluarkan darah dalam jumlah tersebut atau lebih, apabila diukur secara kuantitatif.

Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah pendarahan sampai sebanyak itu sebab
menghentikan pendarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya
bila terdapat pendarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda
vital maka penanganan harus segera dilakukan.

Pendarahan pasca persalinan bukanlah suatu diagnosis akan tetapi suatu kejadian
yang harus dicari kausalnya. Dengan demikian dapat ditangani dengan segera sesuai dengan
kausalnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Manuaba Ida Ayu Chandranita, Manuaba Ida Bagus Gde Fajar. Buku ajar patologi
osbtetri. Konsep pemeriksaan obstetri. Jakarta: EGC; 2008. Hal 1- 7.
2. Kurnia Yasavati, Morosidi Saptoyo, Hartono Arief, Marbun Erna, Hartanto, Naland
Henry, dkk. Buku panduan keterampilan klinik (skills lab). Jilid 6. Keterampilan obstetri.
Jakarta: Biro Publikasi FK Ukrida; 2008. Hal 94-7
3. Prawirohardjo Sarwono. Ilmu kebidanan. Pendarahan pasca persalinan. Edisi Keempat.
Jakarta: Bina Pusataka Sarwono Prawihardjo; 2011. Hal 522-29.
4. Khoman JS. Pendarahan Hamil Tua dan Pendarahan Post Partum. Cermin Dunia
Kedokteran. Edisi Khusus No. 80, 1992 : 60-63.
5. Smith John. Hemorraghe Postpartuum. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/275038-overview#a0199, 25 Mei 2012
6. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri william. Pendarahan Obstetri. Edisi
21. Jakarta: EGC; 2005. Hal 704-09
7. Manuaba Ida Bagus. Pengantar kuliah obstetri. Kelainan abnormal pada kala III. Jakarta:
EGC; 2007. Hal 821.

Daftar pustaka

22
8.
9. Swartz MH. Buku ajar diagnostik fisik. Jakarta: EGC;2007:h.3-11

10. Manuaba Ida Ayu Chandranita, Manuaba Ida Bagus Gede Fajar. Buku ajar patologi
osbtetri. Jakarta: EGC; 2008.h.1-7.
11. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri william. Pendarahan obstetri. Edisi
21. Jakarta: EGC; 2005.h.704-09
12. Sulaiman S. Obstetri patologi: Ilmu kesehatan reproduksi. Edisi 2. Jakarta: ECG,
2004.h.172.
13. Saworno P. Ilmu kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2008.h.522-9.
14. Hogan MC, et al. Maternal mortality for 181 countries, 1980–2008: a systematic analysis
of progress towards Millennium Development Goal 5. Lancet 2010;375:1609–23.
15. Ramanathan, Gand Arulkumaran, S. Postpartum Hemorrhage. J Obstet Gynaecol Can
2006;28(11):967–973.

23

Anda mungkin juga menyukai