Anda di halaman 1dari 13

KONSTRUKSI dan REPRODUKSI KEBUDAYAAN

Ditulis untuk memenuhi tugas Ilmu Sosial dan Budaya Dasar


Dosen Pengampu:
Bapak Bambang Sugiyanto, M.S,i.

Disusun oleh
Wasiatul Maghfiroh (2018100028)

PRODI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS SAINS AL – QUR’AN
WONOSOBO
2019
TUGAS RESUME BUKU
1. Judul Buku : Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan
2. Tahun Terbit : 2006
3. Penulis : Prof. Dr. Irwan Abdullah
4. Editor : Herry Ck
5. Desain Cover : Digi Art Desaign
6. Penerbit : Pustaka Pelajar
7. Alamat Penerbit : Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167
Telp. (0274) 381542, Fax. (0274) 383083
E-mail: pustakapelajar@telkom.net
8. Jumlah Halaman : 276 halaman, 4 bab
9. Cetakan : Ke-1
Ruang Lingkup Pembahasan

Buku ini terbit dengan tebal buku 276 halaman dan terdiri dari 4 bagian yang masing-
masing bagian saling terkait sehingga menjadikan buku ini mudah dipelajari. Bagian-
bagian yang terdapat dalam buku “ Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan” ini yaitu:

DAFTAR ISI

Kata
Pengantar................................................................................................................................
v
Daftar
Isi............................................................................................................................................
xi
Pendahuluan ...........................................................................................................................
1
BAGIAN 1
GLOBALISASI DAN DETERITORIALISASI BUDAYA
1. Dunia Tanpa Batas:
Tantangan Metode Antropologi dalam Pemahaman
Masyarakat .......................................................................................................................
13
2. Transformasi Ruang, Globalisasi dan Pembentukan Gaya Hidup
Kota ..................................................................................................................................
27
3. Produksi dan Reproduksi Kebudayaan dalam Ruang Sosial
Baru ..................................................................................................................................
41
4. Televisi, Deteritorialisasi Ruang, dan Remote Control
Budaya .............................................................................................................................
54
BAGIAN 2
RUANG POLITIK KERAGAMAN
BUDAYA ..............................................................................................................................
61
5. Politik Bhinneka Tunggal Ika dalam Keragaman Budaya
Indonesia ..........................................................................................................................
63
6. Titik Temu Kebudayaan dalam Hubungan Sukubangsa: Menuju Suatu Kajian Ruang
Budaya .............................................................................................................................
80
7. Reproduksi Bahasa Nusantara: Etika dan Estetika Bahasa pada Abad ke-
21......................................................................................................................................
92
8. Privitisasi Agana: Globalisasi Gaya Hidup dan Komodifikasi Agama di Indonesia
a ........................................................................................................................................
107
9. Realitas Politik, Deteritorialisasi Sosial, dan Redefinisi Penelitian Budaya: Aceh
sebagai Field Of
Study ................................................................................................................................
121
BAGIAN 3
KONSTRUKSI RUANG DAN DEKONSTRUKSI
IDENTITAS ...........................................................................................................................
139
10. Dekonstruksi Komunitas: Dari Homogenitas Nilai ke Diferensiasi Praktik
Sosial ................................................................................................................................
141
11. Modernitas dan Titik Balik
Keluarga ...........................................................................................................................
153
12. Globalisasi, Redefinisi Budaya, dan Munculnya Masyarakat
Terbuka ............................................................................................................................
165
13. Kultur dan Subkultur Kaum Muda: Suatu Refleksi Pemahaman
Antropologi ......................................................................................................................
176
14. Budaya Jalanan: Persoalan Konsep, Makna dan Implikasi
Sosial ................................................................................................................................
176
BAGIAN 4
DEKONSTRUKSI DAN REPRODUKSI
SIMBOLIK ............................................................................................................................
203
15. Main Hakim Sendiri: Antara Kekerasan Demokratis dan
Nihilistik ..........................................................................................................................
205
16. Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya atas Realitas
Gender ..............................................................................................................................
213
17. Pornografi: Intensitas, Implikasi dan Masa Depan
Bangsa ..............................................................................................................................
227
18. Konstruksi dan Reproduksi Simbolik: Menuju Pemahaman Subyektif
Perempuan........................................................................................................................
239
Daftar
Pustaka ...................................................................................................................................
259
Sumber
Tuilisan ..................................................................................................................................
271
Biodata
Penulis ....................................................................................................................................
275
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan


Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul ‘’ Pesantren dan Tantangan Masa Depan”. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Studi Kepesantrenan. Tim penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak
yang telah memberikan bantuan dan saran atas penyusunan makalah ini.
Makalah Pesantren dan Tantangan Masa Depan merupakan tugas mata kuliah yangb diampu oleh
Bapak Asep Sunarko, M.Pd.I. makalah ini mencangkup pengertian pesantren, dan tantangan
pesantren di masa depan.
Tim penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, untuk itu tim
penulis mengharapkan saran dan masukan untukperbaikan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis maupun para pembaca.

Wonosobo, 06 April 2019


Tim Penulis

BAGIAN III
KONSTRUKSI RUANG DAN DEKONSTRUKSI IDENTITAS
10.Dekonstruksi Komunitas: Dari Homogenitas Nilai ke Diferensiasi Praktik Sosial.
Istilah komunitas menglami perkembangan pesat sejak abad ke-14 yang pada awalnya digunakan
untuk menunjuk pada suatu kelompok orang yang berada pada status rendah, orang biasa, dalam
hubungannya dengan kelompok kelas atas. Pada abad ke-16 komunitas telah mengandung makna
“ kesamaan” dalam identitas atau ciri-ciri tertentu yang dimiliki oleh sekelompok orang.
Kelompok yang memiliki minat yang sama misalnya, disebut sebagai komunitas seperti
ditunjukkan dengan istilah community of interests. Pada abad ke-18 istilah ini telah digunakan
untuk menunjuk suatu init tempat tinggal seperti distrik yang merupakan bagian dari suatu sistem
administrasi (Williams, 1988). Pada abad ke-19 pembedaan komunitas (community) dari
masyarakat (society) semakin jelas untuk membedakkan suatu lingkungan tidak hanya berdasarkan
keluasan unit tetapi juga pada tingkat keformalan suatu unit di mana komunitas dianggap sebagai
sistem sosial yang relative kurang formal dibandingkan dengan masyarakat.
Menurut Robert Redfield, ada empat sifat kunci: sifat yang kecil dari suatu unit; sifat homogeny
dari kegiatan dan pikiran anggota; berkemampuan memenuhi sendiri kebutuhan; adanya kesadaran
tentang perbedaan dengan yang lain. Keempat sifat/ ciri pokok dari komunitas ini perlu diuji
keabsahannya dalam konteks kehidupan sosial sekarang ini. Dimana perubahan-perubahan
komunitas yang bergerak dari sifatnya yang tradisional ke modern dan pascamodern sejalan
dengan peningkatan kompleksitas dari ke empat sifat tersebut.
Redefinisi Batas Area Kebudayaan
Perubahan yang terjadi secara meluas dalam masyarakat bukan saja menjelaskan bagaimana
interaksi masyarakat dengan berbagai faktor menentukan penataan sosial secara meluas.
Perubahan dalam komunitas harus dilihat dalam konteks perubahan global yang terjadi dan
memiliki pengaruh dalam penataan sosial hingga ke tingkat yang peling kecil. Hal ini juga
disebabkan oleh globalisasi yang membutuhkan respons yang tepat karena ia memaksa adanya
suatu strategi yang tepat.
Kominitas: Unit Kecil dengan Identitas yang Homogen?
Batas-batas komunitas sebagai unit telah mengalami kekaburan yang cukup signifikan akibat
batas-batas dari komunitas yang melebar di satu sisi karena batas fisik dari komunitas yag
bergeser. Proses migrasi menyebabkan masuknya orang luar ke dalam komunitas dan keluarnya
anggota ke dalam sistem jaringan yang luas menyebabkan unit kecil tersebut mengalami
kekaburan.
Homogenitas dalam pengetahuan publik, dalam tataran nilai dan praktik sosial merupakan mitos
dalam mengidentifikasikan keberadaan komunitas. Tiga proses yang dapat dilihat untuk
mengevaluasi keberadaan sifat homogenitas, pertama, susunan masyarakat yang terdiri dari kelas-
kelas sosial dan pengelompokkan sosial yang menyebabkan adanuya pihak yang mengntrol suatu
nilai di satu sisi dan kelompok yang menjadi pemgikut dalam sistem itu sehingga pengetahuan,
nilai, dan praktik sosial tidak terbagi secara merata tetapi terdistribusi secara timpang dalam
komunitas. Kedua, dalam sistem komunitas memiliki idiologi komunitas tertentu yang
menyebabkan terbentuknya peemisahan yang tegas. Ketiga, masuknya unsur-unsur baru, baik
keanggotaan baru maupun nilai-nilai baru yang dibawa oleh berbagai media, telah memunculkan
diferensiasi dalam komunitas berbagai bentuk. Proses ini berlangsung dalam tiga bentuk yang
bekrja secara sistematis. Pertama, proses pengaburan batas-batas komunitas yang disebabkan oleh
migrasi masuk dan migrasi keluar yang terjadi pada berbagai komunitas. Abad ke-20 ditandai oleh
proses migrasi yang padat dan mencakup daerah yang luas yang menyebabkan batas-batas wilayah
menjadi tidak jelas dan loyalitas anggota kelompok melemah. Sejalan dengan ini dibutuhkan suatu
suatu sistem nilai bersama yang bersifat simbolik yang didasarkan oleh prinsip-prinsip yang lebih
nyata dalam menjawab tantangan kehidupan sosial. Kedua, mengaburnya batas-batas kebudayaan
yang menyebabkan proses sosialisasi mengalami pergeseran. Mobilitas yang padat menyebabkan
landasan budaya seseorang sangat berbeda dengan sebelumnya sehingga “budaya asal” mulai tidak
dikenal dengan baik. Untuk ini perlu dikembangkan suatu mode komunikasi kultural baru untuk
mengembalikkan batas-batas komunitas dalam kesadaran individu dengan perekat dan pengikat
yang lebih mampu menawarkan suatu fungsi. Ketiga, kepatuhan yang melemah yang terjadi akibat
hilannya kepemimpinan local dalam suatu komunitas. Hal ini sejalan dengan munculnya
demokrasi dan rasionalitas dalam kehidupan bermasyarat. Kebebasan memilih telah menjadi suatu
idiologi dominan yang tidak dapat dikendalikan dengan ikatan-ikatan kepatuhan yang
berlandaskan pada prinsip-prinsip komunal. Sejalan dengan ini, kata-kata William James menarik
untuk dikenang: real culture lives by sympathies. Proses pengembangan intelektual, spiritual dan
estetika yang menjadi dasar dari keberadaan komunitas.

11.Modernitasdan Titik Balik Keluarga


Masyarakat telah mengalami perubahan yang mendasar dalam berbagai aspek sejak kultur agraris
mulai dipertanyakan oleh kekuatan lain di luar dirinya. Proses industrialisasi telah menjadi
kekuatan penting yang selain memperkenalkan suatu pola organisasi produksi yang baru, juga
memaksa penyesuaian-penyesuaian nilai dan norma dalam masyarakat. Perubahan yang kemudian
terjadi secara meluas yang paling tidak dapat dilihat pada tiga tahap, yang kemudian mengubah
posisi dan relasi keluarga dalam masyarakat. Pertama, pada saat masuknya pasar ke dalam
masyarakat petani ysng mulai mempengaruhi kultur agraris, khususnya menyangkut tekanan ide
dan praktik pasar yang tidak hanya mempengarhi proses komodifikasi dari hasil-hasil pertanian (
yang mengubah produksi subsistensi dan barter ), tetapi juga telah memperluas jaringan sosial dan
orientasi masyarakat ke luar desa. Ciri-ciri local mulai bergeser sejalan dengan melebarnya batas-
batas interaksi dan batas pengetahuan penduduk. Sumber daya yang dimobilisir pada masa ini
menjadi lebih luaskarena mulai melintasi desa. Kedua, terjadinya integrasi pasar, yakni pengaruh
pasar menjadi lebih kuat seejalan dengan terikatnya penduduk ke dalam suatu tatanan yang lebih
luas ke dalam suatu ide, nilai dan praktik yang bersifat nasional. Ketiga, tahap perubahan yang
disebut sebagai ekspansi pasar, yakni suatu perubahan pusat kekuasaan ke pasar dalam penataan
sistem sosial. Orientasi tidak hanya bersifat nasional, tetapi meluas ke global dengan serangkaian
nilai dan norma baru. Sumber daya yang dapat dimobilisir jauh lebih luas, seperti modal dan SDM.
Tahap yang ketiga merupakan tahap yang kurang lebih sedang dialami di Indonesia dengan
prinsip-prinsip diferensiasi yang lebih kuat dibandingkan era totalitas. Secara umum ketiga proses
tersebut sesungguhnya tlah menegaskan suatu perubahan masyarakat yang begitu jauh bergeser
dari tatanan lama.suatu tatanan baru yang lahir tidak hanya meupakan suatu bentuk dan gaya yang
baru yang di antut masyarakat, tetapi juga suatu cara baru didalama melihat diri sendiri dan
oranglain di dalam kontek yang berbeda. Hal in terkait dengan pencairaan makna seperti yang
dikatakan Berger dan Luckmann (1991) dan Geertz(1973),yang terikat pada kelompok atau
komunitasnya. Sifat sifat komunita sini lah yang di geser dewasa ini sehingga ground untuk basis
oemaknaan tersebut menjadi hal yang bersifat broplematik.

13. Globalisasi, Redefinisi Budaya, dan Munculnya Masyarakat Terbuka.


Globalisasi telah menjadi kukuatan besar yang membutuhkan respon tepat karena ia memaksa
suatu strategi bertahan hidup ( survival strategy ) dan strategi pengumpulan kekayaan (
accumulative strategy ) bagi berbagi kelompok dan masyarakat ( Featherstone, 1991; Hannerz,
1996). Perubahan karakter masyarakat merupakan hal yang mencolok yang terjadi, khususnya
denagn melemahnya ikatan-ikatan tradisional. Pada saat yang sama individu-individu memiliki
otonomi yang lebih besar. Dalam dunia semacam ini, minat individual sedang mendapat ruang
yang lebih luas dalam berekspresi dan juga dalam proses pengambilan keputusan (Gold smith,
1998). Dalam konteks perubahan masyarakat kearah yang lebih otonom, terlepas dari sistem dan
ikatan lama, dengan pola-pola hubungan ynag longgar, suatu sistem soaial dan budaya harus
dibangun di indonesia. Pendekatan lama tidak akan efektif lagi dalam penyapaian pesan, atau apa
yang disebut Geertz sebagai pewarisan symbol, selain karena proses identifikasi sosial yang
brubah, juga karena hubungan kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat mulai berubah.
Proses Globalisasi, yang merupakan sumber realitas objektif baru, yang merupakan sumber realitas
obyektif baru, mendapatkan berbagai tanggapan oleh masyarakat yang berbeda. Hal ini tampak
dari proses perlawanan yang melahirkan suatu bentuk disintegrasi. Globalisasi sesungguhnya telah
melahirkan suatu jenis ideologi yangmenjadi dasar pembentukan, pelestarian, dan perubahan
masyarakat yang bertumpu pada proses identifikasidiri dan pembentukan perbedaan antar orang (
Doughlas& Isherwood, 1994; Abdullah, 1944). Pengaruh dari kecenderungan pembentukan
perbedaan ini dapat dilihat pada tiga diensi yang berbeda. Pertama, perbedaan tampak pada
perbedaan jenis (kuantitas) pengetahuan yang beragam dan kualitas yang bertingkat-tingkat.
Kedua, perbedaan dalam hal nilai yang terjadi secara meluas di mana perbedaan alat ukur dan
penilaian terhadap berbagai dimensi kehidupan dapat terjadi dalam ruang dan waktu yang sama
karena setiap kelompok memiliki relativitas nilainya sendiri-sendiri. Ketiga, praktiksosial
memperhatikan serta memperlihatkan tidak hanya perbedaan yang muncul secara
bersamaan.Sejalan dengan ini setiap kelompok orang semakin bebas mengekspresikan bentuk-
bentuk praktik yang berbeda engan kelompok lain sehingga totalitas menjadi tidak pentinglagi di
dalam kehidupan actual. Hal ini sejalan dengan melemahnya tata nilai dominan yang menyebabkan
perbedaan-perbedaan praktik merupakan kuatan baru dalam proses pemaknaan kehidupan itu
sendiri ( Featherstone, 1995: 312). Perbedaan ini tidak hanya melemahkan tradisi, tetapi juga
telahmenciptakan pola-pola hubungan baru yang lebih egaliter dalam berbagai ukuran. Hubunagn
antar generasi yang berubah merupakan contoh penting yang memperlihatkan berkurangnya
dominasi kaum tua dalam pembentukan tatanan sosial. Di dalam kecenderunagn global muncul
satu persoalan yang dihadapi kaum akademisi yaitu menunjukkan situs kebudayaan , tidak kalah
peliknay dari pendefenisian kebudayaan seperti yang dikatakan Raymond Williams sebagai satu
dari dua atau tiga istilah yang paling rumit ( Williams, 1998: 87). Pada apa, misalnya, kebudayaan
Minang, Jawa atau dayak ditemuakn? Persoalan ini muncul karena tiga proses yang berlangsung
yang menjadi faktor pemting dalam redefinisi kebudayaan itu sendiri. Pertama , mengaburnya
batas-batas geografis yang disebabkan oleh mobilitas penduduk. Skecenderungan ini disebabkna
oleh tidak hanya akifiras yang berlangsung melintasi batas-batas geografis, tetapi juga karena
keterikatan orang tehadap batas-batas geografis, tetapi juga karena keterikatan orang terhadao
batas fisik ( geografis) semakin melemah. Kedua, batas kebudayaan yang mulai menghilang, suatu
proses yang berlangsung akibat faktor mobilitas dan akibat proses sosiolosiasi yang berubah.
Mobilitas yang padat menyebabkan landasan budaya seseorang menjadi sangat berbeda dengan
sebelumnya sehingga “ budaya asal “ mulatidak dikenal dengan baik, kemudian proses sosialisasi
yang berlangsung menyebabkan luasnya pengetahuan budaya dan juga hilangnya loyalitas
tradisional. Kebudayaan mulai menjadi sesuatu yang “ dipilih” bukan “ diterima”. Ketiga, otonomi
individu dan kelompok yang semakin besar dan mendapatkan pengesahan sosial politik.
14. Kultur dan Subkultur Kaum Muda:
Suatu Refleksi Pemahaman Antropologi
Suatu periode sejarah yang berganti di suatu tempat tidak hanya mengubah waktu itu sendiri, tetapi
juga mengubah ruang karena perbedaan waktu merupakan penunjuk dari ciri ruang yang berbeda.
Perbedaan ini dapat dibaca melalui konsep Arjun Appadurai, baik perubahan lanskap maupun
etnskop yang memperlihatkan interaksi lingkungan fisik dan sosiokultural ( Appadurai, 1944).
Perubahan lingkungan telah menegaskan perubahan landasan dari cara kerja antropologi. Pada saat
kota-kota mulai muncul dan antropologi mulai dipertanyakan.konteks semacam ini merupakan
kondisi obyektif yang dihadaoi oleh ahli antropologi dalam setiap penelitian. Tanpa perubahan
asumsi-asumsi dasar dan definisi-definisi konsep, atau paling tidak menyadari kondisi obyektif
tersebut, para antropolog justru akan terseret ke dalam rimba modern. Demikian selera dan gaya
hidup kaum muda tidak dapat dilihat secara terpisah dari proses sosiolisasi yang dimulai pada usia
muda. Gaya hidup modern sesungguhnya dimulai di rumah (Lofgren, 1993: 10). Sejak 1980-an,
rumah Indonesia telah berisi iindividu-individu modern yang bebas dari ikatan kolektif dan
identiras tradisional. Perubahan antar generasi telah pula memberi pengaruh besar terhadap
integrasi kebudayaan subyektif ke dalam kebudayaan objektif.
Kebudayaan merupakan “ nilai yang dimiliki bersama “ ( Geertz, 1993), jika dipahami secara
meluas bahwa kebudayaan merupakan jarring-jaring makna yang dirajut oleh manusia, harus pula
dipahami bahwa tidak semua komunitas ikut merajut jarring-jaring makna tersebut. Sebagian
orang dalah penonton. Kebudayaan yang terbentuk karennanya tidak lain menjadi ideologi yang
melayani kepentingan-kepentingan tertentu. Oleh karena itu, proses dominasi dan subordinasi
akan terjadi di dalam berbagai wacana yang dibangun (Keesing, 1987). Berbagai praktik kaum
muda tersebut sesunguhnya menunjukkan suatu reaksi atau protes sosial terhadap ukuran-ukuran
baku dan nilai-nilai yang berlaku yang merupakan usaha aktif mereka menegosiasikan
idiologiyang mereka yakini dan itu berbeda dengan idieologi yang ada, karena kebudayaan
merupakan suatu ideologi, dia cenderung memarginalkan kelompok yang memiliki ideologi
berbeda. Fakta hubungan antar generasi ini justru menegaskan betapa sesungguhnya nilai-nilai di
dalam masyarakat (seperti antara satu generasi dengan generasi lainnya) tidak pernah dapat di
bagi dan menjadi milik bersama. Kaum muda telah dimarginalkan akibat proses perajutan jarring
makna yang melibatkan mereka. Analisis antropologi (interpretif) yang di dalamnya makna dari
tindakan cenderung dianalisis dalam konteks yang memiliki batas-batas budaya (cultural
boundaries), mengalami kegagalan di dalam validasinya karena tindakan-tindakan tidak selalu
terkait dengan konteks akibat proses sosial politik di dalam negosiasi kekuasaan antar generasi.
Kesulitan semacam ini menyebabkan perlunya dipahami kembali metode interpretasi itu sendiri.
Jika kita melihat sejarah pembentukan antropologi sebagai sebuah disiplin ilmu, antropologi
sangat terikat pda etnosentrisme Barat yang dengan cara ini berbagai data dikumpulkan dan
dipresentasikan dalam teks antropologi. Dalam hal ini seorang peneliti tidak berhadapan dengamn
ideologi-ideologi masyarakat yang dihadirkan dalam teks, tetapi ideologi mereka sendiri sebagai
bagian dari peradaban masyarakat Eropa telah mempengaruhi proses konstruksi sebuah teks. Hal
ini menyebabkan terjadinya mirespresentasi. Pada dasarnya kebudayaan tidak lebi dari sekadar
personal construct dari peneliti-peneliti yang mencoba meromantiskan keunikan, masa lalu, dan
berbagai ekspresi yang asli dari suatu masyarakat (Keesing, 1787).
Budaya Jalanan:
Persoalan Konsep, Makna dan Implikasi Sosial
Budaya jalanan bukanlah sekedar budaya yang tumbuh di jalan, tetapi suatu kecenderungan sistem
berfikir, nilai, dan praktik sosial yang lepas menyimpang dari budaya induknya yang dianggap
mapan. Oleh karena itu, budaya jalanan adalah budaya kita semua ketika kita lepas atau
melepaskan diri untuk menggugat hegemoni budaya general. Ekspresi kebudayaan jalanan dapat
dilihat pada tiga dimensi yakni dimensi simbolik, evaluative, dan kognitif. Dimana nilai-nilai
kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam pembentukan sub kebudayaan yang berdiri
sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-pebedaan
dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan
memunculkan praktik kehidupan yang beragam (Featerstone, 1991). Istilah “jalanan” tidak dapat
dilihat sekadar dari perpektif tempat yang menunjuk pada dimana budaya itu tumbuh dan
dikembangkan oleh kelompok atau oleh suatu sistem. Budaya jalanan harus dilihat sebagai budaya
dengan sifat-sifat yang khas yang membedakannnya dengan konteks general di mana budaya itu
menjadi bagian. Oleh karenaa itu, budaya jalanan tidak pernah ada jika budaya induknya tidak
pernah ada. Di satu sisi, budaya jalanan ini merupakan anak turunan yang tidak diharapkan
(unwanted children ) karena ia memiliki sifat-sifat yang tidak sama dengan induknya atau bahkan
dianggap secara normatif menyimpang dari budaya induknya yang dianggap baku, formal, mapan,
dan sebagainya. Oleh karena itu, budaya jalanan ini pun tidak bisahitam-putih sebagai belahan
yang lain dari budaya general. Budaya ini eksis justru karena ada budaya general sehingga harus
dipahami dalam totalitas budaya induknya. Di sisi lain, budaya jalanan merupakan sesuatu yang
eksis dan established engan sifat-sifatnya yang mandiri yang membentuk suatu sistem logika yang
bagaimanapun harus mendapatkan pengakuan. Walaupun secara normative ia tidak diakui
sebanding dan koheren, budaya ini tetap memiliki koherensi internal di dalam dirinya dan, lebih
penting lagi, ia bersifat fungsional dan memiliki karakter yang terlegimitasi secara structural.
Budaya jalanan sesungguhnya merupakan serangkaian sistem symbol yang memberikan identitas
dan kekuatan di dalam adaptasi kultural dan structural yang di lakukan oleh sekelompok orang di
suatu tempat. Symbol-simbol yang ditemukan (invented symbols) dan dibangun ( constructed
symbols ) memberikan kebanggan kelompok dan solidaritas dalam menghadapi dunia general yang
cenderung dinilai sebagai sesuatu yang unfamiliar dan bahkan represif.
Istilah “ jalanan” tidak dapat dilihat sekadar dari perspektif tempat yang menunjuk pada di mana
budaya itu tumbuh dan dikembangkan oleh kelompok atau sistem. Budaya jalanan harus dilihat
sebagai budaya dengan sifat-sifat yang khas yang membedakannya dengan konteks general dimana
budaya itu menjadi bagian. Oleh karena itu, budaya jalanan tidak pernah ada jika budaya induknya
tidak ada. Berkembangnyya budaya jalanan bukanlah hanya disebabkan oleh adanya globalisasi,
tetapi juga olehsuatu proses perubahan alami yang terjadi dari dalam kebudayaan dan masyarakat
itu sendiri. Perubahan internal dalam kebudayaan dapat pila memunculkan reaksi-reaksi yang
kemudian membentuk suatu gerakan pemisahan diri dari anggota kelompok yang merasa tidak
nyaman dalam lingkungannya akibat tatanan yang berlaku tidak kondusif bagi diri dan kelompok
tertentu. Globalisasi muncul kemudian yang berfungsi memacu dan mengintensifkan perubahan
dan terjadinya mutasi dalam kelompok yang kemudian melahirkan berbagai bentuk diferensiasi.
PENUTUP

Demikianlah isi Resuman buku “Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan” untuk


memunuhi tugas mata kuliah ISBD semoga dapat bermanfaat, serta memberi sedikit tambahan
pengetahuan bagi pembaca yang budiman. Tentu penulis sebagai manusia tidak luput dari
kesalahan, penulis meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan. Serta kritik dan saran
sangat penulis perlukan demi ke depannya agar menjadi lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai