BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Tabel 2.1. Bahan- bahan paparan pada pekerja yang paling sering
berhubungan dengan penyakit kulit (Peate, 2002).
Paparan Pekerja yang Beresiko Penyakit Kulit
2.2.1.1. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah hipersensitivitas tipe lambat, hasil dari
kontak kulit dengan alergen yang spesifik pada orang-orang yang mempunyai
sensitivitas yang spesifik terhadap alergen tersebut. Reaksi alergi tersebut
menyebabkan inflamasi pada kulit yang bermanifestasi eritema, edema, dan
vesikel (Hogan D.J, 2011).
2.2.1.2. Epidemiologi
Tercatat 31 persen kasus dermatitis kontak alergi dari seluruh kasus
dermatitis (Goh.C.L,1995). Dahulu diperkirakan bahwa kejadian dermatitis
kontak iritan akibat kerja sebanyak 80% dan dermatitis kontak akibat alergi 20%,
tetapi data terbaru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa
dermatitis kontak akibat kerja karena alergi cukup tinggi berkisar 50% dan 60%
(Sularsito dan Djuanda, 2007).
The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES)
memperkirakan prevalensi dari dermatitis kontak alergi 13,6 kasus per 1000
populasi. The National Ambulatory Medical Care Survey (1995) memperkirakan
8,4 juta pasien yang berobat ke dokter untuk dermatitis kontak.
2.2.1.3. Etiologi
Penyebab DKA adalah bahan kimia sederhana dengan berat molekul
umumnya rendah (<1000 dalton), merupakan alergen yang belum diproses,
disebut hapten, bersifat lipofilik, sangat reaktif, dapat menembus stratum korneum
sehingga mencapai sel epidermis dibawahnya (sel hidup). Berbagai faktor
berpengaruh dalam timbulnya DKA, misalnya potensi sensitisasi alergen, dosis
per unit area, luas daerah yang terkena, lama pajanan, oklusi, suhu dan
kelembapan lingkungan, vehikulum, dan pH. Juga faktor individu, misalnya
keadaan kulit pada lokasi kontak (keadaaan stratum korneum, ketebalan
epidermis), dan status imunologik (misalnya sedang menderita sakit, terpajan
sinar matahari) (Sularsito dan Djuanda, 2007).
2.3.1.4. Patogenesis
Menurut Sularsito dan Djuanda, 2007, mekanisme terjadinya kelainan
kulit pada DKA adalah mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-
mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas
tipe lambat. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase
elisitasi. Hanya individu yang telah mengalami sensitisasi dapat menderita DKA
(Sularsito dan Djuanda, 2007).
Biasanya disebabkan oleh bahan dengan berat molekul rendah yang
disebut hapten. Kelainan kulit terjadi melalui proses hipersensitivitas tipe IV atau
proses alergi tipe lambat (Gell & Coombs). Hapten bergabung dengan protein
pembawa menjadi alergen lengkap. Alergen Iengkap difagosit oleh makrofag dan
merangsang limfosit yang ada di kulit yang mengeluarkan limfosit aktivasi faktor
(LAF). Sel limfosit kemudian berdiferensiasi membentuk subset sel limfosit T
memori (sel Tdh) dan sel limfosit T helper dan sel T suppresor. Sel T memori ini
bila menerima informasi alergen yang sudah dikenal masuk ke dalam kulit, maka
sel Tdh akan mengeluarkan limfokin (faktor sitotoksis, faktor inhibisi migrasi,
faktor kemotaktik dan faktor aktivasi makrofag (SAINT-MEZARD, 2004).
2.2.1.6. Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan
klinis yang teliti. Pertanyaan mengenai kontaktan didasarkan pada kelainan kulit
dan lokasi kelainan kulit yang ditemukan. Misalnya, ada kelainan kulit berukuran
2.2.1.7. Penatalaksanaan
Tindakan pertama ialah memutuskan mata rantai kontak dengan penderita,
selanjutnya dapat diberikan pengobatan yang sesuai dengan jenis penyakitnya.
Bila kelainan kulit akut dapat diberi obat kompres, sampai eksudasi kering.
Sesudah itu dapat dilanjutkan dengan diberi salep yang mengandung
kortikosteroid. Bila ada infeksi sekunder dapat diberi antibiotika seperti tetrasiklin
atau eritromisin. Bila ada infeksi jamur diberi obat anti jamur. (Siregar,1996)
2.2.1.8. Prognosis
Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat
disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi bersamaan
dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis,
atau psoriasis), atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari, misalnya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat pada lingkungan
penderita (Sularsito dan Djuanda, 2007).
2.2.2.1. Definisi
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi peradangan kulit
nonimunologik, dengaan patofisiologi yang kompleks dan kerusakan kulit terjadi
langsung tanpa didahului proses sensitisasi. Dermatitis kontak iritan sangat
berbeda dengan dermatitis kontak alergi dari proses terjadinya (Sularsito dan
Djuanda, 2007 ; Chowdhury dan Maibach, 2007).
2.2.2.2. Epidemiologi
Dermatitis kontak iritan dapat diderita oleh semua orang dari berbagai
golongan umur, ras, dan jenis kelamin. Jumlah penderita DKI diperkirakan cukup
banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI akibat kerja), namun
dikatakan angkanya secara tepat sulit diketahui. Hal ini disebabkan antara lain
oleh banyaknya penderita dengan kelainan ringan tidak datang berobat, atau
bahkan tidak mengeluh (Sularsito dan Djuanda, 2007). Menurut Hunter (2002),
jumlah kejadian dermatitis kontak iritan melebiuhi 80% dari semua kasus
dermatitis kontak.
2.2.2.3. Etiologi
Penyakit kulit yang sering timbul akibat paparan bahan-bahan di tempat kerja
yaitu dermatitis kontak. Bahan-bahan yang menyebabkan dermatitis kontak dapat
dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3. Etiologi dermatitis kontak iritan dan gejala klinis yang ditimbulkannya
menurut Adams Robert, 1983.
Etiologi (Bahan Iritan) Gejala Klinis
Tabel 2.4. Bahan iritan yang sering menimbulkan DKI menurut Keefner, 2004 :
Asam kuat (hidroklorida, hidroflorida, asam nitrat, asam sulfat)
Detergen
Resin epoksi
Etilen oksida
Fiberglass
Minyak (lubrikan)
Pelarut-pelarut organik
Agen oksidator
Plasticizier
Serpihan kayu
2.3.2.4. Patogenesis
Kelainan kulit timbul akibat kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan
iritan melalui kerja kimiawi atau fisis. Bahan iritan merusak lapisan tanduk,
denaturasi keratin, menyingkirkan lemak lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat
air di kulit (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membrane lemak keratinosit,
tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria,
atau komponen inti. Kerusakan membran akan mengaktifkan enzim fosfolipase
yang akan merubah fosfolipid menjadi asam arakhidonat (AA), diasilgliserida
(DAG), platelet activating factor (PAF), dan inositida (IP3). AA diubah menjadi
prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi
komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat
untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktivasi sel mast melepaskan histamin, PG
dan LT lain, sehingga memperkuat perubahan vaskular (Sularsito dan Djuanda,
2007).
Rentetan kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan klasik di
tempat terjadinya kontak di kulit yang berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila
iritannya kuat. Dan apabila iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah
berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena
delipidasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya, sehingga
mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan (Sularsito dan Djuanda,
2007).
2.3.2.6. Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan pada anamnesis yang cermat dan pengamatan
gambaran klinis. DKI akut lebih mudah dikenali karena munculnya lebih cepat
sehingga penderita umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya.
Sebaliknya DKI kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran
klinis yang luas, sehingga ada kalanya sulit dibedakan dengan DKA. Untuk ini
diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai (Sularsito dan Djuanda, 2007).
2.3.2.7. Penatalaksanaan
Upaya pengobatan DKI yang terpenting adalah menghindari pajanan
bahan iritan, baik yang bersifat mekanis, fisis, maupun kimiawi, serta
menyingkirkan faktor-faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan
secara sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut akan sembuh
dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal. Kalaupun memakai obat topikal,
cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering (Sularsito dan
Djuanda, 2007).
Untuk mengatasi peradangan, dapat diberikan kortikosteroid topikal,
seperti hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan
kortikosteroid yang lebih kuat. Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat
diperlukan bagi mereka yang bekerja dengan bahan iritan, sebagai salah satu
upaya pencegahan (Sularsito dan Djuanda, 2007).
kelamin, ras, penyakit kulit yang sedang diderita, dan daerah kulit yang terpapar
(Chowdhury dan Maibach, 2004).
Pada pekerja bengkel, faktor -faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap
kesehatan kulit selain faktor suhu dan kelembaban. Bahan-bahan iritan yang
sering terpapar pada pekeja bengkel berupa minyak pelumas (oli), gas, cat, plastik,
pembersih radiator, pembersih baja, dan nikel (Adams Robert, 1983).
Keluhan gangguan kulit pada pekerja bengkel dapat berupa dermatitis
kontak iritan kumulatif. Hal ini terjadi karena kontak yang berulang-ulang dengan
bahan iritan lemah serta adanya kerjasama dengan faktor-faktor lainnya seperti
yang telah disebutkan di atas. Bahan iritan secara sendiri tidak cukup kuat
menyebabkan dermatitis kontak iritan, tetapi kuat apabila bergabung dengan
faktor tersebut (Sularsito dan Djuanda, 2007).
Pada pekerja bengkel sendiri, bahan iritan yang paling sering terpapar
adalah minyak pelumas (oli) di samping bahan-bahan iritan yang telah disebut di
atas. Minyak pelumas sendiri merupakan zat yang dipakai dalam pemeliharaan
mesin untuk melumasi mesin kendaraan bermotor, kendaraan diesel, mesin
industri, kapal, dan lain-lain. Fungsi utamanya adalah untuk melumasi dan
mengurangi gesekan, meningkatkan efisiensi, dan mengurangi keausan mesin,
sebagai pendingin mesin dari panas yang timbul akibat gesekan, dan sebagai
deterjen untuk melarutkan kotoran hasil pembakaran sehingga turut membantu
perawatan mesin (Pertamina Lubricant Guide, 2010).
Apabila pelumas terkena kulit, paparan akut berupa kerusakan kulit, iritasi,
dan rambut kulit mudah rontok karena kerusakan akar. Reaksinya diawali pada
permukaan punggung tangan, jari, kaki, dan dapat berkembang menjadi gangguan
kulit yang disebut dengan perifoliculate papules. Paparan kronik terjadi apabila
paparan yang berulang atau dalam jangka waktu yang lama (Pertamina Lubricant
Guide, 2010).
Selain pelumas, pekerja bengkel juga sering terpapar bensin yang
merupakan senyawa benzena yang digunkan bahan bakar mobil atau motor. Jika
terjadi paparan akut, bensin dapat mengiritasi kulit dan menyebabkan kulit
melepuh. Paparan berulang atau berkepanjangan (kronik) dapat menyebabkan
kulit kering akibat hilangnya lemak dari kulit, iritasi, dan dermatitis (CCOHS,
1997).
2.4.2. Papula
Papula adalah penonjolan kulit yang solid dengan diameter < 0,5 cm.
Terjadinya papula karena adanya proses:
• Infiltrat pada papilla dermis:
- Proses inflitrasi selular pada kasus lichen nitidus
- Proses non-selular pada kasus lichen amiloidosis
• Hiperplasia epidermis:
- Veruka-molluscum contagiosum
2.4.3. Plak
Plak adalah kelaianan kulit seperti papula dengan pemukaan datar dan
diameter > 0,5cm. Plak dapat terjadi karena perluasan suatu papula, tetapi juga
karena gabungan atau konfluensi dari beberapa papula, misalnya:
- Lichen simplex
- Psoriasis
2.4.4. Urtika
Penonjolan kulit dengan batas tegas, timbulnya cepat, tetapi
hilangnya juga cepat; biasanya berwana kemerahan dan pucat di bagian
tengah,sering terdapat pseudopodia (kaki semu). Urtika timbul disebabkan karena
adanya edema interselular yang biasanya merupakan kelanjutan dari
meningkatnya permeabilitas kapiler dan hampir tidak pernah dijumpai adanya
infiltrat radang. Biasanya urtika timbul akibat adanya reaksi alergi, atau reaksi
hipersensitifitas. Urtika yang timbul di jaringan yang longgar, seperti dikelopak
mata, bibir, dan scrotum biasanya berukuran besar (luas) dan dinamakan
angioedema.
2.4.5. Vesikel
Vesikel merupakan gelembung berisi cairan sebum, beratap, berukuran
kurang dari 0,5 cm, dan memmpunyai dasar, vesikel berisi darah disebut vesikel
hemoragik.
2.4.6. Kista
Kista merupakan ruangan berdinding dan berisi cairan, sel, maupun sisa
sel. Kista terbentuk bukan akibat peradangan, walaupun kemudian dapat
meradang. Dinding kista merupakan selaput yang terdiri atas jaringan ikat yang
dilapisi oleh sel epitel dan endotel. Kista terbentuk dari kelenjar yang melebar dan
tertutup, saluran kelenjar, pembuluh darah, saluran getah bening, atau lapisan
epidermis.
2.4.7. Abses
Abses merupakan kumpulan nanah dalam jaringan, bila mengenai kulit
berate di dalam kutis atau subkutis. Abses biasanya terbentuk terbentuk dari
infiltrate radang. Sel dan jaringan yang hancur membentuk nanah.
2.4.8. Nodus
Nodus merupakan massa subkutan padat sirkumskrip terletak dikutan atau
subkutan, dapat menonjol, jika diameter lebih dari 1 cm disebut nodulus.
2.4.9. Tumor
Tumor istilah untuk benjolan yang berdasarkan pertumbuhan sel maupun jaringan
2.4.10. Sikatriks
Sikartriks terdiri atas jaringan tak utuh, relief kulit tidak normal,
permukaan kulit licin dan tidak terdapat adneksa kulit. Sikatriks dapat atrofi, kulit
mencekung dan dapat hipertropik, yang sacara klinis terlihat menonjol karena
kelebihan jaringan ikat.Bila sikatriks hipertrofik menjadi patologik, pertumbuhan
melampaui batas luka disebut keloid.
2.4.11. Anetoderma
Anetoderma bila kutis kehilangan elastsitas tanpa perubahan berarti pada
bagian kulit yang lain, dapat dilihat bagian-bagian yang lain ditekan dengan jari
seakan-akan berlubang.
2.4.12. Erosi
Erosi merupakan kelainan kulit yang disebabkan kehilangan jaringan yang
tidak melampaui stratum basal.
2.4.13. Ekskoriasi
Jika garukan lebih dalam lagi sehingga tergores sampai ujung papil, maka
akan terlihat darah yang keluar selain serum. Kelainan kulit disebabkan oleh
jaringan sampai stratum papilare disebut ekskoriasis.
2.4.14. Ulkus
Ulkus adalah hilangnya jaringan yang lebih dalam dari ekskoriasis. Ulkus
dengan demikian mempunyai tepi, dinding, dasar, dan isi. Termasuk erosi atau
ekskoriasis dengan bentuk liniar ialah fisura atau rhagades, yakni belahan kulit
yang terjadi oleh tarikan jaringan disekitarnya.
2.4.15. Skuama
Skuama adalah lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama
dapat halus sebagai taburan tepung, maupun lapisan tebal dan luas sebagai
lembara kertas.
2.4.16. Krusta
Krusta adalah cairan badan yang mengering yang dapat bercampur dengan
jaringan nekrotik maupun benda asing (kotoran, obat, dan sebagainya).