Anda di halaman 1dari 5

HUKUM WAKAF DAN KETENTUAN-KETENTUAN NYA

HUKUM WAKAF DAN KETENTUAN-KETENTUAN NYA

Apa Yang Dimaksud Dengan Wakaf?

Menurut bahasa Arab (literal), kata "al-waqaf" bermakna "al-habsu" (menahan).[1] Bentuk mutaradif
(sinonim) dari kata "waqaf" adalah tahbiis dan tasbiil.[2]

Sedangkan menurut syariat, "al-waqaf" adalah menahan benda yang menjadi milik pewaqaf dan
menyedekahkan kemanfaatannya di jalan Allah[3]. Menurut Abu Yusuf dan Mohammad, wakaf adalah
menahan benda agar tidak bisa dimiliki , dan agar manfaatnya bisa disedekahkan. Oleh karena itu,
kepemilikan benda tersebut beralih kepada kepemilikan Allah.[4]

Menurut 'ulama-ulama Syafi'iyyah, waqaf dalam konteks syariah adalah menahan harta yang mungkin
bisa dimanfaatkan selama bendanya masih langgeng (awet) dengan cara memutuskan hak kepemilikan
atas harta tersebut, dan dialihkan untuk kepentingan-kepentingan yang dibolehkan.[5]

Apa Status Hukum Wakaf?

Hukum wakaf adalah sunnah (mandub); dan ia termasuk sarana mendekatkan diri kepada Allah
swt yang sangat disukai dan dianjurkan di dalam Islam[6]. Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy menuturkan
sebuah riwayat, bahwasanya menurut Imam Asy Syafi’iy, waqaf merupakan kekhususan bagi umat
Islam, dan belum pernah dikenal pada masa jahiliyyah. [Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalaniy, Fath al-Baariy,
juz 8/350]

Apa Dasar Hukum Penetapan Wakaf Di Dalam Islam?

Menurut Ibnu Hajar al-Asqalaniy[7], asal pensyariatan waqaf didasarkan pada hadits riwayat Ibnu
Umar ra tentang kisah waqafnya Umar bin Khaththab ra:

ْ َ ‫ع َم َْر أ‬
‫ن‬ َّ ‫اب الخ‬
ُ َْ‫َطابْ بن‬ َ َ ‫ي فَأَت َى بخَي َب َْر أَرضًا أ‬
َْ ‫ص‬ َّْ ‫صلَّى النَّب‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ َْم‬
َّْ ْ‫علَيه‬ َ ‫ل في َها َيست َأم ُرْهُ َو‬ َْ ‫ل َيا فَقَا‬
َْ ‫سو‬ ُ ‫ّللا َر‬َّْ ‫صبتُْ إني‬ َ َ ‫أُصبْ لَمْ بخَي َب َْر أَرضًا أ‬
ًْ ‫َس قَطْ َم‬
‫ال‬ َ
َْ ‫ل بهْ ت َأ ُم ُْر فَ َما من ْهُ عندي أنف‬ َ
َْ ‫صدَّقتَْ أصلَ َها َحبَستَْ شئتَْ إنْ قَا‬ َ َ ‫ل ب َها َوت‬ َْ ‫صدَّقَْ قَا‬
َ َ ‫ع َم ُْر ب َها فَت‬ َ
ُ ُ‫ل أنَّ ْه‬
َْ ‫ع‬ َْ ‫ل يُوهَبُْ َو‬
ُْ ‫ل يُبَا‬ ُْ ‫ُور‬
َْ ‫ث َو‬ َ ‫ي‬
َْ‫صدَّق‬ َ َ ُ ُ
َ ‫سبيلْ َوفي الرقابْ َوفي القربَى َوفي الفق َراءْ في ب َها َوت‬ َ َ ‫ّللا‬
َّْ ْ‫ل َوالضَّيفْ السَّبيلْ َوابن‬ ْ ‫ح‬َ َْ ‫على ُجنَا‬ َ َ ْ‫ل أنْ َوليَ َها َمن‬َ ُ
َْ ‫بال َمع ُروفْ من َها يَأك‬
‫ُمت َ َمولْ غَي َْر َويُطع َْم‬
"Sesungguhnya Umar ra pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu, beliau mendatangi Nabi
saw dan meminta nasehat mengenai tanah itu, seraya berkata, "Ya Rasulullah, saya mendapatkan
sebidang tanah di Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu".
Nabi saw pun bersabda, "Jika engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan bersedekahlah dengan
buahnya. Ibnu Umar berkata, "Maka bersedekahlah Umar dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak
dijual, dihadiahkan, dan diwariskan. Dan Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para
kerabat, para budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil , dan para tamu. Pengurusnya
boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan memberikannya kepada temannya tanpa
meminta harganya..." [HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Ketika menjelaskan hadits di atas, Imam Ibnu Hajar menuturkan sebuah riwayat dari Imam Ahmad
bahwasanya Ibnu Umar berkata, ”Waqaf pertama kali di dalam Islam adalah sedekahnya (waqafnya)
Umar”. Riwayat ini diperkuat oleh hadits yang dituturkan dari ’Amru bin Sa’ad bin Mu’adz, bahwasanya
ia berkata, ”Kami bertanya tentang waqaf pertama kali di dalam Islam. Kaum Muhajirin menjawab,
”Waqafnya Umar”. Sedangkan kaum Anshor menjawab, ”Waqafnya Rasulullah saw”.[8]

Pensyariatan waqaf juga disandarkan para sebuah hadits yang dituturkan Abu Hurairah ra, bahwa
Rasulullah saw bersabda:

‫سانُْ َماتَْ إذَا‬ َ ُ‫ع َملُ ْه‬


َ َ‫عن ْهُ انق‬
َ ‫ط َْع اْلن‬ َّْ ‫ل ث َ ََلثَةْ منْ إ‬
َ ‫ل‬ َ ْ‫صالحْ َولَدْ أَوْ بهْ يُنتَفَ ُْع علمْ أَوْ َجاريَة‬
َّْ ‫ص َدقَةْ منْ إ‬ َ ‫لَ ْه ُ يَدعُو‬

"Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya, kecuali tiga hal;
sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang selalu mendoakannya."[HR. Muslim, Imam
Abu Dawud, dan Nasa'iy]

Imam Ibnu Katsir mengatakan,"Pada hakekatnya, tiga amal perbuatan ini termasuk usaha dan
perbuatannya sendiri; seperti yang telah disebutkan di dalam sebuah hadits shahih, "Sesungguhnya,
rejeki yang paling baik adalah apa yang dimakan seorang laki-laki dari hasil usahanya sendiri; dan
anaknya termasuk hasil usahanya." Sedekah jariyah, seperti wakaf dan lain sebagainya, merupakan
bekas-bekas amal perbuatannya dan peninggalannya. Allah swt berfirman, "Sesungguhnya Kami
menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas
yang mereka tinggalkan"[TQS. Yaasiin (36) :12]. Ilmu yang ia sebarkan ke tengah-tengah manusia,
kemudian diikuti oleh manusia setelah kematiannya; ini juga merupakan usaha dan amal perbuatannya.
Telah disebutkan dalam hadits shahih, bahwa Rasulullah saw bersabda,"Siapa saja yang mengajak
kepada petunjuk, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikuti
petunjuk itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun."[9]

Imam Nawawiy, dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan hadits di atas sebagai berikut:

"Para ulama menyatakan, bahwa amal perbuatan orang yang telah meninggal dunia terputus
dengan kematiannya, kecuali tiga hal ini. Sebab, tiga perkara tersebut berasal dari usaha orang yang
telah meninggal itu sendiri. Sesungguhnya, anak shaleh termasuk hasil usahanya; demikian pula dengan
ilmunya yang terus diajarkan atau dikaji setelah kematiannya, dan sedekah jariyah, yakni wakaf.. Pahala
doa akan sampai kepada orang yang mati, demikian juga sedekah."[10]

Menurut Imam Mubarakfuriy dalam Tuhfat al-Ahwadziy ; yang dimaksud dengan terputusnya
amal seseorang, adalah terputusnya ganjaran dan pahala dari amal perbuatannya, kecuali tiga perkara.
Pahala dari tiga perkara ini tidak akan terputus; yakni sedekah jariyah yang berujud wakaf dan sedekah-
sedekah yang tidak hilang manfaatnya; ilmu pengetahuan yang ditinggalkannya; dan anak sholeh yang
selalu mendoakan dirinya. Menurut Ibnu Malik anak di sini ditaqyid (dibatasi) dengan anak sholeh.
Sebab, pahala tidak akan didapatkan dari anak yang tidak sholeh.[11]

Imam al-Sanadiy dalam Syarah Sunan al-Nasaiy mengatakan; maksud terputusnya amal di sini
adalah terputusnya pahala dari seluruh perbuatannya, kecuali pada tiga perbuatan. Ada sebagian ulama
yang berpendapat, bahwa bentuk semacam ini adalah pengecualian yang dikaitkan dengan mafhum.
Artinya, seluruh amal perbuatan anak Adam terputus kecuali tiga amal perbuatan tersebut.[12]

Al-Hafidz al-Suyuthiy mengatakan," Syaikh Waliy al-Diin berpendapat, bahwa pahala dari tiga
perkara ini tetaplah mengalir setelah kematian seseorang, dikarenakan adanya buah perbuatan mereka
setelah dirinya meninggal, persis seperti ketika ia hidup di dunia. Adapun yang dimaksud dengan
sedekah jariyah di sini adalah wakaf. Menurut Qadliy 'Iyadl, amal perbuatan seseorang terputus
berbarengan dengan kematiannya. Akan tetapi, selama orang tersebut menjadi sebab atau yang
mengusahakan tiga perkara ini, yakni memiliki anak sholeh, dan ilmunya tetap disebarkan di tengah-
tengah manusia, atau ia memiliki karangan yang tetap digunakan setelah kematiannya, atau melakukan
sedekah jariyah, maka pahalanya akan tetap mengalir selama ketiga hal itu masih ada."[13]

Dalam kitab 'Aun Ma'bud disebutkan, bahwa faedah atau pahala baru amal perbuatan seseorang
telah terputus kecuali, pahala dari tiga hal Pahala dari tiga hal ini -- sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak sholeh--, akan tetap mengalir.[14]

Senada pengertiannya dengan hadits di atas, Imam Ibnu Majah juga meriwayatkan sebuah hadits
bahwasanya Rasulullah saw bersabda;

ْ‫ق م َّما إ َّن‬


ُْ ‫ع َملهْ منْ ال ُمؤمنَْ يَل َح‬ َ ْ‫سنَاته‬ َ ‫علَّ َم ْه ُ عل ًما َموتهْ بَع َْد َو َح‬ َ ُ‫السَّبيلْ لبنْ بَيتًا أَوْ بَنَاْهُ َمسجدًا أَوْ َو َّرث َ ْهُ َو ُمص َحفًا ت ََر َك ْه‬
َ ُ‫صال ًحا َو َولَ ًْدا َونَش ََرْه‬
ُ‫ص َدقَ ْةً أَوْ أَج َراْهُ نَه ًرا أَوْ بَنَاْه‬
َ ‫َموتهْ بَعدْ منْ يَل َحقُ ْه ُ َو َحيَاتهْ صحَّتهْ في َمالهْ منْ أَخ َر َج َها‬

”Sesungguhnya, diantara perbuatan dan kebaikan-kebaikan yang akan mengikuti seorang Mukmin
setelah kematiannya adalah, ilmu yang disebarkannya, anak shaleh yang ditinggalkannya, mushhaf yang
diwariskannya, masjid yang didirikannya, rumah yang didirikannya untuk ibnus sabil, sungai yang
dialirkannya, atau sedekah yang dikeluarkan dari hartanya sewaktu sehatnya dan hidupnya; semuanya
akan mengikutinya setelah kematiannya”.[HR. Ibnu Majah]

Hadits lain yang menunjukkan bahwa waqaf termasuk sunnah Nabi saw adalah hadits yang
dituturkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata;
ْ‫ل أ َ َم َر‬
ُْ ‫سو‬ َّْ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللا َر‬ َ ُ‫ّللا‬ َّْ ْ‫علَيه‬ َ ‫سلَّ َْم‬
َ ‫ص َدقَةْ َو‬
َّ ‫ل بال‬ َْ ‫َّاس ال َوليدْ بنُْ َوخَال ُْد َجميلْ ابنُْ َمنَ َْع فَقي‬ُْ ‫عب‬ َ ‫عبدْ بنُْ َو‬ َ ْ‫طلب‬ َّ ‫ل ال ُم‬ َْ ‫صلَّى النَّبيْ فَقَا‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ َْم‬
َّْ ْ‫علَيه‬ َ ‫َو‬
‫ل َجميلْ ابنُْ يَنق ُْم َما‬ َّْ ‫يرا كَانَْ أَنَّ ْهُ إ‬ ً ‫ّللاُ فَأَغنَاْهُ فَق‬
َّْ ُ ‫س قَدْ خَالدًا ت َظل ُمونَْ فَإنَّ ُكمْ خَالدْ َوأ َ َّما َو َرسُولُ ْه‬ َ ‫سبيلْ في َوأَعت ُ َدْهُ أَد َرا‬
َْ َ‫ع ْه ُ احتَب‬ َ ‫ّللا‬
َّْ

"Rasulullah saw telah memerintahkan para shahabat untuk membayar zakat. Lalu, dikatakan
bahwasanya Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan 'Abbas bin 'Abdul Muthalib ra menolak membayar zakat.
Nabi saw pun bersabda, "Tidaklah Ibnu Jamil menolak (membayar zakat) kecuali karena ia adalah fakir.
Lalu, Allah swt dan RasulNya mengayakan dirinya. Adapun Khalid; sesungguhnya kalian telah
mendzalimi Khalid. Sungguh, Khalid telah menahan (mewaqafkan) baju besinya, dan menyediakannya
untuk berperang di jalan Allah……"[HR. Bukhari dan Muslim]

Apa Perbedaan Antara Zakat Dengan Wakaf?

Dari sisi hukumnya, zakat berhukum wajib sedangkan waqaf berhukum sunnah (mandub).

Orang yang diberi harta zakat, maka ia berhak atas kepemilikan benda dan manfaatnya sekaligus. Fakir
miskin, ketika mendapatkan seekor kambing zakat misalnya, maka ia berhak memiliki kambing itu, dan
semua manfaat dari kambing tersebut. Sedangkan pada kasus waqaf; penerima waqaf hanya berhak
mengambil manfaat dan guna dari harta waqaf, dan ia tidak berhak memiliki atau menghabiskan harta
waqafnya. Pada waqaf hewan ternak, misalnya waqaf kambing, maka penerima waqaf hanya berhak
mengambil air susunya, atau manfaat dari kambing tersebut; sedangkan kambingnya tidak berhak ia
miliki.

Zakat hanya diperuntukkan bagi 8 golongan yang telah disebutkan di dalam al-Quran. Sedangkan waqaf
diperuntukkan tidak hanya bagi 8 golongan itu saja.

Pada harta zakat tertentu disyaratkan adanya haul dan nishab. Adapun pada waqaf, tidak ada syarat
haul dan nishab.

Jumlah zakat yang harus dikeluarkan dari harta-harta yang wajib dizakati telah ditentukan; misalnya,
zakat emas dan perak sebesar 1/40, dan lain sebagainya. Dalam kasus waqaf, tidak ada ketentuan
spesifik mengenai jumlah harta yang meski diwaqafkan.

Khatimah

Wakaf adalah sunnah Nabi saw dan generasi salafush shalih. Di dalamnya terkandung manfaat yang
sangat besar, baik bagi waaqif, naadzir (pengurus waqaf), maupun orang-orang yang menerima dan
berhak memanfaatkan waqaf.
Bagi waaqif, wakaf adalah investasi berharga di akherat kelak. Pasalnya, ketika banyak orang sudah
tidak memiliki lagi "penghasilan akherat" akibat kematiannya, waaqif akan tetap mendapatkan aliran
"penghasilan itu" sampai hari kiamat. Tentunya, hal ini merupakan kesuksesan luar biasa!

Waqaf juga menunjukkan kesempurnaan kebaikan seseorang. Jika kebaikan telah ada pada diri
seseorang, niscaya hidupnya akan selalu dilimpahi kemudahan dan keberkahan dari Allah swt. Lantas, di
saat kita masih diberi kesempatan hidup dan kelebihan harta oleh Allah, mengapa kita tidak bergegas
untuk mewaqafkan harta kita di jalan Allah?

Anda mungkin juga menyukai