Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS

MORBUS HANSEN/ LEPRA/ KUSTA

Amelia DNS

Bagian/Smf Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin

Fk Unizar/ RSUP NTB

PENDAHULUAN

Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban

Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India.[3] Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
[4]
memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.

Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu

dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia,

seperti India dan Vietnam.

Kusta berasal dari kata kustha di bahasa Sansekerta, yang berarti kumpulan gejala-gejala

kulit secara umum. Penderita Kusta sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum

Masehi. Namun, kuman penyebab penyakit Kusta, yakni Mycobacterium leprae, ditemukan

pertama kali oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873, maka dari itu

Kusta ini dikenal juga dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu kuman penyebab

kusta tersebut.

Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian tersebar melalui

perpindahan penduduk di beberapa belahan dunia, penyebaran penyakit tersebut umumnya


dibawa oleh para pedagang yang melintasi batas negara. Sedangkan Kusta masuk ke Indonesia

ini melalui para pedagang dan penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang India.

DEFINISI

Kusta/ Lepra/ Penyakit Morbus Hansen, Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi

kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.[1] Penyakit ini adalah tipe penyakit

granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit

adalah tanda yang bisa diamati dari luar.[2] Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,

menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.

ETIOLOGI

Kusta yang merupakan penyakit kronis ini disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae

(M.leprae). Kuman ini adalah kuman aerob, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 μ, lebar 0,2 –

0,5 μ, sifatnya tahan asam sehingga tidak mudah untuk diwarnai. M.leprae biasanya

berkelompok dan ada pula yang tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel terutama jaringan

yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.

Masa belah diri kuman kusta ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan

dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Sehingga masa tunas pun menjadi lama, yaitu sekitar 2–5

tahun.

Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang

kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan
juga testis, kecuali susunan saraf pusat. Kusta yang merupakan penyakit menahun ini dalam

jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana

mestinya.

Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat aerob yang tidak

membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan baik, segera setelah diwarnai

mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan basil

“cepat asam” (Brooks, 453:2005). Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra.

Kuman ini berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar

morfologik, biokimia, antigenik, dan kemiripan genetik dengan mikobakterium lainnya

(Isselbacher, 808:1999).

Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk

pecah – pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan bentuk clumps.

Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya

biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah – pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian

atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan

seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana

beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok –

kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 – 60 BTA sedangkan kelompok

besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa

bentuk granular membentuk pulau – pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA (Wahyuni,

4-5:2009).
EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah

pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah

pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan

dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak

dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara dengan jumlah rata-

rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64 per 10.000 jumlah

penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175

(WHO). Pada Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr. SOEBANDI, Jember dari tahun 1999 sampai

tahun 2001 didapatkan jumlah pasien sebanyak 140 penderita, dengan 74 pasien dengan tipe

multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler (Erlan. J.S. et all, 21:2003).

Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena

faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi

lingkungannya ternyata perbedaan distribusi dapat terjadi karena faktor etnik

Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma

dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama:

kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau

India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak

menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu (Depkes RI, 8:2006).

Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal

ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka
kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara tersebut

ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta

impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial

ekonomi yang tinggi (Depkes RI, 8:2006).

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur berdasarkan

prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, kaena pada saat timbulnya penyakit sangat

sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat timbulnya

penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data

umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta

diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih

dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif (Depkes RI,

8:2006).

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar negara di

dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang

dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena

faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya, laki-laki

lebih banyak terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 8:2006).

FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN TERJADINYA PENYAKIT KUSTA

a. Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan

walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang

tidak mempunyai kelenjar thymus (Depkes RI, 9:2006).

b. Cara Keluar dari Pejamu (Host)

Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung

dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10.

Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan

sumber kuman yang terpenting dalam lingkungan (Depkes RI, 9:2006).

c. Cara Penularan

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga

bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh

penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara

penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang

lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak

menjadi sumber penularan bagi orang lain (Depkes RI, 10:2006).

d. Cara Masuk ke Pejamu

Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat

dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan

melalui kontak kulit yang tidak utuh (Depkes RI, 10:2006).

e. Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini

disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem

kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas,

menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis

penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe

penyakit yang berkembang setelah infeksi (Depkes RI, 10:2009).

Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat

ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang

dapat menjadi sakit (Depkes RI, 10:2006).

PATOGENESIS

Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell)

dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung

pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC

pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada

permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28.

Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1

dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni,

6:2009).

Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag(

fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan C3 melalui

reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain
itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan

melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil

yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan

growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus

diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang

makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk

granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).

Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL

4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan

IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 7:2009).

Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak

teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid

Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan

pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 7:2009).

APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan

melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling

efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk

tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk

bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya

peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator

CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan

yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu –
satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 –

TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein.

TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni,

8:2009).

PATOGENESIS KERUSAKAN SARAF PADA PASIEN KUSTA

M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang

akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC

kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan

Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat

glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan

merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak

lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan

saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi.

Sel schwann merupakan APC non professional (Wahyuni, 8:2009).

PATOGENESIS REAKSI KUSTA

Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang

dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe

reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering

disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type

Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan

berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang
cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi

pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada

respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous (

penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009).

Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III.

Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada

pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan

mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan

merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel

(Wahyuni, 8:2009).

GAMBARAN KLINIS

Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat

berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit

kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa

kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.

Gambar.......
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:

1. Tipe Tuberkuloid (TT)

Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat

berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang

regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan

dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer

yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan

tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.

2. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering

disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran

hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak

seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer

yang menebal.

3. Tipe Mid Borderline (BB)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang

dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat

mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi

hipopigmentasi dengan bagian tengah oval dan berbatas jelas.

4. Tipe Borderline Lepromatosus (BL)


Secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit dan dengan cepat menyebar ke

seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang

hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah

sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.

Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.

5. Tipe Lepromatous Leprosy

Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,

berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.

Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;

sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan

ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga

menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar

limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas

menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf

perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan

otot tangan dan kaki.

Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling

Sifat Lepromatous Borderline Mid Borderline

Leprosy (LL) Lepromatous (BL) (BB)

Lesi

Bentuk Makula, Infiltrat Makula, Plakat, Plakat, Dome


Difus, Papul, Nodul Papul Shaped (Kubah),

Punched Out

Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling,

tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya berupa

makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di

bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula

hipostesia atau sedikit penebalan saraf.

Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu

primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk
sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit,

mukosa traktus respiratorius atas, tulang – tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi

sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama

karena kerusakan saraf.

Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior

kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot

interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung jari

bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,

telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis

lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan

gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari atau pergelangan tangan. Pada N.

Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung

(foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki,

claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah

cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta

servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada

N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia

pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan

oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau

seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian –

bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar

palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous

dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi

granuloma pada tubulus seminiferus testis.

Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan adanya

nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk

plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape

resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan

sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang dorman aktif

kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis maupun lama

pemberiannya.

Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu

tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin makulopapular skin

lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan

berat.

Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ

tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.

Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan

nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang

nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan
nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil

M.leprae di endotel kapiler.

Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan

meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu tetapi

bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.

PEMERIKSAAN PASIEN

Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus

diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat

– alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing –

masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada

tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara

menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat membantu, tetapi bagi

penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.

Pemeriksaan Saraf Tepi

Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.

Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N.

Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi

dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran

reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak

(Daili, 21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh

sedangkan tipe tuberkoloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.


Untuk mendapat kesan saraf mana yang mulai menebal atau sudah menebal dan saraf

mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak (Daili, 21:2003).

Cara pemeriksaan saraf tepi

Aurukularis magnus. Pasien disuruh menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka

saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa

terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf

tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan

menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri

dan yang kanan (Daili, 21:2003).

N. Ulnaris. Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya

diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di

bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu

dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat adanya perbeedaan atau tidak

(Daili, 22:2003).
N. Paroneus lateralis. Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di

sebelah lateral dari capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Daili, 22:2003).

Tes Fungsi Saraf

Tes Sensoris. Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.

Rasa Raba. Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan

rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada

waktu dilakukan duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas

menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus

menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata

terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya

ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada

kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya (Daili, 22:2003).

Rasa Nyeri. Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang

tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana

yang tajam dan mana yang tumpul (Daili, 22:2003).

Rasa Suhu. Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas

(sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau

menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit

yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut

pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut

terganggu (Daili, 22:2003).


Tes Otonom. Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,

pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis.

Tes dengan pensil tinta. Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang

dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.

Tes pilokarpin. Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan pilokarpin

subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah lesi

tetap kering.

Tes Motoris (Voluntary muscle test)

Cara memeriksa: Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:

Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari telunjuk,

jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari kelingkingnya. Jika

pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari kelingking dan jari

manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik

kertas tersebut perlahan untuk mengetahui ketahanan ototnya.

Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien mengangkat ibu

jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus.

Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada bagian telapaknya.

Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan tangan

ke belakang. Uji kekuatan otot dengan mencoba menahan gerakan tersebut.


Periksa fungsi saraf eroneus communis dengan meminta pasien melakukan gerakan fleksi pada

pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan

ototnya dengan mencoba untuk menahan gerakan tersebut.

PEMERIKSAAN BAKTERIOSKOPIS

Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa

hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama – tama harus

ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu

menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin

sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang

paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa

mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping

telinga didapati banyak M.leprae.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan

dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA

dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

2+Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

3+Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP

4+Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP


5+Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP

6+Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan

non solid.

IM= Jumlah solidx 100 %

Jumlah solid + Non solid

Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak

perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai

10.000lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGIS

Pemeriksaan histopatologi, gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan

kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe

lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah

langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow

dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.

Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan

sebagai alat pengangkut penyebarluasan.

PEMERIKSAAN SEROLOGIS
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan

alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada

tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA

(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.

PEMERIKSAAN LEPROMIN

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak

untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae.

O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian

dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi

Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi

terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada

tuberkolosis.

Reaksi Mitsuda bernilai :

0 Papul berdiameter 3 mm atau kurang

+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm

+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm

+ 3 papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi

DIAGNOSIS
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang

hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan

tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:

1.Bercak kulit yang mati rasa

Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka akan

didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi (plak).

Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa

nyeri.

2.Penebalan saraf tepi

Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf

yang terkena, yaitu:

a. Gangguan fungsi sensoris: hipostesi atau anestesi

b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis


c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang

terganggu.

3.Ditemukan kuman tahan asam

Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada bagian yang

aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda

kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka

kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta

dapat ditegakkan atau disingkirkan.

DIAGNOSIS BANDING

Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor, Ptiriasis

alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak,

Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis

dll. Pada lesi saraf, Amyloidosis, diabetes, trachoma dll.

Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel

melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang

dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis

neurohumoral, hipotesis autotoksik dan pajanan terhadap bahan kimia.

Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan

hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka
diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol.

Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit.

Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon transmitter

saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan

diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin.

Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan

fenol pada detergen.

Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering

terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan

hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris.

Mukosa jarang terkena, kadang – kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan

ginggiva.

Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga

yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental

adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang

hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial

adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan stadium

awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu

pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan

vitiligo total.

Ptiriasis versikolor,disebabkan oleh Malaize furfur. Patogenesisnya adalah terdpat flora

normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau
Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua

yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun

penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.

Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh

Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek

sitotoksik terhadap melanin.

Gejala klinis Ptiriasis versikolor, kelainannya sangat superfisialis, bercak berwarna –

warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan

menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang,

dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).

Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) . Gejala

klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir,

daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak

terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.

Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan

konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku –

siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat

gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi

virus.

Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengan adanya

bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis – lapis dan transparan
disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaruh

terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang

meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di

bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat

konfluen.

Akne Vulgaris, penyakit peradangan menahun folikel pilosebaseayang umumnya pada

remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari

berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif

tersebut, baik jaringan parut yang hipotropik maupun yang hipertopik.

Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang

terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala

ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan

saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari – jari tangan,

maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.

Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis, mual,

muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi

dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.

Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin (

vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly

neuropathy dan demensia.

PENGOBATAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden

penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, untuk

mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan

pengobatan penderita.

Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu mengahalangi atau

menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-

aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.

Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit

kepala, dan vertigo.

Lamprene atauClofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta.

Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek

sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali

normal bila obat tersebut dihentikan, diare, nyeri lambung.

Rifampicin, bakteriosid yaitu membunuh kuman. Rifampicin bekerja dengan cara

menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit

beta. Efek sampingnya adalah hepatotoksik, dan nefrotoksik.

Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk

penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan

bersisisk (ichtyosis). Ofloxacin dan Minosiklin untuk penderita kusta tipe PB I.

Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh

WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:


1. Pausi Basiler (PB)

2. Multi Basiler (MB)

Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment. Kegunaan MDT untuk

mengatasi resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita

dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat

mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.

Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI).PB dengan lesi tunggal

diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung

RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di

berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan

PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-

5).
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.

Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum

obat.

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan.

Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu

berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama

2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

Rifampicin Dapson Lamprene

Dewasa 600 mg/bulan diminum di depan 100 mg/hari 300 mg/bulan diminum di

petugas kesehatan diminum di depan petugas kesehatan

rumah dilanjutkan dgn 50 mg/hari

diminum di rumah
Rifampicin Dapson

Dewasa 600 mg/bulan 100 mg/hr diminum di rumah

Diminum di depan petugas kesehatan

Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka

dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw

toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip

pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif,

pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat

penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan MDT (obat

kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative,

MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan

pemberian obat-obat kortikosteroid misalnya prednison.Obat-obat anti reaksi,Aspirin dengan

dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari,

Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling

dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide

juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan

sampai mencapai 50 mg/hari.

Pemberian Kortikosteroid,dimulai dengan dosis tinggi atau sedang.Digunakan prednison

atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga

diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon

maksimal.

PENGOBATAN KUSTA UNTUK SITUASI KHUSUS

Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert committe

pada tahun 1997 mempunyai regimen untuk situasi khusus, yaitu:

a.Penderita tidak dapat diobati dengan rifampisin


Penyebabnya mungkin alergi, gangguan pada fungsi hepar, ada penyakit penyerta atau

resisten terhadap obat ini. Regimen untuk penderita ini, adalah:

Lama Pengobatan Jenis Obat Dosis

6 Bulan Klofazimin 50 mg/hari

Ofloksasin 400 mg/hari

Minosiklin 100 mg.hari

Diikuti dengan 18 bulan Klofazimin dengan 50 mg/hari

Ofloksasin atau
400 mg/hari

Minosiklin
100 mg/hari

Pada tahun 1994 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy menyatakan

klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di atas.

b.Penderita yang menolak kofazimin

Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu klofazimin

pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin

100 mg/hari selama 12 bulan.

Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga regimen

MDT-MB alternatis selama 24 bulan:

-. Rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan,


-. Ofloksasin 400 mg/bulan selama 24 bulan, dan

-. Minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan

c.Penderita yang tidak dapat diobati dengan DDS

Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun MB, obat

ini harus dihentikan.

Regimen pengganti DDS berikut diberikan selama 6 bulan dengan cara:

Rifampisin Klofazimin

Dewasa 600 mg/bln 50 mg/hari dan 300 mg/bulan

Anak-anak 450 mg/bln 50 mg/hari dan 150 mg/bulan

KOMPLIKASI

Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik

sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering

terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus

difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus

dan menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder.


PROGNOSIS

Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen dari

gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli

seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan

rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi

komplikasi
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI PASIEN

NAMA : Suhaimi

UMUR : 35 tahun

JENIS KELAMIN : laki-laki

ALAMAT : Kediri

TANGGAL PEMERIKSAAN : 7 Juni 2012

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama : bercak putih pada kulit

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengeluh bercak putih pada kulit sejak 2 bulan yang lalu awalnyaterdapat

bercak kemerahan kecil di daerah lengan kanan bawah semakin lama semakin

membesar dan meluas dan menyebar ke lengan atas, dada, perut, punggung, wajah

dan lutut.

Pasien tidak mengeluh gatal ataupun nyeri pada bercak-bercak tsb, pasien mengeluh

terasa tebal pada bercak-bercak tsb. Pasien merasakan tebal tapi tidak terlalu jelas

dengan daerah kulit normal yang dirasakan. Pasien mengatakan bila terbentur sesuatu

terasa lebih sakit dari pada sebelum pasien muncul bercak-bercak ini. Pada malam

hari pasien merasakan kulit seperti di tarik-tarik. Pasien menyangkal adanya rontok

bulu mata, alis, dan demam.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat asma, kencing manis,

darah tinggi di sangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien menyangkal ada keluarga atau teman pasien yang mengalami keluhan yang

serupa. Riwayat alergi makanan dan obat pada keluarga di sangkal.

Riwayat Alergi

Pasien mengaku memiliki alergi makanan laut, apabila pasien makananan laut

maka akan timbul bintik-bintik yang gatal. Riwayat alergi obat, cuaca, debu,

disangkal.

Riwayat Pengobatan

Pasien mengaku meminum paracetamol pada saat pasien merasakan nyeri pada

kulitnya.
Riwayat Sosial

Pasien adalah petugas rumah sakit yang bertugas mengantar oksigen, pasien

mengaku pada saat bertugas di RS terdapat penderita yang mengalami gejala kulit

yang sama seperti pasien. Pasien tiap hari bertemu dengan penderita tersebut selama 2

minggu.

III. PEMERIKSAAN FISIK

 Keadaan umum : Baik

 Kesadaran : Composmentis

 Status lokalis kulit :

Pada regio thorak, abdomen, wajah, lutut, punggung, Tampak Plaque > 5

Eritema dengan tepi meninggi, batas tegas multiple, skuama (-), erosi (-),

ekskroisi (-), pada regio brachialis tampak patch hiperpigmentasi batas tidak jelas

pada telapak tangan. Madorosis (-), facies leohiro (-), saddle nose (-), claw

hand(+).

 Pemeriksaan saraf :

o N.Auricularis magnus sinistra mengalami pembesaran, konsistensi

kenyal, nyeri tekan (+)


o N. Ulnaris sinistra mengalami pembesaran konsistensi kenyal, nyeri tekan

(+)

o Pemeriksaan anastesi terhadap rasa nyeri pada tempat lesi (+) dari pada

kulit normal.

o Pemeriksaan anastesi terhadap rasa raba pada tempat lesi (+) dari pada

kulit normal

o Pemeriksaan suhu panas dingin pada lesi, tidak bisa membedakan suhu

panas dingin pada tempat lesi.

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

BTA: Tidak ditemukan kuman BTA

V. DIAGNOSIS KERJA

Morbus Hansen MultiBasiler reaksi kusta tipe 1

VI. DIAGNOSIS DIFFRENSIAL

Vitiligo, Ptiriasis Versikolor, Ptiriasis Alba, Tinea korporis

VII. PENATALAKSANAAN

MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18

bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From

Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan

secara pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.

 Rifampicin : 600 mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan


 Dapson : 100 mg/hari diminum di rumah

 Lamprene : 300mg/bulan diminum di depan petugas kesehatan dilanjutkan

dgn 50 mg/hari diminum di rumah

Pengobatan reaksi kusta.

Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-

obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari,

dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.

Anda mungkin juga menyukai