Amelia DNS
PENDAHULUAN
Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM, dan telah dikenal oleh peradaban
Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan India.[3] Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
[4]
memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta.
Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan kurang perlu
dan tidak etis, beberapa kelompok penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia,
Kusta berasal dari kata kustha di bahasa Sansekerta, yang berarti kumpulan gejala-gejala
kulit secara umum. Penderita Kusta sebenarnya telah ditemukan sejak tahun 600 Sebelum
Masehi. Namun, kuman penyebab penyakit Kusta, yakni Mycobacterium leprae, ditemukan
pertama kali oleh sarjana dari Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873, maka dari itu
Kusta ini dikenal juga dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu kuman penyebab
kusta tersebut.
Penyakit ini diduga berasal dari Afrika dan Asia tengah dan kemudian tersebar melalui
ini melalui para pedagang dan penyebar agama sekitar abad ke IV-V oleh orang India.
DEFINISI
Kusta/ Lepra/ Penyakit Morbus Hansen, Penyakit Hansen adalah sebuah penyakit infeksi
kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae.[1] Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit
adalah tanda yang bisa diamati dari luar.[2] Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif,
ETIOLOGI
Kusta yang merupakan penyakit kronis ini disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae
(M.leprae). Kuman ini adalah kuman aerob, berbentuk batang dengan ukuran 1-8 μ, lebar 0,2 –
0,5 μ, sifatnya tahan asam sehingga tidak mudah untuk diwarnai. M.leprae biasanya
berkelompok dan ada pula yang tersebar satu-satu. Kuman ini hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin dan tidak dapat dikultur dalam media buatan.
Masa belah diri kuman kusta ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan
dengan kuman lain, yaitu 12-21 hari. Sehingga masa tunas pun menjadi lama, yaitu sekitar 2–5
tahun.
Kuman Kusta ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang selanjutnya dapat menyerang
kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan
juga testis, kecuali susunan saraf pusat. Kusta yang merupakan penyakit menahun ini dalam
jangka panjang dapat menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya.
Mikobakteriae merupakan kelompok bakteri berbentuk basil, bersifat aerob yang tidak
membentuk spora. Meskipun mereka tidak terwarnai dengan baik, segera setelah diwarnai
mereka mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau alkohol, oleh karena itu dinamakan basil
“cepat asam” (Brooks, 453:2005). Mycobacterium leprae merupakan agen causal pada lepra.
Kuman ini berbentuk batang tahan asam yang termasuk familia Mycobacteriaeceae atas dasar
(Isselbacher, 808:1999).
Bentuk bentuk kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk
pecah – pecah ( fragmented ), bentuk granular ( granulated ), bentuk globus dan bentuk clumps.
Bentuk utuh , diman dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya
biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah – pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian
atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana kelihatan
seperti titik – titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana
beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok –
kelompok. Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40 – 60 BTA sedangkan kelompok
besar adalah kelompok yang terdiri dari 200 – 300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa
bentuk granular membentuk pulau – pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA (Wahyuni,
4-5:2009).
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah
pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah
pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan
dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak
dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara dengan jumlah rata-
rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64 per 10.000 jumlah
penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175
(WHO). Pada Poli Kulit dan Kelamin RSUD dr. SOEBANDI, Jember dari tahun 1999 sampai
tahun 2001 didapatkan jumlah pasien sebanyak 140 penderita, dengan 74 pasien dengan tipe
multibasiler dan 66 kasus dengan tipe pausibasiler (Erlan. J.S. et all, 21:2003).
Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena
faktor geografi. Namun jika diamati dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi
Di Myanmar kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma
dibandingkan dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama:
kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik Melayu atau
India. Demikian pula dengan kejadian di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak
menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu (Depkes RI, 8:2006).
Sudah diketahui bahwa faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta. Hal
ini terbukti pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka
kejadian kusta sangat cepat menurun, bahkan hilang. Kasus kusta imor pada negara tersebut
ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonomi tinggi. Kegagalan kasus kusta
impor untuk menularkan pada kasus kedua di Eropa juga disebabkan karena tingkat sosial
prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, kaena pada saat timbulnya penyakit sangat
sulit diketahui. Dengn kata lain kejadian penyakit sering terkait pada umur pada saat timbulnya
penyakit. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data prevalensi dan data
umur pada saat timbulnya penyakit mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Kusta
diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara bayi sampai umur tua (3 minggu sampai lebih
dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif (Depkes RI,
8:2006).
Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Menurut catatan sebagian besar negara di
dunia kecuali di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang
dibandingkan wanita. Relatif rendahnya kejadian kusta pada perempuan kemungkinan karena
faktor lingkungan atau faktor biologi. Seperti kebanyakan penyakit menular lainnya, laki-laki
lebih banyak terpapar dengan faktor resiko akibat gaya hidupnya (Depkes RI, 8:2006).
a. Sumber Penularan
Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber penularan
walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse, dan pada telapak kaki tikus yang
Mukosa hidung telah lama dikenal sebagai sumber dari kuman. Suatu kerokan hidung
dari penderita tipe Lepromatous yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 10-10.
Dan telah terbukti bahwa saluran napas bagian atas dari penderita tipe Lepromatous merupakan
c. Cara Penularan
Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga
bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. leprae yang utuh (hidup) keluar dari tubuh
penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti bagaimana cara
penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang
lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO tidak
Tempat masuk kuman kusta ke dalam tubuh pejamu sampai saat ini belum dapat
dipastikan. Diperirakan cara masuknya adalah melalui saluran pernapasan bagian atas dan
e. Pejamu
Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan penderita, hal ini
disebabkan karena adanya imunitas. M. leprae termasuk kuman obligat intraseluler dan sistem
kekebalan yang efektif adalah sistem kekebalan seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas,
menopause, kehamilan, serta faktor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis
penyakit kusta. Dari studi keluarga kembar didapatkan bahwa faktor genetik mempengaruhi tipe
Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta, hampir sebagian kecil (5%) dapat
ditulari. Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar 70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang
PATOGENESIS
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell)
dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung
pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC
pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada
permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28.
Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1
dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni,
6:2009).
fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan C3 melalui
reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain
itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan
melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil
yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan
growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus
diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang
makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk
4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan
IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 7:2009).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan
pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 7:2009).
APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan
melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling
efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk
tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk
bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya
peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator
CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan
yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu –
satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 –
TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein.
8:2009).
akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC
kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan
Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat
merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak
lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan
saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi.
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang
dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe
reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering
disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type
Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan
berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang
cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi
pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada
respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous (
penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009).
Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada
pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan
mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan
merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel
(Wahyuni, 8:2009).
GAMBARAN KLINIS
Keluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat
berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit
kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa
kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.
Gambar.......
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling:
Lesi ini mengenai baik kulit maupun syaraf, jumlah lesi bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat yang berbatas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan
dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer
yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Tidak adanya kuman merupakan
tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plakat yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe TT. Adanya gangguan saraf tidak
seberat tipe TT dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer
yang menebal.
Merupakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga sebagai bentuk dismorfik dan jarang
dijumpai. Lesi sangat bervariasi, dapat berbentuk makula infiltratif, permukaan lesi dapat
mengkilap dan batas lesi kurang jelas. Ciri khasnya adalah lesi punched out, yaitu, suatu lesi
seluruh badan. Walaupun masih kecil, papul dan nodul lebih tegas dengan distribusi lesi yang
hampir simetris dan beberapa nodul nampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah
sering tampak normal dengan infiltrasi di pinggir dan beberapa tampak seperti punched out.
Tanda-tanda kerusakan saraf lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL.
Jumlah lesi pada tipe ini sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di daerah wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga;
sedangkan di badan mengenai bagian badan yang dingin, seperti lengan, punggung tangan, dan
ekstensor tungkai. Pada stadium lanjut, tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga
menebal, facies leonina, madarosis, iritis, keratitis, deformitas pada hidung, pembesaran kelenjar
limfe, dan orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas
menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia dan pada stadium lanjut serabut-serabut saraf
perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anastesi dan pengecilan
Lesi
Punched Out
Namun ada juga tipe kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan Jopling,
tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta, yaitu tipe Intermediate (I). Lesi biasanya berupa
makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit disekitarnya normal. Lokasi biasanya di
bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula
Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu
primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk
sebagai reaksi terhadap M.leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit,
mukosa traktus respiratorius atas, tulang – tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi
sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama
Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior
kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot
interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung jari
bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis
lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan
gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari – jari atau pergelangan tangan. Pada N.
Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung
(foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki,
claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah
cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta
servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan
oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau
bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar
palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous
dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi
Kusta histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang titandai dengan adanya
nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk
plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relape
resistent. Relapse sensitive terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan
sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi oleh karena kuman yang dorman aktif
kembali atau pengobatan yang diselesaikan tisak adekuat, baik dosis maupun lama
pemberiannya.
Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu
tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin makulopapular skin
lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan
berat.
Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ
tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat.
Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan
nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang
nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan
nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil
Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan
meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu tetapi
bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.
PEMERIKSAAN PASIEN
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi kulit juga harus
diperhatikan dan juga dilihat kerusakan kulit. Palpasi dan pemeriksaan dengan menggunakan alat
– alat sederhana yaitu jarum untuk rasa nyeri, kapas untuk rasa raba, tabung reaksi masing –
masing dengan air panas dan es, pensil tinta Gunawan (tanda Gunawan) untuk melihat ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak dan sebagainya. Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi, yang kadang – kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit, sangat sukar untuk menentukannya.
Untuk saraf perifer, perlu diperhatikan pembesaran, konsistensi dan nyeri atau tidak.
Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N.fasialis, N.aurikularis magnus, N.radialis, N.
Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis posterior. Pada pemeriksaan saraf tepi
dapat dibandingkan saraf bagian kiri dan kanan, adanya pembesaran atau tidak, pembesaran
reguler/irreguler, perabaan keras/kenyal, dan yang terakhir dapat dicari adanya nyeri atau tidak
(Daili, 21:2003). Pada tipe lepromatous biasanya kelainan sarafnya billateral dan menyeluruh
mana yang masih normal, diperlukan pengalaman yang banyak (Daili, 21:2003).
saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot di bawahnya sehingga acapkali sudah bisa
terlihat bila saraf membesar. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
tersebut dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka pada perabaan secara seksama akan
menemukan jaringan seperti kabel atau kawat. Jangan lupa membandingkan antara yang kiri
N. Ulnaris. Tangan yang diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya
diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa yang lain meraba lekukan di
bawah siku (sulkus nervi ulnaris) dan merasakan, apakah ada penebalan atau tidak. Perlu
dibandingkan antara yang kanan dan yang kiri untuk melihat adanya perbeedaan atau tidak
(Daili, 22:2003).
N. Paroneus lateralis. Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di
sebelah lateral dari capitulum fibulae, biasanya sedikit ke posterior (Daili, 22:2003).
Tes Sensoris. Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
Rasa Raba. Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk memeriksa perasaan
rangsang raba dengan menyinggungkannya pada kulit. Pasien yang diperiksa harus duduk pada
waktu dilakukan duduk pada waktu dilakukan pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas
menerangkan bahwa bilamana merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus
menunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan dikerjakan dengan mata
terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya
ditutup dengan sepotong kain. Selain diperiksa pada lesi di kulit sebaiknya juga diperiksa pada
kulit yang sehat. Bercak pada kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya (Daili, 22:2003).
Rasa Nyeri. Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung jarum yang
tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana
Rasa Suhu. Dilakukan dengan menggunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air panas
(sebaiknya 400C), yang lainnya air dingin (sebaiknya sekitar 200C). Mata pasien ditutup atau
menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit
yang dicurigai. Sebelumnya dilakukan kontrol pada kulit yang sehat. Bila pada daerah tersebut
pasien salah menyebutkan sensasi suhu, maka dapat disebutkan sensasi suhu di daerah tersebut
Tes dengan pensil tinta. Pensil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang
Tes pilokarpin. Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntik dengan pilokarpin
subkutan. Setelah beberapa menit tampak daerah kulit normal berkeringat, sedangkan daerah lesi
tetap kering.
Cara memeriksa: Mula-mula periksa gerakan dari motorik yang akan diperiksa:
Periksa fungsi saraf ulnaris dengan merapatkan jari kelingking pasien. Peganglah jari telunjuk,
jari tengah, dan jari manis pasien, lalu mintalah pasien untuk merapatkan jari kelingkingnya. Jika
pasien dapat merapatkan jari kelingkingnya, taruhlah kertas diantara jari kelingking dan jari
manis, mintalah pasien untuk menahan kertas tersebut. Bila pasien mampu menahan coba tarik
Periksa fungsi saraf medianus dengan meluruskan ibu jari ke atas. Minta pasien mengangkat ibu
jarinya ke atas. Perhatikan ibu jari apakah benar-benar bergerak ke atas dan jempolnya lurus.
Jika pasien dapat melakukannya, kemudian tekan atau dorong ibu jari pada bagian telapaknya.
Periksa fungsi saraf radialis dengan meminta pasien untuk menggerakkna pergelangan tangan
pergelangan kaki dan minta juga pasien untuk melakukan gerakan ke lateral, lalu nilai kekuatan
PEMERIKSAAN BAKTERIOSKOPIS
Pemeriksaaan bakterioskopik, sediaan dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa
hidung yang diwarnai denganpewarnaan BTA ZIEHL NEELSON. Pertama – tama harus
ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4lesi lain yang
paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
mengiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut oleh karena pengalaman, pada cuping
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan
non solid.
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai
PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGIS
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow
dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.
Sel virchow adalah histiosit yang dijadikan M.leprae sebagai tempat berkembangbiak dan
PEMERIKSAAN SEROLOGIS
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengakibatkan diagnosis serologis merupakan
alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik, didasarkan terbentuk antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
PEMERIKSAAN LEPROMIN
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak
untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.leprae.
O,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian
dibaca setelah 48 jam/ 2hari ( reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu ( reaksi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritemayang menunjukkan kalau penderita bereaksi
terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test ( PPD) pada
tuberkolosis.
+ 1 Papul berdiameter 4 – 6 mm
+ 2Papul berdiameter 7 – 10 mm
DIAGNOSIS
Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena memberikan gejala yang
hampir mirip dengan penyakit lainnya. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan
Pemeriksaan harus di seluruh tubuh untuk menemukan ditempat tubuh yang lain, maka akan
didapatkan bercak hipopigmentasi atau eritematus, mendatar (makula) atau meninggi (plak).
Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan rasa
nyeri.
Dapat disertairasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa gangguan fungsi saraf
terganggu.
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit, cuping telinga, dan lesi kulit pada bagian yang
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka
kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
DIAGNOSIS BANDING
Pada lesi makula, differensial diagnosisnya adalah vitiligo, Ptiriasis versikolor, Ptiriasis
alba, Tinea korporis , dll. Pada lesi papul, Granuloma annulare, lichen planus dll. Pada lesi plak,
Tinea korporis, Ptiriasis rosea, psoriasis dll. Pada lesi nodul, Acne vulgaris, neurofibromatosis
Vitiligo, makula putih berbatas tegas dan mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel
melanosit. Vitiligo merupakan hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan makula putih yang
dapat meluas. Patogenesis vitiligo ada beberapa yaitu hipotesis autoimun, hipotesis
Hipotesis autoimun, ada hubungan dengan hipotiroid Hashimoto, anemia pernisiosa dan
hipoparatiroid. Hipotesis neurohumeral, karena melanosit terbentuk dari neural crest maka
diduga faktor neural berpengaruh. Hasil metabolisme tirosin adalah melanin dan katekol.
Kemungkinan ada produk intermediate dari katekol yang mempunyai efek merusak melanosit.
Pada beberapa lesi ada gangguan keringat, dan pembuluh darah, terhadap respon transmitter
saraf misalnya setilkolin. Hipotesis autotoksik,hasil metabolisme tirosin adalah DOPA lalu akan
diubah menjadi dopaquinon. Produk – produk dari DOPA bersifat toksik terhadap melanin.
Pajanan terhadap bahan kimia, adanya monobenzil eter hidrokuinon pada sarung tangan dan
Gejala klinis vitiligo adalah terdapat repigmentasi perifolikuler. Daerah yang paling sering
terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama bagian atas jari, periofisial pada mata, mulut dan
hidung, tibialis anterior dan pergelangan tangan bagian fleksor.Lesi bilateral atau simetris.
Mukosa jarang terkena, kadang – kadang mengenai genitalia eksterna, puting susu, bibir dan
ginggiva.
Vitiligo dapat dibagi atas dua yaitu lokal dan generalisata. Vitiligo lokal dapat dibagi tiga
yaitu vitiligo fokal adalah makula satu atau lebih tetapi tidak segmental, vitiligo segmental
adalah makula satu atau lebih yang distribusinya sesuai dengan dermatom, dan mukosal yang
hanya terdapat pada mukosa. Vitiligo generalisata juga dapat dibagi tiga yaitu vitiligo acrofasial
adalah depigmentasi hanya pada bagian distal ekstremitas dan muka serta merupakan stadium
awal vitiligo generalisata, vitiligo vulgaris adalah makula yang luas tetapi tidak membentuk satu
pola, dan vitiligo campuran adalah makula yang menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan
vitiligo total.
normal yang berhubungan denganPtiriasis versikolor yaitu Pitysporum orbiculare bulat atau
Pitysporum oval. Malaize furfur merupakan fase spora dan miselium. Faktor predisposisi ada dua
yaitu faktor eksogen dan faktor endogen. Faktor endogen adalah akibat rendahnya imun
penderita dsedangkan faktor eksogen adalah suhu, kelembapan udara dan keringat.
Hipopigmentasi dapat disebabkan oleh terjadinya asam dekarbosilat yang diprosuksi oleh
Malaize furfur yang bersifat inhibitor kompetitif terhadap enzim tirosinase dan mempunyai efek
warni, bentuk tidak teratur sampai teratur, batas jelas sampai difus, fluoresensi dengan
menggunakan lampu wood akan berwarna kuning muda, papulovesikular dapat ada tetapi jarang,
dan gatal ringan. Secara mikroskopik akan kita peroleh hifa dan spora ( spaghetti and meat ball).
Tinea korporis, dermatiofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) . Gejala
klinisnya adalah lesi bulat atau lonjong, eritema, skuama, kadang papul dan vesikel di pinggir,
daerah lebih terang, terkadang erosi dan krusta karena kerokan, lesi umumnya bercak – bercak
terpisah satu dengan yang lain, dapat polisiklik, dan ada center healing.
Lichen Planus, ditandai dengan adanya papul – papul yang mempunyai warna dan
konfigurasi yang khas. Papul –papul berwarna merah, biru, berskuama, dan berbentuk siku –
siku. Lokasinya diekstremitas bagian fleksor, selaput lendir, dan alat kelamin. Rasanya sangat
gatal, umumnya membaik 1 – 2 tahun. Hipotesis mengatakan liken planus merupakan infeksi
virus.
Psoriasis, penyebabnya autoimun bersifat kronik dan residitif. Ditandai dengan adanya
bercak – bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar, berlapis – lapis dan transparan
disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, Koebner. Gejala klinisnya adalah tidak ada pengaruh
terhadap keadaan umum, gatal ringan, kelainan pada kulit terdiri bercak – bercak eritema yang
meninggi atau plak dengan skuama diatasnya, eritema sirkumskrip dan merata tapi pada akhir di
bagian tengah tidak merata. Kelainan bervariasi yaitu numuler, plakat, lentikulerdan dapat
konfluen.
remaja dan dapat sembuh sendiri. Gejala klinisnya adalah sering polimorf yang terdiri dari
berbagai kelainan kulit, berupa komedo, papul, pustul, nodus dan jaringan parut akibat aktif
Neuropatik pada diabetes, gejalanyatergantung pada jenis neuropatik dan saraf yang
terkena. Beberapa orang dengan kerusakan saraf tidak menunjukkan gejala apapun. Gejala
ringan muncul lebih awal dan kerusakan saraf terjadi setelah beberapa tahun. Gejala kerusakan
saraf dapat berupa kebas atau nyeri pada kaki, tangan , pergelangan tangan, dan jari – jari tangan,
maldigestion, diare, konstipasi, masalah pada urinasi, lemas, disfungsi ereksi dll.
Defisiensi vitamin B6,gejala klinis termasuk seboroik dermatitis, cheilotis, glossitis, mual,
muntah, dan lemah. Pemeriksaan neurologis menunjukka penurunan propiosepsi dan vibrasi
dengan rasa sakit dan sensasi temperatur, refleks achilles menurun atau tidak ada.
Defisiensi folat, gejala klinisnya tidak dapat dipisahkan dengan defisiensi kobalamin (
vitamin B12) walaupun demensia lebih dominan. Pasien mengalami sensorimotor poly
PENGOBATAN
Tujuan utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden
mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat oleh bakteri.
Efek samping dari dapson adlah anemia hemolitik, skin rash, anoreksia, nausea, muntah, sakit
Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase.Efek
sampingnya adalah warna kulit bisa menjadi berwarna ungu kehitaman,warna kulit akan kembali
menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit
Prednison, untuk penanganan dan pengobatan reaksi kusta. Sulfas Ferrosus untuk
penderita kusta dgn anemia berat. VitaminA, untuk penderita kusta dgn kekeringan kulit dan
Dengan memakai regimen pengobatan MDT/= multi drug treatment. Kegunaan MDT untuk
dalam berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung
RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil tidak di
berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan regimen pengobatan
PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan: regimen pengobatan PB lesi (2-
5).
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum
obat.
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18 bulan.
Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment yaitu
berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuktipe PB selama
Dewasa 600 mg/bulan diminum di depan 100 mg/hari 300 mg/bulan diminum di
diminum di rumah
Rifampicin Dapson
Pengobatan reaksi kusta. Bila reaksi tidak ditangani dengan cepat dan tepat maka
dapat timbul kecacatan berupa kelumpuhan yang permanen seperticlaw hand , drop foot , claw
toes , dan kontraktur. Untuk mengatasi hal-hal tersebut diatas dilakukan pengobatan “Prinsip
pengobatan Reaksi Kusta “ yaitu immobilisasi / istirahat, pemberian analgesik dan sedatif,
pemberian obat-obat anti reaksi, MDT diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-obat
penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari, dan MDT (obat
Reaksi berat, immobilisasi, rawat inap di rumah sakit, pemberian analgesik dan sedative,
MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis tidak diubah, pemberian obat-obat anti reaksi dan
dosis 600-1200 mg setiap 4 jam (4 – 6x/hari ) , Klorokuin dengan dosis 3 x 150 mg/hari,
Antimon yaitu stibophen (8,5 mg antimon per ml ) yang diberikan 2-3 ml secara selang-seling
dan dosis total tidak melebihi 30 ml. Antimon jarang dipakai oleh karena toksik. Thalidomide
juga jarang dipakai,terutama padawanita (teratogenik ).Dosis 400 mg/hari kemudian diturunkan
atau prednisolon.Gunakan sebagai dosis tunggal pada pagi hari lebih baik walaupun dapat juga
diberikan dosis berbagi. Dosis diturunkan perlahan-lahan (tapering off) setelah terjadi respon
maksimal.
Jika MDT-WHO tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, WHO expert committe
Ofloksasin atau
400 mg/hari
Minosiklin
100 mg/hari
klaritromisisn 500 mg/hari dapat menggantikan ofloksasin atau minosiklin pada regimen di atas.
Biasanya penderita menolak obat ini karena adanya pewarnaan kulit. Untuk itu klofazimin
pada MDT_MB dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin
Pada tahun 1997, WHO Expert of Committe on Leprosy merekomendasikan juga regimen
Bila DDS menyebabkan terjadinya efek samping berat pada penderita PB maupun MB, obat
Rifampisin Klofazimin
KOMPLIKASI
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma dan infeksi kronik
sekunderdapat menyebabkan hilangnya jari jemari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering
terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus
difus, infiltratif dan non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus
Setelah program terapi obat biasanya prognosis baik, yang paling sulit adalah manajemen dari
gejala neurologis, kontraktur dan perubahan pada tangan dan kaki. Ini membutuhkan tenaga ahli
seperti neurologis, ortopedik, ahli bedah, prodratis, oftalmologis, physical medicine, dan
rehabilitasi. Yang tidak umum adalah secondary amyloidosis dengan gagal ginjal dapat mejadi
komplikasi
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI PASIEN
NAMA : Suhaimi
UMUR : 35 tahun
ALAMAT : Kediri
II. ANAMNESIS
bercak kemerahan kecil di daerah lengan kanan bawah semakin lama semakin
membesar dan meluas dan menyebar ke lengan atas, dada, perut, punggung, wajah
dan lutut.
Pasien tidak mengeluh gatal ataupun nyeri pada bercak-bercak tsb, pasien mengeluh
terasa tebal pada bercak-bercak tsb. Pasien merasakan tebal tapi tidak terlalu jelas
dengan daerah kulit normal yang dirasakan. Pasien mengatakan bila terbentur sesuatu
terasa lebih sakit dari pada sebelum pasien muncul bercak-bercak ini. Pada malam
hari pasien merasakan kulit seperti di tarik-tarik. Pasien menyangkal adanya rontok
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat asma, kencing manis,
Pasien menyangkal ada keluarga atau teman pasien yang mengalami keluhan yang
Riwayat Alergi
Pasien mengaku memiliki alergi makanan laut, apabila pasien makananan laut
maka akan timbul bintik-bintik yang gatal. Riwayat alergi obat, cuaca, debu,
disangkal.
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku meminum paracetamol pada saat pasien merasakan nyeri pada
kulitnya.
Riwayat Sosial
Pasien adalah petugas rumah sakit yang bertugas mengantar oksigen, pasien
mengaku pada saat bertugas di RS terdapat penderita yang mengalami gejala kulit
yang sama seperti pasien. Pasien tiap hari bertemu dengan penderita tersebut selama 2
minggu.
Kesadaran : Composmentis
Pada regio thorak, abdomen, wajah, lutut, punggung, Tampak Plaque > 5
Eritema dengan tepi meninggi, batas tegas multiple, skuama (-), erosi (-),
ekskroisi (-), pada regio brachialis tampak patch hiperpigmentasi batas tidak jelas
pada telapak tangan. Madorosis (-), facies leohiro (-), saddle nose (-), claw
hand(+).
Pemeriksaan saraf :
(+)
o Pemeriksaan anastesi terhadap rasa nyeri pada tempat lesi (+) dari pada
kulit normal.
o Pemeriksaan anastesi terhadap rasa raba pada tempat lesi (+) dari pada
kulit normal
o Pemeriksaan suhu panas dingin pada lesi, tidak bisa membedakan suhu
V. DIAGNOSIS KERJA
VII. PENATALAKSANAAN
MB dengan lesi > 5.Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama 12-18
bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From
Treatment yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan
secara pasif untuk tipe PB selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Pada reaksi ringan, istirahat di rumah, berobat jalan, pemberian analgetik dan obat-
obat penenang bila perlu, dapat diberikan Chloroquine 150 mg 3×1 selama 3-5 hari,
dan MDT (obat kusta) diteruskan dengan dosis yang tidak diubah.