Anda di halaman 1dari 19

Materi Debat Aswaja

MA Dan Madrasah Diniyah Ulya


Olimpiade Aswaja 2014-1436

Ahlussunnah Wal Jama’ah


Syubhat Kalangan Di Luar Ahlussunnah Wal Jama’ah
(1)
Kelompok Wahhabi berkata: Ahlussunnah Wal Jama‟ah adalah golongan yang mengikuti Rasulullah dan para
sahabatnya berdasarkan hadits:

ْ ِ ‫َص َح‬
‫اب‬ ِ َ َ‫اح َد ًة قَالُ ْوا َوَم ْن ِى َي ََا َر ُس ْوَل اهلِ ق‬
ْ ‫ال َما أَنَا َعلَْيو َوأ‬
ِ ‫ث وسبعِْي ِملَّةً ُكلُّهم ِِف النَّا ِر إََِّّل ِملَّةً و‬
َ ُْ
ٍ
َ ْ ْ َ َ ‫َوتَ ْف ََِت ُق أ َُّم ِ ِْت َعلَى ثَََل‬
“Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, seluruhnya di neraka kecuali satu golongan. Para
sahabat bertanya siapa satu golongan itu wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda: golongan yang mengikuti
ajaranku dan para sahabatku”
Karena itu Ahlussunnah adalah kami, karena kalian bukan pengikut nabi terbukti kalian melaakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak dilakukan nabi seperti diba’an, manaqiban, tahlilan dan lainnya.
Sedangkan kami tidak melakukan itu semua.
Jawab: definisi Ahlussunnah Wal Jama’ah di atas telah ditafsirkan oleh Rasulullah sendiri dalam hadits
lain dari Mu’awiyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Rasulullah bersabda:

‫اعة‬ ْ ‫اْلَن َِّة َوِى َى‬


َ ‫اْلَ َم‬
ِ ‫ان وسب عو َن ِِف النَّا ِر وو‬
ْ ‫اح َدةٌ ِِف‬ ََ
ِ ِ ِ‫ث وسبع‬ ٍ ِ ِِ
َ ْ َ َ َ‫َوإِ َّن َىذه الْملَّةَ َستَ ْف ََِت ُق َعلَى ثََل‬
ُ ْ َ َ َ‫ْي ثْنت‬
“Dan sesungguhnya agama ini akan terpecah belah menjadi 73, 72 di neraka dan satu di surga yaitu al
Jama’ah”

Senada dengan hadits tersebut, Rasulullah -shallallahu ‘alayhi wasallam- juga bersabda:

َ‫اعة‬ ْ ‫اْلَنَّةَ فَ ْليَ ْلَزِم‬


َ ‫اْلَ َم‬ ْ َ‫فَ َم ْن أََر َاد ُْببُ ْو َحة‬
"…Maka barang siapa yang menginginkan tempat lapang di surga hendaklah berpegang teguh pada al
Jama’ah”.

Makna al Jama’ah dalam dua hadits di atas adalah al Jumhur (mayoritas umat Islam) dan bukan shalat
Jama’ah –sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang-. Hal ini dapat dipahami dari hadits lain, Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:

‫الس َو ِاد اْأل َْعظَ ِم‬


َّ ِ‫اختِ ََلفًا فَ َعلَْي ُك ْم ب‬ ٍ
ْ ‫ فَِإ َذا َرأََْتُم‬.‫ض ََللَة‬
ِ
َ ‫إِ َّن أ َُّم ِِت َّلَ ََْتتَم ُع َعلَى‬
“Sesungguhnya umatku tidak akan berkumpul pada kesesatan, maka apabila kalian melihat perselisihan
maka bergabunglah dengan mayoritas umat”
Dan kami adalah mayoritas umat Islam.
(2)
Mereka kemudian berkata, mana buktinya bahwa kalian adalah mayoritas?
Jawab: sejarah telah membuktikan bahwa mayoritas umat Muhammad pada setiap generasi dari dahulu
hingga sekarang adalah Asy’ariyah (orang-orang yang mengikuti Abul Hasan al Asy’ari) dan Maturidiyah
(orang-orang yang mengikuti Abu Manshur al Maturidi). Akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah dianut oleh
umat Islam di seluruh dunia Islam seperti Indonesia, Malaysia, Mesir, Brunai Darussalam, Suria, Lebanon,
Yordania, Palestina, Maroko, Libya dan seterusnya. Dengan demikian sangat tepat apabila al Hafizh
Murtadla az-Zabidi (W 1205 H) dalam kitabnya Ithaf as Sadah al Muttaqin syarh Ihya Ulumiddin juz II hlm.
6, menyimpulkan bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah, beliau
mengatakan:

ُ‫َشاعَِرةُ َواْملاتُِرَْ ِدَّة‬


َ ‫اع ِة فَالْ ُمَر ُاد ِبِِ ْم اْأل‬ ِ ُّ ‫ إِذَا أُطْلِق أَىل‬:‫َّاِن‬
َ ‫السنَّة َواْْلَ َم‬ ُْ َ
ِ ‫صل الث‬
ُ ْ ‫ال َف‬
َ
“Pasal Kedua: "Jika dikatakan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah al Asy’ariyyah dan
al Maturidiyyah”.

Seluruh ulama dalam madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali
(Fudhala’ al Hanabilah) adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Demikian juga mayoritas ulama dalam semua
disiplin ilmu seperti mutakallimin, muhadditsin, shufiyun, ushuliyyun, mufassirun dan juga mayoritas para
khalifah dan sultan. Mereka seperti al Khatib al Baghdadi, al Hafidz ad Daruquthni, Abdul Basith a Fakhuri,
Ibnu Hajar al Asqalani, al Imam ar Rifa’I, al Hafidz al Iraqi, Abu Bakar Ibn Furak, Abul Hasan al Bahili, al
Qadhi Abdul Wahhab al Maliki,Abul Qasim al Qusyairi, Zakariya al Anshari, al Ghazali, al Qadhi Iyad, Ibnu
Aqil al Hanbali, al Hafidz al Alai, Abu Bakar al Bakilani, al Imam al Juwaini, Taqiyuddin as Subki,
Fakhruddin Ibn Asakir, al Hafidz az Zabidi, Sultan al Fatih, Sultan Shalahuddin al Ayyubi dan lainnya tidak
terhitung banyaknya.

Tanzih
Syubhat Kalangan Mujassimah
(1)
Kalangan mujassimah mengatakan jika Allah itu ada tanpa tempat, lalu kenapa kita menengadahkan tangan
ketika berdo‟a?

Jawab: al Hafidz Murtadla az Zabidiy dalam kitab Ithaf as Sadah al Muttaqin menjawab: pertanyyan ini dapat
dijawab dengan dua jalan:

Pertama: bahwa langit adalah qiblatnya do‟a sebagaimana ka‟bah adalah kiblat dalam shalat, dan menempelkan
kening pada tanah adalah qiblat sujud. Kita shalat menghadap ka‟bah bukan karena Allah ada di dalam ka‟bah
tetapi karena ia adalah kiblat shalat. Kita meletakkan kening ketanah ketika sujud bukan karena Allah ada di
dalam tanah, tetapi karena bumi adalah qiblat sujud dan kita menengadahkan tangan ke arah langit bukan karena
Allah di langi tapi karena langit adalah qiblat dalam berdo‟a.

Kedua: Bahwa langit adalah tempat turunnya rizqi, wahyu dan tempat rahmat dan berkah, langit adalah tempat
tinggalnya para malaikat, tempat diangkatnya amal perbuatan manusia serta tempat surga.

Keterangan yang sama juga telah dijelaskan oleh imam Abu Manshur al Maturidiy dalam kitab at Tauhid, Ibnu
Hajar al Asqalani dalam fathul Bari, Mulla „Ali al Qari dalm syarh al Fiqh al Akbar, al Bayadli dalam kitab
Isyarat al Maram dan para ulama lainnya.

(2)

Kalangan mujassimah mengatakan jika Allah itu ada tanpa tempat, lalu makna hadits jariyah?

Jawab:Hadits jariyah ini dihukumi oleh sebagian ulama‟ sebagai hadits mudltharib (hadits yang diriwayatkan
oleh seorang rawi atau lebih dengan teks yang berbeda-beda dalam derajat yang sama tanpa ada murajjih dan
tidak mungkin untuk dikompromikan), dan hadits mudltharib hukumnya lemah tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah.

Sebagian ulama‟ menghukumi hadits riwayat Muslim sebagai hadits shahih dengan mentakwilnya dengan makna
yang sesuai dengan sifat-sifat Allah dan tidak mengambil zhahirnya. Jadi makna ‫ أَيْنَ هللا؟‬: “apa yang kamu
yakini tentang Allah dari segi keagungan kekuasaan-Nya dan ketinggian derajat-Nya?”. Sedang makna ‫ِفي‬
‫س َما‬
َّ ‫ال‬: “Dia (Allah) teramat tinggi derajat-Nya”. Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama‟ Ahlussunnah Wal
Jama‟ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Pentakwilan semacam ini sesuai
dengan kaidah Bahasa Arab, karena dalam Baahasa Arab kata “‫س َماء‬ َّ ‫ ”ال‬Bisa berarti ungkapan ketinggian
derajat, sebagaimana perkataan an-Nabighah al Ja‟diy:
ْ ‫ق َذ ِلكَ َم‬
‫ظ َه َرا‬ َ ‫َوإِنَّا لَنَ ْر ُجى فَ ْى‬ ‫سنَا ُؤنَا‬ َّ ‫بَلَ ْغنَا ال‬
َ ‫س َما َء َم ْج ُدنَا َو‬
Maknanya: “Kami telah menggapai ketinggian dan keluhuran derajat (keagungan dan juga ketenaran
kami), dan kami masih mengharap fenomena keunggulan yang lebih dari itu”

(3)

Kalangan mujassimah mengatakan kalau Allah ada tanpa tempat, lalu apa makna firman Allah Q.S Taha: 5:

 ‫استَ َوى‬
ْ ‫الر ْحمن َعلَى ال َْع ْرش‬
َّ ﴿
Jawab: Ayat ini wajib ditafsirkan dengan selain bersemayam, duduk dan semacamnya. Bahkan orang
yang meyakini demikian hukumnya kafir. Berarti ayat ini tidak boleh diambil secara zhahirnya tetapi
harus dipahami dengan makna yang tepat dan dapat diterima oleh akal. Bisa dikatakan bahwa makna
lafazh istiwa' di sini adalah al Qahr, menundukkan dan menguasai. Dalam bahasa Arab dikatakan :

‫استَ َوى فالَن َعلَى ال َْم َمالك‬


ْ
Jika dia berhasil menguasai kerajaan, memegang kendali segala urusan dan menundukkan orang,
seperti dalam sebuah bait syair :

‫م ْن غَْير َس ْيف َو َدم م ْه َراق‬ ‫اس تَ َوى ب ْشر عَلَى الْع َراق‬
ْ ‫قَ ْد‬
"Bisyr telah menguasai Irak, tanpa senjata dan pertumpahan darah".

(4)

Kalangan mujassimah mengatakan itu adalah ta‟wil dan ta‟wil adalah ta‟thil

Jawab: Kita katakan Allah juga berfirman:

)44: ‫فصلت‬
ّ ‫(سورة‬  ‫) ﴿ أَلَ إنَّه بكل َش ْىء مح ْيط‬4: ‫ (سورة احلدَد‬‫﴿ َوه َو َم َعك ْم أَيْ َن َما ك ْنت ْم‬
Jika kaedahnya seperti yang anda katakan berarti harus diambil juga zhahir kedua ayat ini dan itu
berarti Allah berada di atas 'arsy, ada di antara kita, ada bersama kita serta meliputi dan mengelilingi
alam dengan Dzat-Nya dalam saat yang sama. Padahal dzat yang satu mustahil pada saat yang sama
berada di semua tempat. Kemudian jika mereka mengatakan : firman Allah ‫م‬
ْ ‫َم َعك‬ ‫ َوه َو‬ yang
dimaksud adalah dengan ilmu-Nya, dan firman Allah  ‫ بكل َش ْىء مح ْيط‬ maksudnya ilmu Allah
meliputi segala sesuatu. Maka kita katakan : jika demikian, maka  ‫استَ َوى‬
ْ ‫ َعلَى ال َْع ْرش‬ berarti qahara,
hafizha dan abqa (menundukkan dan menguasai, memelihara dan menetapkannya)".

Jika mereka di sini mentakwil ayat-ayat Mutasyabihat semacam ini dan tidak memaknainya secara
zhahirnya, lalu mengapa mereka mencela orang yang mentakwil ayat istiwa' dengan qahr, Ini adalah
bukti bahwa mereka telah berpendapat tanpa disertai dengan dalil

(5)

Kalangan mujassimah mengatakan itu bahwa tauhid itu ada 3 macam; uluhiyyah, rububiyah dan al Asma wa
shifat

Jawab:Pembagian tauhid yang digagas oleh Ibnu Taimiyah dan diikuti oleh para pengikutnya ini
menyalahi Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Maksud dan tujuan dari pembagian ini adalah untuk
mengkafirkan orang-orang mukmin yang bertawassul dengan para nabi dan orang-orang shalih,
mengkafirkan orang-orang mukmin yang mentakwil ayat-ayat yang mengandung sifat-sifat Allah
dan mengembalikan penafsirannya kepada ayat-ayat muhkamat. Ini berarti pengkafiran terhadap
Ahlussunnah Wal Jama’ah yang merupakan kelompok mayoritas di kalangan umat Muhammad.
Dikatakan kepada mereka : Siapakah di antara ulama' salaf yang membagi tauhid menjadi tiga ini ?
Jawabannya: tidak ada. Apakah ummat Islam seluruhnya tidak memahami ‫َّل إلو إَّل اهل‬ sebelum
munculnya Ibnu Taimiyah !!! lalu apa komentar Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya terhadap para
sahabat, tabi'in dan para ulama salaf yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat sifat !!!.

Rasulullah tidak pernah mengatakan kepada seorang-pun yang masuk Islam bahwa ada namanya
tauhid al Uluhiyyah, tauhid ar-Rububiyyah dan tauhid al Asmaa' wa ash-Shifaat. Tetapi Rasulullah hanya
mencukupkan dengan dua kalimat syahadat. Ayat tentang al Miitsaq juga menyatakan:

 ‫ألست بربكم قالوا بلى‬


Dalam ayat ini al Qur'an menggunakan kata Rabb, jika seandainya itu tidak cukup niscaya nantinya
mereka tidak bisa dituntut pertanggungjawaban mereka.

Dalam pertanyaan kubur, Munkar dan Nakir hanya menanyakan mayit dengan pertanyaan: ‫من ربك‬
dan mereka tidak menanyakan ‫إهلك‬ ‫من‬.

Kesimpulannya bahwa dalam Islam keyakinan bahwa Allah satu-satunya Tuhan dan satu-
satunya yang berhak disembah adalah dua hal yang selalu beriringan. Orang yang benar-benar
meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhannya dia hanya akan menyembah-Nya dan tidak
akan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Karena tidak ada perlunya menyembah sesuatu
yang tidak maha kuasa, tidak mampu menciptakan manfaat dan menjauhkan mudlarat dari kita. Jika
ada orang yang mengaku dengan lidahnya bahwa Allah adalah tuhannya lalu ia masih
menyekutukan-Nya dengan selain-Nya berarti pengakuan itu adalah pengakuan palsu. Dan inilah
kondisi orang kafir musyrik di masa Nabi. Mereka mengatakan dengan lidah mereka bahwa Allah
pencipta langit dan bumi, namun mereka mengatakan kepada berhala mereka ‫(اعل ىبل‬kalahkanlah
Wahai Hubal), Rasulullah-pun membantah‫وأجل‬ ‫اهل أعز‬ . Mereka juga mengatakan kepada orang-orang
yang mencela sesembahan mereka bahwa sesembahan-sesembahan mereka akan mencelakakan
mereka. Mereka juga mengedepankan sesembahan mereka dari pada Allah dalam urusan-urusan
sepele dan hal-hal kecil seperti dalam pembagian ternak dan hasil panen tanaman mereka. Apakah
mungkin orang-orang seperti ini mengakui Allah sebagai pencipta dan Tuhan mereka !!. Seandainya
mereka benar-benar meyakini Allah sebagai Tuhan akankah mereka mencaci Allah dan merendahkan
Allah !!.

Dengan demikian pembagian tauhid menjadi tiga macam tersebut adalah bid'ah dlalalah dan
konsekwensi yang hendak diterapkan di balik pembagian tersebut jelas rusak dan salahnya.

Bid’ah
Syubhat Kalangan Yang Mengingkari Adanya Bid'ah Hasanah
(1)
Kalangan yang mengingkari adanya bid'ah hasanah selalu mengatakan: Bukankah Nabi dalam hadits riwayat
Abu Dawud dari al 'Irbadl ibn Sa-riyah telah bersabda:
ٍ ٍ ِ
َ ‫َوإََِّا ُك ْم َوُُْم َدثَات األ ُُم ْوِر فَِإ َّن ُكلَّ ُم ْح َدثَة بِ ْد َعةٌ َوُك َّل بِ ْد َعة‬
)‫ (رواه أبو داود‬...ٌ‫ضَلَلَة‬
Ini artinya setiap hal yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam al Qur'an dan hadits atau tidak dilakukan
oleh Rasulullah dan atau para Khulafa' Rasyidun maka dianggap sebagai bid'ah sesat .
Jawab: Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Jadi kurang lebih maksud Nabi dengan bid'ah
tersebut adalah bid'ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al Qur'an, sunnah, ijma' atau atsar. Al
Imam an-Nawawi menyatakan dalam Syarh Shahih Muslim (6/154): "Sabda Nabi (ٌ‫ضَلَلَة‬
َ ‫ ) َوُك ُّل بِ ْد َع ٍة‬ini adalah
'Amm Makhshush; lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya, jadi maksudnya adalah
sebagian besar bid'ah". Kemudian Imam Nawawi membagi bid'ah menjadi lima macam, lalu mengatakan: "Jika
diketahui apa yang telah aku tuturkan, diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah
dikhususkan, demikian juga hadits-hadits serupa. Apa yang aku katakan ini didukung oleh perkataan Umar ibn
al Khaththab tentang Tarawih: "Sebaik-baik bid'ah". Meski hadits tersebut memakai kata (‫ل‬
ُّ ‫ ) ُك‬sebagai ta'kid,
tidak berarti tidak mungkin lagi dikhususkan! Melainkan tetap bisa ditakhshish seperti firman Allah ta'ala:

.]‫تُ َد ّْم ُر ُك َّل َش ْي ٍء [سورة األحقاف‬


Demikian penegasan an-Nawawi. Makna ayat tersebut bahwa yang dihancurkan oleh angin tersebut hanyalah
kaum 'Aad dan harta benda mereka, selain itu tidak hancur, padahal ayat ini menggunakan kata (‫كل‬
ُ ). ّ
Dalil-dalil yang mengkhususkan hadits (ٌ‫ضَلَلَة‬
َ ‫) َوُك ُّل بِ ْد َع ٍة‬ adalah hadits-hadits dan atsar yang telah
disebutkan dalam dalil-dalil adanya bid'ah hasanah.

(2)
Kalangan yang mengingkari adanya bid'ah hasanah mengatakan: Hadits:

)ُ‫َج ُر َم ْن َع ِم َل ِِبَا بَ ْع َده‬ ِ ِ


ْ ‫ِف ا ِإل ْسَلَم ُسنَّ ًة َح َسنَ ًة فَلَوُ أ‬
ْ ‫َج ُرَىا َوأ‬ ْ ‫( َم ْن َس َّن‬
adalah khusus berlaku ketika Nabi masa hidup, sedangkan ketika Nabi sudah meninggal hal itu tidak berlaku
lagi.

Jawab: Kaedah mengatakan: (‫إَِّلَّبِ َدلِْي ٍل‬ ُ‫ص ْو ِصيَّة‬


ُ ُ‫اْل‬
ْ ‫ت‬ ُ ُ‫“ )َّلَ تَثْب‬Kekhususan harus berdasarkan dalil.” Mana dalil
kekhususan tersebut?! Justru sebaliknya lafazh hadits tersebut menunjukkan keumuman, karena Rasulullah tidak
mengatakan:

."ُ‫َحيَاه‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫"م ْن َعم َل َع َمَلً أَنَا َعم ْلتُوُ فَأ‬
َ ‫اِت" أ َْو‬
ْ َ‫"م ْن َس َّن ِْف َحي‬
َ
“Barangsiapa merintis perkara baru dalam masa hidupku" atau "Barangsiapa mengamalkan amal yang
telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya.”

Sebaliknya Rasulullah mengatakan secara umum: ( ‫سَلَِم‬


ْ ‫ا ِإل‬ ‫ ) َم ْن َس َّن ِ ِْف‬dan kita tahu Islam tidak hanya ada pada
masa Nabi. Dikatakan kepada mereka juga: Berani sekali kalian mengatakan hadits ini tidak berlaku setelah
masa hidup Nabi?! Berani sekali kalian menghapus salah satu hadits Nabi?! Apakah setiap ada hadits yang
bertentangan dengan paham kalian berarti khusus atau telah dinasakh dan tidak berlaku lagi?!
(3)
Kalangan yang mengingkari adanya bid'ah hasanah mengatakan: Hadits:

)ُ‫َج ُر َم ْن َع ِم َل ِِبَا بَ ْع َده‬ ِ ِ


ْ ‫ِف ا ِإل ْسَلَم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَوُ أ‬
ْ ‫َج ُرَىا َوأ‬ ْ ‫( َم ْن َس َّن‬
ini sebabnya adalah bahwa beberapa orang fakir yang sangat fakir memakai semacam kulit hewan yang
dilubangi tengahnya lalu dipakai dengan cara dimasukkan melalui kepala mereka. Melihat itu paras Rasulullah
berubah dan bersedih melihat kefakiran mereka ini, lalu para sahabat bersedekah dan mengumpulkannya
sehingga banyak sedekah tersebut. Ketika itulah Rasulullah mengatakan hadits ini. Ini berarti Rasulullah memuji
sedekah dan itu sudah maklum keutamaannya dalam agama.
Jawab: Kaedah mengatakan:

ِ َ‫السب‬ ِ ِ ِ ِ ِ
‫ب‬ َّ ‫ص‬ ُ ُ‫اَلْعْب َرةُ ب ُع ُم ْوم اللَّ ْفظ َّلَ ِب‬
ِ ‫ص ْو‬
“Dalil itu dilihat dari keumuman lafazhnya bukan dari sebabnya yang khusus.” Jadi meskipun hadits tersebut
sebabnya khusus, namun sabda Nabi ketika itu berlafazh umum. Jadi yang dilihat keumuman hadits tersebut,
bukan kekhususan sebabnya. Seandainya maksud Nabi khusus, Nabi tidak akan menyampaikannya dengan
lafazh yang umum. Sungguh aneh, apakah mereka lebih mengetahui agama ini daripada Nabi sendiri ?!
(3)
Sebagian kalangan yang mengingkari adanya bid'ah hasanah mengatakan: Bukan hadits Nabi:

(ٌ‫ضَلَلَة‬
َ ‫ ) َوُك ُّل بِ ْد َع ٍة‬yang ditakhshish dengan hadits(‫ ) َم ْن َس َّن ِ ِْف ا ِإل ْسَلَِم‬tetapi sebaliknya.
Jawab: Ini adalah penafsiran ngawur dan tidak sesuai dengan Sanan al 'Ulama; cara para ulama dalam
memahami hadits-hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam. Al Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits ( ‫َم ْن‬
‫ ) َس َّن ِ ِْف ا ِإل ْسَلَِم‬mengatakan:
ِ َ‫احل ِد‬
‫ث‬ ِ ِ ِ ِ ‫ات والت‬
ْ َْ ‫ َوِ ِْف ى َذا‬.‫َّحذَْ ُر م َن األَبَاطْي ِل َوالْ ُم ْستَ ْقبَ َحات‬
ِ ْ ‫السنَ ِن‬
ْ َ َ‫احلَ َسن‬ ُّ ‫ات َو َس ّْن‬ ِ ‫اْلي ر‬ ِِ ِ ْ ‫"فِْي ِو‬
َ َْْ ‫ث َعلَى اَّلبْت َداء ب‬ ُّ َ‫احل‬
ِ ‫ "فَِإ َّن ُكلَّمح َدثٍَة بِ ْدعةٌ وُك َّل بِ ْدع ٍة ضَلَلَةٌ" وأ ََّن الْمراد بِِو الْمح َدثَات الْب‬ ‫صيص قَ ولِِو‬
."ُ‫اطلَةُ َوالْبِ َدعُ الْ َم ْذ ُم ْوَمة‬ ِ
َ ُ ْ ُ َ َُ َ َ َ َ َ ُْ ْ ُ ْ ْ‫ََت‬
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, merintis perkara-perkara baru yang baik,
dan memperingatkan dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat
pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain (ٌ‫ضَلَلَة‬
َ ‫) َوُك ُّل بِ ْد َع ٍة‬ dan bahwa bid'ah yang sesat adalah
perkara-perkara baru yang batil dan bid'ah-bid'ah yang dicela.”
As-Sindi mengatakan dalam Hasyiyah Ibnu Majah:

."‫ُص ْوِل الش َّْرِع َو َع َد ِم َها‬ ِ ِ ِ َّ ‫احلسنَ ِة و‬


ُ ‫الس يّْئَة ِبَُوافَ َقة أ‬
ِ ِ
َ ْ َ‫ َوالت َّْميِْي ُز ب‬،‫َي طَ ِرَْ َقةً َم ْرضيَّةً َُ ْقتَ َدى ِبَا‬
َ َ َْ ‫ْي‬ ْ ‫"سنَّةً َح َسنَةً" أ‬
ُ ُ‫"قَ ْولُو‬
“Sabda Nabi (ً‫سنَة‬
َ ‫َح‬ ً‫) ُسنَّة‬ maksudnya adalah jalan yang diridlai dan diikuti. Cara membedakan antara
bid'ah hasanah dan sayyi-ah adalah dengan melihat kesesuaiannya dengan dalil-dalil syara' atau tidak.”
Al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani dalam Fath al Bari (4/253) mengatakan:

‫ت ُم ْستَ ْقبَ ٍِ ِ ِْف‬ ِ ‫ وإِ ْن َكان‬،ٌ‫"والتَّح ِقيق أَنَّها إِ ْن َكانت ِِمَّا ت ندرِج ََتت مستحس ٍن ِِف الشَّرِع فَ ِهي حسنة‬
ُ ‫ت ِمَّا تَْن َدر‬
َ ‫ِج ََْت‬ ْ َ َ َ َ َ َ ْ ْ َ ْ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َْ ْ َ َ ُْ ْ َ
."ٌ‫الش َّْرِع فَ ِه َي ُم ْستَ ْقبَ َحة‬
“Cara mengetahui bid'ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika
perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara' berarti termasuk bid'ah
hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid'ah yang buruk.”
Jadi para ulama-lah yang mengetahui mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika hadits
tertentu bermakna khusus, hadits mana yang mengkhususkan. Para ulama juga yang mengetahui mana hadits
yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan.
Dari penjelasan ini juga diketahui bahwa perihal sebuah perkara baru tertentu termasuk bid'ah hasanah
atau sayyi-ah itu adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara
termasuk bid'ah hasanah atau sayyi-ah, bukan orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal
kenyataannya tidak demikian.

(4)
Kalangan yang mengingkari adanya bid'ah hasanah mengatakan:"Bid'ah yang diperbolehkan adalah bid'ah
dalam urusan dunia, itu-pun sebetulnya bid'ah secara bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah adalah
haram, sesat bahkan mendekati syirik".
Jawab: Subhanallahil 'Azhim, apakahberjama'ah di belakang satu imam dalam sholat Tarawih, membaca
lafazh talbiyah dan lafazh tasyahhud, membaca dzikir ketika I'tidal (‫فِْي ِو‬ ‫احلَ ْم ُد َحَْ ًدا َكثِْي ًرا طَيّْبًا ُمبَ َارًكا‬
ْ ‫ك‬ َ َ‫) َربَّنَا َول‬,
membaca doa qunut, melakukan sholat Dluha yang dianggap oleh Ibnu Umar sebagai bid'ah hasanah, apakah ini
semua bukan ibadah?! Apakah ketika orang menulis kata shalawat atas Nabi (‫سلَّم‬ ِ َّ َ ) tidak sedang
َ‫و‬ َ َ ‫صلى اهلُ َعلَْيو‬
beribadah kepada Allah? Apakah orang yang membaca al Qur'an yang ada titik dan harakat i'rabnya tidak sedang
beribadah kepada Allah, apakah ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al Qur'an yang ada titik dan
harakat i'rabnya?!
Kemudian dari mana ada pemilahan bid'ah secara bahasa (Bid'ah Lughawiyyah) dan bid'ah secara syara'?!
Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama (‫ع‬
ِ‫الشَّر‬ ُ‫ ) ََحَلَة‬maka harus dipahami dengan makna
ْ
syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah Umar dan Abdullah bin Umar mengetahui makna
bid'ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid'ah dan mengatakannya sebagai bid'ah
hasanah?! Itu karena mereka memahami adanya bid'ah hasanah dalam agama. Apakah mereka tidak pernah
mendengar hadits Nabi (ٌ‫ضَلَلَة‬
َ ‫ !?) َوُك ُّل بِ ْد َع ٍة‬Ataukah mereka tidak memahami kata (‫) ُك ُّل‬yang ada pada hadits
ini?! Mereka mendengarnya dan mengetahui adanya kata (‫ل‬ ُّ ‫) ُك‬di dalamnya, tetapi mereka tidak memahami
seperti pemahaman sebagian orang yang sempit pemahamannya ini. Karena mereka tahu bahwa ada hadits-
hadits lain yang sama-sama sahih dan jika tidak dikompromikan dengan hadits ini berarti menjadikan dalil-dalil
syara' saling bertentangan. Oleh karenanya mereka mengkompromikan dengan mengatakan hadits Nabi ( ‫َوُك ُّل‬
ٍ
َ ‫ )بِ ْد َعة‬ditakhshish (dikhususkan) dengan hadits Nabi yang sahih (‫ ) َم ْن َس َّن ِ ِْف ا ِإل ْسَلَِم‬dan hadits-hadits
ٌ‫ضَلَلَة‬
ٍ ٍ
sahih lainnya seperti yang telah dikemukakan. Sehingga maknanya menjadi (ٌ‫ضَلَلَة‬ َ -‫" ) َوُك ُّل بِ ْد َعة – َسيّْئَة‬Setiap
bid'ah yang buruk adalah sesat.” Dan ini sesuai dengan hadits:

‫ص ِم ْن أ َْوَزا ِرِى ْم َش ْىءٌ" (رواه‬ ِ ِ ِ ِِ ِ


َ ً‫ع بِ ْد َعة‬
ُ ‫ضَلَلَةً َّلَ تُ ْرضي اهلَ َوَر ُس ْولَوُ َكا َن َعلَْيو مثْ ُل آثَام َم ْن َعم َل ِبَا َّلَ ََْن ُق‬ َ ‫"م ْن ابْتَ َد‬
َ
)‫الَتمذي وابن ماجو‬ ّ
“Barangsiapa merintis suatu perkara baru yang sesat yang tidak diridlai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka
ia terkena dosa orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.”
(H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Inilah yang dijelaskan oleh para ulama Waratsatul Anbiya'.

(5)
Kalangan yang mengingkari adanya bid'ah hasanah mengatakan :“Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para
sahabat tidak pernah melakukannya, seandainya itu perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam
melakukannya.”

Jawab: Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka mengatakan: Rasulullah
melarangnya secara umum ketika beliau bersabda:(ٌ‫ضَلَلَة‬
َ ‫) َوُك ُّل بِ ْد َع ٍة‬.

Kita jawab: Bukankah Rasulullah juga telah bersabda: ( ‫َج ُر َم ْن َع ِم َل ِِبَا‬ ْ ‫َم ْن َس َّن ِ ِْف ا ِإل ْسَلَِم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَوُ أ‬
ْ ‫َج ُرَىا َوأ‬
ُ‫!)بَ ْع َده‬Lalu adakah kaedah syara' yang mengatakan:
!‫الر ُس ْو ُل بِ ْد َعةٌ ُُمََّرَمةٌ"؟‬
َّ ُ‫" َما ََلْ ََ ْف َعلْو‬
"Apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid'ah yang diharamkan"?! Tidak ada. Apakah sesuatu
dianggap boleh atau sunnah baru setelah Rasulullah melakukannya sendiri! Apakah kalian mengira bahwa
Rasulullah telah melakukan semua perkara yang boleh?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushhaf
yang ada titik dan harakat I'rabnya?! Bukankah itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau-pun para
sahabat! Bukankah kaedah mengatakan:
ِ‫تَرُك الشَّى ِء َّلَ َ ُد ُّل علَى مْنعِو‬
َ َ َ ْ ْ
“Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang.”
Jadi ketika Nabi atau para sahabat tidak melakukan sesuatu tidak berarti haram melakukannya. (Lihat
pembahasan tentang kaedah ini pada pendahuluan risalah ini)

Syubhat Kalangan Yang Mengharamkan Tarawih 20 Raka'at


(1)
Sebagian orang yang mengaku sebagai ahli dalam bidang hadits mengatakan bahwa haram hukumnya orang
melakukan sholat tarawih lebih dari sebelas raka'at karena Rasulullah melakukannya sebelas raka'at sebagaimana
dikatakan oleh 'Aisyah:

‫البخاري‬
ّ ‫ضا َن َوَّلَ ِ ِْف َغ ِْْيهِ َعلَى إِ ْح َدى َع ْشَرَة َرْك َعةً" رواه‬ ِ
َ ‫"ما َكا َن َر ُس ْو ُل اهل ََِزَْ ُد ِ ِْف َرَم‬
َ
“Rasulullah tidak pernah menambah di bulan Ramadlan atau bulan lainnya lebih dari sebelas raka'at.”
(H.R. al Bukhari)
Ini berarti orang yang melakukan sholat tarawih lebih dari sebelas raka'at telah menyalahi sunnah Nabi. Orang
yang melakukan sholat tarawih lebih dari sebelas raka'at tak ubahnya seperti orang yang melakukan sholat
Zhuhur lima raka'at.
Jawab:
Bahwa dalam masalah ini ada beberapa riwayat dari 'Aisyah:
1. Riwayat bahwa Rasulullah sholat malam 9 raka'at. (H.R. Ibnu Hibban)
2. Riwayat bahwa Rasulullah sholat malam 9 raka'at, kemudian di akhir hayat beliau 7 raka'at. (H.R. Ibnu
Hibban)
3. Riwayat bahwa Rasulullah sholat malam 13 raka'at, kemudian 11 raka'at dan sebelum meninggal 9 raka'at.
(H.R. Ibnu Hibban)
4. Riwayat bahwa Rasulullah sholat malam 13 raka'at, kemudian diakhiri dengan witir 5 raka'at satu salam.
(H.R. Muslim)
(2)
Jika mereka mengatakan: Riwayat-riwayat ini semuanya tidak sahih karena menyalahi riwayat 'Aisyah dalam
Sahih al Bukhari! Jadi riwayat 'Aisyah yang diunggulkan dan riwayat-riwayat yang lain ditolak !.
Jawab:Kaedah mengatakan:

."ِِ ‫َّم َعلَى الت َّْرِجْي‬


ٌ ‫"اَ ْْلَ ْم ُع ُم َقد‬
“Memadukan antara beberapa dalil yang (zhahirnya) bertentangan lebih didahulukan daripada tarjih
(mengunggulkan salah satu riwayat atas riwayat yang lain).”
Jadi karena riwayat-riwayat dari 'Aisyah yang telah disebutkan semuanya sahih dan masih mungkin dipadukan
dan dikompromikan maka tidak perlu dilakukan tarjih. Pemaduan (al Jam'u) antara riwayat-riwayat dari 'Aisyah
tersebut adalah dengan dikatakan: 'Aisyah ketika menyampaikan perkataan bahwa “Rasulullah tidak pernah
menambah di bulan Ramadlan atau bulan lainnya lebih dari sebelas raka'at,” ia mengatakan itu sesuai yang ia
saksikan dari Nabi pada awal mulanya, namun kemudian 'Aisyah sendiri melihat Nabi melakukan yang lain
kemudian beliau menyampaikan yang lain tersebut. Jadi pada awalnya 'Aisyah tidak mengetahui kecuali bahwa
Rasulullah sholat malam 11 raka'at, tapi kemudian beliau melihat Rasulullah sholat 13 raka'at atau kurang dari
11 raka'at (9 atau 7 raka'at) tersebut, maka hal itu beliau sampaikan. Dan bagaimana-pun 'Aisyah hanya bersama
Nabi dalam satu malam di antara 9 malam yang lain, jadi tidak bisa kita hanya merujuk kepada 'Aisyah dalam
hal ini. Karena pada malam-malam yang lain ternyata sahabat yang lain meriwayatkan sesuatu yang berbeda
dengan riwayat 'Aisyah:
- Ibnu 'Abbas meriwayatkan bahwa ketika Rasulullah bermalam di rumah bibinya Maimunah; salah satu
isteri Rasulullah, Rasulullah melakukan sholat malam sebanyak 13 raka'at. (H.R. al Bukhari, Muslim, Ibnu
Hibban, Ibnu al Mundzir dalam al Awsath dan Ibnu Khuzaimah dalam Sahih-nya)
- Al Hafizh al Khila'iyy meriwayatkan dari sahabat Ali bin Abi Thalib bahwa Rasulullah sholat malam
sebanyak 16 raka'at. Al Hafizh al 'Iraqi mengatakan: “Sanad riwayat ini Jayyid (kuat).”
- Al Hafizh Ibnu Hajar al 'Asqalani menukil dari Hawasyi al Mundziri bahwa riwayat tentang jumlah raka'at
sholat malam Rasulullah yang paling banyak adalah 17 raka'at. (lihat Talkhish al Habiir, 2/14-15)
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa yang diketahui oleh 'Aisyah berbeda dengan yang dilihat dan
disaksikan oleh beberapa sahabat yang lain. Dan tidak boleh ditolak riwayat sebagian sahabat dengan riwayat
sahabat yang lain, karena masing-masing meriwayatkan apa yang diketahuinya. Dan kaedah mengatakan:

."‫"م ْن َح ِف َظ ُح َّجةٌ َعلَى َم ْن ََلْ ََْي َف ْظ‬


َ
“Orang yang memiliki suatu pengetahuan tertentu adalah hujjah atas orang yang tidak memilikinya.”
Makna kaedah ini bahwa jika salah seorang sahabat mengatakan: Rasulullah tidak pernah melakukan
demikian (suatu perbuatan tertentu) sama sekali…, berarti sahabat ini telah meriwayatkan dan
menginformasikan sesuai yang ia ketahui dan saksikan dari Nabi. Kemudian jika sahabat yang lain menyatakan
tentang hal yang sama bahwa Rasulullah melakukan demikian, tentang sesuatu yang dinafikan oleh sahabat
pertama, maka tidak boleh dikatakan bahwa riwayat yang kedua ini adalah bathil dan keliru. Karena sahabat
yang pertama menyampaikan apa yang ia ketahui, dan sahabat yang kedua memiliki pengetahuan yang lebih dari
sahabat pertama, jadi sahabat kedua ini memiliki pengetahuan tertentu dari Rasulullah, sedangkan yang pertama
tidak mengetahuinya, sehingga orang yang mengetahui adalah hujjah atas orang yang tidak mengetahui.
Dalam masalah ini, dalam salah satu riwayat, 'Aisyah menafikan sama sekali bahwa Rasulullah pernah
sholat lebih dari 11 raka'at, tetapi sahabat lain seperti Ali dan Ibnu 'Abbas ternyata pernah menyaksikan
Rasulullah sholat malam lebih dari 11 raka'at, yaitu 13, 16 raka'at atau lebih. Jadi dalam masalah ini sahabat Ali
dan Ibnu 'Abbas menjadi hujjah atas sahabat 'Aisyah. Apalagi ternyata dalam riwayat-riwayat yang lain 'Aisyah
sendiri meriwayatkan hal yang serupa dengan riwayat Ali dan Ibnu 'Abbas.
Perbuatan-perbuatan Nabi yang berbeda-beda ini menunjukkan bahwa sesungguhnya hadits induk dan
yang menjadi rujukan dalam masalah ini adalah hadits Nabi:

)‫استَكْثَ َر" (رواه مسلم‬


ْ َ‫استَ َق َّل َوَم ْن َشاء‬
ْ َ‫ض ْو ٍع فَ َم ْن َشاء‬
ُ ‫لصَلَةُ َخْيُر َم ْو‬
َّ َ‫"ا‬
Maknanya: “Shalat adalah (termasuk) amal yang terbaik, maka barangsiapa berkehendak, ia (boleh)
menyedikitkan bilangan raka‟atnya dan barangsiapa berkehendak, ia (boleh) memperbanyak (bilangan
raka‟atnya) –yang dimaksud dalam hal ini adalah shalat sunnah (nawafil) -.” (H.R. Muslim)
dan hadits:

)‫الصْب َِ فَ ْليُ ْوتِْر بَِرْك َع ٍة" (رواه البخاري‬ ِ ِ


َ ‫"صَلَةُ اللَّْي ِل َمثْ ََن َمثْ ََن فَإذَا َخش َي أ‬
ُّ ‫َح ُد ُك ْم‬ َ
Maknanya: “Shalat malam itu dilakukan dua raka‟at dua raka‟at, maka apabila salah seorang di antara
kalian takut akan masuk waktu subuh lakukanlah shalat witir satu raka‟at.” (H.R. Bukhari)
Hadits yang kedua ini sebetulnya lebih kuat dari hadits 'Aisyah dari sisi sanad dan kemasyhurannya. Dan hadits
ini dengan tegas menunjukkan bolehnya sholat malam (Qiyamullail) kurang atau lebih dari 11 raka'at tanpa
batasan bilangan tertentu dan telah kita singgung bahwa hadits tentang Qiyam Ramadlan adalah umum dan
mutlak tanpa batasan bilangan raka'at tertentu. Berarti Qiyam Ramadlan tidak berbeda dengan Qiyamullail pada
umumnya. Inilah yang difahami oleh Imam Syafi'i dan ini juga yang dipahami oleh Umar dan disetujui oleh
semua sahabat dan para ulama salaf ketika mereka menentukan sholat Qiyam Ramadlan dengan jumlah raka'at
20 ditambah witir 3 raka'at seperti telah dikemukakan.
Jadi setiap orang yang melakukan sholat Qiyam Ramadlan 7, 9, 11, 13, 16, 17, 20, atau bahkan seratus
raka'at sekalipun atau lebih, semua ini sesuai dengan syara' dan tidak bertentangan sama sekali. Dan Rasulullah
tidak-lah melakukan semua yang beliau anjurkan, dan kaedah ushul fiqh mengatakan:

."ِ‫َّى ِء َّلَ ََ ُد ُّل َعلَى َمْنعِو‬


ْ ‫"تَ ْرُك الش‬
“Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang.”
Jadi ketika Rasulullah tidak melakukan sholat malam seratus raka'at misalnya bukan berarti itu haram, karena
Rasulullah sendiri yang mengatakan:

)‫استَكْثَ َر" (رواه مسلم‬


ْ َ‫استَ َق َّل َوَم ْن َشاء‬
ْ َ‫ض ْو ٍع فَ َم ْن َشاء‬
ُ ‫لصَلَةُ َخْيُر َم ْو‬
َّ َ‫"ا‬
Maknanya: “Shalat adalah (termasuk) amal yang terbaik, maka barangsiapa berkehendak, ia (boleh)
menyedikitkan bilangan raka‟atnya dan barangsiapa berkehendak, ia (boleh) memperbanyak (bilangan
raka‟atnya) –yang dimaksud dalam hal ini adalah shalat sunnah (nawafil) -.” (H.R. Muslim)

Syubhat Kalangan Yang Anti Maulid


(1)
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi mengatakan:“Peringatan Maulid tidak pernah dilakukan
oleh Nabi dan para sahabat tidak pernah melakukannya, seandainya itu perkara baik niscaya mereka telah
mendahului kita dalam melakukannya.”
Jawab: Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh
Nabi tidak mesti haram, yang haram adalah yang dilarang dan diharamkan oleh Nabi. Allah berfirman:

]‫[سورة احلشر‬

Maknanya: “..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah…” (Q.S. al Hasyr: 7)
Allah tidak menyatakan:

ُ‫الر ُس ْو ُل فَ ُخ ُذ ْوهُ َوَما تَ َرَكوُ فَانْتَ ُه ْوا َعْنو‬


َّ ‫َوَما آتَا ُك ُم‬
“Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka
tinggalkanlah.”
Ini berarti perkara haram adalah yang dilarang dan diharamkan oleh Nabi, bukan yang ditinggalkan Nabi saja.
Sesuatu tidaklah haram hanya karena tidak dilakukan oleh Nabi, melainkan menjadi haram ketika ada dalil yang
melarang dan mengharamkan.
Lalu dikatakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh atau sunnah harus ada
nash dari Nabi yang khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya maulid harus ada
nash khusus dari Nabi yang berbicara tentang maulid?! Bagaimana mungkin Nabi berbicara tentang segala
sesuatu secara khusus, bukankah jumlah nash-nash (teks-teks al Qur'an dan Hadits) itu terbatas sedangkan
‫ّْدةٌ َغْي ُر‬ ِ ِ ْ ‫اىي ةٌ و‬ ِ
peristiwa-peristiwa baru akan terus muncul dan bertambah ( َ ‫ث َوالْ َوقَ اُ ُع ُمتَ َج د‬
ُ ‫احلَ َواد‬ َ َ َ‫ص ُمتَ ن‬
ُ ‫ُّص ْو‬
ُ ‫اَلن‬
ِ ‫ !?)مت ن‬Jika setiap masalah harus dibicarakan oleh nash dari Nabi, lalu dimanakah posisi ijtihad dan apa fungsi
‫اىيَ ٍة‬َ َُ
ayat-ayat atau hadits-hadits yang umum seperti:

]‫َوافْ َعلُوا اْْلَْي َر لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُح ْو َن [سورة احل ّج‬


Maknanya: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung.” (Q.S. al Hajj: 77)

‫ُج ْوِرِى ْم‬ ِ ‫"من س َّن ِِف اْ ِإلس َلَِم سنَّةً حسن ةً فَلَو أَجرىا وأَجر من ع ِمل ِِبا ب ع َده ِمن َغ ِْي أَ ْن َ ْن ُق‬
ُ ‫ص م ْن أ‬
َ َ ْ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ ْ َ َُ ْ ُ َ َ َ ُ ْ َ َْ
.)‫َش ْىءٌ" (رواه اإلمام مسلم ِف صحيحو‬
Maknanya:“Barang siapa yang memulai dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan
mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun.”(H.R. Muslim dalam shahihnya).
Seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan Nabi atau para sahabat adalah haram dan sesat
tanpa terkecuali niscaya Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam tidak akan mengatakan:
"ّّ‫س ِمْنوُ فَ ُه َو َرد‬ ِ ِ َ ‫َح َد‬
َ ‫ث ِْف أ َْمرنَا ى َذا َما لَْي‬ ْ ‫" َم ْن أ‬
Melainkan akan mengatakan:

ّّ‫ث ِ ِْف أ َْم ِرنَا ى َذا َشْيئًا فَ ُه َو َرد‬


َ ‫َح َد‬
ْ ‫َم ْن أ‬
“Barangsiapa merintis hal baru dalam agama kita apapun itu maka pasti ditolak.”
Jadi tidak semua perkara baru adalah sesat dan ditolak. Setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan
dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara'. Kalau sesuai maka boleh dilakukan, dan jika
menyalahi maka tidak boleh dilakukan. Bukankah al Hafizh Ibnu Hajar telah menyatakan:

‫ت ُم ْستَ ْقبَ ٍِ ِ ِْف‬ ِ ‫ وإِ ْن َكان‬،ٌ‫"والتَّح ِقيق أَنَّها إِ ْن َكانت ِِمَّا ت ندرِج ََتت مستحس ٍن ِِف الشَّرِع فَ ِهي حسنة‬
َ ‫ِج ََْت‬
ُ ‫ت ِمَّا تَْن َدر‬
ْ َ َ َ َ َ َ ْ ْ َ ْ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َْ ْ َ َ ُْ ْ َ
."ٌ‫الش َّْرِع فَ ِه َي ُم ْستَ ْقبَ َحة‬
“Cara mengetahui bid'ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika
perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara' berarti termasuk bid'ah
hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid'ah yang buruk.”
Layakkah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan setiap perkara baru adalah
sesat?!
(2)
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi mengatakan:"Peringatan Maulid itu sering dibarengi
dengan perkara-perkara haram dan maksiat.”
Jawab: Apakah karena itu lantas Peringatan maulid diharamkan?! Apakah orang diharamkan masuk pasar,
karena di pasar orang sering melakukan perbuatan haram seperti membuka aurat, menggunjingkan orang,
menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak. Demikian juga peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan
dalam pelaksanaannya, kesalahan-kesalahan itu-lah yang harus diperbaiki. Dan memperbaiki-nya tentunya
bukan dengan mengharamkan maulid. Sesuatu yang boleh ya boleh, tidak boleh diharamkan! Bukankah al
Hafizh Ibnu Hajar telah mengatakan:
ِ ‫لكنَّها مع ذلِك قَ ْد ا ْشتملَت علَى َُم‬
‫اس َن‬َ َ ْ ََ
ِ ِ ِ ِ َّ ‫ف‬
َ َ َ َ ‫ َو‬،‫الصال ِِ م َن الْ ُق ُرْو ِن الثََّلَثَة‬ َّ ‫َص ُل َع َم ِل اْل َم ْولِ ِد بِ ْد َعةٌ ََلْ تُْن َق ْل َع ِن‬
ِ َ‫السل‬ ْ ‫"أ‬
."ً‫ت بِ ْد َعةً َح َسنَة‬ ِ ‫اسن وََتن‬ ِ ِ ِ ِ
ْ َ‫َّىا َكان‬
َ ‫َّب ضد‬
َ َ َ َ ‫ فَ َم ْن ََتََّرى ِْف َع َمل َها الْ َم َح‬،‫ّْىا‬ َ ‫َوضد‬
“Asal peringatan maulid adalah bid'ah yang belum pernah dinukil dari as-Salaf as-Saleh pada tiga abad
pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya, jadi
barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi
lawannya; hal-hal yang buruk, maka itu adalah bid'ah hasanah.”
(2)
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi mengatakan:“Peringatan Maulid itu seringkali
menghabiskan dana yang besar dan itu tabdzir, kenapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang
lebih penting”.
Jawab: Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah, Perkara yang dianggap baik oleh para ulama kenapa disebut
tabdzir?! Orang yang beramal, bersedekah bagaimana mungkin dianggap melakukan perbuatan haram, yaitu
tabdzir?! Kenapa orang-orang seperti ini selalu bersikap suuzhzhann (berprasangka buruk) terhadap ummat
Islam?! Kenapa mesti mencari dalih-dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya?! Kenapa mereka menganggap seakan peringatan maulid tidak ada maslahatnya sama sekali untuk
ummat, Bukankah peringatan Maulid mengingatkan kepada perjuangan Nabi dalam berdakwah sehingga
membangkitkan semangat kita untuk berdakwah! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita
kepada Nabi dan menjadikan kita banyak bershalawat atasnya! Sungguh, maslahat-maslahat ini bagi orang yang
beriman tidak bisa diukur dengan harta!
(3)
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering mengatakan:“Peringatan Maulid itu pertama kali
diadakan oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi dan tujuannya adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti
orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid.
Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu.”
Jawab: Sungguh aneh, pernyataan seperti ini. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama
kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Shalahuddin al Ayyubi. Bukankah para ahli sejarah seperti
Ibnu Khallikan, Sibth Ibnu al Jawzi, Ibnu Katsir, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan lainnya telah menyatakan bahwa
orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja al Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al
Ayyubi?! Atau-kah ini namanya merekayasa sejarah dengan tujuan tersendiri: mereka mengatakan Shalahuddin
al Ayyubi yang pertama kali mengadakan maulid, kalau Shalahuddin berarti tujuannya untuk mobilisasi jihad
dalam perang salib, jika maulid diadakan bukan dengan tujuan mobilisasi jihad berarti telah menyimpang, dan
targetnya maulid adalah haram, atau -paling tidak- tidak perlu?!Subhanallah. Kenapa kalau bagi sebagian dari
mereka dalam keadaan tertentu untuk kepentingan tertentu maulid boleh, istighotsah boleh, tetapi bagi orang lain
haram?!
Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan-pun tidak ada seorang-pun yang mengisyaratkan bahwa motivasi
maulid adalah dalam rangka mobilisasi untuk jihad, lalu dari mana muncul pemikiran seperti ini?!Wallahu
A'lam. Apakah peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya mobilisasi massa untuk jihad?! Apa dasar
perkataan seperti ini? Tidak ada. Al Hafizh Ibnu Hajar, as-Suyuthi, as-Sakhawi dan para ulama lain yang telah
menjelaskan tentang kebolehan peringatan maulid sama sekali tidak mengaitkannya dengan mobilisasi untuk
jihad. Dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid juga tidak menyebut jihad sama sekali,
mengisyaratkan-pun tidak. Dari sini kita tahu betapa rancu dan tidak berdasar perkataan mereka kalau sudah
berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidlal ?! Semoga Allah merahmati para ulama kita, sungguh mereka
adalah cahaya penerang ummat dan penuntun menuju jalan yang diridlai Allah.

Syubhat Kalangan Yang Mengharamkan Membaca Al Qur'an Untuk Mayit


(1)
Kalangan yang mengharamkan membaca al Qur'an untuk mayit selalu mengatakan: Bukankah Nabi dalam hadits
riwayat Ibnu Hibban dan lainnya telah bersabda:

)‫صالِ ٍِ ََ ْدعُ ْو لَوُ (رواه ابن حبّان‬ ٍ ِِ ِ ٍ ٍ :‫ث‬


َ ‫ص َدقَة َجا ِرََة أ َْو ع ْل ٍم َُْنتَ َف ُع بو أ َْو َولَد‬
َ
ٍ َ‫إِ َذا مات ا ِإلنْسا ُن انْ َقطَع عملُو إَِّلَّ ِمن ثََل‬
ْ ُ ََ َ َ َ َ
Ini artinya jika seseorang meninggal tidak ada yang akan bermanfaat baginya kecuali tiga hal yang
disebutkan dalam hadits ini. Karena bacaan al Qur'an orang lain untuk mayit tidak termasuk yang tiga ini
berarti tidak akan bermanfaat bagi mayit.

Jawab: Makna hadits tersebut adalah bahwa orang yang telah meninggal dunia amalnya terhenti, dan dia tidak
bisa beramal lagi. Dia tidak bisa lagi melakukan amal taklifi yang terus mengalirkan pahala untuknya kecuali
tiga amal tersebut. Tiga amal tersebut akan terus mengalirkan pahala untuknya meskipun ia telah meninggal,
karena ketika ia masih hidup dia-lah yang menjadi penyebab dari tiga amal tersebut. Jadi hadits ini berbicara
tentang amal mayit. Amal mayit terhenti dengan kematiannya. Hadits ini tidak berbicara tentang amal orang lain
untuk mayit. Jadi hadits ini sama sekali tidak menafikan bahwa orang lain yang masih hidup bisa saja melakukan
hal-hal yang bermanfaat buat mayit. Bukankah doa bukan amal si mayit, tetapi akan bermanfaat untuk mayit?!
Bukankah istighfar bukan amal mayit, tetapi bermanfaat untuk mayit?! Bukankah sedekah anak untuk mayit
bukan amal mayit, tetapi akan bermanfaat untuk mayit, meskipun tidak termasuk yang tiga ini. Demikian pula
bacaan al Qur'an untuk mayit bermanfaat untuknya dan akan sampai pahalanya kepadanya, meskipun bukan
amalnya sesuai dengan dalil-dalil yang telah dikemukakan. Seandainya bacaan al Qur'an sia-sia dan tidak
bermanfaat untuk mayit, niscaya Rasulullah tidak akan memerintahkan kita untuk melakukan sholat Jenazah,
karena sholat Jenazah bukan amal mayit. Tetapi ketika Rasulullah memerintahkan kita untuk melakukan sholat
Jenazah itu artinya sholat Jenazah bermanfaat untuk mayit, meskipun bukan amalnya sendiri. Dan karena dalam
sholat jenazah kita membaca surat al Fatihah, salah satu surat al Qur'an, berarti bacaan al Qur'an bermanfaat
untuk mayit, surat apapun yang dibaca untuknya dan oleh siapa-pun.
(2)
Kalangan yang mengharamkan membaca al Qur'an untuk mayit ini ketika menyebutkan adab ziarah kubur
mereka mengatakan:
ِ‫ت الَّ ِذي تُ ْقرأُ فِيو‬
ْ َ ْ
ِ ‫ فَِإ َّن الشَّيطَا َن َ ْن ِفر ِمن الْب ي‬،‫َّلَ ََْتعلُوا ب ي وتَ ُكم م َقابِر‬: ‫ال‬
َْ َ ُ َ ْ َ َ ْ ْ ُُ ْ َ َ َ‫ ق‬.َ‫َع َد ُم قَِراءَةِ َش ْى ٍء ِم َن الْ ُق ْرءَ ِان َولَ ْو ال َف ِاَتَة‬
 ‫الر ُس ْوِل‬َّ ‫ت َع ِن‬ ِ ِ ‫ت َُمََلِّ لِْل ُق ْرءَ ِان بِ َعك‬
ْ ُ‫ َوََلْ ََثْب‬،‫ْس الْبُيُ ْوت‬
ِ ُ َ‫احل ِد‬
ْ ‫ث َُشْي ُر إِ ََل أ ََّن الْ َم َقابَِر لَْي َس‬
ِ
ْ َْ ‫ َو‬.)‫(رَواهُ ُم ْسل ٌم‬ ِ
َ ‫ُس ْوَرةُ الْبَ َقَرة‬
ِ ‫وصحابتِ ِو أَنَّهم قَرأُوا اْل ُقرءا َن لِألَمو‬
.‫ات‬ َْ َْ ْ َ ْ ُ َ َ َ َ
“Tidak membaca al Qur'an sedikit-pun meskipun hanya surat al Fatihah. Rasulullah  bersabda yang
maknanya: "Jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena setan akan lari dari rumah yang
dibacakan surat al Baqarah di dalamnya." (H.R.Muslim). Hadits ini mengisyaratkan bahwa kuburan
bukan tempat untuk membaca al Qur'an berbeda dengan rumah, dan tidak ada riwayat yang sahih yang
menjelaskan bahwa Rasulullah atau para sahabatnya membaca al Qur'an untuk mayit".
Jawab: Maksud hadits ini, jangan kalian kosongkan rumah dari bacaan al Qur'an seperti halnya mayit yang
berada di kuburnya tidak membaca al Qur'an. Hadits ini sama sekali tidak berbicara tentang orang yang masih
hidup yang membacakan al Qur'an untuk mayit di kuburnya. Hadits ini mirip dengan hadits yang lain:

)‫البخاري‬ ِ ‫اِجعلُوا ِمن صَلَتِ ُكم ِِف ب ي وتِ ُكم وَّلَ تَت‬
‫َّخ ُذ ْوَىا قُبُ ْوًرا (رواه‬
ّ َ ْ ْ ُُ ْ ْ َ ْ ْ َ ْ
“Jadikanlah sebagian dari sholat kalian di rumah-rumah kalian dan jangan jadikan rumah-rumah kalian
seperti kuburan.”(H.R. al Bukhari)
Mari kita ikuti bagaimana para ulama menjelaskan hadits ini. Syekh Abdullah al Ghumari mengatakan dalam
kitabnya Itqan ash-Shan'ah (hal. 79-80):
ِ ‫ اِجعلُوا ِمن‬:‫ال‬ ِِ ِ َّ ‫ باب َكر ِاىي ِة‬:‫ي‬
ْ ِ ‫صَلَت ُك ْم‬
‫ِف‬ َ ْ ْ َ ْ َ َ‫ ق‬ ‫َِّب‬ ّْ ِ‫ َوَرَوى فْيو َع ْن ابْ ِن ُع َمَر َع ِن الن‬،‫الصَلَة ِ ِْف الْ َم َقابِ ِر‬ َ َ ُ َ ُّ ‫ال الْبُ َخا ِر‬ َ َ‫َوق‬
،ِ‫ت َُمََلِّ لِلْعِبَ َادة‬ ِ ِِ ِ ُ ِ‫ال ا ْحلَاف‬ ِ ‫ب ي وتِ ُكم وَّلَ تَت‬
ْ ‫(وَّلَ تَتَّخ ُذ ْوَىا قُبُ ْوًرا) إِ َّن الْ ُقبُ ْوَر لَْي َس‬ َ :‫استَ ْنبَ َط م ْن قَ ْولو‬ ْ :‫ظ‬ َ َ‫ ق‬.‫َّخ ُذ ْوَىا قُبُ ْوًرا‬ َ ْ ْ ُُ
ّْ ‫اد ِرهِ إِ ََل‬
.‫الذ ْى ِن‬ ِ ِ ُ ‫ وإِ ْن َكا َن اللَّ ْف‬،‫اى ٍر‬ ِ ِ ِ ِ َّ ‫فَت ُكو ُن‬
ُ َ‫ بَ ْل َغْي ُرهُ أ َْوََل لَتب‬،ُ‫ظ ََْيتَملُو‬ َ َ‫ َوى َذا اَّل ْستْنبَا ُط َغْي ُر ظ‬.ً‫الصَلَةُ فْي َها َمك ُْرْوَىة‬ ْ َ
ِ َّ ‫ وتَأ ََّولَو ََجاعةٌ علَى أَنَّو إََِّّنَا فِي ِو الن َّْدب إِ ََل‬،ِ‫الصَلَةِ ِِف الْم ْقب رة‬ ِ ِ ْ ‫ال ابْن الت‬
ْ ِ ‫الصَلَة‬
‫ِف‬ ُ ْ ُ َ َ َ ُ َ َ َ َ ْ َّ ‫ي َعلَى َكَر َاىة‬ ُّ ‫ تَأ ََّولَوُ الْبُ َخا ِر‬:‫ّْْي‬ ُ َ َ‫ق‬
‫ال ابْ ُن قُ ْرقُ ْول‬َ َ‫ َوق‬.‫صلُّ ْو َن ِ ِْف بُيُ ْوِتِِ ْم َوِى َي الْ ُقبُ ْوُر‬ ِ
َ َُ َ‫ َّلَ تَ ُك ْونُ ْوا َكالْ َم ْوتَى الَّذَْ َن َّل‬:‫ال‬ َ َ‫ َكأَنَّوُ ق‬،‫صلُّ ْو َن‬ َ َُ َ‫َن الْ َم ْوتَى َّل‬ َّ ‫ت أل‬ ِ ‫الْب ي و‬
ْ ُُ
ّْ ‫ إِ َّن تَأْ ِوَْ َل البُ َخا ِر‬:ِ‫ّْهاََة‬ ِ ِ
ْ ِ ‫صلّْ ْي‬
‫ِف‬ َ َُ َ‫ت َّل‬ َ ّْ‫ َم ْعنَاهُ أ ََّن اْل َمي‬:‫ال‬ َ َ‫ َواأل َْوََل قَ ْو ُل َم ْن ق‬،‫ي َم ْر ُج ْو ٌح‬ َ ‫ِ ِْف اْل َمطَال ِع َوتَبِ َعوُ ابْ ُن األَث ِْْي ِ ِْف الن‬
ِ ِ ِ ِ ِ ُّ ِ َّ‫اْلَط‬ َ َ‫ َوق‬.ِ‫قَ ِْْبه‬
َ‫ت َّل‬ ُ ّْ‫ َواْل َمي‬،‫َخ ْو اْل َم ْوت‬ ُ ‫ فَِإ َّن الن َّْوَم أ‬،‫صلُّ ْو َن فْي َها‬
َ ُ‫ ََْيتَم ُل أ ََّن اْل ُمَر َاد َّلَ ََْت َعلُ ْوا بُيُ ْوتَ ُك ْم للن َّْوم فَ َق ْط َّلَ ت‬:‫اب‬ ْ ‫ال‬
َ َ‫ ق‬.‫ت َوبَْيتَوُ َكالْ َق ِْْب‬ ِ ّْ‫ جعل نَ ْفسو َكالْمي‬،‫ أ ََّن من ََل َص ّْل ِِف ب يتِ ِو‬:‫ ََيتَ ِمل أَ ْن َ ُكو َن الْمراد‬:‫ال التُّورب ْش ِِت‬
‫ال‬ َ ُ َ َ َ َ َْ ْ َ ُ ْ ْ َ ُ َ ُ ْ َ ُ ْ ُّ َ ْ ْ َ َ‫ َوق‬.‫صلّْ ْي‬ َ َُ
ِ ّْ‫احلي والْمي‬ ِِ ِ َّ ِ ِِ ِ َّ ِ ِ ُ ِ‫احلَاف‬
.‫ت‬ َ َ ّْ َْ ‫ َوالْبَ ْيت الذ ْي َّلَ َُ ْذ َك ُر اهلُ فْيو َك َمثَ ِل‬،‫ َمثَ ُل الْبَ ْيت الذ ْي َُ ْذ َك ُر اهلُ فْيو‬:‫"وَُ َؤَّْ ُدهُ َما َرَواهُ ُم ْسل ٌم‬ َ :‫ظ‬ ْ
“Al Bukhari mengatakan: Bab makruhnya sholat di kuburan. Dalam bab ini al Bukhari meriwayatkan
dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, beliau bersabda :
ِ ‫اِجعلُوا ِمن صَلَتِ ُكم ِِف ب ي وتِ ُكم وَّلَ تَت‬
.‫َّخ ُذ ْوَىا قُبُ ْوًرا‬ َ ْ ْ ُُ ْ ْ َ ْ ْ َ ْ
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “al Bukhari mengambil dalil dari sabda Nabi shallallahu 'alayhi
wasallam (‫قُبُ ْوًرا‬ ِ ‫)وَّلَ تَت‬
‫َّخ ُذ ْوَىا‬ َ bahwa kuburan bukan tempat untuk beribadah, jadi sholat di kuburan
hukumnya makruh.” Istinbath ini kurang tepat meskipun lafazh hadits mengandung kemungkinan makna
ini, dan istinbath yang lain lebih tepat. Ibnu at-Tin mengatakan: “Al Bukhari memahami dari hadits ini
makruhnya sholat di kuburan. Dan sekelompok ulama yang lain memahami bahwa maksud hadits ini
adalah anjuran untuk sholat di rumah karena orang-orang yang mati tidak sholat, seakan Rasulullah
mengatakan: Jangan kalian seperti orang mati yang tidak sholat di rumah mereka, yaitu kuburan.” Ibnu
Qurqul dalam al Mathali' dan diikuti oleh Ibnu al Atsir dalam an-Nihayah mengatakan: “Pemahaman al
Bukhari terhadap hadits ini lemah, pemahaman yang lebih tepat adalah perkataan yang menyatakan:
makna hadits ini: bahwa mayit tidak sholat di kuburnya.” Al Khaththabi mengatakan: “Mungkin maksud
hadits ini bahwa jangan jadikan rumah kalian sebagai tempat untuk tidur saja, di mana kalian tidak
sholat di sana, karena tidur adalah saudaranya mati, dan orang yang mati tidak melakukan sholat.” At-
Turbasyti mengatakan: “Mungkin maksud hadits ini bahwa orang yang tidak melakukan sholat di
rumahnya, telah menjadikan dirinya seperti mayit dan rumahnya seperti kuburan,” al Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan: “Pemahaman seperti ini didukung oleh hadits riwayat Muslim yang maknanya:
Perumpamaan rumah yang di sana disebut nama Allah dengan rumah yang di sana tidak disebut nama
Allah seperti halnya orang yang hidup dan orang yang telah mati.”
Jadi makna hadits Muslim:

.ِ‫ت الَّ ِذ ْي تُ ْقَرأُ فِْي ِو ُس ْوَرةُ الْبَ َقَرة‬


ِ ‫ فَِإ َّن الشَّيطَا َن َ ْن ِفر ِمن الْب ي‬،‫َّلَ ََْتعلُوا ب ي وتَ ُكم م َقابِر‬
َْ َ ُ َ ْ َ َ ْ ْ ُُ ْ َ
adalah seperti makna hadits al Bukhari:
ِ ‫اِجعلُوا ِمن صَلَتِ ُكم ِِف ب ي وتِ ُكم وَّلَ تَت‬
.‫َّخ ُذ ْوَىا قُبُ ْوًرا‬ َ ْ ْ ُُ ْ ْ َ ْ ْ َ ْ
Jangan jadikan rumah kalian seperti kuburan; dalam arti lakukan sholat di sana, bacalah al Qur'an di sana,
berdzikirlah di sana, karena mayit di kuburan tidak sholat, tidak membaca al Qur'an dan tidak berdzikir. Jadi
hadits Muslim tersebut berisi anjuran untuk membaca al Qur'an di rumah, supaya rumah tidak menjadi seperti
kuburan di mana mayit tidak membaca al Qur'an di dalamnya. Hadits ini sama sekali tidak membicarakan
tentang orang lain yang membacakan al Qur'an untuk mayit di kuburnya.
Kemudian dikatakan kepada mereka: Sungguh aneh, bagaimana mereka berdalil dengan "isyarat" yang
mereka pahami sendiri dari hadits, padahal banyak hadits-hadits yang secara khusus dan tegas berbicara tentang
masalah membaca al Qur'an untuk mayit seperti hadits Ma'qil ibn Yasar, hadits Abdullah ibnu Umar, hadits al-
Lajlaj yang semuanya marfu' dari Rasulullah dan semuanya hadits hasan yang bisa dijadikan hujjah. Hadits-
hadits ini semuanya dengan tegas menjelaskan bahwa Rasulullah menganjurkan untuk membaca al Qur'an untuk
mayit, di kuburan atau jauh dari kuburan.
Bagaimana mereka mengatakan: “Tidak ada riwayat yang sahih yang menjelaskan bahwa
Rasulullah atau para sahabatnya membaca al Qur'an untuk mayit.” Apakah anjuran-anjuran
Rasulullah dalam hadits-hadits di atas tidak cukup untuk menjadi dalil bahwa boleh membaca al Qur'an
untuk mayit? Apakah sesuatu baru dianggap boleh atau sunnah kalau Rasulullah melakukannya
sendiri? Adakah dalil semacam ini, dan di mana adanya? Apakah al-Lajlaj yang berpesan kepada
anaknya agar dibacakan permulaan dan akhir surat al Baqarah bukan amalan salaf? Bahkan dalam
riwayat al Bayhaqi di as-Sunan al Kubra, 4/56, pesan al Lajlaj berbunyi: “…dan bacalah di dekat
kepalaku (sesudah dikebumikan) ayat-ayat pertama dan akhir surat al-Baqarah, karena sungguh aku
telah menyaksikan Ibnu 'Umar menganggap sunah hal tersebut.” (Riwayat ini dinilai hasan oleh Imam
an-Nawawi dalam al Adzkar, al Hafizh Ibnu Hajar dalam Takhrij al Adzkar). Bukankah Ibnu Umar
salah seorang sahabat Nabi?!
Bukankah membaca al Qur'an untuk mayit di kuburan adalah tradisi para sahabat Anshar seperti kata asy-
Sya'bi -diriwayatkan oleh Al Khallal dalam al Jami'-:

.‫ت اِ ْختَ لَ ُف ْوا إِ ََل قَ ِْْبهِ ََ ْقَرءُ ْو َن لَوُ ال ُق ْرءَا َن‬ َ ‫ص ُار إِ َذا َم‬
ٌ ّْ‫ات َهلُ ْم َمي‬ َ ْ‫ت األَن‬
ْ َ‫َكان‬
“Tradisi para sahabat Anshar jika salah seorang di antara mereka meninggal, mereka akan datang ke
kuburnya silih berganti dan membacakan al Qur'an untuknya (mayit).”
Al Kharaithi dalam kitab al Qubur juga meriwayatkan:

.ِ‫ت أَ ْن ََ ْقَرءُ ْوا َم َعوُ ُس ْوَرةَ البَ َقَرة‬


َ ّْ‫صا ِر إذَا ََحَلُ ْوا الْ َمي‬
َ ْ‫ُسنَّةٌ ِ ِْف األَن‬
“Kebiasaan di kalangan para sahabat Anshar jika mereka membawa jenazah (ke pemakaman) adalah
mengiringinya dengan membaca surat al-Baqarah.”(Dituturkan oleh al Qurthubi dalam at-Tadzkirah fi
Ahwal al Mauta wa Umur al Akhirah, hal. 93).
Bahkan Ibnu al Qayyim dalam kitabnya ar-Ruh menegaskan bahwa sekelompok para ulama salaf
berwasiat agar dibacakan al Qur‟an di dekat kuburan mereka saat dikuburkan. Atsar-atsar di atas juga disebutkan
oleh Ibnu al Qayyim.
Lihatlah wahai pembaca yang budiman, bagaimana mereka menyalahi para ulama salaf ketika mereka
mengatakan: "Tidak membaca al Qur'an sedikit-pun meskipun hanya surat al Fatihah", padahal mereka
mengklaim selalu mengikuti salaf (Salafiyyah), bukankah para sahabat, para tabi'in; asy-Sya'bi dan lainnya,
Imam Syafi'i, Imam Ahmad ibnu Hanbal termasuk ulama salaf dan mereka semua membolehkan bahkan
menganjurkan untuk dibacakan al Qur'an di kuburan!

Syubhat Kalangan Anti Istighotsah


(1)
Orang-orang yang anti istighotsah sering menyebut-nyebut sebagai dalil mereka sebuah hadits yang disepakati
sebagai hadits dla‟if. Yaitu hadits bahwa Abu Bakr berkata: Mari kita mendatangi Rasulullah dan meminta
pertolongan kepada beliau dari orang munafik ini, kemudian Rasulullah mengatakan:

.ِ‫اث بِاهل‬
ُ َ‫إََِّّنَاَُ ْستَ غ‬،‫اث ِ ْب‬
ُ َ‫إِنَّوُ َّلََُ ْستَ غ‬
“Sungguh tidak boleh beristighotsah denganku, istighotsah hanyalah boleh dengan Allah.”
Jawab:Hadits ini salah satu perawinya adalah Ibnu Lahi‟ah dan ia adalah perawi yang lemah. Hadits ini juga
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dalam Sahih-nya dari sahabat Abdullah ibnu
Umar tentang peristiwa di padangMahsyar. Bagaimana mereka berpegangan dengan hadits yang dla‟if dan
bertentangan dengan hadits yang sahih?!
(2)
Kalangan yang anti istighotsah ketika mengharamkan isti'anah dan istighotsah dengan selain Allah juga
menyebutkan hadits Nabi dari Ibnu Abbas:

)‫الَتمذي‬
ّ ‫(رواه‬.ِ‫استَعِ ْن بِاهل‬
ْ َ‫ت ف‬ ْ ‫اسأَل اهلَ َوإِ َذ‬
َ ‫ااستَ َعْن‬ َ ْ‫اسأَل‬
ْ َ‫ت ف‬ ِ
َ ‫إ َذ‬
Hadits ini menunjukkan bahwa hanya boleh beristi'anah dan beristighotsah kepada Allah.
Jawab:Makna hadits ini bukanlah: Jangan memohon kepada selain Allah dan jangan meminta tolong kepada
selain Allah. Melainkan makna hadits ini adalah bahwa yang paling layak diminta dan diharap pertolongannya
adalah Allah ta'ala. Hadits ini maknanya seperti hadits Nabi:

)‫(رواه ابن حبّان‬.‫ك إَِّلَّ تَِق ّّي‬ ِ


َ ‫ َوَّلَََأْ ُك ْل طَ َع َام‬،‫ب إَِّلَّ ُم ْؤمنًا‬
ِ ُ‫َّل ت‬
ْ ‫صاح‬
َ
Jadi sebagaimana hadits ini tidak menunjukkan haramnya bersahabat dengan non muslim dan haramnya
memberi makan kecuali kepada orang yang bertakwa, melainkan maknanya bahwa yang paling layak dijadikan
teman adalah orang mukmin dan yang paling layak dijamu adalah orang yang bertakwa. Hadits tersebut tidak
berarti haram memberi makan kepada selain orang mukmin dan haram menjadikannya sebagai teman. Allah
ta'ala memuji kaum muslimin di dalam al Qur'an dengan firman-Nya:

       

Maknanya:“Dan mereka memberikan makanan karena Allah kepada orang miskin, anak yatim dan orang
kafir yang ditawan.”(Q.S. al Insan: 8)
Demikian pula hadits Ibnu Abbas hanya menunjukkan makna awlawiyyah (yang paling layak). Karena
Rasulullah tidak mengatakan:

ِ‫َّلَتَسأ َْل َغي ر اهلِ وَّلَتَستعِن بِغَْي اهل‬


ْ ْ َْ َ َْ ْ
Bukankah jauh berbeda antara perkataan:

ِ‫َّلَتَسأ َْل َغي ر اهلِ وَّلَتَستعِن بِغَ ِْياهل‬


ْ ْ َْ َ َْ ْ
dan perkataan:

. ِ‫ن بِاهل‬ ِ َ‫إِذَاسأَلْت فَاسأ َِل اهل وإِذَااست عْنت ف‬


ْ ‫استَع‬
ْ َ َ َْ َ ْ َ َ َ
Dan jika hadits Ibnu Abbas dimaknai secara mutlak bahwa tidak boleh meminta pertolongan kecuali
kepada Allah, itu artinya menolak dalil-dalil yang sahih tentang isti'anah dan istighotsah kepada selain Allah
yang telah disebutkan, juga menolak ayat-ayat dan hadits-hadits umum yang menisbatkan Ighotsah (memberi
pertolongan) kepada hamba dan menganjurkan para hamba untuk saling tolong menolong antar sesama, di
antaranya firman Allah:

     

Maknanya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.”(Q.S. al Maa-
idah: 2)
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:

َّ ‫الض‬
)‫(رواه أبوداود‬.‫آل‬ َ ‫َوأَ ْن تُغِْيثُ ْوا الْ َم ْل ُه ْو‬
ّ ‫ف َوتَ ْه ُد ْوا‬
“(Di antara hak-hak jalan) kalian menolong orang yang berada dalam kesulitan dan menunjukkan orang
yang tersesat jalan.”(H.R. Abu Dawud)
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga bersabda:

)‫(رواه مسلم‬.‫ِف َع ْو ِن أ َِخْي ِو‬ ِ ِ


ْ ِ ‫َواهلُ ِ ِْف َع ْون الْ َعْبد َما َكا َن الْ َعْب ُد‬
“Allah akan senantiasa menolong hamba selama hamba menolong sesamanya.” (H.R. Muslim)

Syubhat Kalangan Anti Ziarah Kubur


(1)
Hadits “Laa Tusyaddu ar-Rihaal…”

‫ (رواه البخاري ومسلم وأبوداود‬.‫صى‬ ِِ ْ ‫اج َد َم ْس ِج ِد ْي ى َذا َوَم ْس ِج ِد‬


‫احلََرِام‬ ِ ‫ال إَِّلَّ إِ ََل ثََلَثَِة مس‬ ّْ ‫َّلَتُ َش ُّد‬
َ ‫َوَم ْسجد األَ ْق‬ ََ ُ ‫الر َح‬
)‫وغْيىم‬
Hadits ini disalahpahami oleh sebagian orang, sehingga mereka menyatakan bahwa orang yang melakukan
perjalanan jauh untuk maksud berziarah ke makam Nabi atau wali telah melakukan perbuatan haram.
Padahal hadits ini dipahami oleh para ulama salaf dan khalaf bahwa tidak ada fadlilah (keutamaan) yang
lebih dalam perjalanan jauh untuk tujuan shalat ke suatu masjid kecuali perjalanan ke tiga masjid tersebut
dikarenakan pahala shalat di sana dilipatgandakan. Di Masjidil haram dilipatgandakan pahala shalat sebanyak
seratus ribu kali lipat, di Masjid Nabawi seribu kali lipat dan di Masjid al Aqsha lima ratus kali lipat. Jadi hadits
tersebut berkaitan dengan safar untuk tujuan sholat, bukan berlaku untuk semua jenis safar seperti dijelaskan
oleh al Hafizh Waliyyuddin al 'Iraaqi dalam Tharh at-Tatsrib. Pemahaman ini berdasarkan hadits lain riwayat
Ahmad yang merupakan hadits hasan, hadits ini memperjelas maksud hadits tersebut. Rasulullah shallallahu
'alayhi wasallam bersabda:

.‫صى َوَم ْس ِج ِد ْي َى َذا‬ ِِ ِ ْ ‫لصَلَةُ َغْي ر الْمس ِج ِد‬


َ ْ‫احلََرام َوالْ َم ْسجد األَق‬ َْ َ َّ ‫َّلَََْنبَغِ ْي لِْل َم ِط ّْي أَ ْن تُ َش َّد ِر َحالُوُ إِ ََل َم ْس ِج ٍد َُْبتَ غَى فِْي ِها‬
)‫وحسنو احلافظ ابن حجر واهليثمي‬
ّ ‫(رواه أَحد‬
Maknanya: “Tidak selayaknya bepergian jauh ke sebuah masjid untuk tujuan sholat di sana selain ke
Masjid al Haram, Masjid al Aqsha dan Masjid-ku ini.” (H.R. Ahmad dan dinilain hasan oleh al Hafizh
Ibnu Hajar dan al Hafizh al Haytsami)
Jadi disimpulkan bahwa Mustatsna minhu dalam hadits tersebut taqdir-nya adalah Masjid, bukan tempat
secara umum. Jika dipaksakan ditaqdirkan mustatsna minhu-nya adalah tempat secara umum itu artinya bahwa
seseorang diharamkan melakukan perjalanan jauh untuk tujuan memenuhi nadzar, bepergian untuk jihad,
mencari ilmu yang wajib dituntut, berbakti kepada kedua orang tua, mengunjungi teman, bepergian untuk
melihat dan memikirkan ciptaan Allah padahal itu semua disyari'atkan dalam Islam sehingga merupakan perkara
sunnah atau wajib. Seperti halnya bepergian jauh untuk berdagang atau tujuan-tujuan duniawi semuanya adalah
boleh, dan tidak ada seorang-pun yang mengharamkannya dan tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama
dalam masalah ini.
Memahami hadits dengan hadits inilah yang dimaksud dengan Tafsir al Warid bil Warid yang merupakan
penafsiran yang tertinggi kesahihannya. Pemahaman terhadap hadits semacam inilah pemahaman yang sahih,
karena para ulama dari madzhab empat menyatakan bahwa berziarah ke makam Nabi adalah sunnah, baik
dilakukan dengan safar ataupun tidak dengan safar. Para ulama madzhab Hanbali-pun juga telah menegaskan
seperti para ulama madzhab yang lain bahwa berziarah ke makam Nabi hukumnya adalah sunnah, baik dijadikan
sebagai tujuan safar ataupun tidak.
Bahkan sebagian ulama menafsirkan lain. Al Hafizh Ibnu Abdil Barr menyatakan setelah menyebut hadits
riwayat al Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah sering mengunjungi Masjid Quba' dengan berkendaraan atau
berjalan: Hadits bahwa Rasulullah mengunjungi Masjid Quba' tidak bertentangan dengan hadits ( ‫ال‬ ّْ ‫)َّلَتُ َش ُّد‬
ُ ‫الر َح‬
karena makna hadits ini menurut para ulama berkait dengan orang yang bernadzar untuk sholat di salah satu dari
tiga masjid tersebut bahwa ia wajib memenuhinya berbeda dengan masjid selain yang tiga, sedangkan
mendatangi Masjid Quba' atau lainnya tidak dilarang dengan dalil hadits ini.
Jadi hadits tersebut khusus menerangkan tentang melakukan perjalanan untuk tujuan shalat. Di dalamnya
tidak ada larangan untuk berziarah ke makam Nabi shallallahu 'alayhi wasallam atau makam orang-orang saleh.
Hadits tersebut tidak berarti haram berziarah ke makam Nabi atau orang saleh. Hadits ini juga tidak berarti
kalau masjid yang boleh dituju saja hanya tiga sedangkan yang lain tidak, apalagi kuburan lebih-lebih tidak
boleh diziarahi. Melainkan makna hadits tersebut adalah tidak ada fadlilah (keutamaan) yang lebih dalam
perjalanan jauh untuk tujuan shalat ke suatu masjid kecuali perjalanan ke tiga masjid tersebut dikarenakan pahala
shalat di sana dilipatgandakan atau seperti dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr bahwa orang yang bernadzar untuk
sholat di salah satu dari tiga masjid tersebut bahwa ia wajib memenuhinya berbeda dengan masjid selain yang
tiga, sedangkan mendatangi Masjid Quba' atau lainnya tidak dilarang.

Syubhat Kalangan Yang Anti Hirz Dan Ta'widz


(1)
Kalangan yang mengharamkan hirz atau ta'widz selalu menyebutkan hadits Rasulullah yang berbunyi:

)‫ (رواه أبوداود‬.‫ّْولَةَ ِش ْرٌك‬ ِ ‫الرقَى والت‬


َ َ ُّ ‫إ َّن‬
َ ‫َّماُ َم َوالت‬
ِ
Maknanya: “Sesungguhnya ruqa, tama-im dan tiwalah adalah syirik.” (H.R. Abu Dawud)
Jawab: Hadits ini ditafsirkan dengan hadits lain yang sahih, yaitu:
ِ ‫الرقَى والتَّماُِ ِم إَِّلَّبِالْمع ّْو َذ‬
)‫ (رواه ابنحبّان‬.‫ات‬ َُ َ َ ُّ ‫نَ َهى َع ِن‬
“Rasulullah melarang ruqyah dan tamimah kecuali dengan ayat-ayat al Mu'awwidzat (ayat-ayat yang
dibaca untuk menjaga diri).” (H.R. Ibnu Hibban)
Jadi ruqa yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah sebagaimana dijelaskan oleh al Hafizh al Bayhaqi:

‫ َوإِ ْن‬،‫الرقَى ََلْ ََيُْز‬ُّ ‫العافِيَةِ إِ ََل‬ ِ ِ‫اىلِيَّةِ ِمن إ‬


َ ‫ضافَة‬ َ ْ
ِ ‫اْل‬ ِ ُ ‫َوى َذا ُكلُّوُ ََ ْرِج ُع إِ ََل َماقُ ْلنَا ِم ْن أَنَّوُ إِ ْن َرقَى ِِبَاَّلََُ ْعَر‬
َْ ‫ف أ َْو َعلَى َما َكا َن م ْن أ َْى ِل‬
.‫ َوبِاهلِ الت َّْوفِْي ُق‬،‫س بِِو‬
َ ْ‫اَل فََلَ بَأ‬ ّْ ‫ف ِم ْن ِذ ْك ِراهلِ ُمتَبَ ّْرًكا بِِو َوُىو َََرى نُُزْوَل‬
َ ‫الش َفاء ِم َن اهل تَ َع‬ ُ ‫اب اهلِ أ َْوِِبَا َُ ْعَر‬
ِ َ‫رقَى بِ ِكت‬
َ
“Ini semua kembali kepada apa yang telah aku sebutkan bahwasanya kalau seseorang membaca ruqa
(bacaan-bacaan) yang tidak jelas maknanya, atau seperti orang-orang di masa Jahiliyah yang meyakini
bahwa kesembuhan berasal dari ruqa tersebut maka itu tidak boleh. Sedangkan jika seseorang membaca
ruqa dari ayat-ayat al Qur'an atau bacaan-bacaan yang jelas seperti bacaan dzikir dengan maksud
mengambil berkah dari bacaan tersebut dan dengan keyakinan bahwa kesembuhan datangnya hanya dari
Allah semata maka hal itu tidak masalah, wabillah at-taufiq.”
Jadi ruqa ada dua macam; ada yang mengandung syirik dan ada yang tidak mengandung syirik.
 Ruqa yang mengandung syirik adalah yang berisi permintaan kepada jin dan syetan. Dan sudah maklum
diketahui bahwa setiap kabilah arab memiliki thaghut yaitu setan yang masuk pada diri seseorang dari
mereka kemudian setan itu berbicara lewat mulut orang tersebut kemudian orang tersebut disembah. Ruqa
yang syirik adalah ruqa jahiliyyah seperti ini atau yang semakna dengannya.
 Sedangkan ruqa yang syar‟i yaitu yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan diajarkan kepada para
sahabatnya.
Sedangkan tama-im yang dimaksud bukanlah tama-im dan ta‟awidz yang berisikan ayat-ayat al Qur‟an
atau bacaan-bacaan dzikir. Karena kata tama-im sudah jelas dan dikenal maknanya, yaitu untaian yang biasa
dipakai oleh orang-orang jahiliyyah dengan keyakinan bahwa tamaim tersebut dengan sendirinya menjaga
mereka dari 'ayn atau yang lainnya. Mereka tidak meyakini bahwa tama-im itu bermanfaat dengan kehendak
Allah. Karena keyakinan yang salah inilah kemudian Rasulullah menyebutnya sebagai syirik. Al Hafizh Ibnu
Hajar menjelaskan:

.‫ب الْ َمنَافِ ِع ِم ْن ِعْن ِد َغ ْْي اهل‬


َ ‫وج ْل‬
َ ‫ض ّْار‬
َ ‫َّه ْم أ ََر ُاد ْوا َد ْف َع الْ َم‬
ِ ِ
َ ‫َوإََِّّنَا َكا َن‬
ُ ‫ذلك م َن الش ّْْرك ألَن‬
“Menggunakan tama-im dan tiwalah termasuk syirik karena orang-orang arab jahiliyyah menghendaki
menolak bahaya dan memperoleh manfaat dari selain Allah.”
Ahli bahasa; al Jawhari dalam kamusnya ash-Shahah menyatakan:

‫ات إِ َذا ُكتِب‬ ِ ُ ‫َت اهل لَو" وَ َق‬ ِ ِ ِ ْ ‫ وِِف‬،‫ان‬ ِ ِ


ُ ‫ َوأ ََّما اْل َم َعا َذ‬،ٌ‫ال ى َي َخَرَزة‬ ُ َ ُ ُ ََّ ‫ " َم ْن َعلَّ َق ََتْي َمةً فََلَأ‬:‫احلَدَْث‬ َ ‫َوالتَّمْي َمةُ ُع ْو َذةٌ تُ َعلَّ ُق َعلَى ا ِإلنْ َس‬
.‫س ِِبَا‬ ِ ِ
َ ْ‫فْي َهاال ُق ْرءَا ُن َوأ َْْسَاءُ اهل َعَّزَو َج َّل فََلَ بَأ‬
“Tamimah adalah jimat yang dikalungkan pada seseorang seperti dalam hadits, juga disebut kharazah,
sedangkan jimat perlindungan yang ditulis di dalamnya al Qur‟an dan asma‟ Allah maka itu tidak
bermasalah.”
Hal yang sama dijelaskan oleh para ahli bahasa yang lain: Ibnu Manzhur, al Azhari dan lainnya.
Ummat Islam sejak dari masa sahabat telah mengalungkan tama-im yang berisi ayat-ayat al Qur‟an atau
dzikir tersebut untuk menjaga diri dari 'ayn dan yang lainnya sebagaimana telah diriwayatkan dari Abdullah ibn
„Amr ibn al „Ash dan para sahabat lainnya dengan sanad yang hasan. Hal ini juga dilakukan oleh Sa‟id ibn
Jubayr dan para tabi‟in lainnya. Juga telah masyhur dan diriwayatkan dengan sahih bahwa Ahmad ibn Hanbal
menulis hirz untuk muridnya Abu Bakr al Marwarrudzi pada sehelai kertas atau kain, beliau menulis di
dalamnya:

ِ‫بِس ِم اهلِ وبِاهلِ وُُم َّم ٍدرسوَِّلهل‬


ُْ َ َ َ َ ْ

       

agar ia sembuh dari demam".


(2)
Kalangan yang mengharamkan hirz atau ta'widz menyebutkan hadits Rasulullah yang berbunyi:

ََّ ‫َم ْن َعلَّ َق ََتِْي َمةً فََلَأ‬


)‫ (رواه أَحد واحلاكم وغْيمها‬.ُ‫َت اهلُ َهلَُوَم ْن َعلَّ َق َوَد َعةً فََلَ أ َْوَدعَ اهلُ لَو‬
Jawab:Pakar hadits dan bahasa, Ibnu al Atsir berkata:
ِ ِ ِ ّْ ‫َّهاَتََامُ الدَّواء و‬ ِ ََّ ‫ " َم ْن َعلَّ َق ََتِْي َمةً فََلَ أ‬:‫اآلخ ُر‬ ِ ْ ‫"و‬
‫َّه ْم‬ َ َ‫ َوإََّّن‬،‫الش َفاء‬
ُ ‫اج َعلَ َها ش ْرًكاألَن‬ َ َ َ ‫َّه ْم َكانُ ْوا ََ ْعتَق ُد ْو َن أَن‬
ُ ‫َت اهلُ لَوُ" َكأَن‬ َ ‫ث‬ ُ َْ‫احلَد‬ َ
."ُ‫فَطَلَبُ ْوا َد ْف َع األَ َذى ِم ْن َغ ِْْياهلِ الَّ ِذ ْي ُى َو َدافِ ُعو‬،‫أ ََر ُاد ْوا ِِبَ َاد ْف َع الْ َم َق ِادَْ ِر الْ َمكْتُ ْوبَةِ َعلَْي ِه ْم‬
“Hadits lain

ََّ ‫" َم ْن َعلَّ َق ََتِْي َمةً فََلَ أ‬


"ُ‫َت اهلُ لَو‬
sepertinya mereka dulu meyakini bahwa tamimah adalah obat dan kesembuhan yang sempurna, dianggap
syirik karena dengannya mereka berkehendak menolak takdir yang telah ditentukan oleh Allah bagi
mereka, maka mereka mencari tolak bahaya dari selain Allah, padahal Allah-lah yang menolak bahaya‟.”
Al Munawi, al Banna dan lainnya menegaskan:

َ ‫ فَطَلَبُ ْوا َد ْف َع األَ َذى ِم ْن َغ ِْْياهل تَ َع‬،‫ص ُد ِِبَا َد ْف َع الْ َم َق ِادَْر الْ َمكْتُ ْوبَ ِة َعلَْي ِه ْم‬
‫اَل َوى َك َذا َكا َن‬ ِ ‫ت تَعتَ ِق ُد تَأْثِي رىا وتَ ْق‬
َ ََ ْ ْ ْ َ‫ب َكان‬ َ ‫العَر‬
َ ‫َن‬ َّ ‫أل‬
.‫اىلِيَّ ِة‬
ِ ‫اْل‬
َْ ‫اد‬
ِ
ُ ‫ْاعت َق‬
“Karena orang-orang arab dahulu meyakini bahwa tamimah berpengaruh (dengan sendirinya) dan
bermaksud dengannya untuk menolak takdir yang ditentukan oleh Allah kepada mereka, maka mereka
mencari tolak bahaya dari selain Allah, demikianlah keyakinan mereka di masa jahiliyyah.”

(3)
Kalangan yang mengharamkan hirz atau ta'widz menyatakan bahwa sahabat Abdullah ibn Mas‟ud melarang hirz
atau ta'widz.
Jawab: Pakar tafsir al Qurthubi menegaskan:

‫اَّلستِ ْش َفاءُ بِال ُق ْرءَ ِان‬ ِ ِ ِ ‫ومارِوي عن اب ِن مسعوٍد ََيوز أ َْن َ ِرَ َدِِبا َك ِره تَعلِي َقو َغْي ال ُقرء ِان أَ ْشياء مأْخو َذةً عن‬
ْ ‫ إِذ‬،‫ْي َوالْ ُك َّهان‬ َ ْ ‫العَّراف‬
َ ْ َ ْ ُ َ َ َ َ ْ ْ ُ ْ ْ َ ْ ُ ُ ُْ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ َ ُ َ َ
ِ ِ ِ َّ ِ‫ َوقَ ْولُوُ َعلَْيو‬،‫معلَّ ًقا َو َغْي َرُم َعلَّ ٍق َّلَََ ُك ْو ُن ِش ْرًكا‬
ُ‫ " َم ْن َعلَّ َق َشْيئًا ُوّْك َل إلَْيو" فَ َم ْن َعلَّ َق ال ُق ْرءَا َن ََْنبَغ ْي أَ ْن ََتَ َوَّلَّهُ اهلُ َوَّلَََكلُو‬:ُ‫السَلَم‬ َ
.‫اَّلستِ ْش َف ِاء بِال ُق ْرءَ ِان‬ ِ ِ ‫اَل ىوالْمرغُو‬
ْ ‫ب إِلَْيو َوالْ ُمتَ َوَّكلُ َعلَْيو ِِف‬
ُ ْ ْ َ َ ُ َ ‫ ألَنَّوُ تَ َع‬،‫إِ ََل َغ ِْْيه‬
ِ

“Apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud bahwa ia tidak menyukai mengalungkan sesuatu bisa jadi yang
beliau maksud adalah selain al Qur‟an, yaitu mantra-mantra yang diambil dari para dukun dan peramal,
karena mencari kesembuhan dengan al Qur‟an dengan dikalungkan atau tidak bukanlah syirik, sedangkan
sabda Nabishallallahu „alayhi wasallam “Barangsiapa mengalungkan sesuatu maka akan diserah-kan
kepadanya,” maka barangsiapa mengalungkan al Qur‟an selayaknyalah Allah mengurusnya dan tidak
menyerahkannya kepada selain-Nya, karena Allah-lah yang dituju dan diharapkan ketika mencari
kesembuhan dengan al Qur‟an.”
(3)
Kalangan yang mengharamkan hirz atau ta'widz menyatakan bahwa Ibrahim an-Nakha‟i tidak menyukai tama-
im dari al Qur‟an atau selain al Qur‟an atau bahwa si Fulan dan si Fulan menganggapnya makruh?
Jawab: Amaliah para sahabat dan pendapat yang selaras dengan hadits-lah yang mesti diikuti, jika ada perkataan
sebagian tabi‟in yang memakruhkan misalnya maka itu tidak bisa menandingi atau mematahkan perkataan dan
amaliah yang sahih dari para sahabat Nabi, yang diikuti oleh para ulama mujtahidin, para ulama dan ahli hadits
dan lainnya dari kalangan salaf dan khalaf seperti yang telah dipaparkan dalam dalil-dalil di atas.

Anda mungkin juga menyukai