ْ ِ َص َح
اب ِ َ َاح َد ًة قَالُ ْوا َوَم ْن ِى َي ََا َر ُس ْوَل اهلِ ق
ْ ال َما أَنَا َعلَْيو َوأ
ِ ث وسبعِْي ِملَّةً ُكلُّهم ِِف النَّا ِر إََِّّل ِملَّةً و
َ ُْ
ٍ
َ ْ ْ َ َ َوتَ ْف ََِت ُق أ َُّم ِ ِْت َعلَى ثَََل
“Dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, seluruhnya di neraka kecuali satu golongan. Para
sahabat bertanya siapa satu golongan itu wahai Rasulullah? Rasulullah bersabda: golongan yang mengikuti
ajaranku dan para sahabatku”
Karena itu Ahlussunnah adalah kami, karena kalian bukan pengikut nabi terbukti kalian melaakukan
perbuatan-perbuatan yang tidak dilakukan nabi seperti diba’an, manaqiban, tahlilan dan lainnya.
Sedangkan kami tidak melakukan itu semua.
Jawab: definisi Ahlussunnah Wal Jama’ah di atas telah ditafsirkan oleh Rasulullah sendiri dalam hadits
lain dari Mu’awiyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Rasulullah bersabda:
Senada dengan hadits tersebut, Rasulullah -shallallahu ‘alayhi wasallam- juga bersabda:
Makna al Jama’ah dalam dua hadits di atas adalah al Jumhur (mayoritas umat Islam) dan bukan shalat
Jama’ah –sebagaimana dikatakan oleh sebagian orang-. Hal ini dapat dipahami dari hadits lain, Rasulullah
–shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
Seluruh ulama dalam madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan orang-orang utama dari madzhab Hanbali
(Fudhala’ al Hanabilah) adalah Asy’ariyah dan Maturidiyah. Demikian juga mayoritas ulama dalam semua
disiplin ilmu seperti mutakallimin, muhadditsin, shufiyun, ushuliyyun, mufassirun dan juga mayoritas para
khalifah dan sultan. Mereka seperti al Khatib al Baghdadi, al Hafidz ad Daruquthni, Abdul Basith a Fakhuri,
Ibnu Hajar al Asqalani, al Imam ar Rifa’I, al Hafidz al Iraqi, Abu Bakar Ibn Furak, Abul Hasan al Bahili, al
Qadhi Abdul Wahhab al Maliki,Abul Qasim al Qusyairi, Zakariya al Anshari, al Ghazali, al Qadhi Iyad, Ibnu
Aqil al Hanbali, al Hafidz al Alai, Abu Bakar al Bakilani, al Imam al Juwaini, Taqiyuddin as Subki,
Fakhruddin Ibn Asakir, al Hafidz az Zabidi, Sultan al Fatih, Sultan Shalahuddin al Ayyubi dan lainnya tidak
terhitung banyaknya.
Tanzih
Syubhat Kalangan Mujassimah
(1)
Kalangan mujassimah mengatakan jika Allah itu ada tanpa tempat, lalu kenapa kita menengadahkan tangan
ketika berdo‟a?
Jawab: al Hafidz Murtadla az Zabidiy dalam kitab Ithaf as Sadah al Muttaqin menjawab: pertanyyan ini dapat
dijawab dengan dua jalan:
Pertama: bahwa langit adalah qiblatnya do‟a sebagaimana ka‟bah adalah kiblat dalam shalat, dan menempelkan
kening pada tanah adalah qiblat sujud. Kita shalat menghadap ka‟bah bukan karena Allah ada di dalam ka‟bah
tetapi karena ia adalah kiblat shalat. Kita meletakkan kening ketanah ketika sujud bukan karena Allah ada di
dalam tanah, tetapi karena bumi adalah qiblat sujud dan kita menengadahkan tangan ke arah langit bukan karena
Allah di langi tapi karena langit adalah qiblat dalam berdo‟a.
Kedua: Bahwa langit adalah tempat turunnya rizqi, wahyu dan tempat rahmat dan berkah, langit adalah tempat
tinggalnya para malaikat, tempat diangkatnya amal perbuatan manusia serta tempat surga.
Keterangan yang sama juga telah dijelaskan oleh imam Abu Manshur al Maturidiy dalam kitab at Tauhid, Ibnu
Hajar al Asqalani dalam fathul Bari, Mulla „Ali al Qari dalm syarh al Fiqh al Akbar, al Bayadli dalam kitab
Isyarat al Maram dan para ulama lainnya.
(2)
Kalangan mujassimah mengatakan jika Allah itu ada tanpa tempat, lalu makna hadits jariyah?
Jawab:Hadits jariyah ini dihukumi oleh sebagian ulama‟ sebagai hadits mudltharib (hadits yang diriwayatkan
oleh seorang rawi atau lebih dengan teks yang berbeda-beda dalam derajat yang sama tanpa ada murajjih dan
tidak mungkin untuk dikompromikan), dan hadits mudltharib hukumnya lemah tidak dapat dijadikan sebagai
hujjah.
Sebagian ulama‟ menghukumi hadits riwayat Muslim sebagai hadits shahih dengan mentakwilnya dengan makna
yang sesuai dengan sifat-sifat Allah dan tidak mengambil zhahirnya. Jadi makna أَيْنَ هللا؟: “apa yang kamu
yakini tentang Allah dari segi keagungan kekuasaan-Nya dan ketinggian derajat-Nya?”. Sedang makna ِفي
س َما
َّ ال: “Dia (Allah) teramat tinggi derajat-Nya”. Sebagaimana yang dikatakan oleh ulama‟ Ahlussunnah Wal
Jama‟ah, di antaranya adalah al Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim. Pentakwilan semacam ini sesuai
dengan kaidah Bahasa Arab, karena dalam Baahasa Arab kata “س َماء َّ ”الBisa berarti ungkapan ketinggian
derajat, sebagaimana perkataan an-Nabighah al Ja‟diy:
ْ ق َذ ِلكَ َم
ظ َه َرا َ َوإِنَّا لَنَ ْر ُجى فَ ْى سنَا ُؤنَا َّ بَلَ ْغنَا ال
َ س َما َء َم ْج ُدنَا َو
Maknanya: “Kami telah menggapai ketinggian dan keluhuran derajat (keagungan dan juga ketenaran
kami), dan kami masih mengharap fenomena keunggulan yang lebih dari itu”
(3)
Kalangan mujassimah mengatakan kalau Allah ada tanpa tempat, lalu apa makna firman Allah Q.S Taha: 5:
استَ َوى
ْ الر ْحمن َعلَى ال َْع ْرش
َّ ﴿
Jawab: Ayat ini wajib ditafsirkan dengan selain bersemayam, duduk dan semacamnya. Bahkan orang
yang meyakini demikian hukumnya kafir. Berarti ayat ini tidak boleh diambil secara zhahirnya tetapi
harus dipahami dengan makna yang tepat dan dapat diterima oleh akal. Bisa dikatakan bahwa makna
lafazh istiwa' di sini adalah al Qahr, menundukkan dan menguasai. Dalam bahasa Arab dikatakan :
م ْن غَْير َس ْيف َو َدم م ْه َراق اس تَ َوى ب ْشر عَلَى الْع َراق
ْ قَ ْد
"Bisyr telah menguasai Irak, tanpa senjata dan pertumpahan darah".
(4)
Kalangan mujassimah mengatakan itu adalah ta‟wil dan ta‟wil adalah ta‟thil
)44: فصلت
ّ (سورة ) ﴿ أَلَ إنَّه بكل َش ْىء مح ْيط4: (سورة احلدَد﴿ َوه َو َم َعك ْم أَيْ َن َما ك ْنت ْم
Jika kaedahnya seperti yang anda katakan berarti harus diambil juga zhahir kedua ayat ini dan itu
berarti Allah berada di atas 'arsy, ada di antara kita, ada bersama kita serta meliputi dan mengelilingi
alam dengan Dzat-Nya dalam saat yang sama. Padahal dzat yang satu mustahil pada saat yang sama
berada di semua tempat. Kemudian jika mereka mengatakan : firman Allah م
ْ َم َعك َوه َو yang
dimaksud adalah dengan ilmu-Nya, dan firman Allah بكل َش ْىء مح ْيط maksudnya ilmu Allah
meliputi segala sesuatu. Maka kita katakan : jika demikian, maka استَ َوى
ْ َعلَى ال َْع ْرش berarti qahara,
hafizha dan abqa (menundukkan dan menguasai, memelihara dan menetapkannya)".
Jika mereka di sini mentakwil ayat-ayat Mutasyabihat semacam ini dan tidak memaknainya secara
zhahirnya, lalu mengapa mereka mencela orang yang mentakwil ayat istiwa' dengan qahr, Ini adalah
bukti bahwa mereka telah berpendapat tanpa disertai dengan dalil
(5)
Kalangan mujassimah mengatakan itu bahwa tauhid itu ada 3 macam; uluhiyyah, rububiyah dan al Asma wa
shifat
Jawab:Pembagian tauhid yang digagas oleh Ibnu Taimiyah dan diikuti oleh para pengikutnya ini
menyalahi Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Maksud dan tujuan dari pembagian ini adalah untuk
mengkafirkan orang-orang mukmin yang bertawassul dengan para nabi dan orang-orang shalih,
mengkafirkan orang-orang mukmin yang mentakwil ayat-ayat yang mengandung sifat-sifat Allah
dan mengembalikan penafsirannya kepada ayat-ayat muhkamat. Ini berarti pengkafiran terhadap
Ahlussunnah Wal Jama’ah yang merupakan kelompok mayoritas di kalangan umat Muhammad.
Dikatakan kepada mereka : Siapakah di antara ulama' salaf yang membagi tauhid menjadi tiga ini ?
Jawabannya: tidak ada. Apakah ummat Islam seluruhnya tidak memahami َّل إلو إَّل اهل sebelum
munculnya Ibnu Taimiyah !!! lalu apa komentar Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya terhadap para
sahabat, tabi'in dan para ulama salaf yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat sifat !!!.
Rasulullah tidak pernah mengatakan kepada seorang-pun yang masuk Islam bahwa ada namanya
tauhid al Uluhiyyah, tauhid ar-Rububiyyah dan tauhid al Asmaa' wa ash-Shifaat. Tetapi Rasulullah hanya
mencukupkan dengan dua kalimat syahadat. Ayat tentang al Miitsaq juga menyatakan:
Dalam pertanyaan kubur, Munkar dan Nakir hanya menanyakan mayit dengan pertanyaan: من ربك
dan mereka tidak menanyakan إهلك من.
Kesimpulannya bahwa dalam Islam keyakinan bahwa Allah satu-satunya Tuhan dan satu-
satunya yang berhak disembah adalah dua hal yang selalu beriringan. Orang yang benar-benar
meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhannya dia hanya akan menyembah-Nya dan tidak
akan menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Karena tidak ada perlunya menyembah sesuatu
yang tidak maha kuasa, tidak mampu menciptakan manfaat dan menjauhkan mudlarat dari kita. Jika
ada orang yang mengaku dengan lidahnya bahwa Allah adalah tuhannya lalu ia masih
menyekutukan-Nya dengan selain-Nya berarti pengakuan itu adalah pengakuan palsu. Dan inilah
kondisi orang kafir musyrik di masa Nabi. Mereka mengatakan dengan lidah mereka bahwa Allah
pencipta langit dan bumi, namun mereka mengatakan kepada berhala mereka (اعل ىبلkalahkanlah
Wahai Hubal), Rasulullah-pun membantahوأجل اهل أعز . Mereka juga mengatakan kepada orang-orang
yang mencela sesembahan mereka bahwa sesembahan-sesembahan mereka akan mencelakakan
mereka. Mereka juga mengedepankan sesembahan mereka dari pada Allah dalam urusan-urusan
sepele dan hal-hal kecil seperti dalam pembagian ternak dan hasil panen tanaman mereka. Apakah
mungkin orang-orang seperti ini mengakui Allah sebagai pencipta dan Tuhan mereka !!. Seandainya
mereka benar-benar meyakini Allah sebagai Tuhan akankah mereka mencaci Allah dan merendahkan
Allah !!.
Dengan demikian pembagian tauhid menjadi tiga macam tersebut adalah bid'ah dlalalah dan
konsekwensi yang hendak diterapkan di balik pembagian tersebut jelas rusak dan salahnya.
Bid’ah
Syubhat Kalangan Yang Mengingkari Adanya Bid'ah Hasanah
(1)
Kalangan yang mengingkari adanya bid'ah hasanah selalu mengatakan: Bukankah Nabi dalam hadits riwayat
Abu Dawud dari al 'Irbadl ibn Sa-riyah telah bersabda:
ٍ ٍ ِ
َ َوإََِّا ُك ْم َوُُْم َدثَات األ ُُم ْوِر فَِإ َّن ُكلَّ ُم ْح َدثَة بِ ْد َعةٌ َوُك َّل بِ ْد َعة
) (رواه أبو داود...ٌضَلَلَة
Ini artinya setiap hal yang tidak secara eksplisit disebutkan dalam al Qur'an dan hadits atau tidak dilakukan
oleh Rasulullah dan atau para Khulafa' Rasyidun maka dianggap sebagai bid'ah sesat .
Jawab: Hadits ini lafazhnya umum tetapi maknanya khusus. Jadi kurang lebih maksud Nabi dengan bid'ah
tersebut adalah bid'ah sayyi-ah, yaitu setiap perkara baru yang menyalahi al Qur'an, sunnah, ijma' atau atsar. Al
Imam an-Nawawi menyatakan dalam Syarh Shahih Muslim (6/154): "Sabda Nabi (ٌضَلَلَة
َ ) َوُك ُّل بِ ْد َع ٍةini adalah
'Amm Makhshush; lafazh umum yang telah dikhususkan kepada sebagian maknanya, jadi maksudnya adalah
sebagian besar bid'ah". Kemudian Imam Nawawi membagi bid'ah menjadi lima macam, lalu mengatakan: "Jika
diketahui apa yang telah aku tuturkan, diketahui bahwa hadits ini termasuk hadits umum yang telah
dikhususkan, demikian juga hadits-hadits serupa. Apa yang aku katakan ini didukung oleh perkataan Umar ibn
al Khaththab tentang Tarawih: "Sebaik-baik bid'ah". Meski hadits tersebut memakai kata (ل
ُّ ) ُكsebagai ta'kid,
tidak berarti tidak mungkin lagi dikhususkan! Melainkan tetap bisa ditakhshish seperti firman Allah ta'ala:
(2)
Kalangan yang mengingkari adanya bid'ah hasanah mengatakan: Hadits:
."َُحيَاه ِ ِ ِ ِ
ْ "م ْن َعم َل َع َمَلً أَنَا َعم ْلتُوُ فَأ
َ اِت" أ َْو
ْ َ"م ْن َس َّن ِْف َحي
َ
“Barangsiapa merintis perkara baru dalam masa hidupku" atau "Barangsiapa mengamalkan amal yang
telah aku lakukan, lalu ia menghidupkannya.”
ِ َالسب ِ ِ ِ ِ ِ
ب َّ ص ُ ُاَلْعْب َرةُ ب ُع ُم ْوم اللَّ ْفظ َّلَ ِب
ِ ص ْو
“Dalil itu dilihat dari keumuman lafazhnya bukan dari sebabnya yang khusus.” Jadi meskipun hadits tersebut
sebabnya khusus, namun sabda Nabi ketika itu berlafazh umum. Jadi yang dilihat keumuman hadits tersebut,
bukan kekhususan sebabnya. Seandainya maksud Nabi khusus, Nabi tidak akan menyampaikannya dengan
lafazh yang umum. Sungguh aneh, apakah mereka lebih mengetahui agama ini daripada Nabi sendiri ?!
(3)
Sebagian kalangan yang mengingkari adanya bid'ah hasanah mengatakan: Bukan hadits Nabi:
(ٌضَلَلَة
َ ) َوُك ُّل بِ ْد َع ٍةyang ditakhshish dengan hadits( ) َم ْن َس َّن ِ ِْف ا ِإل ْسَلَِمtetapi sebaliknya.
Jawab: Ini adalah penafsiran ngawur dan tidak sesuai dengan Sanan al 'Ulama; cara para ulama dalam
memahami hadits-hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam. Al Imam an-Nawawi ketika menjelaskan hadits ( َم ْن
) َس َّن ِ ِْف ا ِإل ْسَلَِمmengatakan:
ِ َاحل ِد
ث ِ ِ ِ ِ ات والت
ْ َْ َوِ ِْف ى َذا.َّحذَْ ُر م َن األَبَاطْي ِل َوالْ ُم ْستَ ْقبَ َحات
ِ ْ السنَ ِن
ْ َ َاحلَ َسن ُّ ات َو َس ّْن ِ اْلي ر ِِ ِ ْ "فِْي ِو
َ َْْ ث َعلَى اَّلبْت َداء ب ُّ َاحل
ِ "فَِإ َّن ُكلَّمح َدثٍَة بِ ْدعةٌ وُك َّل بِ ْدع ٍة ضَلَلَةٌ" وأ ََّن الْمراد بِِو الْمح َدثَات الْب صيص قَ ولِِو
."ُاطلَةُ َوالْبِ َدعُ الْ َم ْذ ُم ْوَمة ِ
َ ُ ْ ُ َ َُ َ َ َ َ َ ُْ ْ ُ ْ ََْت
“Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memulai kebaikan, merintis perkara-perkara baru yang baik,
dan memperingatkan dari perkara-perkara yang batil dan buruk. Dalam hadits ini juga terdapat
pengkhususan terhadap hadits Nabi yang lain (ٌضَلَلَة
َ ) َوُك ُّل بِ ْد َع ٍة dan bahwa bid'ah yang sesat adalah
perkara-perkara baru yang batil dan bid'ah-bid'ah yang dicela.”
As-Sindi mengatakan dalam Hasyiyah Ibnu Majah:
ت ُم ْستَ ْقبَ ٍِ ِ ِْف ِ وإِ ْن َكان،ٌ"والتَّح ِقيق أَنَّها إِ ْن َكانت ِِمَّا ت ندرِج ََتت مستحس ٍن ِِف الشَّرِع فَ ِهي حسنة
ُ ت ِمَّا تَْن َدر
َ ِج ََْت ْ َ َ َ َ َ َ ْ ْ َ ْ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َْ ْ َ َ ُْ ْ َ
."ٌالش َّْرِع فَ ِه َي ُم ْستَ ْقبَ َحة
“Cara mengetahui bid'ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika
perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara' berarti termasuk bid'ah
hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid'ah yang buruk.”
Jadi para ulama-lah yang mengetahui mana hadits yang umum dan mana hadits yang khusus. Jika hadits
tertentu bermakna khusus, hadits mana yang mengkhususkan. Para ulama juga yang mengetahui mana hadits
yang mengkhususkan dan mana yang dikhususkan.
Dari penjelasan ini juga diketahui bahwa perihal sebuah perkara baru tertentu termasuk bid'ah hasanah
atau sayyi-ah itu adalah urusan para ulama. Mereka yang memiliki keahlian untuk menilai sebuah perkara
termasuk bid'ah hasanah atau sayyi-ah, bukan orang awam atau orang yang menganggap dirinya alim padahal
kenyataannya tidak demikian.
(4)
Kalangan yang mengingkari adanya bid'ah hasanah mengatakan:"Bid'ah yang diperbolehkan adalah bid'ah
dalam urusan dunia, itu-pun sebetulnya bid'ah secara bahasa saja. Sedangkan dalam urusan ibadah adalah
haram, sesat bahkan mendekati syirik".
Jawab: Subhanallahil 'Azhim, apakahberjama'ah di belakang satu imam dalam sholat Tarawih, membaca
lafazh talbiyah dan lafazh tasyahhud, membaca dzikir ketika I'tidal (فِْي ِو احلَ ْم ُد َحَْ ًدا َكثِْي ًرا طَيّْبًا ُمبَ َارًكا
ْ ك َ َ) َربَّنَا َول,
membaca doa qunut, melakukan sholat Dluha yang dianggap oleh Ibnu Umar sebagai bid'ah hasanah, apakah ini
semua bukan ibadah?! Apakah ketika orang menulis kata shalawat atas Nabi (سلَّم ِ َّ َ ) tidak sedang
َو َ َ صلى اهلُ َعلَْيو
beribadah kepada Allah? Apakah orang yang membaca al Qur'an yang ada titik dan harakat i'rabnya tidak sedang
beribadah kepada Allah, apakah ia tidak akan memperoleh pahala karena membaca al Qur'an yang ada titik dan
harakat i'rabnya?!
Kemudian dari mana ada pemilahan bid'ah secara bahasa (Bid'ah Lughawiyyah) dan bid'ah secara syara'?!
Bukankah ketika sebuah lafazh diucapkan oleh para ulama (ع
ِالشَّر ُ ) ََحَلَةmaka harus dipahami dengan makna
ْ
syar'i dan dianggap sebagai haqiqah syar'iyyah?! Bukankah Umar dan Abdullah bin Umar mengetahui makna
bid'ah dalam syara', lalu kenapa kemudian mereka memuji sebagian bid'ah dan mengatakannya sebagai bid'ah
hasanah?! Itu karena mereka memahami adanya bid'ah hasanah dalam agama. Apakah mereka tidak pernah
mendengar hadits Nabi (ٌضَلَلَة
َ !?) َوُك ُّل بِ ْد َع ٍةAtaukah mereka tidak memahami kata () ُك ُّلyang ada pada hadits
ini?! Mereka mendengarnya dan mengetahui adanya kata (ل ُّ ) ُكdi dalamnya, tetapi mereka tidak memahami
seperti pemahaman sebagian orang yang sempit pemahamannya ini. Karena mereka tahu bahwa ada hadits-
hadits lain yang sama-sama sahih dan jika tidak dikompromikan dengan hadits ini berarti menjadikan dalil-dalil
syara' saling bertentangan. Oleh karenanya mereka mengkompromikan dengan mengatakan hadits Nabi ( َوُك ُّل
ٍ
َ )بِ ْد َعةditakhshish (dikhususkan) dengan hadits Nabi yang sahih ( ) َم ْن َس َّن ِ ِْف ا ِإل ْسَلَِمdan hadits-hadits
ٌضَلَلَة
ٍ ٍ
sahih lainnya seperti yang telah dikemukakan. Sehingga maknanya menjadi (ٌضَلَلَة َ -" ) َوُك ُّل بِ ْد َعة – َسيّْئَةSetiap
bid'ah yang buruk adalah sesat.” Dan ini sesuai dengan hadits:
(5)
Kalangan yang mengingkari adanya bid'ah hasanah mengatakan :“Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para
sahabat tidak pernah melakukannya, seandainya itu perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam
melakukannya.”
Jawab: Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Jika mereka mengatakan: Rasulullah
melarangnya secara umum ketika beliau bersabda:(ٌضَلَلَة
َ ) َوُك ُّل بِ ْد َع ٍة.
Kita jawab: Bukankah Rasulullah juga telah bersabda: ( َج ُر َم ْن َع ِم َل ِِبَا ْ َم ْن َس َّن ِ ِْف ا ِإل ْسَلَِم ُسنَّةً َح َسنَةً فَلَوُ أ
ْ َج ُرَىا َوأ
ُ!)بَ ْع َدهLalu adakah kaedah syara' yang mengatakan:
!الر ُس ْو ُل بِ ْد َعةٌ ُُمََّرَمةٌ"؟
َّ ُ" َما ََلْ ََ ْف َعلْو
"Apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah adalah bid'ah yang diharamkan"?! Tidak ada. Apakah sesuatu
dianggap boleh atau sunnah baru setelah Rasulullah melakukannya sendiri! Apakah kalian mengira bahwa
Rasulullah telah melakukan semua perkara yang boleh?! Jika demikian halnya, kenapa kalian memakai Mushhaf
yang ada titik dan harakat I'rabnya?! Bukankah itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau-pun para
sahabat! Bukankah kaedah mengatakan:
ِتَرُك الشَّى ِء َّلَ َ ُد ُّل علَى مْنعِو
َ َ َ ْ ْ
“Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang.”
Jadi ketika Nabi atau para sahabat tidak melakukan sesuatu tidak berarti haram melakukannya. (Lihat
pembahasan tentang kaedah ini pada pendahuluan risalah ini)
البخاري
ّ ضا َن َوَّلَ ِ ِْف َغ ِْْيهِ َعلَى إِ ْح َدى َع ْشَرَة َرْك َعةً" رواه ِ
َ "ما َكا َن َر ُس ْو ُل اهل ََِزَْ ُد ِ ِْف َرَم
َ
“Rasulullah tidak pernah menambah di bulan Ramadlan atau bulan lainnya lebih dari sebelas raka'at.”
(H.R. al Bukhari)
Ini berarti orang yang melakukan sholat tarawih lebih dari sebelas raka'at telah menyalahi sunnah Nabi. Orang
yang melakukan sholat tarawih lebih dari sebelas raka'at tak ubahnya seperti orang yang melakukan sholat
Zhuhur lima raka'at.
Jawab:
Bahwa dalam masalah ini ada beberapa riwayat dari 'Aisyah:
1. Riwayat bahwa Rasulullah sholat malam 9 raka'at. (H.R. Ibnu Hibban)
2. Riwayat bahwa Rasulullah sholat malam 9 raka'at, kemudian di akhir hayat beliau 7 raka'at. (H.R. Ibnu
Hibban)
3. Riwayat bahwa Rasulullah sholat malam 13 raka'at, kemudian 11 raka'at dan sebelum meninggal 9 raka'at.
(H.R. Ibnu Hibban)
4. Riwayat bahwa Rasulullah sholat malam 13 raka'at, kemudian diakhiri dengan witir 5 raka'at satu salam.
(H.R. Muslim)
(2)
Jika mereka mengatakan: Riwayat-riwayat ini semuanya tidak sahih karena menyalahi riwayat 'Aisyah dalam
Sahih al Bukhari! Jadi riwayat 'Aisyah yang diunggulkan dan riwayat-riwayat yang lain ditolak !.
Jawab:Kaedah mengatakan:
][سورة احلشر
Maknanya: “..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah…” (Q.S. al Hasyr: 7)
Allah tidak menyatakan:
ُج ْوِرِى ْم ِ "من س َّن ِِف اْ ِإلس َلَِم سنَّةً حسن ةً فَلَو أَجرىا وأَجر من ع ِمل ِِبا ب ع َده ِمن َغ ِْي أَ ْن َ ْن ُق
ُ ص م ْن أ
َ َ ْ ْ ُ ْ َ َ َ َ ْ َ ُ ْ َ َُ ْ ُ َ َ َ ُ ْ َ َْ
.)َش ْىءٌ" (رواه اإلمام مسلم ِف صحيحو
Maknanya:“Barang siapa yang memulai dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan
mendapatkan pahala perbuatan tersebut dan pahala orang yang mengikutinya setelahnya tanpa
mengurangi pahala mereka sedikitpun.”(H.R. Muslim dalam shahihnya).
Seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan Nabi atau para sahabat adalah haram dan sesat
tanpa terkecuali niscaya Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam tidak akan mengatakan:
"ّّس ِمْنوُ فَ ُه َو َرد ِ ِ َ َح َد
َ ث ِْف أ َْمرنَا ى َذا َما لَْي ْ " َم ْن أ
Melainkan akan mengatakan:
ت ُم ْستَ ْقبَ ٍِ ِ ِْف ِ وإِ ْن َكان،ٌ"والتَّح ِقيق أَنَّها إِ ْن َكانت ِِمَّا ت ندرِج ََتت مستحس ٍن ِِف الشَّرِع فَ ِهي حسنة
َ ِج ََْت
ُ ت ِمَّا تَْن َدر
ْ َ َ َ َ َ َ ْ ْ َ ْ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َْ ْ َ َ ُْ ْ َ
."ٌالش َّْرِع فَ ِه َي ُم ْستَ ْقبَ َحة
“Cara mengetahui bid'ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika
perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara' berarti termasuk bid'ah
hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara' berarti termasuk bid'ah yang buruk.”
Layakkah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan setiap perkara baru adalah
sesat?!
(2)
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi mengatakan:"Peringatan Maulid itu sering dibarengi
dengan perkara-perkara haram dan maksiat.”
Jawab: Apakah karena itu lantas Peringatan maulid diharamkan?! Apakah orang diharamkan masuk pasar,
karena di pasar orang sering melakukan perbuatan haram seperti membuka aurat, menggunjingkan orang,
menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak. Demikian juga peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan
dalam pelaksanaannya, kesalahan-kesalahan itu-lah yang harus diperbaiki. Dan memperbaiki-nya tentunya
bukan dengan mengharamkan maulid. Sesuatu yang boleh ya boleh, tidak boleh diharamkan! Bukankah al
Hafizh Ibnu Hajar telah mengatakan:
ِ لكنَّها مع ذلِك قَ ْد ا ْشتملَت علَى َُم
اس َنَ َ ْ ََ
ِ ِ ِ ِ َّ ف
َ َ َ َ َو،الصال ِِ م َن الْ ُق ُرْو ِن الثََّلَثَة َّ َص ُل َع َم ِل اْل َم ْولِ ِد بِ ْد َعةٌ ََلْ تُْن َق ْل َع ِن
ِ َالسل ْ "أ
."ًت بِ ْد َعةً َح َسنَة ِ اسن وََتن ِ ِ ِ ِ
ْ ََّىا َكان
َ َّب ضد
َ َ َ َ فَ َم ْن ََتََّرى ِْف َع َمل َها الْ َم َح،ّْىا َ َوضد
“Asal peringatan maulid adalah bid'ah yang belum pernah dinukil dari as-Salaf as-Saleh pada tiga abad
pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya, jadi
barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi
lawannya; hal-hal yang buruk, maka itu adalah bid'ah hasanah.”
(2)
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi mengatakan:“Peringatan Maulid itu seringkali
menghabiskan dana yang besar dan itu tabdzir, kenapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang
lebih penting”.
Jawab: Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah, Perkara yang dianggap baik oleh para ulama kenapa disebut
tabdzir?! Orang yang beramal, bersedekah bagaimana mungkin dianggap melakukan perbuatan haram, yaitu
tabdzir?! Kenapa orang-orang seperti ini selalu bersikap suuzhzhann (berprasangka buruk) terhadap ummat
Islam?! Kenapa mesti mencari dalih-dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya?! Kenapa mereka menganggap seakan peringatan maulid tidak ada maslahatnya sama sekali untuk
ummat, Bukankah peringatan Maulid mengingatkan kepada perjuangan Nabi dalam berdakwah sehingga
membangkitkan semangat kita untuk berdakwah! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita
kepada Nabi dan menjadikan kita banyak bershalawat atasnya! Sungguh, maslahat-maslahat ini bagi orang yang
beriman tidak bisa diukur dengan harta!
(3)
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering mengatakan:“Peringatan Maulid itu pertama kali
diadakan oleh Sultan Shalahuddin al Ayyubi dan tujuannya adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti
orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid.
Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu.”
Jawab: Sungguh aneh, pernyataan seperti ini. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama
kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Shalahuddin al Ayyubi. Bukankah para ahli sejarah seperti
Ibnu Khallikan, Sibth Ibnu al Jawzi, Ibnu Katsir, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan lainnya telah menyatakan bahwa
orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja al Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al
Ayyubi?! Atau-kah ini namanya merekayasa sejarah dengan tujuan tersendiri: mereka mengatakan Shalahuddin
al Ayyubi yang pertama kali mengadakan maulid, kalau Shalahuddin berarti tujuannya untuk mobilisasi jihad
dalam perang salib, jika maulid diadakan bukan dengan tujuan mobilisasi jihad berarti telah menyimpang, dan
targetnya maulid adalah haram, atau -paling tidak- tidak perlu?!Subhanallah. Kenapa kalau bagi sebagian dari
mereka dalam keadaan tertentu untuk kepentingan tertentu maulid boleh, istighotsah boleh, tetapi bagi orang lain
haram?!
Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan-pun tidak ada seorang-pun yang mengisyaratkan bahwa motivasi
maulid adalah dalam rangka mobilisasi untuk jihad, lalu dari mana muncul pemikiran seperti ini?!Wallahu
A'lam. Apakah peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya mobilisasi massa untuk jihad?! Apa dasar
perkataan seperti ini? Tidak ada. Al Hafizh Ibnu Hajar, as-Suyuthi, as-Sakhawi dan para ulama lain yang telah
menjelaskan tentang kebolehan peringatan maulid sama sekali tidak mengaitkannya dengan mobilisasi untuk
jihad. Dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid juga tidak menyebut jihad sama sekali,
mengisyaratkan-pun tidak. Dari sini kita tahu betapa rancu dan tidak berdasar perkataan mereka kalau sudah
berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidlal ?! Semoga Allah merahmati para ulama kita, sungguh mereka
adalah cahaya penerang ummat dan penuntun menuju jalan yang diridlai Allah.
Jawab: Makna hadits tersebut adalah bahwa orang yang telah meninggal dunia amalnya terhenti, dan dia tidak
bisa beramal lagi. Dia tidak bisa lagi melakukan amal taklifi yang terus mengalirkan pahala untuknya kecuali
tiga amal tersebut. Tiga amal tersebut akan terus mengalirkan pahala untuknya meskipun ia telah meninggal,
karena ketika ia masih hidup dia-lah yang menjadi penyebab dari tiga amal tersebut. Jadi hadits ini berbicara
tentang amal mayit. Amal mayit terhenti dengan kematiannya. Hadits ini tidak berbicara tentang amal orang lain
untuk mayit. Jadi hadits ini sama sekali tidak menafikan bahwa orang lain yang masih hidup bisa saja melakukan
hal-hal yang bermanfaat buat mayit. Bukankah doa bukan amal si mayit, tetapi akan bermanfaat untuk mayit?!
Bukankah istighfar bukan amal mayit, tetapi bermanfaat untuk mayit?! Bukankah sedekah anak untuk mayit
bukan amal mayit, tetapi akan bermanfaat untuk mayit, meskipun tidak termasuk yang tiga ini. Demikian pula
bacaan al Qur'an untuk mayit bermanfaat untuknya dan akan sampai pahalanya kepadanya, meskipun bukan
amalnya sesuai dengan dalil-dalil yang telah dikemukakan. Seandainya bacaan al Qur'an sia-sia dan tidak
bermanfaat untuk mayit, niscaya Rasulullah tidak akan memerintahkan kita untuk melakukan sholat Jenazah,
karena sholat Jenazah bukan amal mayit. Tetapi ketika Rasulullah memerintahkan kita untuk melakukan sholat
Jenazah itu artinya sholat Jenazah bermanfaat untuk mayit, meskipun bukan amalnya sendiri. Dan karena dalam
sholat jenazah kita membaca surat al Fatihah, salah satu surat al Qur'an, berarti bacaan al Qur'an bermanfaat
untuk mayit, surat apapun yang dibaca untuknya dan oleh siapa-pun.
(2)
Kalangan yang mengharamkan membaca al Qur'an untuk mayit ini ketika menyebutkan adab ziarah kubur
mereka mengatakan:
ِت الَّ ِذي تُ ْقرأُ فِيو
ْ َ ْ
ِ فَِإ َّن الشَّيطَا َن َ ْن ِفر ِمن الْب ي،َّلَ ََْتعلُوا ب ي وتَ ُكم م َقابِر: ال
َْ َ ُ َ ْ َ َ ْ ْ ُُ ْ َ َ َ ق.ََع َد ُم قَِراءَةِ َش ْى ٍء ِم َن الْ ُق ْرءَ ِان َولَ ْو ال َف ِاَتَة
الر ُس ْوِلَّ ت َع ِن ِ ِ ت َُمََلِّ لِْل ُق ْرءَ ِان بِ َعك
ْ ُ َوََلْ ََثْب،ْس الْبُيُ ْوت
ِ ُ َاحل ِد
ْ ث َُشْي ُر إِ ََل أ ََّن الْ َم َقابَِر لَْي َس
ِ
ْ َْ َو.)(رَواهُ ُم ْسل ٌم ِ
َ ُس ْوَرةُ الْبَ َقَرة
ِ وصحابتِ ِو أَنَّهم قَرأُوا اْل ُقرءا َن لِألَمو
.ات َْ َْ ْ َ ْ ُ َ َ َ َ
“Tidak membaca al Qur'an sedikit-pun meskipun hanya surat al Fatihah. Rasulullah bersabda yang
maknanya: "Jangan kalian jadikan rumah kalian seperti kuburan, karena setan akan lari dari rumah yang
dibacakan surat al Baqarah di dalamnya." (H.R.Muslim). Hadits ini mengisyaratkan bahwa kuburan
bukan tempat untuk membaca al Qur'an berbeda dengan rumah, dan tidak ada riwayat yang sahih yang
menjelaskan bahwa Rasulullah atau para sahabatnya membaca al Qur'an untuk mayit".
Jawab: Maksud hadits ini, jangan kalian kosongkan rumah dari bacaan al Qur'an seperti halnya mayit yang
berada di kuburnya tidak membaca al Qur'an. Hadits ini sama sekali tidak berbicara tentang orang yang masih
hidup yang membacakan al Qur'an untuk mayit di kuburnya. Hadits ini mirip dengan hadits yang lain:
)البخاري ِ اِجعلُوا ِمن صَلَتِ ُكم ِِف ب ي وتِ ُكم وَّلَ تَت
َّخ ُذ ْوَىا قُبُ ْوًرا (رواه
ّ َ ْ ْ ُُ ْ ْ َ ْ ْ َ ْ
“Jadikanlah sebagian dari sholat kalian di rumah-rumah kalian dan jangan jadikan rumah-rumah kalian
seperti kuburan.”(H.R. al Bukhari)
Mari kita ikuti bagaimana para ulama menjelaskan hadits ini. Syekh Abdullah al Ghumari mengatakan dalam
kitabnya Itqan ash-Shan'ah (hal. 79-80):
ِ اِجعلُوا ِمن:ال ِِ ِ َّ باب َكر ِاىي ِة:ي
ْ ِ صَلَت ُك ْم
ِف َ ْ ْ َ ْ َ َ ق َِّب ّْ ِ َوَرَوى فْيو َع ْن ابْ ِن ُع َمَر َع ِن الن،الصَلَة ِ ِْف الْ َم َقابِ ِر َ َ ُ َ ُّ ال الْبُ َخا ِر َ ََوق
،ِت َُمََلِّ لِلْعِبَ َادة ِ ِِ ِ ُ ِال ا ْحلَاف ِ ب ي وتِ ُكم وَّلَ تَت
ْ (وَّلَ تَتَّخ ُذ ْوَىا قُبُ ْوًرا) إِ َّن الْ ُقبُ ْوَر لَْي َس َ :استَ ْنبَ َط م ْن قَ ْولو ْ :ظ َ َ ق.َّخ ُذ ْوَىا قُبُ ْوًرا َ ْ ْ ُُ
ّْ اد ِرهِ إِ ََل
.الذ ْى ِن ِ ِ ُ وإِ ْن َكا َن اللَّ ْف،اى ٍر ِ ِ ِ ِ َّ فَت ُكو ُن
ُ َ بَ ْل َغْي ُرهُ أ َْوََل لَتب،ُظ ََْيتَملُو َ َ َوى َذا اَّل ْستْنبَا ُط َغْي ُر ظ.ًالصَلَةُ فْي َها َمك ُْرْوَىة ْ َ
ِ َّ وتَأ ََّولَو ََجاعةٌ علَى أَنَّو إََِّّنَا فِي ِو الن َّْدب إِ ََل،ِالصَلَةِ ِِف الْم ْقب رة ِ ِ ْ ال ابْن الت
ْ ِ الصَلَة
ِف ُ ْ ُ َ َ َ ُ َ َ َ َ ْ َّ ي َعلَى َكَر َاىة ُّ تَأ ََّولَوُ الْبُ َخا ِر:ّْْي ُ َ َق
ال ابْ ُن قُ ْرقُ ْولَ َ َوق.صلُّ ْو َن ِ ِْف بُيُ ْوِتِِ ْم َوِى َي الْ ُقبُ ْوُر ِ
َ َُ َ َّلَ تَ ُك ْونُ ْوا َكالْ َم ْوتَى الَّذَْ َن َّل:ال َ َ َكأَنَّوُ ق،صلُّ ْو َن َ َُ ََن الْ َم ْوتَى َّل َّ ت أل ِ الْب ي و
ْ ُُ
ّْ إِ َّن تَأْ ِوَْ َل البُ َخا ِر:ِّْهاََة ِ ِ
ْ ِ صلّْ ْي
ِف َ َُ َت َّل َ ّْ َم ْعنَاهُ أ ََّن اْل َمي:ال َ َ َواأل َْوََل قَ ْو ُل َم ْن ق،ي َم ْر ُج ْو ٌح َ ِ ِْف اْل َمطَال ِع َوتَبِ َعوُ ابْ ُن األَث ِْْي ِ ِْف الن
ِ ِ ِ ِ ِ ُّ ِ َّاْلَط َ َ َوق.ِقَ ِْْبه
َت َّل ُ ّْ َواْل َمي،َخ ْو اْل َم ْوت ُ فَِإ َّن الن َّْوَم أ،صلُّ ْو َن فْي َها
َ ُ ََْيتَم ُل أ ََّن اْل ُمَر َاد َّلَ ََْت َعلُ ْوا بُيُ ْوتَ ُك ْم للن َّْوم فَ َق ْط َّلَ ت:اب ْ ال
َ َ ق.ت َوبَْيتَوُ َكالْ َق ِْْب ِ ّْ جعل نَ ْفسو َكالْمي، أ ََّن من ََل َص ّْل ِِف ب يتِ ِو: ََيتَ ِمل أَ ْن َ ُكو َن الْمراد:ال التُّورب ْش ِِت
ال َ ُ َ َ َ َ َْ ْ َ ُ ْ ْ َ ُ َ ُ ْ َ ُ ْ ُّ َ ْ ْ َ َ َوق.صلّْ ْي َ َُ
ِ ّْاحلي والْمي ِِ ِ َّ ِ ِِ ِ َّ ِ ِ ُ ِاحلَاف
.ت َ َ ّْ َْ َوالْبَ ْيت الذ ْي َّلَ َُ ْذ َك ُر اهلُ فْيو َك َمثَ ِل، َمثَ ُل الْبَ ْيت الذ ْي َُ ْذ َك ُر اهلُ فْيو:"وَُ َؤَّْ ُدهُ َما َرَواهُ ُم ْسل ٌم َ :ظ ْ
“Al Bukhari mengatakan: Bab makruhnya sholat di kuburan. Dalam bab ini al Bukhari meriwayatkan
dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, beliau bersabda :
ِ اِجعلُوا ِمن صَلَتِ ُكم ِِف ب ي وتِ ُكم وَّلَ تَت
.َّخ ُذ ْوَىا قُبُ ْوًرا َ ْ ْ ُُ ْ ْ َ ْ ْ َ ْ
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “al Bukhari mengambil dalil dari sabda Nabi shallallahu 'alayhi
wasallam (قُبُ ْوًرا ِ )وَّلَ تَت
َّخ ُذ ْوَىا َ bahwa kuburan bukan tempat untuk beribadah, jadi sholat di kuburan
hukumnya makruh.” Istinbath ini kurang tepat meskipun lafazh hadits mengandung kemungkinan makna
ini, dan istinbath yang lain lebih tepat. Ibnu at-Tin mengatakan: “Al Bukhari memahami dari hadits ini
makruhnya sholat di kuburan. Dan sekelompok ulama yang lain memahami bahwa maksud hadits ini
adalah anjuran untuk sholat di rumah karena orang-orang yang mati tidak sholat, seakan Rasulullah
mengatakan: Jangan kalian seperti orang mati yang tidak sholat di rumah mereka, yaitu kuburan.” Ibnu
Qurqul dalam al Mathali' dan diikuti oleh Ibnu al Atsir dalam an-Nihayah mengatakan: “Pemahaman al
Bukhari terhadap hadits ini lemah, pemahaman yang lebih tepat adalah perkataan yang menyatakan:
makna hadits ini: bahwa mayit tidak sholat di kuburnya.” Al Khaththabi mengatakan: “Mungkin maksud
hadits ini bahwa jangan jadikan rumah kalian sebagai tempat untuk tidur saja, di mana kalian tidak
sholat di sana, karena tidur adalah saudaranya mati, dan orang yang mati tidak melakukan sholat.” At-
Turbasyti mengatakan: “Mungkin maksud hadits ini bahwa orang yang tidak melakukan sholat di
rumahnya, telah menjadikan dirinya seperti mayit dan rumahnya seperti kuburan,” al Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan: “Pemahaman seperti ini didukung oleh hadits riwayat Muslim yang maknanya:
Perumpamaan rumah yang di sana disebut nama Allah dengan rumah yang di sana tidak disebut nama
Allah seperti halnya orang yang hidup dan orang yang telah mati.”
Jadi makna hadits Muslim:
.ت اِ ْختَ لَ ُف ْوا إِ ََل قَ ِْْبهِ ََ ْقَرءُ ْو َن لَوُ ال ُق ْرءَا َن َ ص ُار إِ َذا َم
ٌ ّْات َهلُ ْم َمي َ ْت األَن
ْ ََكان
“Tradisi para sahabat Anshar jika salah seorang di antara mereka meninggal, mereka akan datang ke
kuburnya silih berganti dan membacakan al Qur'an untuknya (mayit).”
Al Kharaithi dalam kitab al Qubur juga meriwayatkan:
.ِاث بِاهل
ُ َإََِّّنَاَُ ْستَ غ،اث ِ ْب
ُ َإِنَّوُ َّلََُ ْستَ غ
“Sungguh tidak boleh beristighotsah denganku, istighotsah hanyalah boleh dengan Allah.”
Jawab:Hadits ini salah satu perawinya adalah Ibnu Lahi‟ah dan ia adalah perawi yang lemah. Hadits ini juga
bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dalam Sahih-nya dari sahabat Abdullah ibnu
Umar tentang peristiwa di padangMahsyar. Bagaimana mereka berpegangan dengan hadits yang dla‟if dan
bertentangan dengan hadits yang sahih?!
(2)
Kalangan yang anti istighotsah ketika mengharamkan isti'anah dan istighotsah dengan selain Allah juga
menyebutkan hadits Nabi dari Ibnu Abbas:
)الَتمذي
ّ (رواه.ِاستَعِ ْن بِاهل
ْ َت ف ْ اسأَل اهلَ َوإِ َذ
َ ااستَ َعْن َ ْاسأَل
ْ َت ف ِ
َ إ َذ
Hadits ini menunjukkan bahwa hanya boleh beristi'anah dan beristighotsah kepada Allah.
Jawab:Makna hadits ini bukanlah: Jangan memohon kepada selain Allah dan jangan meminta tolong kepada
selain Allah. Melainkan makna hadits ini adalah bahwa yang paling layak diminta dan diharap pertolongannya
adalah Allah ta'ala. Hadits ini maknanya seperti hadits Nabi:
Maknanya:“Dan mereka memberikan makanan karena Allah kepada orang miskin, anak yatim dan orang
kafir yang ditawan.”(Q.S. al Insan: 8)
Demikian pula hadits Ibnu Abbas hanya menunjukkan makna awlawiyyah (yang paling layak). Karena
Rasulullah tidak mengatakan:
Maknanya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.”(Q.S. al Maa-
idah: 2)
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
َّ الض
)(رواه أبوداود.آل َ َوأَ ْن تُغِْيثُ ْوا الْ َم ْل ُه ْو
ّ ف َوتَ ْه ُد ْوا
“(Di antara hak-hak jalan) kalian menolong orang yang berada dalam kesulitan dan menunjukkan orang
yang tersesat jalan.”(H.R. Abu Dawud)
Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam juga bersabda:
َ فَطَلَبُ ْوا َد ْف َع األَ َذى ِم ْن َغ ِْْياهل تَ َع،ص ُد ِِبَا َد ْف َع الْ َم َق ِادَْر الْ َمكْتُ ْوبَ ِة َعلَْي ِه ْم
اَل َوى َك َذا َكا َن ِ ت تَعتَ ِق ُد تَأْثِي رىا وتَ ْق
َ ََ ْ ْ ْ َب َكان َ العَر
َ َن َّ أل
.اىلِيَّ ِة
ِ اْل
َْ اد
ِ
ُ ْاعت َق
“Karena orang-orang arab dahulu meyakini bahwa tamimah berpengaruh (dengan sendirinya) dan
bermaksud dengannya untuk menolak takdir yang ditentukan oleh Allah kepada mereka, maka mereka
mencari tolak bahaya dari selain Allah, demikianlah keyakinan mereka di masa jahiliyyah.”
(3)
Kalangan yang mengharamkan hirz atau ta'widz menyatakan bahwa sahabat Abdullah ibn Mas‟ud melarang hirz
atau ta'widz.
Jawab: Pakar tafsir al Qurthubi menegaskan:
اَّلستِ ْش َفاءُ بِال ُق ْرءَ ِان ِ ِ ِ ومارِوي عن اب ِن مسعوٍد ََيوز أ َْن َ ِرَ َدِِبا َك ِره تَعلِي َقو َغْي ال ُقرء ِان أَ ْشياء مأْخو َذةً عن
ْ إِذ،ْي َوالْ ُك َّهان َ ْ العَّراف
َ ْ َ ْ ُ َ َ َ َ ْ ْ ُ ْ ْ َ ْ ُ ُ ُْ ْ ُ ْ َ ْ ْ َ َ ُ َ َ
ِ ِ ِ َّ ِ َوقَ ْولُوُ َعلَْيو،معلَّ ًقا َو َغْي َرُم َعلَّ ٍق َّلَََ ُك ْو ُن ِش ْرًكا
ُ " َم ْن َعلَّ َق َشْيئًا ُوّْك َل إلَْيو" فَ َم ْن َعلَّ َق ال ُق ْرءَا َن ََْنبَغ ْي أَ ْن ََتَ َوَّلَّهُ اهلُ َوَّلَََكلُو:ُالسَلَم َ
.اَّلستِ ْش َف ِاء بِال ُق ْرءَ ِان ِ ِ اَل ىوالْمرغُو
ْ ب إِلَْيو َوالْ ُمتَ َوَّكلُ َعلَْيو ِِف
ُ ْ ْ َ َ ُ َ ألَنَّوُ تَ َع،إِ ََل َغ ِْْيه
ِ
“Apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas‟ud bahwa ia tidak menyukai mengalungkan sesuatu bisa jadi yang
beliau maksud adalah selain al Qur‟an, yaitu mantra-mantra yang diambil dari para dukun dan peramal,
karena mencari kesembuhan dengan al Qur‟an dengan dikalungkan atau tidak bukanlah syirik, sedangkan
sabda Nabishallallahu „alayhi wasallam “Barangsiapa mengalungkan sesuatu maka akan diserah-kan
kepadanya,” maka barangsiapa mengalungkan al Qur‟an selayaknyalah Allah mengurusnya dan tidak
menyerahkannya kepada selain-Nya, karena Allah-lah yang dituju dan diharapkan ketika mencari
kesembuhan dengan al Qur‟an.”
(3)
Kalangan yang mengharamkan hirz atau ta'widz menyatakan bahwa Ibrahim an-Nakha‟i tidak menyukai tama-
im dari al Qur‟an atau selain al Qur‟an atau bahwa si Fulan dan si Fulan menganggapnya makruh?
Jawab: Amaliah para sahabat dan pendapat yang selaras dengan hadits-lah yang mesti diikuti, jika ada perkataan
sebagian tabi‟in yang memakruhkan misalnya maka itu tidak bisa menandingi atau mematahkan perkataan dan
amaliah yang sahih dari para sahabat Nabi, yang diikuti oleh para ulama mujtahidin, para ulama dan ahli hadits
dan lainnya dari kalangan salaf dan khalaf seperti yang telah dipaparkan dalam dalil-dalil di atas.