Disusun Oleh:
JEANIKE DEFRAWATI
1808436162
Pembimbing:
dr. Adrianison, Sp.P(K)
PEKANBARU
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif
nonreversibel atau reversibel parsial. Hambatan aliran udara ini biasanya
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun/berbahaya. PPOK sering kali timbul pada usia pertengahan akibat
merokok dalam waktu yang lama. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya.1 Karakteristik hambatan aliran udara pada
PPOK disebabkan oleh hubungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi
bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap
individu.2
Pada tahun 2012, secara global didapatkan data bahwa lebih dari tiga juta
orang meninggal karena PPOK dan dalam beberapa dekade terakhir. Angka ini
semakin meningkat dikarenakan semakin meningkatnya usia harapan hidup dan
semakin tingginya pajanan faktor risiko seperti faktor pejamu yang diduga
berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok
khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan
maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.1,2 Menurut World Health
Organization (WHO), pada tahun 2002, PPOK merupakan penyebab utama
kematian yang menempati urutan kelima di dunia dan diperkirakan menjadi
urutan ketiga di seluruh dunia tahun 2030.3
Menurut data penelitian dari Regional COPD Working Group yang
dilakukan di 12 negara di Asia Pasifik rata-rata prevalensi PPOK sebesar 6,3%,
dengan yang terendah 3,5% di Hongkong dan Singapura, dan tertinggi di Vietnam
sebanyak 6,7%. Indonesia menunjukkan prevalensi sebanyak 5,6% atau 4,8 juta
kasus untuk PPOK derajat sedang sampai berat.4 Secara Nasional, prevalensi
perokok pada tahun 2010 sebesar 34,7%. Prevalensi perokok tinggi didapatkan
pada kelompok usia 25-64 tahun dengan rentangan 37-38,2%, sedangkan pada
kelompok usia 15-24 tahun yang merokok setiap hari sudah mencapai 18,6%.
1
Prevalensi perokok 16 kali lebih tinggi pada laki-laki (65,9%) daripada
perempuan (4,2%). Perokok yang beresiko menderita PPOK berkisar 15-20%.
Hubungan antara merokok dengan PPOK merupakan hubungan dosis dengan
respons, semakin banyak jumlah batang rokok yang dihisap dan semakin lama
kebiasaan merokok dilakukan, maka akan semakin tinggi risiko untuk menderita
PPOK.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada setiap
studi.1 Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang dilakukan
terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay, Chili, dan
Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan perbandingan
laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11,3%.7 Pada studi BOLD, penelitian
3
serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi prevalensi PPOK adalah
10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu 11,8% dan 8,5% pada
perempuan.8 Data di Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013
(RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit
ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%)
dibanding perempuan (3,3%).9
2. Polusi udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan
memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar
lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi:2,10
1. Polusi di dalam ruangan
a. Asap rokok
b. Asap dapur ( kompor,kayu,arang,dll)
4
2. Polusi di luar ruangan
a. Gas buang kendaraan bermotor
b. Debu jalanan
3. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun).
4. Stress oksidatif
Paru selalu terpajan zat endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul
dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari polutan dan
asap rokok. Oksidan endogen seperti derivate elektron mitokondria transport
termasuk dalam selular signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh oxidative
chalange yang berkembang secara sistem enzimatik atau nonenzimetik. Ketika
keseimbangan antara oksidan dan atau deplesi antioksidan akan menimbulkan
stress oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada
paru tetapi juga menimbulkan aktivitas molekuler sebagai awal inflamasi paru.
Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan memegang peran penting
pada PPOK.2,6
5. Faktor Genetik
Faktor genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1
antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Ditemukan pada usia muda
dengan kelainan emfisema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi
baik pada perokok atau bukan perokok dengan kekurangan alpha-1 antitrypsin
yang berat. Meskipun kekurangan alpha-1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil
5
dari populasi di dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antar gen dan
pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK.1,2
2.4. Patofisiologi
Pada bronkhitis kronis perubahan awal terjadi pada saluran udara yang
kecil. Selain itu, terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi rongga udara distal
(emfisema), yang menyebabkan hilangnya elastic recoil, hiperinflasi,
terperangkapnya udara, dan peningkatan usaha untuk bernapas, sehingga terjadi
sesak napas. Pada saluran napas kecil terjadi penebalan akibat peningkatan
pembentukan folikel limfoid dan penimbunan kolagen di bagian luar saluran
napas, sehingga menghambat pembukaan saluran napas. Lumen saluran napas
kecil berkurang karena penebalan mukosa berisi eksudat sel radang yang
meningkat sejalan dengan beratnya penyakit. Hambatan aliran udara pada PPOK
disebabkan oleh beberapa derajat penebalan dan hipertofi otot polos pada
bronkiolus respiratorius. Dengan berkembangnya penyakit, kadar CO2 meningkat
dan dorongan respirasi bergeser dari CO2 ke hipoksemia, dorongan pernapasan
juga mungkin akan hilang sehingga memicu terjadinya gagal napas. 1,7
Menurut Hipotesis Elastase-Antielastase, di dalam paru terdapat
keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase untuk mencegah
terjadinya kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara enzim proteolitik
elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastis paru.
Ketidakseimbangan ini dapat dipicu oleh adanya rangsangan pada paru antara lain
oleh asap rokok dan infeksi yang menyebabkan elastase bertambah banyak atau
oleh adanya defisiensi alfa-1 antitripsin.
Pada PPOK terjadi penyempitan saluran napas dan keterbatasan aliran
udara karena beberapa mekanisme inflamasi, produksi mukus yang berlebihan,
dan vasokontriksi otot polos bronkus, seperti terlihat pada gambar 1.
6
Gambar 1. Perbandingan saluran pernapasan pada PPOK dan normal
7
2.5 Manifestasi Klinis dan Klasifikasi
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Diagnosis PPOK
dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala seperti berikut ini:2,6
1. Sesak. Sesak yang ditimbulkan bersifat progresif (semakin lama semakin
bertambah berat) dan biasanya bertambah berat dengan aktivitas. Sesak yang
dirasakan bersifat persisten atau menetap sepanjang hari. Biasanya pasien
merasakan susah bernapas atau terengah-engah.
2. Batuk kronik. Batuk yang dirasakan pasien biasanya hilang timbul dan bisa
berdahak ataupun tidak berdahak.
3. Batuk kronik berdahak. Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan
PPOK.
4. Riwayat terpajan faktor risiko. Riwayat pajanan yang berisiko yaitu terutama
asap rokok, debu dan bahan kimia di tempat kerja, serta asap dapur.
Pasien yang memiliki eksaserbasi akut akan mengalami gejala seperti: 2,8
1. Sesak nafas yang semakin bertambah
2. Produksi sputum meningkat
3. Perubahan warna sputum
8
2.6 Diagnosis
Diagnosis PPOK ditegakan berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. PPOK klinis didiagnosis berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks. Sedangkan diagnosis derajat PPOK
dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri.1,5
1. Anamnesis
Adanya keluhan sesak napas, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi, batuk-
batuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa
keluhan atau gejala, riwayat pajanan dengan faktor risiko, riwayat penyakit
sebelumnya, riwayat keluarga PPOK, riwayat eksaserbasi dan perawatan di RS
sebelumnya, komorbiditas, dan dampak penyakit terhadap aktivitas.
2. Pemeriksaan Fisik
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan. Adapun kelainan yang dapat
terlihat pada pasien PPOK adalah:
Inspeksi : cara bernafas pursed-lips breathing, bentuk dada barrel-chest,
penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga, bila
telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema
tungkai, adanya penampilan pink puffer atau blue bloater.
Palpasi : fremitus melemah dan sela iga melebar
Perkusi : hipersonor, batas jantung mengecil, letak diagframa rendah, hepar
terdorong kebawah.
Auskultasi : suara nafas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi
memanjang, mengi (pada saat eksaserbasi), dan ronki.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Faal Paru
Penilaian menggunakan spirometri dapat menentukan derajat obstruksi dan
merupakan parameter yang paling umum yang digunakan dalam penilaian
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit, berdasarkan penilaian VEP1,
VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP dan Uji bronkodilator (saat diagnosis
ditegakkan): Obstruksi jika %VEP1 (VEP1/VEP1 pred) <80% VEP1 % <75%.
9
VEP1 diukur sebelum diberikan bronkodilator dan pada pasien dengan PPOK
stabil.1,2
Laboratorium
Pemeriksaan yang dilakukan yaitu pemeriksaan darah rutin. Peningkatan
kadar Hb dan jumlah eritrosit (polisitemia sekunder) dan defisiensi kadar alfa-1
antitripsin (kongenital).1,2
Foto toraks
Pada emfisema akan didapatkan paru hiperinflasi atau hiperlusen, diagframa
mendatar dan letak rendah, ruang retrosternal melebar dan jantung menggantung
(jantung pendulum/eye drop appearance). Sedangkan pada bronkitis kronis akan
terlihat gambaran paru normal, namun terlihat corakan bronkovaskular
meningkat.1
Kultur dan sensitivitas kuman
Diperlukan untuk mengetahui kuman penyebab serta resistensi kuman
terhadap antibiotik yang dipakai. Pemeriksaan ini juga diperlukan jika tidak ada
respon terhadap antobiotik yang dipakai sebagai pengobatan pada permulaan
penyakit. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK di Indonesia.1,2,3
10
Gambar 5. Combined COPD Assessment
11
Tabel 2. Kriteria penilaian CAT (COPD Assesment Test)
12
3. Gejala memburuk pada malam atu dini hari
4. Riwayat alergi, rhinitis, atau eksim
5. Riwayat keluarga asma
Gagal jantung 1. Ronki halus di basal paru
kongesti 2. Foto thorak memperlihatkan pembesaran
jantung, edema paru
3. Riwayat hipertensi
4. Pemeriksaan faal paru: indikasi restriksi volume
Bronkiektasis 1. Sputum purulen dalam jumlah yang banyak
2. Sering berhubungan dengan infeksi bakteri
3. Foto thoraks: dilatasi bronkus dan penebalan
dinding bronkus
Tuberkulosis 1. Onset semua usia
2. Gambaran thoraks : infiltrasi paru
3. Konfirmasi mikrobiologi (BTA +)
4. Lokasi prevalensi TB tinggi
13
Peningkatan Jarang Sering
Ig E
Eosinofil Jarang Sering
14
b. Terapi Farmakologis:1,5
1. Bronkodilator
- Diutamakan secara inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian
obat lepas lambat atau obat berefek panjang (long acting).
- 3 golongan :
Agonis ß-2: fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol,
salmeterol. Bentuk inhaler digunakan untuk menatasi sesak,
peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya
eksaserbasi. Sebagai oabat pemeliharaan digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang.
Antikolinergik : ipratropium bromide, oksitroprium bromide.
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga dapat mengurangi sekresi lender
Metilxantin : teofilin lepas lambat, bila kombinasi ß-2 dan steroid
belum memuaskan. Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada
meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi.
15
Gambar 6. Algoritma pengobatan berdasarkan kelompok PPOK
(GOLD 2017)1,5
Adapun klasifikasi PPOK eksaserbasi dibagi menjadi tiga, antara lain :1,7
1. Ringan (memiliki 1 gejala diatas ditambah dengan infeksi saluran nafas atas
lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan
16
mengi atau peningkatan frekuensi pernafasan > 20% nilai dasar, atau frekuensi
nadi > 20% nilai dasar); terapi hanya menggunakan SABDs(short-acting
bronchodilators).
2. Sedang (hanya memiliki 2 gejala diatas) ; terapi dengan menggunakan SABDs
ditambah dengan antibiotik dan atau kortikosteroid oral.
3. Berat (terdapat peningkatan gejala sesak nafas, peningkatan produksi sputum,
dan peningkatan purulensi sputum) pasien membutuhkan perawatan rumah
sakit atau perawatan emergensi. Eksaserbasi berat juga dapat berhubungan
dengan gagal nafas akut.
Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah: bronkodilator seperti
pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan
selama 10-14 hari. Bila infeksi dapat diberikan antibiotik spektrum luas (termasuk
S. pneumonia, H. influenzae, M. catarrhalis).1,7
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:8
Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.
Bronkodilator: inhalasi agonis ß2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) +
antikolinergik
Pada eksaserbasi akut berat + aminofilin (0,5mg/ kgbb/jam). Aminofilin bolus
5 mg/kgBB (dengan pengenceran) harus perlahan (10 menit) untuk
menghindari efek samping. Lalu lanjutkan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
Pemberian aminofilin drip dan terbutalin dapat bersama-sama dalam 1 botol
cairan perinfus. Cairan infus yang digunakan adalah dektrose 5%, NaCl 0,9%
atau ringer laktat.
Steroid : prednisolon 30-40mg PO selama 10-14 hari
Steroid intravena : pada keadaan berat.
17
Berhenti merokok adalah satu-satunya usaha intervensi yang paling efektif
dalam memperlambat progresifitas penyakit dan mengurangi risiko
berkembangnya PPOK.1 Adapun strategi untuk membantu pasien bisa berhenti
merokok meliputi 5A:1
a. Ask (tanyakan) yaitu mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan.
b. Advise (nasihati) yaitu memberikan dorongan kuat pada semua perokok untuk
berhenti merokok.
c. Assess (nilai) yaitu keinginan untuk berusaha berhenti merokok (misal: dalam
30 hari ke depan).
d. Assist (bimbing) yaitu bantu pasien dengan rencana berhenti merokok,
menyediakan konseling praktis, serta merekomendasikan penggunaan
farmakoterapi.
e. Arrange (atur) yaitu buat kontak lebih lanjut
2.10 Prognosis
Prognosis PPOK sangat ditentukan oleh derajat obstruksi saluran nafas.
Prognosis yang buruk ditentukan oleh dua indikator utama, yaitu derajat obstruksi
dan adanya kor pulmonal. Obstruksi yang makin berat akan memperburuk
prognosis PPOK. Bila PPOK terdeteksi sejak awal, dengan penghentian merokok
akan dapat mengurangi laju perkembangan PPOK.9
2.11 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:2
1. Gagal napas
a. Gagal napas kronik
Hasil analisis gas darah Po2 < 60 mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH
normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan PO2 dan PCO2
- Bronkodilator adekuat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
18
b. Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh:
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi berulang. Pada kondisi
kronik ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar
limposit darah.
3. Kor pulmonal
Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal
jantung kanan.
2.11 Pencegahan
Dalam usaha pencegahan terjadinya PPOK selain perlu diadakan program
promosi kesehatan nasional tentang gaya hidup sehat ada beberapa hal yang perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ini yaitu:1,9
1. Berhenti merokok, sehingga dapat memperlambat proses perburukan penyakit,
mencegah komplikasi, dan memperpanjang harapan hidup.
2. Latihan pernapasan (purse-lip breathing dan diaphragmatic breathing).
3. Perkusi dada, berfungsi untuk membantu mengeluarkan dahak yang
berlebihan dari paru.
4. Olahraga, pilihlah olahraga yang sanggup dilakukan oleh pasien misalnya
berjalan, bersepeda, berenang dan sebagainya.
5. Mempertahankan berat badan ideal.
6. Minum banyak air sehingga dapat membantu mengencerkan dahak.
7. Konsumsi cukup protein, buah dan sayuran.
19
BAB III
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. YS
Umur : 68 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Buruh
Tanggal masuk RS : 4 September 2018
ANAMNESIS
Keluhan utama
Sesak napas yang memberat sejak 3 SMRS.
20
- Riwayat HT (-)
PEMERIKSAAN FISIK
• Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
• Kesadaran : CM E4V5M6
• Tekanan darah : 125/78 mmHg
• HR : 125 x/menit
• RR : 24 kali/menit
• Suhu : 36,5° C
• SpO2 : 97,6%
• Tinggi badan : 170 cm
• Berat badan : 50 kg
• IMT : 17,3 (underweight)
21
Paru :
Inspeksi : Dinding dada simetris, barrel chest (-), otot bantu napas (+),
pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan.
Palpasi : Vokal fremitus sama kiri dan kanan, sela iga melebar.
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru.
Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing (+/+), ekspirasi memanjang.
Jantung :
Inspeksi : IC tidak terlihat.
Palpasi : IC teraba di SIK V 1 jari medial linea midclavicula sinistra.
Perkusi : Batas jantung kanan : Linea parasternal dekstra
Batas jantung kiri : SIK V linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi S1 dan S2 normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, scar (-)
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : Supel pada seluruh regio abdomen, nyeri tekan epigastrium (-),
hepatomegali (-), splenomegali (-)
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Ekstremitas :
Akral hangat, clubbing finger (-), CRT < 2 detik, edema (-).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah rutin (Tanggal 04-09-2018)
Hb : 10,7 g/dl
Leukosit : 15.890 /uL
Ht : 29,5 %
PLT : 372.000/uL
22
Ureum : 60 mg/dl
Kreatinin : 1,70 mg/dl
AST : 32 /ul
ALT : 17 /ul
RESUME :
Tn. YS 68 tahun dirawat di RSUD Arifin Ahmad dengan keluhan sesak nafas.
Dari anamnesis didapatkan sejak 2 minggu SMRS, pasien mulai merasakan sesak
napas yang diperberat saat melakukan aktivitas, tidak dipengaruhi cuaca, makanan
dan debu. Sesak napas disertai bunyi ngik. Pasien juga mengeluhkan batuk
berdahak berwarna putih. Batuk berdarah tidak ada. Tidak disertai nyeri dada dan
demam. Keringat malam tidak ada. Pasien rutin mengonsumsi obat neonapasin
dan ambroksol. Pasien mengalami penurunan berat badan ± 5 kg dalam sebulan,
nafsu makan berkurang. 3 hari SMRS pasien mengeluhkan sesak semakin
memberat, batuk berdahak. BAB dan BAK tidak ada keluhan. Riwayat merokok
23
sudah 50 tahun dan 16 batang sehari dengan Indeks Brinkman 800 (perokok
berat). Dari pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang, kesadaran komposmentis, TD 125/78 mmHg, HR 125 x/menit, RR 24
x/menit, suhu 36,5o C. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bunyi wheezing (+/+).
Pada pemeriksaan penunjang foto toraks didapatkan tampak fibroinfiltrat pada
lapangan paru kiri, perselubungan inhomogen pada bagian atas dan bawah paru
kanan, sela iga melebar, dan jantung pendulum.
DIAGNOSIS
- PPOK Eksaserbasi Akut (Tipe II)
- Terduga TB paru kasus baru status HIV ?
RENCANA PEMERIKSAAN
1. Kultur sputum dan MO gram
2. Sputum BTA dan GE
3. Spirometri (jika sudah stabil)
RENCANA PENATALAKSANAAN
Non Farmakologi
- Istirahat (bed rest)
- Berhenti merokok dan pemicu serangan sesak lainya
- Hindari aktivitas yang berlebihan
- Diet makanan bergizi
Farmakologi
- O2 nasal kanul 3L/menit
- IVFD D5% + Drip aminofilin 8,3 cc / 8 jam
- Terapi inhalasi combivent + pulmicort per 8 jam
- Inj. Ceftizoxime 2x1 gr
- Inj. Metil prednisolon 3 x 62,5 mg
- N asetil sistein 2 x 200 mg
- Tab curcuma 3x1
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini ditegakkan diagnosis PPOK karena adanya keluhan sesak
nafas yang bertambah berat seiring berjalannya waktu (progresif dan kronik), dan
peningkatan dari sputum. Gejala sesak nafas sudah sering dirasakan pasien
berulang-ulang dalam 5 tahun terakhir dan disertai dengan batuk berdahak
berwarna putih. Berdasarkan tipe dari gejala eksaserbasi akut pasien ini
diklasifikasikan tipe sedang. Pasien memiliki riwayat merokok selama ± 50 tahun
sebanyak 1 bungkus/hari. Didapatkan Indeks Brinkman (IB) = 800 yang termasuk
dalam kategori berat dimana merokok pada dasarnya merupakan faktor pemicu
PPOK terbanyak (95% kasus) di negara berkembang. Batuk yang disertai dengan
peningkatan jumlah sputum merupakan salah satu proses dari adanya bronkitis
kronis pada pasien. Faktor etiologi peradangan bronkus ini bisa diakibatkan oleh
terpajannya paru dengan asap rokok yang lama dan juga paparan dari polusi
udara.
Merokok merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan suatu proses
hipertrofi kelenjar mukus bronkial dan meningkatkan produksi mukus sehingga
menyebabkan batuk produktif. Pada bronkitis kronis perubahan awal terjadi pada
saluran udara yang kecil, selain itu terjadi destruksi jaringan paru disertai dilatasi
rongga udara (emfisema), yang menyebakan hilangnya elastic recoil, hiperinflasi,
terperangkapnya udara dan peningkatan usaha untuk bernafas sehingga terjadi
sesak nafas. Batuk berdahak yang berwarna kehijauan menandai adanya infeksi
sekunder oleh bakteri.
Dari pemeriksaan RR 24x/i, otot bantu napas (+), ronkhi (-/-), wheezing
(+/+), dan pada pemeriksaan penunjang darah rutin leukosit meningkat. Pada
pemeriksaan penunjang foto toraks didapatkan tampak fibroinfiltrat pada lapangan
paru kiri, perselubungan inhomogen pada bagian atas dan bawah paru kanan, sela
iga melebar, dan jantung pendulum.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Global Initiative for Chronic Lung Disease (GOLD). Pocket guide for the
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease- A Guide for Health Care Professionals.National Institutes of Health.
National heart, Lung and blood Institute. Update 2017.
5. Global Initiative for Chronic Lung Disease (GOLD). Global Strategy for the
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive pulmonary
disease.National Institutes of Health. National heart, Lung and blood Institute.
Update 2017.
8. Alsagaff H, dkk. Buku ajar ilmu penyakit paru. Surabaya: Graha Masyarakata
Ilmiah Kedokteran Universitas Airlangga; 2011.
10. Barness PJ, Celli BR. Systemic manifestations and comorbidities of COPD.
Eur Respir J 2012, 33: 1165-85.
26