Anda di halaman 1dari 6

Khutbah Pertama:

‫ي بِ ِع ْل ِم ِه الس ُِّر‬ ْ ‫ يَ ْستَ ِو‬،‫ فَلَ ا ْبتِدَا َء ِل ُو ُج ْو ِد ِه َوالَ ا ْنتِ َها َء‬،‫َاء‬ ِ ‫ان َواآلن‬ ْ ‫ب‬
ِ ‫األز َم‬ ِ ‫اَ ْل َح ْمدُ ِهللِ َر‬
‫ أَ ْش َهدُ أَ ْن الَ اِلَهَ إِالَّ للاُ ْال َك ِبي ُْر‬.‫غدًا‬ َ ‫ِب‬ ُ ‫س َماذَا تَ ْكس‬ ٌ ‫ َو َما تَ ْد ِري نَ ْف‬:‫ القَائِ ِل‬،‫َو ْال َخفَا ُء‬
.‫صا ِل‬ َ ‫ش ْيءٍ ِفي ْالغُد ُِو َواآل‬ َ ‫س ِب ُح ِب َح ْم ِد ِه ُك ُّل‬ ْ ‫ الَّذ‬،‫ش ِب ْي ِه َو ْال ِمثَا ِل‬
َ ُ‫ِي ي‬ َّ ‫ع ِن ال‬ َ ُ‫ ال ُمن ََّزه‬،‫ال ُمتَ َعا ِل‬
‫ت‬ َ ‫ ال ُمن ََّز ُل‬،‫ي َحذَّ َرنَا ِم ْن دَ ِار الفُت ُ ْو ِن‬
ٌ ‫ ِإنَّ َك َم ِي‬:‫علَ ْي ِه‬ ْ ‫س ْولُهُ الَّ ِذ‬
ُ ‫ع ْبدُهُ َو َر‬ َ ‫َوأَ ْش َهدُ أَ َّن ُم َح َّمدًا‬
‫علَى آ ِل ِه‬ َ ‫س ِليْنَ َو‬ َ ‫اء َو ْال ُم ْر‬
ِ َ‫سيِ ِدنَا ُم َح َّم ٍد خَاتَ ِم األ َ ْنبِي‬
َ ‫علَى‬ َ ‫ص ِل وسلم‬ َ ‫ اللَّ ُه َّم ف‬. َ‫َو ِإنَّ ُه ْم َم ِيت ُ ْون‬
ِ‫ص ْي ُك ْم َونَ ْف ِس ْي ِبتَ ْق َوى للا‬ ِ ‫ فَيَا ِعبَادَ للاِ أ ُ ْو‬.ُ‫ أَ َّما بَ ْعد‬. َ‫ار أَ ْج َم ِعيْن‬ ِ َ‫ص َحابِ ِه األ َ ْخي‬ ْ َ‫الطيِ ِبيْنَ َوأ‬ َّ
. َ‫ع ِت ِه لَعَلَّ ُك ْم ت ُ ْف ِل ُح ْون‬ َ ‫َو‬
َ ‫طا‬
Hadirin sidang Jum’ah yang semoga dirahmati Allah,

Mengawali khutbah siang hari ini, marilah kita memanjatkan puji dan rasa syukur ke
hadirat Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya yang sedetik pun tak pernah
berhenti kita rasakan. Kebaikan dan kasih sayang-Nya senantiasa mengalir kepada
kita, mengiringi tiap hembusan nafas dan langkah kaki kita menapaki kehidupan. Dan
setiap saat, nikmat itu terus bertambah, nikmat yang satu, yang kadang belum
sempat kita syukuri, sudah disusul dengan nikmat lainnya tanpa mungkin bisa kita
hitung jumlahnya.
Terkait sikap taqwa ini, Sayyiduna Ali bin Abi Thalib pernah menyatakan bahwa
salah satu ciri prilaku taqwa adalah:
‫ واالستعداد ليوم الرحيل‬، ‫ والرضا بالقليل‬، ‫ والعمل بالتنزيل‬، ‫الخوف من الجليل‬
(Takut akan siksa dan kemurkaan Dzat Yang Maha Mulia (Allah SWT), mengamalkan
ajaran atau perintah yang telah diturunkan oleh Allah, ridho atau “nrimo” atas segala
anugerah Allah meskipun sedikit, dan mempersiapkan diri dengan amal sholeh untuk
menghadapi saat hari kematian tiba).

Tak lupa, shalawat dan salam semoga tetap tersampaikan kepada junjungan alam,
baginda Nabi Agung Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya, serta
seluruh pengikutnya, termasuk kita semua selaku ummatnya.

Kaum muslimin rahimakumullah,

Alhamdulillah, sebentar lagi kita memasuki bulan Muharram 1440 H. Artinya,


sebentar lagi kita telah memasuki tahun baru dalam sistem kalender Islam, yang
biasa kita sebut dengan istilah tahun baru hijriyah. Perhitungan tahun hijriyah ini
dimulai dari hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah. Dan melalui mimbar Jum’at ini,
Khathib ingin sedikit mengingatkan kembali peristiwa yang amat penting dalam
sejarah Islam tersebut, sembari menyelami lebih jauh hakikat dan hikmah-hikmah
yang bisa kita petik di dalamnya.

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Sejarah telah mencatat, bahwa orang pertama yang meresmikan hijrah Nabi sebagai
tonggak awal dalam sistem kalender Islam adalah Umar bin Khattab RA, yakni ketika
beliau menjabat sebagai Khalifah ke-2 menggantikan Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq
RA. Peristiwa ini terjadi tepatnya pada 17 tahun setelah Nabi Hijrah. Sungguh pun
demikian, Sayidina Umar bukanlah orang yang memaksakan pendapatnya pribadi
dalam menentukan kalender hijriyah. Beliau adalah orang yang selalu
bermusyawarah terlebih dahulu dengan para sahabat Nabi yang lain setiap
menyikapi problematika umat, termasuk dalam merumuskan sistem kalender Islam.
Karenanya, beberapa pendapat saat itu sempat bermunculan. Ada yang berpendapat,
bahwa sistem penanggalan Islam sebaiknya berpijak pada tahun kelahiran
Rasulullah. Ada juga yang mengusulkan, bahwa tahun diangkatnya Rasulullah
sebagai utusan Allah adalah waktu yang paling tepat dalam menentukan awal
kalender Islam. Bahkan, ada pula yang berpendapat agar tahun wafatnya Rasulullah
yang dijadikan titik awal perhitungan penanggalan hijriyah. Dari beberapa usulan
tersebut, Sayidina Umar akhirnya lebih condong kepada pendapat Sayidina Ali bin
Abi Thalib, yang mengusulkan peristiwa hijrah Nabi sebagai tonggak sejarah paling
penting dalam Islam, dibanding peristiwa lainnya. Dengan alasan, karena hijrahnya
Nabi dari Mekkah ke Madinah merupakan simbol pembatas antara yang hak dan
yang batil. Peristiwa ini (yakni, awal penentuan kalender Islam) terjadi pada tanggal
1 Muharam, bertepatan dengan hari Jum’at, tanggal 16 Juli 622 M.

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah,

Jika kita mengulas sejarah, ada hal yang unik dalam sistem kalender hijriyah. Karena
dalam catatan sejarah, peristiwa hijrahnya Nabi dari Mekkah ke Madinah
sesungguhnya terjadi pada bulan Rabiul Awal, bukan pada bulan Muharram. Lalu
mengapa justeru bulan Muharram yang dijadikan sebagai tonggak pertama bagi awal
penanggalan Islam?.

Kaum muslimin yang berbahagia,

Dalam kitab-kitab Tarikh atau sejarah Islam, banyak dijelaskan bahwa Nabi bertolak
dari Mekkah menuju Madinah terjadi pada hari Kamis terakhir di bulan Shafar, dan
keluar dari tempat persembunyiannya di Goa Tsur pada awal bulan Rabiul Awal,
bertepatan dengan hari Senin tanggal 13 September 622. Namun demikian, Sayidina
Umar dan sahabat-sahabat Nabi yang lain saat merumuskan sistem kalender Islam,
lebih memilih bulan Muharram sebagai awal tahun hijriyah. Ini karena, di bulan
Muharram-lah sesungguhnya Nabi pertama kali memiliki ’azam (rencana) untuk
berhijrah. Mengingat pada bulan Muharram itu Rasulullah telah selesai dari seluruh
rangkaian kegiatan ibadah haji, juga karena bulan Muharram termasuk salah satu
dari 4 bulan haram dalam Islam yang dilarang oleh Allah untuk berperang di
dalamnya. Rasulullah sendiri pernah menyebut bulan Muharram dengan sebutan
“Syahrullah (Bulannya Allah)”, sebagaimana diungkapkan dalam sabdanya:
‫حر ُم‬
َّ ‫شهر للا ال ُم‬
ُ َ‫أفض ُل الصيام بعدَ رمضان‬
“Sebaik-baik puasa di luar bulan suci Ramadhan adalah puasa di Bulan Allah, yaitu
bulan Muharram”. (Hadist diriwayatkan oleh Imam Muslim).

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Peristiwa hijrah merupakan peristiwa penting yang di dalamnya tersimpan banyak


hikmah yang bisa kita petik. Setidaknya, ada 3 nilai penting dari peristiwa hijrahnya
Nabi dari Mekkah ke Madinah yang perlu kita teladani dan transformasikan dalam
kehidupan saat ini.
Pertama, transformasi keummatan (kemanusiaan). Mengingat, misi utama hijrahnya
Nabi beserta kaum muslim sesungguhnya adalah untuk menyelamatkan nilai-nilai
kemanusiaan. Karena betapa sebelum hijrah, penindasan dan kekejaman sangat
sering dilakukan oleh orang-orang kaya dan para penguasa terhadap masyarakat
kecil yang lemah. Oleh karenanya, hijrah dalam hal ini ditujukan untuk mewujudkan
suatu tatanan sosial (kemasyarakatan) yang lebih baik.

Hadirin jama’ah Jum’at yang berbahagia,

Kemudian yang Kedua, adalah transformasi kebudayaan atau peradaban. Hijrah


dalam hal ini dimaksudkan untuk mengentaskan masyarakat dari kebudayaan atau
tabiat Jahiliyah menuju kebudayaan dan peradaban yang Islami. Yaitu tatanan
peradaban yang tidak memperbudak dan menjerumuskan manusia, tetapi
membebaskan manusia dengan pancaran cahaya ilahi. Dengan demikian, hijrah pada
dasarnya ditujukan untuk mengembalikan moral dan martabat kemanusiaan secara
universal, sebagai makhluk yang paling mulia di muka bumi.

Lalu yang Ketiga, adalah transformasi keagamaan. Transformasi inilah yang


sesunguhnya dapat dikatakan sebagai pilar utama keberhasilan dakwah Rasulullah.
Persahabatan beliau dan kaum Muslim dengan kalangan non-Muslim (Ahli Kitab:
Yahudi dan Nasrani) yang ada di Madinah, sesungguhnya adalah basis utama dari
misi kerasulan yang diemban oleh Rasulullah. Dari catatan sejarah kita dapat ketahui,
bahwa orang yang pertama kali menunjukkan sekaligus mengakui ‘tanda-tanda
kerasulan’ pada diri Nabi, adalah seorang pendeta Nasrani yang bertemu tatkala Nabi
dan pamannya, Abu Thalib, berdagang ke Syria. Kemudian, pada hijrah pertama dan
kedua (ke Abesinia), pun kaum Muslim ditolong oleh raja Najasy yang juga beragama
Nasrani. Dan pada saat membangun kepemimpinan di Madinah, kaum Muslim
bersama kaum Yahudi dan Nasrani, saling bahu-membahu dalam ikatan
persaudaraan dan perjanjian yang damai. Fakta ini menunjukkan, betapa ajaran
Islam adalah ajaran yang rahmatan lil ‘alamin, yang mengajarkan kedamaian kepada
seluruh alam. Bukan agama yang mengajarkan teror dan kekerasan sebagaimana
yang dilakukan oleh para kelompok penganut ideologi garis keras.

Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah,

Penting untuk dipahami, bahwa hijrah tidak semata-mata bermakna perpindahan


fisik dari satu daerah ke daerah yang lain. Hijrah harus pula dimaknai hijrah mental-
spiritual, sehingga akan tercipta tatanan kehidupan masyarakat yang berlandaskan
pada keluhuran moral, ikatan persaudaraan (ukhuwah) dan kemashlahatan bersama
(al-maslahatu al-ra’iyah). Dengan kata lain, hijrah hakikatnya bukan sekadar pindah
tempat, tetapi pindah kelakuan. Dari kelakuan yang tidak baik menjadi lebih baik.

Sesuai dengan makna hijrah itu sendiri, yang secara lughawi bermakna at-tarku wal
bu’du(meninggalkan atau menjauhi). Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, dalam
kitabnya Zaadu al-Ma’ajir aw ar-Risalah Tabuukiyah, dalam menjelaskan makna
hijrah ini, beliau menyatakan:
‫ والهجرة‬.‫ هجرة بالجسم ِمن بلد إلى بلد وهذه أحكا ُمها معلومة‬:‫الهجرة هجرتان‬
... ُ‫ وهذِه ال ِهجرة هي ال ِهجرة الحقيقية‬...‫ الهجرة بالقلب إلى للا ورس ِوله‬:‫الثانية‬
Ada 2 macam hijrah. Pertama adalah hijrah jismiyah, yakni berpindah dari satu negeri
ke negeri yang lain. Hijrah semacam ini hukum dan ketentuan-ketentuannya telah
jelas. Dan yang kedua adalah hijrah qalbiyyah, yakni berpindahnya hati menuju
kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Inilah sesungguhnya makna hijrah yang paling
hakiki.

Senada dengan penjelasan Imam Ibnu al-Qayyim di atas, Imam ‘Izz bin Abdis Salam
ad-Dimasyqi as-Syafi’i dalam kitabnya Nadlratu an-Na’im juga mengatakan:

‫ وأفضلهما هجرة اإلثم‬،‫ وهجرة اإلثم والعدوان‬،‫ هجرة األوطان‬:‫الهجرة هجرتان‬


‫والعدوان؛ لما فيها من إرضاء الرحمن وإرغام النفس والشيطان‬
Bahwa ada 2 macam hijrah, yaitu hijratul authan (meninggalkan suatu wilayah) dan
hijratul itsmi wal ‘udwan (meninggalkan perbuatan dosa dan permusuhan). Dari 2
macam hijrah itu, yang paling utama adalah hijratul itsmi wal ‘udwan, karena di
dalamnya ada keridhoan Dzat Yang Maha Rahman dan ditundukkannya segala hawa
nafsu dan bisikan syaitan. Ini sesuai dengan sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Imam
Ahmad dan Nasa’i, dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash RA bahwa Nabi SAW pernah
ditanya:

َ ‫ي ْال ِه ْج َرةِ أَ ْف‬


)‫ (أَ ْن تَ ْه ُج َر َما َك ِرهَ َرب َُّك‬:‫ض ُل ؟ قَا َل‬ ُّ َ‫أ‬
“Hijrah apakah yang paling utama”?. Beliau menjawab: “Yaitu hijrah meninggalkan
perkara-perkara yang tidak disukai oleh Tuhanmu”.

Hadirin yang dirahmati Allah,

Akhirnya, seiring pergantian tahun ini tanpa terasa umur kita pun telah berkurang
satu tahun. Itu berarti jatah hidup kita kian berkurang dan semakin mendekatkan
kita pada hari kematian. Maka, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Robi’ah al-
Adawiyyah kepada Sufyan at-Tsauri, sebagaimana diceritakan dalam kitab Sifatu as-
Shafwah:
‫ ويوشك إذا ذهب البعض أن‬،‫ فإذا ذهب يوم ذهب بعضك‬،‫إنما أنت أيام معدودة‬
.‫ فاعمل‬،‫يذهب الكل‬
“Sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari. Jika satu hari telah berlalu, maka
sebagian dirimu juga berlalu. Bahkan sering kali ketika sebagian harimu berlalu, itu
bisa saja menghilangkan seluruh dirimu (yakni: mematikanmu). Oleh karena itu,
beramal-lah.”

Demikian khutbah ini disampaikan, semoga kita semua termasuk dalam golongan
orang-orang yang berhijrah dalam pengertian yang hakiki, yakni meninggalkan
perkara-perkara yang tidak baik menuju perbuatan yang lebih baik.

Amin ya Rabbal ‘Alamin

َّ ‫َّللاِ َو‬
ُ‫َّللا‬ َّ ‫ت‬ َ ‫َّللاِ أُولَئِ َك َي ْر ُجونَ َر ْح َم‬ َ ‫ِإ َّن الَّذِينَ آ َمنُوا َوالَّذِينَ هَا َج ُروا َو َجا َهدُوا فِي‬
َّ ‫س ِبي ِل‬
ٌ ُ ‫غف‬
.‫ور َر ِحي ٌم‬ َ
‫الذ ْك ِر‬
‫ت َو ِ‬ ‫آن ْال َع ِظي ِْم‪َ ,‬ونَفَ َع ِن ْي َو ِإيَّا ُك ْم ِب َما ِف ْي ِه ِمنَ اآل َيا ِ‬ ‫ار َك للاُ ِل ْي َو َل ُك ْم ِفي ْالقُ ْر ِ‬ ‫َب َ‬
‫س ِم ْي ُع ْالعَ ِل ْي ُم‪ .‬أَقُ ْو ُل قَ ْو ِل ْي َهذَا َوا ْست َ ْغ ِف ُر للاَ‬‫ْال َح ِكي ِْم‪َ ,‬وتَقَبَّ َل ِمنِ ْي َو ِم ْن ُك ْم تِلَ َوتَهُ ِإنَّهُ ُه َو ال َّ‬
‫ْال َع ِظي َْم ِل ْي َولَ ُك ْم فَا ْستَ ْغ ِف ُر ْوهُ‪ِ ،‬إنَّهُ ُه َو ْالغَفُ ْو ُر َّ‬
‫الر ِح ْي ُم‪.‬‬
‫‪Khutbah Kedua:‬‬

‫ش ُه ْو ِر ال َع ِام‪،‬‬ ‫غي ِْر ِه ِم ْن ُ‬ ‫علَى َ‬ ‫ش ْه َر ْال ُم َح َّر ِم َ‬ ‫ض َل َ‬ ‫اإل ْن َع ِام‪ ،‬الذي فَ َّ‬ ‫ض ِل َو ْ ِ‬ ‫ِي الفَ ْ‬ ‫اَ ْل َح ْمدُ ِ َّّلِلِ ذ ْ‬
‫صفَاتِ ِه‪َ ,‬ك َما‬ ‫أَ ْش َهدُ أَ ْن َال إِلَهَ ِإ َّال للاُ َو ْحدَهُ َال ش َِري َْك لَهُ فِي ُربُ ْو ِبيَّتِ ِه َوأُلُ ْو ِهيَّتِ ِه‪َ ,‬وأ َ ْس َمائِ ِه َو ِ‬
‫س ْولُهُ‪،‬‬ ‫ع ْبدُهُ َو َر ُ‬ ‫اإل ْك َر ِام)‪َ ،‬وأَ ْش َهدُ أ َ َّن محمدا ً َ‬ ‫ار َك ا ْس ُم َر ِب َك ذِي ْال َجل ِل َو ِ‬ ‫قَا َل تَ َعالَى‪( :‬تَبَ َ‬
‫سلَّ َم تَ ْس ِليْما ً َكثِي ًْرا‪ ,‬أَ َّما بَ ْعدُ‪ :‬فَيَا‬ ‫ص َحابِ ِه البَ َر َرةِ ال ِك َر ِام‪َ ،‬و َ‬ ‫علَى آ ِل ِه َوأَ ْ‬ ‫علَ ْي ِه َو َ‬ ‫صلَّى للاُ َ‬ ‫َ‬
‫اس‪ ,‬اِتَّقُوا للاَ َح َّق تُقَا ِت ِه َوالَ ت َ ُم ْوت ُ َّن ِإالَّ َوأَ ْنت ُ ْم ُم ْس ِل ُم ْونَ ‪ .‬نَ ْسأ َ ُل للاَ تعالى أَ ْن‬ ‫أَيُّ َها النَّ ُ‬
‫ش َهادَةِ‪َ ،‬وأَ ْن َي ْج َعلَنَا َو ِإيَّا ُك ْم ِم ْن ِع َبا ِد ِه ال ُمت َّ ِقيْنَ ‪َ ,‬وأَ ْن‬ ‫ب َوال َّ‬ ‫َي ْر ُزقَنَا َو ِإيَّا ُك ْم َخ ْش َيتَهُ فِي الغَ ْي ِ‬
‫ع ْب ِد للاِ‪َ ,‬ك َما أ َ َم َر ُك ُم‬ ‫علَى سيدنا ُم َح َّم ِد ب ِْن َ‬ ‫س ِل ُم ْوا َ‬ ‫صلُّ ْوا َو َ‬ ‫سبِ ْي ِل‪َ ،‬و َ‬ ‫س َوا َء ال َّ‬ ‫يَ ْه ِديَنَا َج ِميْعا ً َ‬
‫علَى النَّبِي ِ يَا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا‬ ‫صلُّونَ َ‬ ‫َّللاَ َو َم َلئِ َكتَهُ يُ َ‬ ‫للاُ بِذَ ِل َك فِي ِكتَابِ ِه الكريم ‪ِ ﴿:‬إ َّن َّ‬
‫ص َحا ِب ِه‬ ‫علَى آ ِل ِه َوأ َ ْ‬ ‫علَى سيدنا ُم َح َّم ٍد َو َ‬ ‫ص ِل َ‬ ‫س ِل ُموا تَ ْس ِليماً﴾‪ .‬فاَللَّ ُه َّم َ‬ ‫علَ ْي ِه َو َ‬ ‫صلُّوا َ‬ ‫َ‬
‫ق‪،‬‬ ‫الص ِد ْي ِ‬ ‫الرا ِش ِديْنَ األَئِ َّم ِة ال َم ْه ِد ِييْنَ ‪ :‬أَ ِب ْي بَ ْك ٍر ِ‬ ‫اء َّ‬ ‫ع ِن ال ُخلَفَ ِ‬ ‫ض اللَّ ُه َّم َ‬ ‫ار َ‬ ‫أَ ْج َم ِعيْنَ ‪َ .‬و ْ‬
‫ع ِن‬ ‫ض اللَّ ُه َّم َ‬ ‫ار َ‬‫ع ِلي‪َ ،‬و ْ‬ ‫سنَي ِْن َ‬ ‫ِي النُ ْو َري ِْن‪َ ،‬وأَ ِبي ال َح َ‬ ‫عثْ َمانَ ذ ْ‬ ‫ق‪َ ،‬و ُ‬ ‫ار ْو ِ‬ ‫ع َم َر الفَ ُ‬ ‫َو ُ‬
‫عنَّا‬ ‫الدي ِْن‪َ ،‬و َ‬ ‫ان إِلَى يَ ْو ِم ِ‬ ‫س ٍ‬ ‫ع ِن التَابِ ِعيْنَ َو َم ْن تَبِعَ ُه ْم بِإِ ْح َ‬ ‫ص َحابَ ِة أَ ْج َم ِعيْنَ ‪َ ،‬و َ‬ ‫ال َّ‬
‫سا ِن َك َيا أَ ْك َر َم األ َ ْك َر ِميْنَ ‪.‬‬ ‫َم َع ُه ْم بِ َم ِن َك َو َك َر ِم َك َو ِإ ْح َ‬
‫آء ِم ْن ُه ْم َواأل َ ْم َواتِ‪ِ ,‬إنَّ َك‬ ‫ت األ َ ْح َي ِ‬ ‫ت َو ْال ُم ْس ِل ِميْنَ َو ْال ُم ْس ِل َما ِ‬ ‫اللَّ ُه َّم ا ْغ ِف ْر ِل ْل ُمؤْ ِمنِيْنَ َو ْال ُمؤْ ِمنَا ِ‬
‫ض ِل َك ال َع ِظي ِْم‬ ‫علَى فَ ْ‬ ‫ي القَدِي ُم األ َ َّولُ‪َ ,‬و َ‬ ‫ت األَبَ ِد ُّ‬ ‫ع َواتِ‪.‬اَللَّ ُه َّم أَ ْن َ‬ ‫ْب الدَّ َ‬ ‫ْب َم ِجي ُ‬ ‫س ِم ْي ٌع قَ ِري ٌ‬ ‫َ‬
‫ان‬ ‫ط ِ‬ ‫ش ْي َ‬ ‫ص َمةَ فِ ْي ِه ِمنَ ال َّ‬ ‫عا ٌم َج ِد ْيدٌ قَ ْد أ َ ْقبَ َل‪ ،‬ن ْسأَلُ َك ال ِع ْ‬ ‫ِك ال ُمعَ َّولُ‪َ ،‬و َهذَا َ‬ ‫َو َك ِري ِْم ُج ْود َ‬
‫س ْو ِء‪َ ،‬وا ِال ْش ِتغَا َل ِب َما يُقَ ِربُ ِن ْي إِلَي َْك ُز ْلفَى‬ ‫ار ِة ِبال ُّ‬‫علَى َه ِذ ِه النَّ ْف ِس األ َ َّم َ‬ ‫َوأَ ْو ِل َيائِه‪َ ،‬وال َع ْونَ َ‬
‫ار‪.‬‬ ‫اب النَّ ِ‬ ‫عذَ َ‬ ‫سنَةً َوقِنَا َ‬ ‫اآلخ َرةِ َح َ‬‫سنَةً َوفِي ِ‬ ‫اإل ْك َر ِام‪َ .‬ربَّنَا آتِنَا فِي الدُّ ْن َيا َح َ‬ ‫َيا ذَا ال َج َل ِل َو ِ‬
‫ع ِن ْالفَ ْحش ِ‬
‫َآء‬ ‫آء ذِي ْالقُ ْربَى َويَ ْن َهى َ‬ ‫ان َو ِإ ْيتَ ِ‬ ‫س ِ‬ ‫اإل ْح َ‬ ‫ِعبَادَ للاِ! إِ َّن للاَ يَأ ْ ُم ُر ِب ْال َع ْد ِل َو ِ‬
‫علَى‬ ‫ظ ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم تَذَ َّك ُر ْونَ ‪َ ,‬وا ْذ ُك ُروا للاَ ْالعَ ِظي َْم يَ ْذ ُك ْر ُك ْم َوا ْش ُك ُر ْوهُ َ‬ ‫َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغي ِ يَ ِع ُ‬
‫صنَعُ ْونَ ‪.‬‬ ‫ِكر للاِ أَ ْك َب ُر‪َ ,‬وللاُ َي ْعلَ ُم َما تَ ْ‬ ‫ض ِل ِه يُ ْع ِطكم‪َ ,‬ولَذ ُ‬ ‫ِن َع ِم ِه يَ ِز ْد ُك ْم َوا ْسئَلُ ْوهُ ِم ْن فَ ْ‬

Anda mungkin juga menyukai