Anda di halaman 1dari 8

TUGAS ENDAPAN MINERAL

Diamond Mechanical Concentration

AMOS R. HUTABARAT

072001400110

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2018
ABSTRAK

Indonesia adalah negara kedua di dunia untuk penemuan intan setelah India
yang telah menemukan berlian di abad ke-8. Ironisnya tidak ada satupun
perusahaan eksplorasi intan yang bisa pergi ke negara pertambangan di
Indonesia. Berdasarkan sudut pandang Kuarter-geologis, Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Barat adalah prospek yang baik untuk eksplorasi intan aluvial,
karena di daerah-daerah ini endapan Kuarter didistribusikan secara luas baik di
darat maupun di lepas pantai. Untuk alasan ini disarankan bahwa eksplorasi
intan aluvial di daerah-daerah ini dapat direncanakan secara sistimatis, dan ia
berharap beberapa daerah eksploitasi dapat ditemukan secara ekonomi di masa
depan. Intan menjadi batu permata yang terbagus, terkeras, termahal dan
merupakan batu permata yang paling diminati di seluruh dunia. Intan aktual
terbentuk dari angka karbon pada temperatur 900 - 1300oC dan tekanan sekitar
70 000 kg / cm persegi.
BAB 1
PENDAHULUAN

Intan yang pertama sekali ditemukan manusia adalah di India, yaitu


pada abad ke 8 SM. Dan yang kedua di Kalimantan pada tahun 800 Masehi,
(Griffin,.1995). Bahkan menurut Roumbuts. L., 1993, intan di Kalimantan
sudah mulai dikenal pada abad ke 2 M. Kemudian lama sesudah itu, atau baru
pada abad ke 18 M tepatnya pada tahun 1727 M intan ditemukan di Brazil,
kemudian pada abad 19 M (1866) ditemukan di Afrika selatan, dan di beberapa
negara lainnya seperti di Cina, Siberia, Afrika dan Australia Walaupun intan
diketahui telah ditemukan di Kalimantan pada abad ke 2 atau 9 M, namun
menurut laporan terdahulu perdagangan intan di Kalimantan mulai terkenal
sejak tahun 1604 M. Rafles dalam bukunya “History of Java”, menyebutkan
bahwa export intan dari Kalimantan pada tahun 1738 M mencapai 8 - 12 juta
gulden, suatu nilai yang cukup besar pada saat itu. Dan semua intan yang
ditemukan di Kalimantan selama ini ditambang oleh penduduk hanya pada
endapan alluvial, baik sebagai endapan sungai sekarang maupun endapan
sungai purba.
BAB II
PEMBAHASAN

Penelitian untuk menemukan intan primer di Kalimantan baru


dilakukan oleh pemerintah Belanda (“Geological Survey of Netherlands East
Indiest”) pada abad ke 19. Bersamaan dengan itu Koolhoven (1935) dalam
penelitiannya di Kalsel khususnya di Martapura telah menemukan intan pada
batuan breksi di S. Pemali, anak S. Riamkanan, yang kemudian dinamakan
Breksi Pemali (breksi erupsi ultrabasa). Percontoan yang dilakukan dari 17
sumur uji pada batuan tersebut, menunjukkan kadar intannya rata-rata 0.01
karat/ ton dan butiran intan terbesar hanya 0.2 karat.
Menurut Koolhoven, secara petrografis batuan Breksi Pemali yang
berumur Kapur Akhir dapat dipersamakan dengan batuan Kimberlit di Afrika
Selatan. Kemudian Anaconda Canada, melakukan esplorasi intan di daerah ini
pada tahun 1987 dan menyimpulkan bahwa Breksi Pemali bukan merupakan
batuan intrusi tapi hanya berupa sedimen konglomerat (Bergman et al., 1987).
Terlepas dari pendapat kedua ahli tersebut diatas, tentang asal usul
intan di Kalimantan. Tapi kalau kita perhatikan penyebaran intan sekunder di
Kalimantan, dan dikaitkan dengan pola struktur tektonik yang berkembang di
daerah tersebut, kelihatannya antara intan yang terdapat di kedua daerah
tersebut ada kaitannya dengan aktivitas tektonik yang terjadi saat itu. Seperti
adanya subdaksi pada Zaman Kapur di Kalimantan Selatan, yang membentuk
pegunungan Meratus dan terdiri dari batuan bancuh, dan ditemukannya intan
disekitar daerah subdaksi tersebut (peta 1). Pada saat yang relatif sama di
Kalimantan Barat juga terjadi subdaksi di daerah Putussibau, yang dicirikan
oleh batuan bancuh Boyange (Boyange Melange). Sedangkan intan yang
ditemukan di Kalimantan Barat (S. Landak dan S. Sekayam) berdekatan
dengan daerah Melange. Oleh karena itu kemungkinan besar intan yang
terdapat di Kalimantan erat kaitannya dengan subduksi yang terjadi pada
zaman Kapur tersebut. Hal ini dapat dijelaskan sebagai akibat dari subdaksi,
terbentuklah rekahan-rekahan dan struktur-struktur yang memungkinkan
tersingkapnya batuan dasar ultrabasa dan sebagiannya mungkin bisa berupa
Kimberlit atau Lamproit kepermukaan. Kemudian karena pengaruh iklim tropis
yang berlangsung cukup lama maka batuan tersebut menjadi lapuk, dan
berubah menjadi soil yang cukup tebal. Sebagai conto di Pongkor, Bogor
pelapukan batuannya mencapai 250 m dibawah permukaan tanah (Narcoux, E.
et al,. 1996) sehingga sulit mengidentifikasikan jenis batuan asalnya, apalagi
diatasnya ditutupi oleh vegetasi yang cukup lebat. Batuan Kimberlit yang
belum lapuk (“fresh”) mungkin sudah berada puluhan bahkan ratusan meter
dibawah permukaan tanah. Seperti batuan Kimberlit yang pernah ditemukan di
Wajrakarur, Selatan India pada tahun 1985 pelapukannya mencapai 300 m
(Guptasarma, D., et.al, 1987). Kemungkinan lainnya adalah karena proses erosi
yang cukup kuat dan lama sehingga batuan Kimberlit yang mengandung intan
yang telah tersingkap kepermukaan sejak Zaman Kapur, telah habis tererosi
dan intannya terendapkan dalam batuan sedimen. Oleh karena itu intan primer
di daerah Kalimantan sulit ditemukan.
Intan yang ditemukan di Sungai Landak, Ngabang, Kalimantan Barat,
berbeda sumbernya dengan intan yang terdapat di Martapura, Banjarmasin,
Kalimantan Selatan. Karena masing-masing lokasinya berada dalam pola aliran
yang berbeda dan dipisahkan oleh pegunungan Schwaner yang merupakan
tinggian yang cukup panjang mulai dari selatan sampai ke utara
Banyak intan yang ditemukan di Sungai Landak, S. Sekayam,
Kalimantan Barat, mulai dari yang halus sampai yang kasar tidak termonitor
dengan jelas selama ini, karena sampai sekarang belum ada perusahaan yang
melakukan esplorasi intan di daerah tersebut. Berdasarkan informasi penduduk,
intan yang ditemukan di daerah Ngabang juga cukup potensial, karena banyak
intan didaerah ini yang pernah ditemukan berukuran 5 karat sampai 20 karat,
bahkan menurut informasi (Siagian, BMW., 1996 komunikasi lisan) pada
zaman Belanda ada intan yang ditemukan didaerah Ngabang yang beratnya
mencapai 386 karat. Sedangkan intan yang ditemukan di Martapura,
Kalimantan Selatan lebih banyak termonitor baik semenjak pemerintahan
Belanda maupun oleh PT. Aneka Tambang yang telah melakukan esplorasi
intan sejak tahun 1965, tidak lama setelah ditemukan intan Trisakti yang
terkenal itu di daerah Cempaka yang beratnya 167 karat. Dari data yang
tercatat selama 3 tahun antara tahun 1847 - 1850 menunjukkan bahwa banyak
intan yang ditemukan di Martapura dan sekitarnya yang berukuran besar
seperti yang dilaporkan oleh Usna, I. (1967), sebagaimana terlihat pada tabel 1.
Lokasi Berat butir (Karat) Tahun penemuan
S.Seluang 21 1846
Gt.Manggis 20 1846
Gt.Manggis 13 1846
Gt.Manggis 12 1846
G.Lawah 106 <1850
G.Lawah 74 < 1850
G.Lawah 77 1850

Tabel. 1. Lokasi penemuan intan ukuran besar dari tahun 1846 - 1850

Kalau dilihat dari sejarah geologi daerah Kalimantan Selatan- Tengah


dan Barat, batuannya telah tersingkap kepermukaan laut sejak Awal Tersier
hingga sekarang. Oleh karena itu diperkirakan ratusan meter bahkan ribuan
meter tebalnya batuan primer telah tererosi sampai sekarang.
Bersamaan dengan itu intan-intan dari batuan primer ini juga tererosi
dan terangkut ke sungai bahkan terus kelaut sejak zaman Tersier sampai
sekarang dan terendapkan secara luas di daerah ini berupa endapan terase,
kipas dan paleochannel, baik di darat maupun dilaut.
Apabila dihubungkan dengan naik turunnya permukaan laut (“sea level
changes”), dimana pada 10 000 tahun yang lalu permukaan air laut masih
berada 60 meter dibawah permukaan laut yang sekarang (Tjia & Fuji,. 1990).
Maka dapat diperkirakan bahwa endapan-endapan sungai purba (paleochannel)
yang dahulunya merupakan alur S. Barito dan S. Landak, kemungkinan besar
berada dibawah rawa dan dilepas pantai yang ada sekarang, Oleh karena itu
diperkirakan daerah rawa dan lepas pantai Kalimantan barat maupun di
Kalimantan selatan, cukup potensial kandungan intannya untuk diesplorasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Bergman,S.C.,1987. A reassessement of the diamondiferous Pemali


Breccia, S.E. Kalimantan Indonesia, Intrusive Kimberlite breccia or
sedimentary conglomerate.
2. Griffin, W.L., 1995. Diamond exploration: into 21 st century. Jour.
of geochem. expl., vol. 53. Nos 1-3.
3. Gupta, A., Rahman., and Wong,p.p., 1987, The old alluvium of
Singapore and the extinct drainage system to the South China Sea. Earth
Surface Processes and Landforms, 12.
4. Jennings, C.M.H., 1995. The exploration context for diamonds.
Jour. of geochem. Expl. 53, 113-124.
5. Janse, A.J.A., Sheahan, P.A., 1995. Catalogue of world wide
diamond and Kimberlite occurences: a slective and annovative
approach. Jour. Geochem. Expl., 53, 73 - 111.
5. Koolhoven w.C.B., 1935. The primary occurrence of South
Borneo Diamond.
6. Marshall, T.R., Brown, B.R., 1995. Basic principles of alluvial
diamond exploration. Jour. of
7. Martosuryo, S., Subandrio, E., 1984. Penyelidikan intan primer di
Kalimantan Tengah, PT. Antam.
8. Rombouts,L.,1993. Exploration and evaluation of diamond depositss.
Bull.dela Soc.Belge de ged.Vol.101,p41-53, Brussels.
9. Tjia, H.D. & S. Fujii, 1990. Late Quaternary shorelines in Peninsular
Malaysia. IGCP 274, Ipoh, . Malaysia.
10. Usna. I. , 1976. Geologi endapan kerikil berintan daerah Cempaka,
Banyuirang, Kal-Sel. Unp.report. Dir. Geol. Bandung.

Anda mungkin juga menyukai