Anda di halaman 1dari 20

TUGAS PELAYANANAN KEFARMASIAN

GANGGUAN SISTEM PERNAFASAN

Kelompok 2 :
Mutiara Dita Putri (2905002)
Liza Efni Haryani (2905003)
Aulia Maizora (2905006)
Sylda Rakmah Syarti (2905012)
Dede Rizki Wahyuda (2905017)
Yellsa Arwila (2905018)
Betri Novita (2905024)
Frizka Khairunnisa (2905028)
Maisandra (2905039)
Rizki Damayanti (2905040)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER ANGKATAN XXV


SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESI
YAYASAN PERINTIS PADANG
2019
SISTEM PERNAFASAN

PENGERTIAN RESPIRASI (Fernandez, 2017)


Pengertian pernafasan atau respirasi adalah suatu proses mulai dari
pengambilan oksigen, pengeluaran karbohidrat hingga penggunaan energi di
dalam tubuh. Manusia dalam bernapas menghirup oksigen dalam udara bebas dan
membuang karbon dioksida ke lingkungan.
Respirasi dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu :
 Respirasi Luar merupakan pertukaran antara O2 dan CO2 antara darah dan
udara.
 Respirasi Dalam merupakan pertukaran O2 dan CO2 dari aliran darah ke
sel-sel tubuh.
Dalam mengambil nafas ke dalam tubuh dan membuang napas ke udara dilakukan
dengan dua cara pernapasan, yaitu :
1.Respirasi / Pernapasan Dada
 Otot antar tulang rusuk luar berkontraksi atau mengerut
 Tulang rusuk terangkat ke atas
 Rongga dada membesar yang mengakibatkan tekanan udara dalam dada
kecil sehingga udara masuk ke dalam badan.
2. Respirasi / Pernapasan Perut
 Otot difragma pada perut mengalami kontraksi
 Diafragma datar
 Volume rongga dada menjadi besar yang mengakibatkan tekanan udara
pada dada mengecil sehingga udara pasuk ke paru-paru.
Normalnya manusia butuh kurang lebih 300 liter oksigen perhari. Dalam
keadaan tubuh bekerja berat maka oksigen atau O2 yang diperlukan pun menjadi
berlipat lipat kali dan bisa sampai 10 hingga 15 kalilipat. Ketika oksigen tembus
selaput alveolus, hemoglobin akan mengikat oksigen yang banyaknya akan
disesuaikan dengan besar kecil tekanan udara. Pada pembuluh darah arteri,
tekanan oksigen dapat mencapat 100 mmHg dengan 19 cc oksigen. Sedangkan
pada pembuluh darah vena tekanannya hanya 40 milimeter air raksa dengan 12 cc
oksigen. Oksigen yang kita hasilkan dalam tubuh kurang lebih sebanyak 200 cc di
mana setiap liter darah mampu melarutkan 4,3 cc karbondioksida / CO2. CO2
yang dihasilkan akan keluar dari jaringan menuju paruparu dengan bantuan darah.
Proses Kimiawi Respirasi Pada Tubuh Manusia :
Pembuangan CO2 dari paru-paru : H + HCO3 ---> H2CO3 ---> H2 + CO2
Pengikatan oksigen oleh hemoglobin : Hb + O2 ---> HbO2
Pemisahan oksigen dari hemoglobin ke cairan sel : HbO2 ---> Hb + O2
Pengangkutan karbondioksida di dalam tubuh : CO2 + H2O ---> H2 + CO2
Alat-alat pernapasan berfungsi memasukkan udara yang mengandung oksigen dan
mengeluarkan udara yang mengandung karbon dioksida dan uap air.
Tujuan proses pernapasan yaitu untuk memperoleh energi. Pada peristiwa
bernapas terjadi pelepasan energy.
Sistem Pernapasan pada Manusia terdiri atas:
1. Hidung
2. Faring
3. Trakea
4. Bronkus
5. Bronkiouls
6. paru-paru

GANGGUAN PADA SISTEM RESPIRASI


Sistem pernapasan manusia yang terdiri atas beberapa organ dapat mengalami
gangguan. Gangguan ini biasanya berupa kelainan atau penyakit. Penyakit atau
kelainan yang menyerang sistem pernapasan ini dapat menyebabkannya proses
pernapasan. Berikut adalah beberapa contoh gangguan pada system pernapasan
manusia.
1. RHINITIS ALERGI
Pengertian (Anonim, 2013)
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang sama serta
dilepaskan suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on
Asthma), 2001, rinitisalergi adalah kelainan pada gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantai oleh
Ig E.

Klasifikasi berdasarkan etiologi (Anonim, 2013):


1. Rhinitis Virus
 Rhinitis simplek (pilek, Selesema, Comman Cold, Coryza)
Rhinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi melalui
droplet di udara. Beberapa jenis virus yang berperan antara lain,
adenovirus, picovirus, dan subgrupnya seperti rhinovirus, coxsakievirus,
dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir dalam 2-3 minggu.
 Rhinitis Influenza
Virus influenza A, Batau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan
gejalanya mirip dengan common cold. Komplikasi berhubungan dengan
infeksi bakteri sering terjadi.
 Rhinitis Eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan
rhinitis, dimana didahului dengan eksantema sekitar 2-3 hari. Infeksi
sekunder dan komplikasi lebih sering dijumpai dan lebih berat.
2. Rhinitis Bakteri
 Infeksi non spesifik
 Rhinitis Bakteri Primer. Tampak pada anak dan biasanya akibat dari
infeksi pneumococcus, streptococcus atau staphylococcus. Membran
putih keabu-abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga hidung,
yang apabila diangkat dapat menyebabkan pendarahan/epistaksis
 Rhinitis Bakteri Sekunder. Merupakan akibat dari infeksi bakteri pada
rhinitis viral akut
 Rhinitis Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rhinitis difteri
dapat bersifat primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan
dapat terjadi dalam bentuk akut atau kronis. Dugaan adanya rhinitis difteri
harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi yang tidak
lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena cakupan program
imunisasi yang semakin meningkat.
3. Rhinitis Iritan
Tipe rhinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat
iritatif seperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Atau bisa juga
disebabkan oleh trauma yang mengenai mukosa hidung selama masa manipulasi
intranasal, contohnya pada pengangkatan corpus alienum. Pada rhinitis iritan
terdapat reaksi yang terjadi segera yang disebut dengan “immediate catarrhal
reaction” bersamaan dengan bersin, rinore, dan hidung tersumbat. Gejalanya
dapat sembuh cepat dengan menghilangkan factor penyebab atau dapat menetap
selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan bergantung
pada kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi.

Etiologi (Anonim, 2015)


Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi
terutama anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan
perempuan sama. Insidensi tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda
dengan rerata pada usia 8-11 tahun, sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang
mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi pada anak-anak 40% dan menurun
sejalan dengan usia sehingga pada usia tua rinitis alergi jarang ditemukan.

Patofisiologi (Dipiro, 2015)


Alergen yang ditularkan melalui udara masuk ke hidung selama inhalasi
dan diproses oleh limfosit, yang menghasilkan IgE spesifik antigen, membuat
inang yang peka secara genetik memiliki kecenderungan terhadap agen-agen
tersebut.Pada paparan ulang hidung, IgE yang terikat pada sel mast berinteraksi
dengan alergen di udara, memicu pelepasan mediator inflamasi.
Reaksi langsung terjadi dalam hitungan detik hingga menit, menghasilkan
pelepasan cepat mediator yang terbentuk sebelumnya dan yang baru dihasilkan
dari kaskade asam arakidonat.Mediator hipersensitivitas langsung termasuk
histamin, leukotrien, prostaglandin, tryptase, dan kinin.Mediator ini menyebabkan
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan produksi sekresi
hidung.Histamin menghasilkan rinore, gatal, bersin, dan sumbatan hidung.
Reaksi fase akhir dapat terjadi 4 hingga 8 jam setelah paparan alergen
awal karena pelepasan sitokin dari sel mast dan limfosit pembantu turunan yang
berasal dari timus.Respons inflamasi ini menyebabkan gejala kronis persisten,
termasuk hidung tersumbat.

Faktor Risiko (Anonim, 2013)


1. Penurunan daya tahan tubuh.
2. Paparandebu, asap atau gas yang bersifat iritatif.

Gejala Klinis (Anonim, 2013)


Gejala umum: keluar ingus dari hidung (rinorea), hidung tersumbat
disertai rasa panas dan gatal pada hidung.
Pada rhinitis simpleks gejala pada awalnya terasa panas di daerah
belakang hidung, lalu segera diikuti dengan hidung tersumbat, rinore, dan bersin
yang berulang-ulang. Pasien merasa dingin, dan terdapat demam ringan. Pada
infeksi bakteri ingus menjadi mukopurulen, biasanya diikuti juga dengan gejala
sistemik seperti demam, malaise dan sakit kepala.
Pada rhinitis influenza, gejala sistemik umumnya lebih berat disertai sakit
pada otot. Pada rhinitis eksantematous, gejala terjadi sebelum tanda karakteristik
atau ruam muncul. Ingus yang sangat banyak dan bersin dapat dijumpai pada
rhinitis iritan.
Pada rhinitis difteria terjadi demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan
mungkin ada paralisis otot pernafasan.

Diagnosa (Anonim, 2013)


Pemeriksaan Fisik
 Dapat ditemukan adanya demam.
 Pada pemeriksaan rinoskopi anterior kavum nasi sempit, terdapat sekret
serous atau mukopurulen dan mukosa udem dan hiperemis.
 Pada rhinitis difteri tampak ada ingus yang bercampur darah. Membran
keabu-abuan tampak menutup konka inferior dan kavum nasi bagian
bawah, membrannya lengket dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan.
Pemeriksaan Penunjang: Tidak diperlukan

Penegakan Diagnostik (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis Banding
1. Rhinitisalergi pada serangan akut
2. Rhinitis vasomotor pada serangan akut

Komplikasi (Anonim, 2013)


1. Otitis media akut.
2. Sinusitis paranasalis.
3. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laring, tracheo bronchitis,
pneumonia.

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) (Dipiro, 2015)


Penatalaksanaan Nonfarmakologi
1. Istirahat yang cukup.
2. Mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat

Penatalaksanaan Farmakologi
 Rhinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontan
setelah kurang lebih 1 - 2 minggu. Karena itu umumnya terapi yang
diberikan lebih bersifat simptomatik, seperti analgetik, antipiretik, dan
nasal dekongestan disertai dengan istirahat yang cukup. Terapi khusus
tidak diperlukan kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder
bakteri, maka antibiotik perlu diberikan.
 Antipiretik dapat diberikan paracetamol.
 Dekongestan oral mengurangi sekret hidung yang banyak, membuat
pasien merasa lebih nyaman. Dapat diberikan pseudoefedrin,
fenilpropanolamin, fenilefrin.
 Antibiotik diberikan jika terdapat infeksi bakteri, dapat diberikan
amoxicillin, eritromisin, cefadroxil.
 Pada rhinitis difteri terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin sistemik,
dan antitoksin difteri.

Pemeriksaan penunjang lanjutan (Anonim, 2013)


Tidak diperlukan
Jika terdapat kasus rhinitis difteri dilakukan pelaporan ke dinkes setempat.

Konseling & Edukasi (Anonim, 2013)


Memberitahi individu dan keluarga untuk:
1. Menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehatdengan begitu dapat
terbentuknya sistem imunitas yang optimal yang dapat melindungi tubuh
dari serangan zat-zat asing.
2. Lebih sering mencuci tangan, terutama sebelum menyentuh wajah.
3. Memperkecil kontak dengan orang-orang yang telah terinfeksi.
4. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.
5. Mengikuti program imunisasi lengkap, seperti vaksinasi influenza,
vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rhinitis eksantematous

2. ASMA
Pengertian (Anonim, 2013)
Asma adalah penyakit heterogen, selalu dikarakteristikkan dengan inflamasi
kronis di saluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi seperti mengi, sesak,
rasa berat di dada dan batuk yang intensitasnya berberda-beda berdasarkan variasi
keterbatasan aliran udara ekspirasi.

Klasifikasi (Anonim, 2013)


1) Asma ringan
 Singkat (<1 jam) eksaserbasi simpomatik <dua kali/ minggu
 Puncak aliran udara ekspirasi > 80% diduga akan tanpa gejala.
2) Asma sedang
 Gejala asma kambuh >2 kali/ minggu
 Kekambuhan mempengaruhi aktivitasnya
 Kekambuhan mungkin berlangsung berhari-hari
 Kemampuan puncak ekspirasi/ detik dan kemampuan volume
ekspirasi berkisar antara 60-80%
3) Asma berat
 Gejala terus menerus menggangu aktivitas sehari-hari
 Puncak aliran ekspirasi dan kemampuan volume ekspirasi kurang
dari 60% dengan variasi luas
 Diperlukan kotriksteroid oral untuk menghilangkan gejala.

Etiologi (Anonim, 2015)


Di Indonesia telah dilakukan penelitian paa anak usia1314 tahun menggunakan
kuesioner baku ISAAC dan hasil penelitian ini menunjukkan terdapat 2,1 % anak
menderita asma pada tahun 2003 dan mengalami peningkatan dua kali lipat pada
tahun 2005 menjadi 2,5%.

Patofisiologi (Dipiro, 2015)


Ada tingkat obstruksi aliran udara variabel (terkait dengan bronkospasme,
edema, dan hipersekresi), bronkial hyperresponsiveness (BHR), dan peradangan
saluran napas.
Pada peradangan akut, alergen yang dihirup pada pasien alergi
menyebabkan reaksi alergi fase awal dengan aktivasi sel yang mengandung
antibodi imunoglobulin E (IgE) spesifik alergen.Setelah aktivasi yang cepat, sel
mast jalan napas dan makrofag melepaskan mediator proinflamasi seperti
histamin dan eikosanoid yang menyebabkan kontraksi otot polos jalan napas,
sekresi lendir, vasodilatasi, dan eksudasi plasma di saluran udara.Kebocoran
protein plasma menginduksi dinding saluran udara edema yang menebal,
membesar, dan menyempit dengan berkurangnya lendir.
Reaksi inflamasi fase akhir terjadi 6 hingga 9 jam setelah provokasi
alergen dan melibatkan rekrutmen dan aktivasi eosinofil, limfosit T, basofil,
neutrofil, dan makrofag.Eosinofil bermigrasi ke saluran udara dan melepaskan
mediator inflamasi.
Aktivasi limfosit T menyebabkan pelepasan sitokin dari sel T-helper (TH
2 ) tipe 2 yang memediasi peradangan alergi (interleukin [IL] -4, IL-5, dan IL-
13).Sebaliknya, tipe 1 T-helper (TH 1) sel menghasilkan IL-2 dan interferon γ
yang penting untuk mekanisme pertahanan seluler.Peradangan asma alergi dapat
terjadi akibat ketidakseimbangan antara sel TH 1 dan TH 2 .
Degranulasi sel mast menghasilkan pelepasan mediator seperti
histamin;faktor kemotaksis eosinofil dan neutrofil;leukotrien C 4, D 4, dan E
4;prostaglandin;dan faktor pengaktif trombosit (PAF).Histamin dapat
menyebabkan konstriksi otot polos dan bronkospasme dan dapat berkontribusi
pada edema mukosa dan sekresi lendir.
Makrofag alveolar melepaskan mediator inflamasi, termasuk PAF dan
leukotrien B 4, C 4, dan D 4.Produksi faktor kemotaksis neutrofil dan faktor
kemotaksis eosinofil semakin meningkatkan proses inflamasi.Neutrofil juga
melepaskan mediator (PAF, prostaglandin, tromboxan, dan leukotrien) yang
berkontribusi terhadap BHR dan peradangan saluran napas.Leukotrien C 4, D 4,
dan E 4 dilepaskan selama proses inflamasi di paru-paru dan menghasilkan
bronkospasme, sekresi lendir, permeabilitas mikrovaskuler, dan edema saluran
napas.
Sel epitel bronkial berpartisipasi dalam peradangan dengan melepaskan
eikosanoid, peptidase, protein matriks, sitokin, dan nitrat oksida.Pelepasan epitel
menghasilkan peningkatan responsifitas jalan nafas, permeabilitas mukosa jalan
nafas yang berubah, penipisan faktor relaksan turunan epitel, dan hilangnya enzim
yang bertanggung jawab untuk menurunkan neuropeptida inflamasi.Proses
inflamasi eksudatif dan pengelupasan sel epitel ke dalam lumen jalan napas
mengganggu transportasi mukosiliar.Kelenjar bronkial meningkat dalam ukuran,
dan sel-sel piala meningkat dalam ukuran dan jumlah.
Jalan napas dipersarafi oleh saraf penghambat parasimpatis, simpatis, dan
nonadrenergik.Nada istirahat normal otot polos jalan napas dipertahankan oleh
aktivitas eferen vagal, dan bronkokonstriksi dapat dimediasi oleh stimulasi vagal
pada bronkus kecil.Airway otot polos mengandung noninnervated β2 reseptor
adrenergik yang menghasilkan bronkodilatasi.Sistem saraf nonadrenergik,
nonkolinergik dalam trakea dan bronkus dapat memperkuat peradangan dengan
melepaskan oksida nitrat.

Faktor Risiko (Anonim, 2013)


1. Faktor Pejamu, Ada riwayat atopipada penderita atau
keluarganya,hipersensitif saluran napas, jenis kelamin, ras atau etnik.
2. Faktor Lingkungan
a. Bahan-bahan di dalam ruangan: tungau, debu rumah, binatang,
kecoa.
b. Bahan-bahan di luar ruangan: tepung sari bunga, jamur.
c. Makanan-makanan tertentu: bahan pengawet, penyedap dan
pewarna makanan.
d. Obat-obatan tertentu. Iritan: parfum, bau-bauan merangsang.
e. Ekspresi emosi yang berlebihan.
f. Asap rokok.
g. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan.
h. Infeksi saluran napas.
i. Exercise-inducedasthma (asma kambuh ketika melakukan aktivitas
fisik tertentu).
j. Perubahan cuaca.

Gejala Klinis (Anonim, 2013)


1. Sesak napas yang episodik.
2. Batuk-batuk berdahak yang sering memburuk pada malamdan pagi hari
menjelang subuh. Batuk biasanya terjadi kronik.
3. Mengi.

Diagnosa Klinis (Anonim, 2013)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, yaitu terdapat kenaikan ≥15 % rasio APE sebelum dan sesudah
pemberian inhalasi salbutamol.
Diagnosis Banding
1. Obstruksi jalan napas.
2. Bronkitis kronik.
3. Bronkiektasis.

Pemeriksaan Penunjang Lanjutan (bila diperlukan)


a. Fototoraks
b. Uji sensitifitas kulit
c. Spirometri
d. Uji Provokasi Bronkus

Komplikasi (Anonim, 2013)


1. Pneumotoraks.
2. Pneumomediastinum.
3. Gagal napas.
4. Asma resisten terhadap steroid.

Penatalaksanaan komprehensif (Plan) (Dipiro, 2015)


Penatalaksanaan Nonfarmakologi
 Pasien disarankan untuk mengidentifikasi serta mengendalikan faktor
pencetusnya.
 Perlu dilakukan perencanaan dan pemberian pengobatan jangka panjang
serta menetapkan pengobatan pada serangan akut

Penatalaksaan Farmakologi
Konseling & Edukasi (Anonim, 2013)
 Memberikan informasi kepada individu dan keluarga
mengenaiselukbelukpenyakit, sifatpenyakit, perubahanpenyakit
(apakahmembaikataumemburuk), jenis dan mekanisme kerja obat-obatan dan
mengetahui kapanharusmemintapertolongandokter.
 Kontrolsecarateratur antara lain untuk menilai dan monitor berat asma secara
berkala (asma control test/ ACT)
 Polahidupsehat.
 Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan:
 Menghindarisetiappencetus.
 Menggunakanbronkodilator/steroid inhalasisebelummelakukan exercise
untukmencegahexercise induced asthma.

3. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)


Pengertian (Anonim, 2015)
PPOK, yaitu penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel parsial.

Klasifikasi (Anonim, 2015)


1. PPOK ringan : dengan atau tanpa batuk, dengan atau tanpa produksi
sputum, sesak napas derajat sesak O sampai derajat sesak 1
2. PPOK sedang : Dengan atau tanpa batuk, Dengan atau tanpa produksi
sputum, Sesak napas : derajat sesak 2 ( sesak timbul pada saat aktivitas ).
3. PPOK berat : Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas
kronik, Eksaserbasi lebih sering terjadi, Disertai komplikasi kor pulmonale
atau gagal jantung kanan.
Etiologi (Anonim, 2015)
Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti
Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan masing-masing
6,7 persen. PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan dan lebih
tinggi di perdesaan dibanding perkotaan. Prevalensi PPOK cenderung lebih tinggi
pada masyarakat dengan pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan
terbawah.

Patofisiologi (Dipiro, 2015)


Perubahan inflamasi kronis menyebabkan perubahan destruktif dan
pembatasan aliran udara kronis.Penyebab paling umum adalah paparan asap
tembakau.
Menghirup partikel dan gas berbahaya mengaktifkan neutrofil, makrofag,
dan limfosit CD8 + , yang melepaskan mediator kimia, termasuk tumor necrosis
factor- α , interleukin-8, dan leukotriene B 4 .Sel dan mediator inflamasi
menyebabkan perubahan destruktif yang luas di saluran udara, pembuluh darah
paru, dan parenkim paru-paru.
Stres oksidatif dan ketidakseimbangan antara sistem pertahanan agresif
dan pelindung di paru-paru (protease dan antiprotease) juga dapat terjadi.Oksidan
yang dihasilkan oleh asap rokok bereaksi dengan dan merusak protein dan lipid,
berkontribusi terhadap kerusakan jaringan.Oksidan juga meningkatkan
peradangan dan memperburuk ketidakseimbangan protease-antiprotease dengan
menghambat aktivitas antiprotease.
Antiprotease pelindung α 1 antitripsin (AAT) menghambat enzim
protease, termasuk neutrofil elastase.Di hadapan aktivitas AAT yang tidak
terlawan, elastase menyerang elastin, komponen utama dinding
alveolar.Defisiensi AAT herediter meningkatkan risiko emfisema prematur.Dalam
emfisema akibat merokok, ketidakseimbangan dikaitkan dengan peningkatan
aktivitas protease atau penurunan aktivitas antiprotease.
Eksudasi inflamasi di saluran udara menyebabkan peningkatan jumlah dan
ukuran sel piala dan kelenjar lendir.Sekresi lendir meningkat dan motilitas siliaris
terganggu.Ada penebalan otot polos dan jaringan ikat di saluran udara.Peradangan
kronis menyebabkan jaringan parut dan fibrosis.Penyempitan jalan napas difus
terjadi dan lebih menonjol pada saluran udara perifer kecil.
COPD yang berhubungan dengan merokok biasanya menghasilkan
emfisema sentrilobular yang terutama memengaruhi bronkiolus
pernapasan.Emfisema panlobular terlihat pada defisiensi AAT dan meluas ke
saluran dan kantung alveolar.
Perubahan vaskular termasuk penebalan pembuluh darah paru yang dapat
menyebabkan disfungsi endotel arteri pulmonalis.Kemudian, perubahan struktural
meningkatkan tekanan paru-paru, terutama saat berolahraga.Pada PPOK berat,
hipertensi paru sekunder menyebabkan gagal jantung sisi kanan (cor pulmonale).

Faktor risiko (Anonim, 2015)


a. Genetik
b. Pajanan partikel
 Asap rokok
 Debu kerja, organik dan inorganik
 Polusi udara dalam rumah dari pemanas atau biomassa rumah tangga
dengan ventilasi yang buruk
 Polusi udara bebas
c. Pertumbuhan dan perkembangan paru
d. Stres oksidatif
e. Jenis kelamin
f. Umur
g. Infeksi paru
h. Status sosial-ekonomi
i. Nutrisi.
j. Komorbiditas

Gejala Klinis (Anonim, 2015)


a. Sesak napas
b. Kadang-kadang disertai mengi
c. Batuk kering atau dengan dahak yang produktif
d. Rasa berat di dada

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective) (Anonim, 2015)


Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
 Sianosis sentral pada membran mukosa mungkin ditemukan
 Abnormalitas dinding dada yang menunjukkan hiper inflasi paru termasuk
iga yang tampak horizontal, barrel chest (diameter antero - posterior dan
transversal sebanding) dan abdomen yang menonjol keluar
 Hemidiafragma mendatar
 Laju respirasi istirahat meningkat lebih dari 20 kali/menit dan pola napas
lebih dangkal
 Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu), laju ekspirasi
lebih lambat memungkinkan pengosongan paru yang lebih efisien
 Penggunaan otot bantu napas adalah indikasi gangguan pernapasan
 Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
2. Palpasi dan Perkusi
 Sering tidak ditemukan kelainan pada PPOK
 Irama jantung di apeks mungkin sulit ditemukan karena hiperinflasi paru
 Hiperinflasi menyebabkan hati letak rendah dan mudah di palpasi
3. Auskultasi
 Pasien dengan PPOK sering mengalami penurunan suara napas tapi tidak
spesifik untuk PPOK
 Mengi selama pernapasan biasa menunjukkan keterbatasan aliran udara.
Tetapi mengi yang hanya terdengar setelah ekspirasi paksa tidak spesifik
untuk PPOK
 Ronki basah kasar saat inspirasi dapat ditemukan
 Bunyi jantung terdengar lebih keras di area xiphoideus

Diagnosa (Anonim, 2015)


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah uji jalan 6 menit yang
dimodifikasi. Untuk di Puskesmas dengan sarana terbatas, evaluasi yang dapat
digunakan adalah keluhan lelah yang timbul atau bertambah sesak.
Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat dilakukan bila fasilitas tersedia:
1. Spirometri
2. Peak flow meter (arus puncak respirasi)
3. Pulse oxymetry
4. Analisis gas darah
5. Foto toraks
6. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, leukosit, trombosit)

Diagnosa (Assessment) (Anonim, 2015)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang.

Komplikasi (Anonim, 2015)


Menurut Grece & Borley (2011), Jackson (2014) dan Padila (2012):
1. Gagal nafas akut
2. Corpulmonal
3. Pneumothoraks

Penatalaksanaan Komprehensif (Plan) (Dipiro, 2015)


Penatalaksaan NonFarmakologi:
1. Mengurangi laju beratnya penyakit
2. Mempertahankan PPOK yang stabil
3. Mengatasi eksaserbasi ringan
4. Merujuk ke spesialis paru atau rumah sakit

Penatalaksanaan Farmakologi
1. Obat-obatan dengan tujuan mengurangi laju beratnya penyakit dan
mempertahankan keadaan stabil.
2. Bronkodilator dalam bentuk oral, kombinasi golongan β2 agonis
(salbutamol) dengan golongan xantin (aminofilin dan teofilin). Masing-
masing dalam dosis suboptimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya
penyakit. Untuk dosis pemeliharaan, aminofilin/teofilin100-150 mg
kombinasi dengn salbutamol 1 mg.
3. Kortikosteroid digunakan dalam bentuk inhalasi, bila tersedia.
4. Ekspektoran dengan obat batuk hitam (OBH)
5. Mukolitik (ambroxol) dapat diberikan bila sputum mukoid.

Konseling dan Edukasi (Anonim, 2015)


1. Edukasi ditujukan untuk mencegah penyakit bertambah beratdengan cara
menggunakan obat-obatan yang tersedia dengantepat, menyesuaikan
keterbatasan aktivitas serta mencegaheksaserbasi.
2. Pengurangan pajanan faktor risiko
3. Berhenti merokok
4. Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat, dapatdiberikan
dalam porsi kecil tetapi sering.
5. Rehabilitasi
a) Latihan bernapas dengan pursed lip breathing
b) Latihan ekspektorasi
c) Latihan otot pernapasan dan ekstremitas
6. Terapi oksigen jangka panjang

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2013). Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayanan Primer Edisi 1.
Jakarta: KEMESKES RI.

Anonim. (2015). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama. Jakarta: KEMENKES RI.

Dipiro, J. T. (2015). Pharmacotherapy handbook. New York: McGraw-Hill Education.

Fernandez, g. J. (2017). Sistem Pernafasan. Bali: FK Universitas Udayana.

Anda mungkin juga menyukai