Percayakah anda dengan pernyataan Pemerintah bahwa subsidi BBM sudah sangat
besar, sehingga sudah saatnya membatasi BBM bersubsidi yaitu Premium hanya ke
mobil pelat nomor kuning dan sepeda motor? Sudahkah rasa ingin tahu anda begitu
besar sehingga mendorong untuk menghitung ulang sendiri besaran subsidi BBM
saat ini? Tulisan ini hanya salah satu usaha seorang intelektual (meskipun boleh
saja dianggap awam di bidang ekonomi perminyakan) yang ingin rasa tahunya
terpuaskan.
Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu, tentu saja kita harus berangkat dari
pengetahuan dasar dan data ekonomi perminyakan terakhir.
Sebagai pengetahuan dasar, kita harus paham satuan-satuan energi. Untuk minyak
mentah kadang dihitung dengan barrel, sedang minyak siap pakai (BBM) kadang
dihitung dengan liter. 1 Barrel adalah sekitar 1 drum, dan untuk minyak mentah itu
adalah 158,9873 liter, dan sebaliknya 1 kiloliter = 6,2893 barrel. Untuk gas alam
(LNG) kadang diukur dengan kaki kubic (cubic feet), atau trilyun standar kaki kubic
(TSCF). Satu CF adalah 28,3168 liter atau 0,1781 barrel. Tapi karena kandungan
energi gas berbeda dari minyak, maka untuk mudahnya digunakan satuan “Setara
Barrel Minyak” (SBM) atau Barrel Oil Equivalent (BOE). Ada juga satuan energi
yang dihitung dengan Peta Joule, ini biasanya lazim di dunia fisika listrik. 1 Peta
Joule = 10^15 Joule atau kira-kira sama dengan yang dihasilkan oleh 175074 SBM.
Pengetahuan dasar kedua adalah, dari minyak mentah itu setelah diolah akan
menjadi banyak sekali produk, mulai gas (Liquid Petroleum Gas / LPG / elpiji), avtur,
minyak tanah, gasoline atau bensin (premium, pertamax), minyak diesel (solar),
minyak bakar, lilin hingga asphalt. Dari 1 barrel minyak mentah akan didapat 74,7
liter bensin atau cuma 47% (http://en.wikipedia.org/wiki/Barrel). Jadi premium
maupun pertamax hanya berbeda di pengolahan di kilangnya, yang menyebabkan
nilai oktannya berbeda.
Pengetahuan dasar berikutnya adalah angka lifting, yaitu minyak yang diambil setiap
hari. Minyak diproduksi tiap hari, tetapi jumlahnya bisa bervariasi. Kadang suatu
sumur harus dirawat sehingga berhenti beroperasi. Jadi angka lifting adalah angka
rata-rata. Kemudian harga minyak mentah juga bervariasi, baik di tingkat produksi
maupun di pasar. Di tingkat produksi, biaya instalasi sumur dan biaya operasi
sehari-hari sangat bervariasi, tergantung tingkat kesulitan medan (hutan, pantai,
laut), jarak dari kilang atau dermaga, dan jumlah cadangan yang ada. Di pasar
dunia juga harga bervariasi mengikuti musim. Ketika musim dingin orang butuh
lebih banyak bahan bakar sehingga harga minyak akan melambung. Dan karena
minyak diperdagangkan di bursa barang berjangka dunia, maka harga minyak untuk
pengiriman sekian bulan ke depan sudah menjadi objek spekulasi.
Karena itulah pemerintah lalu mengambil asumsi-asumsi untuk APBN. Ini karena di
APBN kita, penghasilan dari minyak harus dimasukkan dahulu. Jadi bagi Pertamina
harga minyak mentah bukan Rp 0,-, tetapi sesuai asumsi APBN. Yang Rp 0,-
adalah minyak mentah yang masih di dalam tanah. Untuk mengangkatnya perlu
biaya juga. Minyak bumi adalah komponen pendapatan negara yang signifikan
selain dari Sumberdaya alam lainnya, Pajak dan PNBP seperti bea cukai, retribusi
dsb.
Tetapi di APBN 2011, pendapatan dari minyak bumi hanya ditulis 104,8 Trilyun (40%
dari harga lifting).
Mungkin penjelasannya, angka US$ 80 / barrel atau total Rp. 263,4 Trilyun/tahun itu
masih brutto, sementara ada “biaya produksi” untuk mengangkat minyak itu dari
dalam tanah, sehingga netto jatuh Rp. 104,8 Trilyun. Tetapi, untuk sebuah “ongkos”,
Rp. 158,6 Trilyun (60%) memang sangat besar. Mungkin ini termasuk cost-recovery
di hulu (selain cost-recovery di hilir), biaya bagi hasil dengan kontraktor minyak
asing, dan keuntungan pertamina hulu.
Lalu dengan produksi minyak mentah 354,1 juta barrel / tahun dan asumsi yang
menjadi bensin hanya 47%, maka ini akan menjadi 26,4 juta kiloliter.
Tetapi data di harian Kompas 10 Februari 2011, volume BBM bersubsidi pada APBN
2011 adalah 38,2 juta kiloliter. Ini pasti mencakup seluruh BBM, termasuk solar dan
minyak tanah, karena yang premium hanya 60% atau sekitar 23 juta kiloliter. Kalau
ditambah pertamax yang selama ini pasarannya sangat kecil, tidak ada 5%, maka
semestinya belum mencapai 26,4 juta kiloliter yang diproduksi di dalam negeri!.
Harga A dan C mengikuti asumsi APBN (US$ 80/barrel atau US$ 0,503/liter). Harga
B, D, F, G mengikuti fluktuasi pasar dunia (misalnya saat ini US$ 100/barrel atau
US$ 0,629/liter untuk minyak mentah dan Rp. 9000/liter atau US$ 0,968/liter untuk
BBM). Harga E merupakan komposit asumsi APBN dan pasar dunia karena ada
komponen minyak mentah impor, menjadi US$ 0,527/liter. Harga H karena
merupakan totalitas, sebagian mengikuti harga eceran yang ditetapkan pemerintah
dan sebagian mengikuti harga BBM pasar dunia karena dijual ke industri, sehingga
dengan memperhatikan komposisinya menjadi US$ 0,790/liter. Hanya harga I yang
mengikuti harga eceran pemerintah, yang disebut juga harga bersubsidi, yaitu Rp.
4500/liter atau US$ 0,715/liter. Dengan demikian kita sudah membawa seluruh arus
minyak dalam satuan yang sama.
Yang diinginkan negara masuk ke APBN adalah harga besaran A, setelah dikalikan
asumsi harga minyak mentah dengan efisiensi yang hanya 40% (=Rp. 102,99 T).
Yang didapatkan negara dari penjualan adalah B+F+H dengan asumsi harga minyak
mentah dunia, harga pasar BBM dunia, dan komposisi produk bersubsidi dan non
subsidi = Rp. 571,79 T.
Kemudian yang mesti dikeluarkan adalah penyisihan untuk APBN (A) Rp 258,9 T
ditambah untuk impor minyak mentah dan impor BBM (E+G = Rp 322,5 T) menjadi
Rp. 581,44 T.
Dari sini terbaca bahwa Pendapatan dikurangi Pengeluaran adalah defisit Rp 9,65
T. Defisit ini mungkin karena kebutuhan impor BBM yang sudah cukup tinggi akibat
tingkat motorisasi yang semakin besar. Mungkin inilah subsidi yang sesungguhnya,
pendapatan dikurangi pengeluaran (atau kita sebut biaya produksi), setelah ada
kebutuhan memasukkan pendapatan minyak bumi ke APBN dengan asumsi harga
tertentu. Yang mengejutkan, cukup hanya dengan menaikkan harga eceran BBM
menjadi Rp. 4720/liter (hanya naik Rp. 220,-), defisit ini sudah nol Rupiah.
Meski arus minyak di atas adalah dari tahun 2007, tetapi volume BBM bersubsidi
(huruf I) sudah diasumsikan 43,9 juta kiloliter, lebih tinggi dari data yang dimuat di
Harian Kompas 10 Februari 2011. Namun tidak sulit juga memproyeksikan bila ada
kenaikan kebutuhan BBM sebanyak 1 juta kiloliter (= 6,3 juta barrel) yang kita impor
semua (G=156,3), dan yang dijual dengan harga eceran semua (H=398,2, I=282,3),
maka defisitnya menjadi Rp. 14,15 T. Bila harga eceran dinaikkan menjadi Rp.
4815/liter, maka defisit sudah kembali 0. Kalau kebutuhan BBM naik lagi 1 juta
Kiloliter, maka defisit dapat dijaga 0, kalau harga eceran kembali naik Rp. 95/liter.
Namun kalau subsidi ini dihitung dengan selisih harga eceran (Rp. 4500) dengan
harga BBM pasar dunia (Rp. 9000) dikalikan angka huruf I yaitu jumlah BBM
bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276 juta barrel/tahun), muncul angka
Rp (9000-4500) x 276 x 159 / 1000 = Rp. 197,5 T. Jadi pada model ini, subsidi baru
0 bila harga eceran BBM = harga BBM pasar dunia.
Hitung-hitungan ini boleh jadi kurang tepat, kurang akurat, bahkan keliru. Semoga
bahkan data ongkos produksi minyak mentah salah, tidak setinggi itu. Maklum
penulis relatif awam di bidang ekonomi perminyakan. Tetapi tolong, tunjukkan
hitung-hitungan yang lebih akurat, cermat dan lengkap. Agar kami kaum intelektual
tidak terus bertanya-tanya, meraba-raba dan berburuk sangka.
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah peneliti utama dan pengamat sumberdaya alam
dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.