Anda di halaman 1dari 9

PENDAHULUAN

Trauma pada anak lebih sering terjadi dibandingkan dengan pada orang dewasa. Dalam
masa pertumbuhannya anak sering sekali mengalami trauma khususnya trauma fisik. Pada masa
dimana anak mulai melakukan aktivitas-aktivitas fisik seperti merangkak, belajar berjalan,
memanjat, bersepeda, dan melakukan olahraga yang beresiko terjadinya trama fisik. Trauma ini
sering melibatkan wajah, gigi-gigi susu maupun gigi-gigi permanen muda anak. Terjadi fraktur
atau beberapa keadaan lainnya pada gigi-gigi tersebut dapat menimbulkan kepanikan bagi orang
tua dan anak sehingga mereka akan segera mengunjungi praktek dokter gigi ataupun rumah sakit
terdekat. 1
Prevalensi trauma pada anak yaitu anak laki-laki lebih tinggi dan lebih rentan terkena
daripada anak perempuan dengan rasio 7:2. Pada usia 5 tahun, sekitar 30-40% anak laki-laki dan
16-30% anak perempuan akan mengalami trauma pada giginya. Sedangkan pada usia 12 tahun
untuk gigi permanen yaitu 12-33% untuk anak laki-laki dan 19% untuk anak perempuan. Hal ini
banyak berkaitan dengan aktivitas anak yang lebih cenderung mengakibatkan trauma seperti
jatuh, kecelakaan saat berolah raga, dan juga saat berkelahi dengan temannya. Selain itu, pada
usia prasekolah, cedera kepala terjadi sekitar 40% dari cedera pada tubuh. Dan dari seluruh
cedera kepala tersebut, cedera pada rongga mulut merupakan yang tersering yaitu sekitar 18%
dari cedera pada tubuh terlihat pada rongga mulut anak usia 0-6 tahun. Usia 2-4 tahun
merupakan puncak usia terjadinya cedera pada gigi susu yaitu saat anak senang untuk
bereksplorasi dan usia 7-10 tahun merupakan puncak usia cedera pada gigi permanen yang
sering terjadi akibat terjatuh saat bermain. 2,3
Berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa gigi yang paling sering terlibat adalah
gigi anterior maxilla. Insiden trauma pada gigi tersebut meningkat pada anak yang memiliki
maloklusi kelas II divisi 3 dengan overjet yang besar dan juga pada anak yang memiliki
kebiasaan menghisap jari sehingga mengakibatkan gigi anterior maxilla menjadi protrusi. Gigi
anterior maxilla yang rusak atau hilang akibat trauma dapat menimbulkan dampak psikologis
yang besar bagi anak. Hal ini berhubungan dengan masalah estetika. Bagi anak, gigi depan yang
patah atau hilang akan mengurangi rasa percaya dirinya. Anak cenderung akan merasa malu dan
akan lebih sering diganggu oleh teman-temannya. Hal ini tentunya akan sangat mempengaruhi
kondisi emosional anak jika gigi tidak dapat direstorasi dengan baik dan dikembalikan seperti
pada keadaan semula. 1-4
Pasien yang datang ke praktek dokter gigi salah satunya dapat berupa pasien trauma. Dalam
hal ini dokter gigi harus bertindak dengan cepat dan mengambil keputusan dengan tepat
mengenai rencana perawatan pasien dimana pasien dirujuk ke dokter spesialis atau ditangani
sendiri. Dalam menangani pasien trauma khusunya pada pasien anak, dokter gigi sebisa mungkin
tetap mempertahankan gigi dalam keadaan vital dan mengembalikan gigi tersebut sesuai dengan
anatomi semula tanpa membahayakan vitalitas gigi atau membuat lebih banyak trauma.
Walaupun demikian, tindakan yang sesegera mungkin bukan berarti mengabaikan prosedur
pemeriksaan yang diperlukan. Sebagai dokter gigi, segawat apapun pasien yang datang ke klinik
harus tetap ditangani dengan prosedur yang tepat agar hasil perawatan dapat maksimal dan
terhindar dari keadaan yang tidak diinginkan.
Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis akan membahas hal-hal yang harus dilakukan pada
pemeriksaan darurat khususnya pada pasien anak yang meliputi riwayat pasien (riwayat
kesehatan umum dan riwayat dental), pemeriksaan subjektif jika memungkinkan, pemeriksaan
objektif (intra oral dan ekstra oral), dan pemeriksaan penunjang pada kasus darurat trauma dental
anak. Namun sebelumnya, penulis akan memaparkan secara ringkas mengenai trauma pada anak
(definisi, etiologi, dan klasifikasi).

DEFINISI TRAUMA
Trauma adalah suatu injury atau kerusakan atau luka yang dapat disebabkan oleh tindakan-
tindakan fisik, termal maupun kimiawi, yang ditandai dengan terputusnya kontinuitas normal
dari suatu jaringan. Trauma juga diartikan sebagai suatu penyebab sakit karena kontak yang
keras dengan suatu benda.

ETIOLOGI TRAUMA DENTAL


Gigi yang sering terlibat pada trauma pada anak adalah gigi anterior. Penyebab terjadinya
trauma pada gigi anterior ini beiasanya akibat dari kecelakaan lalu lintas, kecelakaan saat berolah
raga, saat bermaim, tindakan kriminalitas, child abuse, kecelakaan dalam rumah tangga,
perkelahian, dan bencana alam. 5
Beberapa faktor predisposisi untuk terjadinya trauma pada gigi anterior adalah posisi dan
keadaan gigi tertentu misalnya maloklusi kelas I tipe 2 (Kelas I angle dengan anterior maksilla
crowding), kelas II divisi 1 atau yang mengalami overjet lebih darii 3 mm, keadaan yang
memperlemah gigi seperti hipoplasia enamel, kelompok anak penderita cerebral palsy, dan anak
dengan kebiasaan buruk menghisap ibu jari yang menyebabkan gigi anterior protrusif sehingga
tingkat kerentanan menjadi lebih tinggi daripada anak pada keadaan normal. 4,5

KLASIFIKASI TRAUMA GIGI


Klasifikasi trauma pada gigi anterior perlu kita ketahui agar mempermudah penegakan suatu
diagnosa. Terdapat banyak klasifikasi trauma gigi, namun yang telah diterima secara luas adalah
klasifikasi menurut Ellis dan Davey (1970) dan klasifikasi dari WHO. Ellis dan Davey
mengklasifikasikan trauma pada gigi anterior menurut banyaknya struktur gigi yang terlibat yaitu
:

Kelas 1 : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan enamel


Kelas 2 : Fraktur mahkota yang lebih luas dan telah melibatkan jaringan dentin tetapi belum
mencapai pulpa.
Kelas 3 : Fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan telah menyebabkan pulpa
terbuka.
Kelas 4 : Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non vital dengan atau tanpa
kehilangan struktur mahkota.
Kelas 5 : Trauma pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau avulsi
Kelas 6 : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota
Kelas 7 : Perubahan posisi atau displacement gigi (Luksasi, Intrusi, Ekstrusi)
Kelas 8 : Trauma yang menyebabkan fraktur mahkota yang besar pada gigi (total destruction)
tetapi gigi tetap pada tempatnya dan akar gigi tidak mengalami perubahan
Kelas 9 : Semua kerusakan pada gigi sulung akibat trauma. 5

Kemudian WHO mengklasifikasikan trauma pada anak yang meliputi jaringan keras gigi,
jaringan periodontal dan jaringan lunak rongga mulut yang diterapkan baik pada gigi sulung
maupun pada gigi tetap yaitu sebagai berikut :
A. Kerusakan pada jaringan keras gigi.
1. Enamel infraction, yaitu suatu fraktur yang tidak sempurna pada enamel tanpa
kehilangan sutruktur gigi dalam arah horizontal maupun vertikal.
2. Uncomplicated crown fracture, yaitu fraktur yang hanya mengenai lapisan enamel saja.
3. Fraktur enamel-dentin, yaitu fraktur mahkota gigi yang hanya mengenai enamel dan
dentin saja tanpa melibatkan pulpa.
4. Complicated crown fracture, yaitu fraktur yang mengenai enamel, dentin, dan pulpa.
B. Kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa dan tulang alveolar
1. Fraktur mahkota-akar, yaitu fraktur yang mengenai enamel, denti, dan sementum.
2. Fraktur akar, yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum dan pulpa tanpa
melibatkan lapisan enamel.
3. Fraktur tulang alveolar, yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan dinding soket
labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari dinding soket.
4. Fraktur prosesus alveolaris, yaitu fraktur yang mengenai prosesus alveolaris dengan
atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi.
5. Fraktur korpus mandibula atau maksila, yaitu fraktur pada korpus mandibula atau
maksila yang melibatkan prosesua alvoelaris dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.
C. Kerusakan pada jaringan periodontal
1. Concussion, yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi yang menyebabkan
gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa adanya mobiliti atau dislokasi gigi.
2. Subluxation, yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi akibat trauma
pada jaringan pendukung gigi.
3. Luksasi Ekstrusi (partial displacement), yaitu pelepasan sebagian gigi keluar dari
soketnya. Ekstrusi menyebabkan mahkota gigi elongasi.
4. Luksasi, yaitu perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan gigi ke arah labial,
palatal, maupun lateral yang menyebabkan kerusakan atau fraktur pada soket gigi.
5. Luksasi Intrusi, yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar sehingga dapat
menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar. Intrusi menyebabkan mahkota
terlihat lebih pendek.
D. Kerusakan pada jaringan lunak rongga mulut
1. Laserasi, yaitu suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebakan oleh benda tajam
seperti pisau atau pecahan luka. Luka dapat berupa diskontinuitas epital dan subepitel.
2. Contussio, yaitu luka memar yang disebabkan pukulan benda tumpul dan menyebabkan
perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai robeknya daerah mukosa.
3. Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan kerana gesekan atau
goresan suatu benda sehingga terdapat permukaan yang bedarah atau lecet. 5
PEMBAHASAN
Pemeriksaan darurat adalah pemeriksaan yang langsung ditujukan pada gigi yang mengalami
trauma. Pemeriksaan ini berbeda dengan pemeriksaan pada pasien non trauma yang
mengharuskan dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Selain itu, dalam kasus trauma
penanganannya harus diberikan secepat mungkin karena bertujuan mempertahankan vitalitas
gigi. Oleh karena itu, prosedur pemeriksaan juga harus dilakukan secepat mungkin.
Pemeriksaan darurat sering kali dilupakan oleh dokter-dokter gigi yang mendapatkan pasienn
dengan kasus trauma. Hal ini disebabkan kerena terlalu terfokus pada penanganan trauma pada
gigi tersebut. Pemeriksaan darurat seharusnya tidak diabaikan karena perawatan yang ceroboh
dapat lebih membahayakan pasien dan memungkinkan terjadinya komplikasi yang lebih
berbahaya yang seharusnya tidak terjadi. 1
Pemeriksaan darurat pada bayi atau anak yang mengalami trauma dapat dilakukan dengan
menidurkan anak pada pangkuan ibu/ayah/atau pengasuh dengan pandangan ke atas. Tangan
anak diletakkan di bawah tangan ibu dan dokter gigi duduk di depan ibu dengan kepada anak
terletak pada pangkuannya. Posisi demikian dapat memungkinkan dokter gigi untuk dapat
melihat kedua rahang anak. Dokter gigi kemudian dapat menggunakan molt-mouth-prop atau
dengan mengikat jari tangannya dengan menggunakan bantalan dan adhesive tape untuk
mencegah tergigit oleh anak. Teknik ini hanya dapat dilakukan untuk anak usia < 5 tahun. Untuk
usia yang lebih tua dapar dilakukan pada dental chair. Teknik tersebut dapat dilihat pada gambar
dibawah ini. 5

Gambar 1 - Posisi Pemeriksaan Anak


Pada dasarnya, pemeriksaan darurat ini memiliki komponen dasar yang sama dengan
pemeriksaan pada pasien umum. Komponen tersebut meliputi Anamnesa (History taking),
Pemeriksaan klinis (intra oral dan ekstra oral), serta pemeriksaan radiografi. Namun yang
membedakan adalah pemeriksaan harus dilaksanakan secara cepat, teliti, dan terfokus pada
bagian yang trauma saja. Pemeriksaan yang cepat dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa yang
cepat dan tepat sehingga perawatan yang akan dilakukan juga tepat. Berikut ini akan dibahas
mengenai komponen dari pemeriksaan darurat pada anak. 1-7

Anamnesa
Anamnesa yang dilakukan meliputi riwayat penyakit dan riwayat dental. Keterangan-
keterangan ini sangat diperlukan untuk dapat menegakkan diagnosa secara pasti dan mendukung
rencana perawatan yang akan dilakukan. Pada riwayat kesehatan umum pasien, hal-hal yang
perlu kita ketahui adalah identitas pasien yang meliputi nama anak, nama orang tua, alamat,
nomor telepon dan umur. Selain itu, hal lain yang perlu kita ketahui adalah riwayat penyakit
pasien. Riwayat penyakit pasien akan mempengaruhi perawatan. Penyakit-penyakit yang harus
diperhatikan pada pasien trauma adalah Penyakit jantung bawaan, rheumatic fever,
immunosuppresion yang parah. Penyakit-penyakit ini merupakan kontraindikasi dari perawatan
endodontik jangka panjang dan jika perawatan harus tetap dilakukan maka harus dilakukan
disertai dengan antibiotik profilaksis. Keadaan lain adalah bleeding disorder yang berpengaruh
jika terdapat luka robek, avulsi, atau jika diperlukan ekstraksi. Selain itu, Allergi terhadap obat-
obatan, seizure disorder, obat, dan status tetanus (berhubungan dengan luka kotor pd jaringan
lunak mulut). 1-4
Riwayat dental pasien dapat diperoleh melalui when, where, how. When digunakan untuk
menanyakan waktu kejadian. Interval waktu antara cedera dengan perawatan mempengaruhi
prognosis dari gigi tersebut. Where digunakan untuk menanyakan lokasi cedera. Jika pasien
cedera di luar rumah yang kotor maka dapat dipertimbangkan pemberian profilasksis antitetanus.
How digunakan untuk memastikan trauma yang diperoleh pasien berasal dari kecelakaan atau
karena sebab lain. Kemudian hal lain yang harus diperhatikan pula yaitu gigi/fragmen gigi yang
hilang. Jika gigi tidak diketahui keberadaannya dan diketahui pasien mengalami kehilangan
ingatan maka foto thorax diperlukan jika diduga gigi tertelan. Adanya concussion, sakit kepala,
muntah dan lupa ingatan harus kita pertimbangkan adanya cedera kepala yang melibatkan otak
dan harus segera dirujuk ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Adanya riwayat trauma
sebelumnya dapat mempengaruhi tes sensitifitas pulpa dan rencana terapi. Sebagai contohnya,
jika pasien ditanyakan mengenai nyeri spontan dan hasilnya positif maka mungkin terjadi
inflamasi pulpa akibat fraktur mahkota atau cedera jaringan periodontal. 3,4,7

Pemeriksaan Klinis
Setelah mengetahui mengenai riwayat dental dan riwayat penyakit anak maka selanjutnya
dilakukan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan klinis untuk pasien trauma meliputi pemeriksaan
ekstra oral dan pemeriksaan intra oral. Pemeriksaan klinis difokuskan pada bagian yang
mengalami fraktur atau terjadi perubahan posisi dan cedera-cedera lain yang penting untuk
segera ditangani. 4
Pemeriksaan ekstra oral dapat dilakukan dengan cara visual dan dengan cara palpasi. Secara
visual bagian yang harus diperiksa adalah pada mata, periksa penglihatan anak dan gerakan mata
anak, pada hidung periksa kemungkinan adanya fraktur, perdarahan, keluarnya CSF
(cerebrospinal fluid) pada patah tulang basal, pada telinga periksa pendengaran anak, perdarahan
pada telinga, atau keluarnya CSF dari telinga, pada bibir periksa adanya laserasi, dan pada
bagian wajah lihat adanya bengkak, memar, atau laserasi. Selain itu lihat pula adanya deformitas
wajah pada anak dengan cara berdiri dibelakang kepala anak. 1-4,6,7
Kemudian lakukan palpasi pada tulang wajah untuk menentukan adanya diskontinuitas tulang
wajah atau tidak. Palpasi dilakukan pada tulang orbita, arkus zigomatik, condilus. Selain itu,
yang perlu diperiksa adalah sendi temporomandibular, lihat adanya pembengkakan, clicking,
atau krepitasi, periksa gerakan mandibula apakah adanya gangguan atau tidak. Adanya kaku otot
atau nyeri pada leher anak dapat menunjukkan terjadi cedera tulang leher sehingga harus segera
dirujuk ke dokter anak. 4,6,7
Setelah pemeriksaan ekstra oral selesai dilakukan maka dilanjutkan dengan pemeriksaan intra
oral. Pada pemeriksaan intra oral beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
Jika ada fraktur gigi, catat apakah fraktur hanya pada email, dentin, atau sudah mengenai pulpa
karena perawatan akan berbeda tergantung dari luasnya fraktur yang terjadi. Selain itu, catat jika
ada pergeseran gigi, lakukan palpasi pada gigi dan alveolus untuk melihat apakah gigi mobiliti
karena gigi yang bergeser akan memerlukan reposisi dan gigi yang mobiliti memerlukan
splinting, Selain itu pula, dilakukan pemeriksaan pada jaringan lunak rongga mulut, catat jika
terdapat laserasi pada bibir, gingiva, dan mukosa pipi, periksa dengan cermat untuk melihat
adanya bagian gigi atau debris yang masuk kedalamnya untuk menghindari terjadinya tetanus.
Hal lain yang perlu juga diperhatikan adalah maloklusi, perdarahan gingiva, sensitivitas terhadap
perkusi dan palpasi, diskolorisasi. 3,4,6,7
Semua pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan secara sistematik dimulai dari pemeriksaan
ekstra oral terlebih dahulu, kemudian diikuti pemeriksaan jaringan keras intraoral dan
pemeriksaan jaringan lunak intraoral. 3

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk membantu penegakan diagnosa kasus secara pasti.
Jenis pemeriksaan yang dilakukan pada kasus trauma adalah test vitalitas, transillumination, dan
radiografi.
Test vitalitas pulpa pada gigi sulung sering tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan gigi sulung
tidak berespon pada saat injury sedang terjadi dan memerlukan pasien yang tenang dan
kooperatif untuk dapat menjelaskan reaksi secara objektif. Namun demikian, reaksi positif
terhadap test pulpa menunjukkan prognosis vitalitas pulpa jangka panjang dan baik. Pada test
vitalitas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan tes termal dan tes elektrik. Tes elektrik
dapat memberi hasil yang negatif sesaat setelah gigi mengalami injuri. Oleh karena itu perlu
dilakukan test ulang 7-10 hari berikutnya. Namun, penurunan respon dini dapat berarti telah
terjadi kerusakan pada pulpa dan memerlukan monitoring secara teratur. 1,6,7
Transilluminasi dilakukan dengan cara gigi disinari dengan cahaya khusus. Jika berkas
cahaya menembus gigi maka dapat dipastikan adanya kerusakan pada pulpa yang ditandai
dengan perdarahan sampai ke dentin. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk melihat garis
fraktur yang tidak terlihat dengan mata telanjang. 1,6
Pemeriksaan radiografi juga merupakan bagian yang penting dalam menentukan diagnosis dan
rencana perawatan. Terdapat 3 jenis radiografi yang digunakan pada kasus trauma yaitu
Periapical, occlusal, dan orthopantogram. Teknik radiografi periapikal digunakan bila ada fraktur
akar dan untuk melihat tahap perkembangan akar. Biasanya dilakukan dua kali pengambilan
dengan sudut yang berbeda untuk memastikan letak fraktur. Foto occlusal digunakan untuk
mendeteksi adanya fraktur atau untuk melihat fragmen asing yang masuk dalam luka jaringan
lunak. Pada bibir bawah dengan foto occlusal pandangan occlusal sedangkan pada bibir atas
dengan foto occlusal pandangan lateral. Foto yang terakhir yang dapat digunakan adalah
orthopantogram. Orthopantogram digunakan jika dicurigai adanya fraktur pada rahang. Foto ini
terdiri atas lateral oblik, lateral skull (foto spesifik untuk fraktur maksillofasial), Panoramic,
anteroposterior skull dan occipitalomental. 1-4,6,7

KESIMPULAN
Pemeriksaan darurat merupakan bagian yang penting dalam menangani pasien trauma
khususnya pada pasien anak. Walaupun dalam pelaksanaanya terkadang sulit untuk dilakukan
karena pasien tidak kooperatif, pemeriksaan ini tetap merupakan suatu kewajiban. Pemeriksaan
yang baik dan tepat akan menghasilkan informasi yang tepat pula yang akan mendukung
penegakan diagnosa yang dalam hal ini dilakukan penentuan klasifikasi trauma. Oleh karena itu,
pemeriksaan darurat tidak seharusnya dilupakan dan diabaikan oleh dokter gigi walaupun kasus
trauma membutuhkan penanganan yang segera.

DAFTAR PUSTAKA
1. Finn SB. Clinical pedodontics. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company, 1962:
330-333.
2. Braham RL, Morris ME. Textbook of pediatric dentistry. 1st ed. Baltimore: Williams
&Wilkins, 1980:262-264.
3. Heasman P. Master dentistry volume two: restorative dentistry, paediatric dentistry and
orthodontics. 2nd ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier, 2008.
4. Pinkham JR. Pediatric dentistry: infancy through adolescence. 4th ed.Philadelpia:
Elsevier Saunders, 2005: 236-243.
5. Riyanti E. Penatalaksanaan trauma gigi pada anak. (29 November 2011).
6. Parkin SF. Notes on paediatric dentistry. 1st ed. Oxford: Wright, 1991: 120-124.
7. Andlaw RJ, Rock WP. Perawatan gigi anak: a manual of paedodontics. Alih Bahasa.
Agus Djaya. 2nd ed. Jakarta: Widya Medika, 1992: 198-199.

Anda mungkin juga menyukai