Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa yang paling krusial karena dalam masa ini
remaja dapat meluapkan emosi yang dirasakan. Menurut Muss (dalam Santrock,
2005) menyatakan bahwa pada masa remaja pasti mengalami perubahan fisik
seperti perubahan tinggi badan, berat badan serta perkembangan seksualitas. Hal
ini yang kemudian mendukung terjadinya perubahan secara psikologis dan
emosional pada remaja. Selain itu, menurut Piager ( dalam Santrock, 2005 )
masa remaja berada pada tahap operasional format ( formal operation
stage ) yaitu tahap keempat dan terakhir dari perkembangan kognitif ini ditandai
dengan remaja telah mampu berfikir secara abstrak, logis dan idealis yang
biasanya ditunjukkan melalui bagaimana remaja menyelesaikan masalahnya.
Pada sisi lain, E.H.Erikson dalam Elvi, (2005) mengemukakan bahwa
remaja merupakan masa dimana terbentuknya suatu perasaan baru mengenai
dirinya yang meliputi cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal
oleh orang lain, sehingga berpengaruh pula terhadap pembentukan perilaku pada
usia remaja yang cenderung sering bertentangan dengan orang tua dan lebih
memihak kepada teman sebaya. Menurut Elvi (2005) pada masa ini berkembang
pula kemampuan untuk memahami orang lain. Pemahaman ini mendorong
remaja untuk menjalin hubungan persahabatan maupun percintaan yang lebih
akrab seperti halnya dengan membentuk sebuah kelompok. Perkembangan
pergaulan yang terjadi dalam kelompok remaja dapat memberi dampak positif
maupun negatif. Oleh karena itu teman sebaya juga sangat berpengaruh terhadap
perkembangan perilaku remaja, beberapa kenakalan remaja yang dapat terjadi
seperti penyalahgunaan Napza.
Departemen Kesehatan (Depkes) menyatakan pemakaian NAPZA terus
menerus dan berlebihan dapat mengakibatkan ketergantungan fisik dan atau
psikologis, serta dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf dan organ penting
lainnya (Depkes, 2010). Menurut NAAA (National survey of American Attitudes
on substance Abuse) bahwa 60 % remaja SMA dan 32 % remaja SMP
mengatakan bahwa mereka menjual, mendapatkan dan menggunakan obat-

1
obatan terlarang di lingkungan sekolahnya. Hal ini terjadi ditahun 2011
sebanyak 36 % dan menjadi 54 % di tahun 2012, dengan kata lain
penyalahgunaan NAPZA dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Menurut World Health Organization (WHO) sekitar seperlima dari
penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun, 900 juta berada di Negara
berkembang. Data demografi di Amerika Serikat menunjukkan jumlah remaja
berumur 10-19 tahun sekitar 15% populasi. Jumlah penduduk di Asia Pasifik
merupakan 60% dari penduduk dunia, seperlimanya adalah remaja umur 10-19
tahun. Kelompok umur 10-19 tahun di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik
adalah 22%, terdiri dari 50,9% remaja laki-laki dan 49,1% remaja perempuan
(Soetjiningsih, 2010).
Hasil survei Badan Narkoba Nasional (BNN) tahun 2012 menunjukkan
prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah mencapai 3,8 juta orang
dengan usia antara 10 sampai 60 tahun. 21,2% tersangka kasus NAPZA berada
pada kelompok umur 17–24 tahun. Prevalensi penyalahguna NAPZA tertinggi
adalah anak jalanan yaitu 28,2%. Jenis NAPZA terbanyak yang disalahgunakan
di Indonesia pada tahun 2011 adalah shabu dan ganja, sedangkan di Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) ganja dan ekstasi adalah terbanyak. Survei Harm
Reduction Dinas Kesehatan DIY (2012) menunjukkan penyalahgunaan NAPZA
suntik terbanyak pertama adalah heroin dan benzodiazepine di urutan kedua.
Data anak jalanan Yogyakarta pada tahun 2003 yang diperoleh dari data PKBI
berdasarkan jenis kelamin, laki-laki 79,51%, dan perempuan 20,48% (PKBI 3
Yogya, 2003). Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebutkan pada tahun
2004 sebanyak 92,8% anak jalanan terlibat dalam penjualan obat-obatan
terlarang. Dinas Sosial Propinsi DIY hingga akhir tahun 2004 menemukan 5.561
orang pengguna narkoba, 28% di antara mereka yang terlibat adalah remaja
berusia 17–24 tahun.
Konsekuensi kesehatan dan sosial dari penyalahgunaan NAPZA adalah
adanya potensi menjadi ketergantungan yang dicirikan lemahnya kontrol diri
terhadap kemauan menggunakan NAPZA (West, 2006). Penyalahgunaan
NAPZA menyebabkan penderitaan tidak hanya sosial tapi juga ekonomi bagi
individu dan keluarga sehingga diperlukan suatu strategi yang efektif untuk

2
pencegahan dan intervensi. Penyalahgunaan dan ketergantungan terhadap
NAPZA menyebabkan gangguan perilaku melalui jalur neurotransmiter otak
yang menjelaskan adanya perubahan mood, gangguan kesadaran, dan persepsi
(Gould, 2010).
Hasil penelitian dari pengaruh dan efektivitas cognitive behavioral
therapy (CBT) terhadap klien kecemasan sosial dan asertivitas milik Zakiyah
(2014) menyatakan bahwa Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan
gabungan terapi kognitif dan terapi perilaku yang dirancang untuk menrubah
pola pikir negatif menjadi positif sehingga individu memiliki kemampuan untuk
berinteraksi dengan lingkungan secara adptif dalam menghadapi masalah atau
situasi sulit dalam setiap fase kehidupan. Serta CBT efektif dan banyak
dilakukan pada pasien-pasien gangguan kecemasan sosial.
Terapi kognitif perilakuan (Oemarjoedi, 2003) pada dasarnya meyakini
pola pemikiran masnusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon
(SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam
otak manusia, dimana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam
menjelaskan bagaimana manusia bepikir, merasa dan bertindak. Hal ini karena
terapi perilaku kognitif merupan suatu bentuk teknik psikoterapi yang
mengintegrasikan teknik terapi kognitif dan perilaku yang berfokus untuk
membantu individu dalam melakukan perubahan-perubahan. Perubahan ini tidak
hanya dalam perilaku namun juga dalam pemikiran, keyakinan dan sikap yang
mendasarinya (Nevid, dkk 2005).
Sementara menurut Meichenbaum (dalam Ivey,1993) sebuah perilaku
terjadi secara langsung dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis
dan konsekuensi perilaku. Terapi kognitif perilaku merupakan bentuk terapi
untuk melihat bahwa individu tidak hanya dipahami melalui perilaku yang
tampak saja seperti yang dilihat oleh pihak perlakuan,namun dibalik tingkah
laku yang tampak terdapat proses internal yang sebenarnya merupakan hasil
pemikiran kognisi. Dengan demikian terapi kognitif perilakuan akan digunakan
sebagai intervensi untuk memberikan perubahan-perubahan kognitif-perilaku
asertif sesuai yang diharapkan oleh peneliti

3
Selain itu seperti yang dipaparkan oleh Monty P. Satiadarma
(Oemarjoedi, 2003) penyimpangan perilaku individu terjadi kaena adanya
penyimpangan fungsi kognitif, sedangkan untuk memperbaiki perilaku individu
yang mengalami penyimpangan tersebut terlebih dahulu harus dilakukan
perbaikan terhadap fungsi kognitif manusia. Pernyataan tersebut menunjukkan
pentingnya pengaruh askpek kognitif terhadap perilaku manusia serta peran
kognitif dalam mempertimbangkan keputusan untuk melakukan tindakan
tertentu. Oleh karena itu peneliti menggunakan intervensi yaitu terapi kognitif
perilaku, dengan alasan terapi tersebut dapat membantu individu untuk
mengubah cara berpikir para remaja terhadap pemakaian napza. Adapun jumlah
remaja Di Kelurahan Kp.Baru sebesar 30 orang. Oleh karena itu penulis tertarik
untuk meneliti Penerapan Terapi Kognitif Perilaku pada Remaja Pengguna
Napza Dengan Masalah Koping Individu Inefektif Di Kelurahan Kp.Baru Dusun
17 Medan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari permasalahan diatas peneliti mengajukan rumusan
permasalahan ; Bagaimana Penerapan Terapi Kognitif Perilaku pada Remaja
Pengguna Napza Dengan Masalah Koping Individu Inefektif Di Kelurahan
Kp.Baru Dusun 17 Medan.
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Terapi Kognitif
perilaku Efektif pada Remaja Pengguna Napza Dengan Masalah Koping
Individu Inefektif Di Kelurahan Kp.Baru Dusun 17 Medan.

D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi bidang
keperawatan khususnya bidang keperawatan kejiwaan.
2. Manfaat Praktis
Terapi perilaku kognitif diharapkan dapat menjadi rujukan sebagai terapi
untuk menangani kasus pada remaja pengguna napza yang disebabkan oleh
kesalahan dalam berfikir atau distorsi kognitif.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Napza


2.1.1 Pengertian Napza
Napza adalah akronim dari Narkotik, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif

lainnya (Kemenkes RI, 2010). Kesemua zat tersebut sebenarnya adalah termasuk zat

psikoaktif. Namun karena Indonesia memiliki undang-undang tersendiri untuk narkotika

dan psikotropika maka istilahnya juga dibuat berdiri sendiri-sendiri. Alkohol juga

dijadikan istilah tersendiri karena alkohol merupakan minuman yang mudah dan sering

dikonsumsi oleh masyarakat baik di daerah rural maupun urban. Zat adiktif lainnya

ditambahkan karena selain narkotik, psikotropika dan alkohol masih terdapat zat-zat

lain yang bersifat adiktif.

2.1.2 Jenis-Jenis Napza

Napza memiliki beberapa jenis, menurut undang-undang NAPZA dibagi

menjadi tiga golongan utama yaitu narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.

Undang-undang RI nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika mendefinisikan narkotika

sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis

maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,

hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan.

Narkotika digolongkan menjadi tiga golongan utama yaitu: Yang memiliki potensi

sangat tinggi menimbulkan ketagihan seperti heroin atau putau, kokain dan ganja, Yang

memiliki potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan seperti morfin dan petidin, Yang

berpotensi ringan mengakibatkan ketergantungan, contohnya: kodein.

5
Narkotika yang sering disalahgunakan seperti opiat (morfin, putau, petidin, candu dan

lain-lain ), ganja atau cannabis, dan kokain yang biasa dalam bentuk serbuk kokain.

Psikotropika menurut undang-undang RI nomor 5 tahun 1997 merupakan zat

atau obat, alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui

pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada

aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika digolongkan menjadi empat dengan

didasarkan pada potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan. Golongan pertama

berpotensi amat kuat, kedua berpotensi kuat, ketiga berpotensi sedang, dan keempat

berpotensi ringan. Psikotropika yang sering disalahgunakan misalnya psikostimulan

contohnya amfetamin, ekstasi dan shabu. Kemudian sedatif hipnotik yaitu obat

penenang dan obat tidur seperti mogadon, BK, dumolid, pil koplo, lexo dan lain

sebagainya. Golongan psikotropika halusinogen yang sering disalahgunakan seperti

lysergic acid diethylamide dan mushroom.

Alkohol merupakan semua jenis minuman yang menggandung etil-alkohol atau

etanol seperti wiski, vodka, bir, arak, tuak dan ciu (Joewana, 2005). Menurut Keppres

No.3 tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol sering

menjadi bagian dari gaya hidup atau dari budaya tertentu. Alkohol jika dkonsumsi

dengan narkotika atau psikotropika akan memperkuat pengaruh obat atau zat itu dalam

tubuh manusia.

Zat adiktif lainnya seperti inhalan dan solven, tembakau dan kafein (Depkes,

2006). Inhalan dan solven mudah menguap dan banyak terdapat di barang keperluan

rumah tangga yang akhirnya banyak disalahgunakan seperti lem, tiner, penghapus cat

kuku dan bensin. Tembakau dan kafein merupakan zat yang bila dikonsumsi dengan

cara berlebih mampu menimbulkan masalah kesehatan. Rokok dan tembakau biasanya

6
merupakan pintu masuk penyalahgunaan NAPZA pada remaja sehingga banyak

dilakukan upaya pencegahan penggunaan barang tersebut (Depkes, 2006). Kafein yang

merupakan zat stimulan dapat menimbulkan ketergantungan jika dikonsumsi melebihi

100 mg per hari atau dua cangkir kopi.

Napza berdasar efeknya terhadap susunan syaraf pusat digolongkan menadi tiga

yaitu depresan, stimulan dan halusinogen (Depkes, 2006). Golongan depresan adalah

jenis Napza yang berfungsi mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Jenis ini membuat

pemakainya tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri.

Contohnya opioida (morfin, putau, kodein), sedatif-hipnotik, tranquilizer (anti cemas),

alkohol dalam dosis rendah dan lain-lain. Golongan stimulan adalah jenis zat yang

merangsang fungsi susunan saraf pusat (Joewana, 2005; Sullivan, 1995). Zat ini

meningkatkan fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan untuk bekerja sehingga

pemakaiannya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Contohnya adalah kokain

amfetamin (shabu dan ekstasi), dan kafein. Ekstasi dan shabu-shabu adalah golongan

stimulan yang sering disalahgunakan di Indonesia (Joewana, 2005).

Selain efek positif yang diharapkan, pengguna dapat memperoleh efek negatif

dari penyalahgunaan jenis psikotropika ini. Pengguna met-amfetamin atau shabu-shabu

berkepanjangan dapat menimbulkan komplikasi medis kardiovaskuler seperti takikardi,

aritmia jantung, tekanan darah naik, stroke dan lainnya. Selain itu juga dapat

menimbulkan waham, halusinasi, aktivitas motor berulang tanpa ada tujuan, tiba-tiba

agresif dan gangguan efek (Neagle & D’Avanzo, 2001).

Penggunaan met-amfetamin dalam dosis tinggi berulang kali sering

dihubungkan dengan perilaku kekerasan dan psikosis paranoid karena ini merupakan

salah satu efek penggunaan (Joewana, 2005). Masalah psikosis sendiri juga paling

7
sering muncul pada pengguna amfetamin, sedangkan untuk efek negatif MDMA dapat

mengganggu daya ingat, konsentrasi, belajar, tidur serta kerja ginjal dan jantung

(Joewana, 2005).

Golongan ketiga adalah halusinogen. Sesuai dengan namanya, jenis NAPZA ini

mampu membuat efek halusinasi yang mampu merubah perasaan dan pikiran, seringkali

menciptakan daya pandang yang berbeda yang berakibat pada terganggunya perasaan

pemakai. Golongan ini biasanya tidak digunakan dalam terapi medis. Contoh

halusinogen adalah ganja atau cannabis, LSD, berbagai jenis jamur dan kecubung.

Ganja adalah salah satu jenis halusinogen yang sering disalahgunakan memiliki banyak

nama seperti cannabis atau mariyuana. Zat yang biasa dikonsumsi dengan cara dihirup

asapnya ini memiliki efek menimbulkan halusinasi penglihatan berupa kilatan sinar,

bentuk-bentuk amorf, warna-warni cemerlang, bentuk-bentuk geometris, figur dan

wajah orang (Jung, 2010).

Persepsi waktu dan jarak karena pemakaian ganja juga akan terganggu misalnya

semenit jadi sepuluh menit, semeter jadi sepulih meter, hal ini akan mengkhawatirkan

jika pengguna sedang berkendara. Meskipun awalnya pemakaiannya dapat membuat

ansietas, rasa takut serta gelisah, namun akhirnya mampu memberi efek menenangkan

dan euforia. Pemakaian jangka panjang ganja dapat mempengaruhi pikiran, menurunkan

kemampuan baca, berbicara dan berhitung, serta menghambat perkembangan

kemampuan sosila dan mendorong pengguna menghindari masalah bukannya

menyelsesaikan masalah (Jewana, 2005).

Napza adalah jenis medikasi yang tidak dilegalkan penggunaannya secara

sembarangan. Hal ini dikarenakan efek negatif yang mampu timbul dari

pemakaiannya.secara umum, penyalahgunaan segala jenis Napza secara berkepanjangan

8
mampu mengubah perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, dan kesadaran pemakainya

karena zat psikoaktif ini bekerja pada otak (Joewana, 2005). Kerja obat yang

berpengaruh langsung pada kerja sel otak menimbulkan efek perubahan kinerja pada

organ lain dimana jika terjadi secara terus menerus mampu menimbulkan perubahan

pada sel otak yang nantinya mengganggu kerja organ dan berakhir pada komplikasi

medis. Selain itu juga efek lain selain komplikasi medis juga muncul atau memperberat

masalah psikosis seperti waham, halusinasi, dipersonalisasi dan masalah psikosis

lainnya (Sullivan, 1995).

2.1.3 Penyalahgunaan Napza

Penyalahgunaan Napza di Indonesia berdasarkan survey yang dilakukan di 16

provinsi dengan mengambil sampel setiap masing-masing provinsi satu daerah urban

(kota) dan satu daerah rural (kabupaten), menunjukkan bahwa angka penyalahgunaan

Napza oleh pelajar dan mahasiswa lebih tinggi dikota daripada dikabupaten. Pada

daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah angka

penyalahgunaan Napza cenderung stabil dari tahun 2006, 2009 dan 2011. Namun untuk

DKI Jakarta cenderung menunjukkan peningkatan. Hal ini juga didukung data dari

BNN yang menunjukkan kesatuan Metro jaya menduduki peringkat pertama sebagai

daerah yang paling rawan untuk kasus narkoba.

Penyalahgunaan obat merupakan kebebasan, penggunaan secara terus menerus

akan perubahan pemikiran terkait penggunaan zat (biasanya untuk alasan selain

kepentingan medikasi yang legal) yang berakibat pada gangguan fisik, mental,

emosional, dan sosial pengguna, keluarga pengguna dan komunitas dalam berbagai

tingkatan (Carroll, 2000). Penyalahgunaan zat juga dapat diartikan sebagai penggunaan

9
zat yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya

sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial (Joewana, 2005).

Penyalahgunaan zat seperti Napza memilki karakteristik khusus seperti

intoksikasi, toleransi, toleransi silang, ketergantungan, kehilangan kontrol, peningkatan

dorongan, nagih (craving), progressive nature, dan penggunaan mekanisme pertahanan

(Sullivan, 1995). Intoksikasi adalah kondisi yang timbul akibat menggunakan Napza

sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau mood, perilaku

atau fungsi dan respon psikofisiologis lainnya. Toleransi adalah kondisi dimana

kebutuhan akan dosis Napza semakin meningkat untuk dapat memperoleh efek yang

sebelumnya diperoleh. Sedangkan toleransi silang terjadi jika seseorang telah toleran

dengan salah satu zat psikoaktif, dia juga toleran dengan zat psikoaktif lain yang

memiliki fungsi farmakologis sama.

Pada penyalahgunaan zat-zat adiktif tersebut respon selanjutnya yang timbul

adalah munculnya ketergantungan yang merupakan suatu kelompok fenomena

fisiologis, perilaku dan koginitif akibat pengguna suatu Napza tertentu yang mendapat

prioritas lebih tinggi bagi individu tertentu daripada yang pernah diunggulkan pada

masa lalu (Kemenkes, 2010). Ketergantungan biasanya dibagi menjadi ketergantungan

psikis dan fisik. Kriteria lain yang muncul seperti rasa nagih dimana klien akan

memiliki perasaan yang kuat untuk terus menggunakan. Selain itu muncul

reinforcement, dimana pemakai memperlihatkan kondisi atau performa yang lebih

setelah menggunakan zat.

Penyalahguna Napza seringkali akan kehilangan kontrol dalam mengatur

pemakaian Napza yang membuatnya kehilangan kontrol juga akan kehidupannya. Hal

ini juga dikarenakan faktor proses progesif alami (progessive nature) yang dialami yaitu

10
dimana pemakai akan lebih mementingkan penggunaan zat daripada aspek

kehidupannya yang lain. Hal ini berakibat pemakai akan mengurangi aktivitas dan

membatasi pada aktivitas dan teman yang mendukung untuk memakai Napza. Akhirnya

pemakai akan sering menunjukkan mekanisme pertahanan diri seperti penyangkalan,

penolakan, rasionalisasi, dan pemikiran yang delusional (Sullivan, 1995).

Penyalahgunaan Napza pada akhirnya memberikan efek negatif bagi pemakai

tidak hanya fisik namun juga mental, emosional dan sosial pemakai. Efeknya pun tidak

hanya bagi pemakai namun juga ke lingkungan kehidupan sekitar pemakai seperti

munculnya tindak kriminalitas atau kekerasan. Pada akhirnya masalah yang biasa

muncul pada penyalahgunaan Napza disebut dengan gangguan mental dan perilaku

akibat penggunaan zat psikoaktif pada kelompok gangguan jiwa (Joewana, 2005).

Untuk mengatasi ini, terdapat terapi yang biasa digunakan yaitu detoksifikasi dan

pascadetoksifikasi.

Detoksifikasi berfokus pada terapi untuk melepaskan klien dari kelebihan dosis,

intoksikasi dan sindrom putus zat (Joewana, 2005).

Sedangkan pascadetoksifikasi atau disebut dengan rehabilitasi adalah suatu

proses pemulihan gangguan napza baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang

yang bertujuan mengubah perilaku untuk mengembalikan fungsi individu tersebut di

masyarakat (Kemenkes, 2010). Pada fase rehabilitasi juga ditujukan kepada penyakit

komorbiditas dimana terdapat dua atau lebih penyakit yang secara bersama-sama ada

dalam satu individu.

11
2.2 Konsep Koping

2.2.1 Pengertian Koping

Setiap individu tidak akan terlepas dari permasalahan kehidupan yang dapat

menimbulkan stress. Stress itu yang nantinya akan membuat seseorang tersebut

berusaha untuk mengatasinya. Koping adalah suatu proses dari seseorang yang

digunakan untuk memanajemen peristiwa atau menghadapi, merasakan dan

menginterpretasikan suatu stress, (Craven & Hirnle, 2003). Menurut Lazarus dan

Folkman pada bukunya Stress, Appraisal, and Coping menyebutkan bahwa koping

adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi

tuntutan internal dan eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu.

Jadi koping bisa diartikan sebagai istilah cara yang digunakan seseorang untuk

mengatasi permasalahannya terutama yang menimbulkan stres. Segala upaya yang

dilakukan untuk mengatasi stress disebut dengan mekanisme koping (Stuart & Laraia,

2005).

Mekanisme koping tersebut terdiri dari tiga tipe yaitu koping berfokus pada

masalah, koping yang berfokus pada emosi dan koping berfokus dengan kognitif (Stuart

& Laraia, 2005). Koping berfokus pada masalah menunjukkan pada usaha langsung

untuk memperbaiki sebuah keadaan dengan membuat perubahan atau mengambil

sebuah tindakan. Misalnya dengan cara negosiasi, konfrontasi dan mencari

pertimbangan koping yang berfokus pada emosi dimana seseorang lebih berorientasi

untuk mengurangi distres emosi. Contoh koping berfokus pada emosi termasuk

penggunaan mekanisme pertahanan ego seperti penolakan, supresi atau proyeksi. Cara

religius dan menerima adanya masalah adalah cara lain yang sering muncul juga pada

koping berfokus pada emosi ini. Sedangkan seseorang dengan koping yang berfokus

12
dengan kognitif akan mengontrol arti masalah tersebut dan menetralisasinya. Misalnya

dengan melakukan perbandingan yang positif, penggantian dari suatu hadiah,

melakukan ketidaktahuan yang selektif dan akan objek yang diinginkan.

2.2.2 Jenis-Jenis Koping

Jenis koping yang dapat dilakukan dan muncul pada mekanisme koping

berfokus pada masalah seperti menunjukkan keaktifan diri. Seseorang mencoba

menghilangkan atau mengelabuhi penyebab stres untuk meminimalisasikan dampak dan

usaha ini menunjukkan adanya usaha langsung. Kemudian seseorang juga mampu

melakukan perencanaan yaitu memikirkan bagaimana mengatasi stres dengan membuat

strategi tindakan yang perlu dimbil. Individu juga mampu menunjukkan kontrol diri

dalam memutuskan waktu melakukan tindakan yang tepat. Terakhir, individu yang

menggunakan koping berfokus pada masalah mampu mencari nasehat, pertolongan,

informasi, dukungan moral, empati dan pengertian. Setiap individu dalam melakukan

koping tidak hanya menggunakan satu strategi tetapi dapat melakukannya bervariasi,

hal ini tergantung dari kemampuan dan kondisi individu (Rasmun, 2004).

Mekanisme koping yang digunakan dapat bersifat konstuktif dan dapat bersifat

destruktif (Stuart & Laraia, 2005). Koping yang konstruktif jika menganggap

munculnya ansietas sebagai pertanda akan adanya gangguan pada suatu sistem dan hal

ini menjadi tantangan untuk diselesaikan. Hal ini menunjukkan seseorang mampu

memilih dan melakukan cara koping yang dapat mengatasi masalahnya. Koping yang

sukses digunakan untuk mengatasi masalah ini akan menjadi pedoman bagi individu

dalam mengatasi masalah selanjutnya, dan hal ini memungkinkan seseorang untuk

melakukan modifikasi akan cara koping itu, sedangkan bersifat destruktif jika adanya

13
ansietas diacuhkan dan tidak dicari jalan keluarnya. Membuat masalah tetap ada, tidak

terselesaikan dapat menambah tekanan pada individu tersebut.

Mekanisme koping tersebut juga dapat digolongkan menjadi dua yaitu mekanisme

adaptif dan maladaptif (Stuart & laraia, 2005). Penggolongan ini dijelaskan dalam

bagan model adaptasi stress Stuart dalam rentang respon koping. Jadi koping yang

digunakan apakah akan meruntut pada respon yang adaptif ataukah respon yang

maladaptif. Mekanisme koping dikatakan adaptif jika mekanisme yang mendukung

fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah

berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,

latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Koping yang menunjuk pada respon

maladaptif jika menghambat fungsi integrasi, menurunkan otonomi dan cenderung

mengganggu dengan menguaai lingkungan.

2.2.3. Mekanisme Koping Terhadap Pemakai Napza

Mekanisme koping adalah suatu upaya yang diarahkan untuk manajemen stres

yang berorientasi pada tugas dan pertahanan ego ( Potter & Perry, 2005). Koping

merupakan salah satu alasan awal pemakaian Napza. Penggunaan zat psikoaktif

dilingkungan daerah perkotaan biasanya dikaitkan dengan alasan ingin memuaskan rasa

ingin tahu, menjalin solidaritas, dan mengatasi stres serta rasa tidak bahagia (Joewana,

2005). Selain itu koping juga menjadi alasan penggunaan heroin, dimana dikonsumsi

untuk mengatasi perasaan yang tidak enak seperti ketegangan, kecemasan, dan

kesedihan. Fungsi ganja untuk memperoleh kenikmatan, benzodiazepin untuk

menurunkan ketegangan, dan beberapa zat lain untuk menginduksi tidur, dijadikan jalan

keluar untuk mengatasi masalah yang sedang dialami pemakai.

14
Inti dari penggunaan Napza adalah untuk mengubah pengalaman kewaspadaan dan

kesadaran (Carroll, 2000). Pemakai biasanya ingin merasakan nyaman, santai, jauh dari

stres, tidak ada beban, dapat diterima, tidak merasa kesepian, mengatasi masalah

emosional dan nyeri fisik, dan mengeksplorasi sesuatu yang belum diketahui. Banyak

cara untuk mengubah tingkat kesadaran seseorang, namun Napza memiliki cara yang

lebih mudah dan cepat dalam mencapai tujuan. Napza juga digunakan untuk

meningkatkan kesadaran karena tuntutan lingkungan yang keras, sehingga dengan

Napza dapat mengimbangi tuntutan itu misal meningkatkan performa kerja dengan

menggunakan golongan stimulan. Selain itu, seseorang juga ingin menghindar dari

tekanan lingkungan, sehingga menurunkan kesadarannya akan lingkungan dengan

menggunakan golongan depresan, sehingga merasa rasa sakit berkurang, merasa

nyaman dan tidak merasakan apapun.

Penggunaan Napza selain sebagai alasan menjadi koping di awal penggunaan, dapat

menjadi konsekuensi sikap yang dapat diperoleh karena penyalahgunaan dalam jangka

panjang dan akhirnya menjadi stressor tersendiri (Carroll, 2000; Sullivan, 1995).

Umumnya pada penyalahguna Napza yang lama akan memiliki metode koping yang

tidak jelas, hal ini nantinya menjadikan Napza sebagai predominan koping yang akan

digunakan jika suatu stressor muncul terutama situasi yang membuat cemas atau sakit.

Selain itu, pada penyalahgunaan Napza akan terbentuk suatu hubungan dimana zat

menjadi penentu identitas, kognisi, dan perilaku. Hal ini juga yang menjadikan zat

sebagai strategi koping utama. Jika hubungan yang telah terbentuk itu diganggu maka

akan muncul karakteristik mekanisme pertahanan pada pemakai, dimana cara yang

digunakan adalah dengan menyangkal, merasionalisasi pembenaran tindakan, dan

berfikir delusional.

15
Mekanisme pertahanan tersebut merupakan strategi koping yang biasa yang disebut

dengan mekanisme pertahanan ego yang digunakan penyalahguna Napza untuk

mengatasi stress emosionalnya. Hal ini juga dijelaskan pada model adaptasi stress Stuart

terkait masalah penyalahgunaan Napza dimana mekanisme koping yang digunakan

seperti penolakan, proyeksi, rasionalisasi dan minimalisasi (Stuart & Laraia, 2005).

Penolakan muncul dengan pernyataan ketidaksetujuan terhadap realita dengan

mengingkari realita tersebut. Misal dengan pernyataan “ aku minum setiap hari namun

tidak mengganggu pekerjaanku” (Sullivan, 1995; Stuart & Laraia, 2005). Penguna

meminimalisasi jumlah penggunaan atau konsekuensi penggunaan, misalh dengan

pernyataan “aku hanya minum dua botol sehari”. Kemudian klien mampu

merasionalisasi dengan memberikan penjelasan yang tambapk logis dan dapat diterima.

Dan terakhir dengan proyeksi dimana karakteristik negatif yang dimiliki digambarkan

kepada orang lain misal dengan pernyataan “jika saja istrika tidak memberi beban setiap

saat”.

Napza selain sebagai penyelesai masalah bagi penggunanya juga dapat menjadi masalah

tersendiri baginya. Pada seseorang yang menggunakan cara koping berfokus pada

masalah akan menganggap bahwa penyalahgunaan Napza ini adalah masalah baginya

sehingga akan mencari solusi untuk menyelesaikannya. Mekanisme koping seperti ini

yang dapat dianggap sebagai koping konstruktif pada pemakai Napza. Koping yang

destruktif pada pemakai ditunjukkan sebaliknya dimana penyalahgunaan Napza yang

merupakan suatu masalah dianggap bukan masalah baginya. Hal ini menunjukkan

bahwa koping tidak selalu konstruktif bagi penyalahguna sehingga respon koping yang

adaptif belum tentu dapat dicapai.

16
Peran koping pada Napza sangat penting karena menjadi salah satu faktor penentu

kekambuhan pemakai setelah mengikuti program rehabilitas. Jika stressor muncul dan

klien tidak memiliki mekanisme koping yang adaptif, biasanya penggunaan Napza

adalah jalan penyelesaian yang dipakai (Joewana, 2005).

Pada penelitian Kimberly Anne Hunter pada tahun 2005, dijelaskan

peningkatan pengguna strategi koping cognitif-behavioral menurunkan penggunaan zat

pada pengguna alkohol selama 6 tahun setelah terapi, pengguna marijuana pada bulan

ketiga dan keenam, dan pengguna polisubstans pada bulan ketiga. Selain itu, pengguna

koping yang adaptif mampu meningkatkan hasil akhir tindakan, sedangkan koping yang

maladaptif akan memberikan kecenderungan bagi seseorang untuk menggunakan zat

kembali (Gilbert, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Fullerton-Hall dan Felicia Lee pada tahun 2009

tentang gaya koping dan level stres yang diterima pada penyalahgunaan Napza yang

telah pulih dari penyalahgunaan Napza. Hasil penelitian menunjukkan bahwa level stres

yang diterima adalah sedang kebawah, dengan stres lebih terkait karena metode koping

seperti menyalahkan diri sendiri, distraksi dan perilaku yang tidak sesuai. Stres tidak

muncul atau terkait pada cara koping penerimaan dan koping yang aktif. Koping sendiri

merupakan sumber faktor protektif dari penggunaan Napza kembali setelah

penyelesaian terapi, terutama juga pada individu dewasa dengan komorbiditas yang

telah mengalami level stres kehidupan yang tinggi (Anderson, Ramo & Brown, 2006).

Koping dan Napza dapat menjadi dua aspek yang saling berkaitan satu sama

lain. Pada masalah keperawatan jiwa psikososial yaitu koping individu tidak efektif

ditunjukkan dengan salah satu tandanya adalah dengan pemakaian alkohol dan obat-

17
obatan terlarang, jika stres atau masalah muncul dan individu merasa tertekan dengan

kondisi tersebut (Ackley & Ladwig, 2011).

2.3 Konsep Terapi Kognitif Perilaku (CBT/ Cognitif Behavior Theraphy)

2.3.1 Definisi Terapi Kognitif Perilaku

Terapi kognitif perilaku merupakan psikoterapi yang didasarkan pada

pengamatan, asumsi, kepercayaan dan perilaku dengan tujuan mempengaruhi emosi

negatif sebagai contoh penafsiran yang tidak akurat terhadap suatu peristiwa (Priharjo,

1993). Terapi kognitif perilaku secara umum juga meliputi teknik relaksasi dan

pengalihan perhatian. Telah terbukti terapi kognitif perilaku telah diterima secara luas,

karena efektif terhadap psikoterapi pada yang mengalami gangguan dan masalah

psikologis (Carpenito, 1998).

Kognitif adalah proses pemikiran kita yang meliputi ide, keadaan mental,

kepercayaan dan sikap, terapi kognitif didasarkan pada prinsip yang berfikir secara pasti

untuk mengidentifikasi adanya bahaya dan situasi yang tidak dapat dipertahankan

(Tamsuri, 2007). Sebagai contoh: kecemasan, depresi, fobia dan lain-lain, tapi terdapat

masalah lain yaitu masalah fisik, terapi ini membantu seseorang untuk mengerti pola

pemikiran, khususnya untuk mengidentifikasi beberapa bahaya yang akan muncul dan

tidak dapat dipertahankan dan ide atau pemikiran yang salah untuk mengubah cara

berfikir dengan menghindari ide-ide itu juga menolong pola berfikir seseorang untuk

lebih realistis (Priharjo, 1993).

Terapi perilaku bertujuan untuk merubah perilaku yang dapat membahayakan

bagi penderita nyeri kronis dan nyeri yang tidak dapat ditoleransi. Ada beberapa teknik

yang digunakan sebagai contoh untuk menghindari situasi yang dapat menimbulkan

cemas. Pada beberapa perilaku orang dengan keadaan fobia dapat menjadi ekstrim dan

18
mempengaruhi hari-hari dikehidupannya. Pada keadaan ini jenis terapi perilaku disebut

terapi pembukaan yang mungkin dapat digunakan. Terapi ini mengajarkan seseorang

bagaimana mengontrol dirinya dan memiliki koping ketika seseorang berhadapan

dengan situasi yang berbahaya. (Priharjo, 1993).

2.3.2. Terapi Kognitif Perilaku dalam Penggunaan Napza

Menurut (Keffe, 1996) terapi kognitif perilaku mengajarkan teknik relaksasi,

manajemen stress dan beberapa cara untuk membantu koping seseorang terhadap situasi

tertentu. Terapi kognitif perilaku didasarkan pada pola pemikiran dan perilaku yang

dapat mempengaruhi gejala ketidakmampuan dan mungkin menghambat proses

penyembuhan. Sebagai contoh, ketika pasien dengan kasus pemakaian napza mulai

akrab merasakan sensasi terhadap pemakaian napza tersebut, pasien mungkin

mempunyai indra untuk mengetahui bagaimana perasaan itu akan berkembang

(Priharjo, 1993).

Terapi kognitif perilaku seseorang dapat latihan berfikir yang lebih spesifik guna

meningkatkan kemampuan koping dan kontrol perasaan. Terapi dapat mendorong

seseorang untuk merubah cara dan respon terhadap gejala yang timbul (Keefe.F.J,

1996).

Terapi kognitif perilaku lebih efektif kerjanya bila dilakukan bersamaan dengan

adanya konsultan untuk mencapai tujuannya. Terapi kognitif perilaku dapat membantu

pasien dengan penyalahgunaan napza dengan merubah cara berfikir terhadap akibat

yang bisa ditimbulkan dari pemakaian napza (Keefe.F.J, 1996).

2.3.3. Indikasi Terapi Kognitif Perilaku

Terapi kognitif perilaku merupakan terapi secara praktek yang berfokus pada

masalah khusus dan bertujuan untuk mengatasi pola perilaku menyimpang dari pasien

19
dengan penyalahgunaan napza yang ditandai dengan serangan panik, gangguan panik,

depresi, gangguan makan, gangguan obsesive kompulsif, gangguan dismorphia,

gangguan stress setelah trauma, kemarahan, masalah dalam tidur, halusinasi, syindrom

lemah kronis, nyeri kronis, fobia. Terapi kognitif perilaku kadang digunakan secara

sendiri dan kadang digunakan dengan tambahan obat tergantung dari tipe dan beratnya

kondisi pasien (Keffe.F.J, 1996).

2.3.4. Mekanisme Terapi Kognitif Perilaku

Terapi kognitif perilaku memiliki mekanisme yang bertujuan untuk membantu

pasien agar dapat mengendalikan dirinya terhadap pemakaian napza yang dialaminya.

Hal ini membuat pasien lebih mudah untuk bisa keluar dari masalah yang sedang

dialami yang dapat mempengaruhi diri pasien (Priharjo, 1993).

Bagian-bagian tersebut antara lain, situasi masalah, kejadian atau situasi yang

sulit dapat diikuti oleh pikiran, emosi, perasaan, tindakan dan tingkah laku. Masing-

masing bagian itu dapat mempengaruhi satu sama lain. Bagaimana cara pasien

mengendalikan respon atau keinginan dalam pemakaian napza yang dialami dapat

mempengaruhi, bagaimana juga pasien merasakannya secara fisik dan secara emosional

(Tamsuri, 2007).

Siklus keadaan ini akan membuat seseorang merasa takut, situasi itu dapat

dimulai dengan perasaan tidak senang terhadap sesuatu pada dirinya sendiri, ini terjadi

ketika kita tertekan, kita mungkin lebih menyimpulkan sesuatu dengan ekstrem. Terapi

kognitif perilaku dapat membantu seseorang untuk berhenti dari siklus keadaan seperti

diatas yaitu berhubungan dengan pemikiran, perasaan dan perilaku (Keefe.F.J, 1996).

20
2.3.4.1ALUR SESI CBT

SESI 1 PENGKAJIAN CBT

1. Jelaskan kepada klien bagaimana terapi ini dapat menolong klien

2. Tanyakan harapan klien terhadap terapi ini? Apa yang terjadi jika harapan ini

tidak tercapai?

3. Jelaskan keterlibatan klien: Datang tepat waktu pada seluruh sesi yang telah

disepakati serta partisipasi aktif sangat diharapkan

4. Tanyakan data-data klien meliputi:

Nama Klien :

Umur :

Suku :

Pendidikan Terakhir :

Pekerjaan Terakhir :

Alamat :

Jumlah Anak Kandung :

Diagnosa Medis :

Diagnosa Keperawatan :

No RM :

Tgl MRS :

21
Tgl Pengkajian :

Struktur Keluarga

Nama Suami/Istri :

Nama Orang Tua :

Usia Suami/Istri :

Usia Orang Tua :

Nama Penanggung Jawab :

Pekerjaan Istri/Suami :

Pekerjaan Orang Tua :

Pendidikan Terakhir Suami/Istri :

Pendidikan Terakhir Orang Tua :

5. Latar Belakang Keluarga

a. Bagaimana nilai-nilai keluarga yang dianut

b. Bagaimana Kualitas Hubungan Keluarga

c. Sejarah Perkawinan Orang Tua (Menikah, Bercerai, Menikah Kembali):

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

e. Riwayat Gangguan Psikiatrik Keluarga

6. Latar Belakang Personal Klien

a. Riwayat Tumbuh Kembang

b. Riwayat Kesehatan Fisik

22
c. Riwayat Gangguan Jiwa

d. Riwayat Penggunaan Obat-obatan

e. Pencapaian Prestasi Akademik

f. Bagaimana Hubungan Dengan Teman/Kelompok Teman Sebaya :

g. Hobi/Peminatan:

h. Riwayat Hubungan Intim Dengan Lawan Jenis (Sesuaikan dengan

kondisi klien, misalnya homoseksual)

7. Tanyakan permasalahan yang klien hadapi saat ini

a. Masalah klien Saat Ini Yang Dirasakan Sangat Mengganggu:

-Deskripsikan Masalah Tersebut

-Kapan Pertama Kali Kejadiannya? Jadi Sampai Saat ini, Sudah Berapa

Lama? Apakah Kejadiannya Bertambah Baik Atau Malah Bertambah

Buruk? Apakah Selalu Datang Kemudian Hilang Lagi?

b. Bagaimana Frekuensi dan Intensitas

c. Pikiran/Persepsi Sehubungan Dengan Masalah Tersebut

d. Penyebab Masalah atau Situasi Yang Sulit

e. Reaksi Terhadap Masalah Dari Perasaan (Emosional), Fisiologis dan

Perilaku?

f. Pengobatan Sebelumnya Terhadap Masalah Tersebut

g. Adakah Masalah Tambahan Lain

8. Berikan PR kepada klien untuk mengingat kembali kejadian-kejadian baru-baru

ini yang menimbulkan masalah

23
SESI 2 KONSEPTUALISASI KASUS

Langkah Kerja:

1. Seting harapan terapi yang realistic

2. Bina hubungan saling percaya

3. Buat daftar masalah dan tujuan (gunakan model lampiran 2)

SESI 3 KONSEPTUALISASI KASUS LANJUTAN

4. Validasi ulang hasil interaksi sessi ke-2 mengenai situasi tertentu yang dapat

menimbulkan masalah utama yang terkait dan gejala utama yang terjadi saat

menghadapi masalah tersebut

5. Berikan psikoedukasi dengan menjelaskan oleh terapis hubungan antara Situasi

– Pikiran – Perasaan – Perilaku

6. Ajarkan CB model (lihat lampiran 1)

a. Bagaimana pikiran individu mempengaruhi perasaan dan perilaku kita

b. Berikan lembaran kertas CB model

c. Berikan contoh

d. Sampai klien mengerti dengan konsep ini

7. Rumuskan kembali masalah atau gejala yang sangat mengganggu bagi klien,

perlihatkan lembar kerja tujuan terapi, kemudian katakan pada klien “bayangkan

jika terapi ini berhasil, bagaimana anda akan hidup berbeda. Apa yang akan

membedakan secara spesifik?”  Tulis sebagai tujuan terapi

8. Buat perencanaan terapi, gunakan lembar kerja perencanaan terapi

24
9. Buat jadwal aktifitas sehari-hari yang dapat dilakukan oleh klien saat ini

(gunakan format jadwal aktifitas harian)

10. Berikan PR

SESI 4 INTERVENSI PERILAKU

1. Review kegiatan sehari-hari (melalui PR yang telah diberikan)

2. Revisi jadwal jika klien menunjukkan kemampuan lebih

3. Training skills: Latih cara berkomunikasi yang jelas, menatap ke lawan bicara

4. Berikan PR

SESI 5 INTERVENSI KOGNITIF

1. Restrukturisasi kognitif: Gunakan Thought Record (Model Lampiran 3)

2. Identifikasi sumber-sumber stress dan pikiran negative

3. Ajarkan pasien untuk mengenali sumber-sumber stress yang dapat menyebabkan

pikiran yang irasional

4. Berikan PR

SESI 6 INTERVENSI KOGNITIF LANJUTAN

1. Ajarkan latihan inokulasi stress (Stress Inocculation Training), meliputi:

a. Latihan relaksasi: Ajarkan pasien untuk mengkontrol rasa takut dan

cemasnya melalui relaksasi sekelompok otot (relaksasi otot progresif)

secara sistematis. Latihan kombinasi seperti 1)relaksasi; 2) relaxation

25
plus pernafasan dalam; dan 3) relaksasi, ditambah pernafasan dalam

ditambah dengan biofeedback, secara efektif dapat meningkatkan

terjadinya perubahan

b. Latihan pernafasan: Ajarkan secara perlahan melalui Pernafasan

abdominal untuk membantu relaksasi pasien serta menghindarkan

hiperventilasi

c. Positive thinking dan self-talk: Ajarkan seseorang bagaimana caranya

menggati pemikiran negatif (seperti, saya tidak bisa mengkontrol diri

saya lagi) dengan pemikiran positif (seperti, baiklah saya telah

melakukannya dulu dan sekarang saya juga bisa melakukannya) jika

stressor tersebut dapat diantisipasi atau mengganggu

d. Latihan Asertif : Ajarkan pasien bagaimana cara mengekspresikan

harapan, pendapat serta emosinya yang sesuai dengan perasaannya tanpa

mengancam atau membahayakan orang lain

e. Berhenti berpikir: Teknik distraksi untuk mengatasi pikiran yang

menekan dengan berkata/menghardik diri untuk “stop berpikir”

2. Latih teknik tersebut secara perlahan-lahan sampai pasien mampu melakukannya

dengan baik

3. Berikan pendidikan kesehatan tentang Manajemen Pencegahan Kekambuhan:

a. Minum obat teratur

b. Kontrol teratur

c. Minta bantuan jika masalah tidak dapat diatasi

4. Berikan PR

26
Catatan: Sesi 6 ini dibagi ke dalam beberapa pertemuan tergantung dari kemampuan

pasien menerima

SESI 7 INTERVENSI EVALUASI KOGNITIF

1. Review keseluruhan sesi

2. Tanyakan kesiapan keseluruhan latihan yang telah diberikan

3. Terminasi akhir

27
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian
Nama : Tn. Y
Alamat : Jl. Brigjen Katamso Gg. Kenaga Medan
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Belum bekerja
Suku : Batak
Pendidikan : SMA
Status pernikahan : Belum Menikah

Keadaan umum :
Tn. Y mulai menggunakan narkotika jenis sabu sejak 2 tahun lalu. Berawal dari coba-
coba mengkonsumsi dari teman, dan akhirnya kecanduan hingga sekarang. Klien
menyatakan bahwa dia belum pernah menjalani pengobatan medis karena dia merasa
tidak sakit. Klien mengkonsumsi sabu ketika berkumpul dengan temannya yang sama-
sama mengkonsumsi sabu. Klien menyatakan dia tidak bisa lepas dari sabu karena jika
tidak memakai sabu tersebut badannya terasa tidak enak, lemas, dan tidak bergairah
melakukan aktivitas. Keluarga merasa resah dengan keadaan klien yang selalu membuat
masalah dilingkungan tempat tinggal seperti mencuri, bertengkar dengan teman, dan
lainnya. Dari hasil pengamatan pada klien, mata terlihat cekung, pandangan tidak fokus
pada saat wawancara, dan hiperaktif.

Tanda vital
Dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil tekanan darah 110/70 mmHg, HR 70 x/menit,
RR 20 x/menit, dan suhu 37,20C, kesadaran compos mentis.
Psikososial
Klien anak kedua dari 5 bersaudara, klien tinggal bersama orangtua. Klien mempunyai
riwayat pendidikan SMA dan belum bekerja.

28
Hubungan sosial
Klien menyatakan orang yang berarti saat ini adalah keluarganya. Klien tidak memiliki
peran dalam kelompok atau masyarakat karena takut mengalami penolakan.

Spiritual
Klien beragama islam, dan tidak pernah melakukan ibadah menurut kepercayaannya.

Aktivitas sehari-hari
Klien menyatakan mandi satu hari sekali dan menyikat gigi pagi dan sore hari. Klien
menyatakan selalu mengganti pakaian setelah mandi. Klien berpenampilan kurang rapi.
Keluarga klien menyatakan klien sering tidur siang.

3.2 Analisis Masalah dan Diagnosa Keperawatan


Koping individu inefektif merupakan diagnosa keperawatan yang ditegakkan,
didukung oleh data subjektif keluarga klien menyatakan klien suka marah-marah dan
bertengkar dengan temannya. Sedangkan data objektif yang mendukung pada klien,
mata terlihat cekung, pandangan tidak fokus pada saat wawancara, dan hiperaktif.

3.3 Pohon Masalah


Menggunakan NAPZA

Kecanduan

Belum mampu mengatasi keinginan menggunakan zat

Koping individu tidak efektif

3.4 Intervensi Keperawatan


Dari diagnosa yang telah ditetapkan yaitu koping individu tidak efektif maka
rencana tindakan keperawatan yang akan dilakukan adalah strategi pertemuan pada
klien dengan dua strategi pertemuan pertama dan kedua.

29
Strategi pertemuan pertama yaitu:
1. Membina hubungan saling percaya
2. Mendiskusikan dampak napza
3. Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi
4. Mendiskusikan cara mengontol keinginan
5. Latihan cara meningkatkan motivasi
6. Latihan cara mengontrol keinginan
7. Membuat jadwal aktivitas
Strategi pertemuan kedua yaitu:
1. Mendiskusikan cara menyelesaikan masalah
2. Mendiskusikan cara hidup sehat
3. Latihan cara menyelesaikan masalah
4. Latihan cara hidup sehat
5. Mendiskusikan tentang obat

3.5 Implementasi dan evaluasi keperawatan


Pertemuan pertama 20 Desember 2016 penulis membina hubungan saling
percaya dengan klien kemudian melakukan kontrak untuk dikaji pada pertemuan
berikutnya. Pertemuan kedua 22 Desember 2016 penulis membina kembali hubungan
saling percaya kemudian melakukan anamnesa dan pengkajian keperwatan jiwa. Saat
diwawancara klien kooperatif dan kontak mata balik
Pertemuan ketiga 23 Desember 2016 penulis melakukan Sp 1 pada klien dengan
terlebih dahulu mendiskusikan dampak napza, mendiskusikan cara meningkatkan
motivasi, mendiskusikan cara mengontrol keinginan, melakukan latihan cara
meningkatkan motivasi, melakukan latihan cara mengontrol keinginan dan membuat
jadwal aktivitas. Setelah penulis dan klien mendiskusikan dampak napza, cara
meningkatkan motivasi, dan cara mengontrol keinginan klien menyatakan telah
mengerti. Setelah klien memahami diskusi yang telah dilakukan penulis dan klien
melakukan latihan cara meningkatkan motivasi dan cara mengontrol keinginan, klien
kurang kooperatif mengikuti kegiatan. Penulis menganjurkan kepada klien untuk
melakukan latihan cara meningkatkan motivasi dan cara mengontrol keinginan untuk

30
menggunakan zat kedalam jadwal kegiatan harian dan menetapkan kembali kontrak
pertemuan berikutnya.
Pertemuan keempat 26 Desember 2016 penulis melakukan Sp 2. Penulis
membantu mengevaluasi kegiatan sebelumnya dan melatih kembali cara meningkatkan
motivasi dan mengontrol keinginan. Pada kegiatan ini klien masih cukup mampu
melakukan cara meningkatkan motivasi dan mengontrol keinginan dengan baik. Pada
pertemuan ini penulis dan klien juga mendiskusikan cara menyelesaikan masalah dan
cara hidup sehat. Klien terlihat kooperatif saat berdiskusi. Kemudian penulis dan klien
melakukan latihan cara menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat. Klien menyatakan
sudah mengerti cara menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat. Penulis
menganjurkan kepada pasien dan keluarga untuk melakukan pengobatan medis. Penulis
menganjurkan klien memasukkan kegiatan dalam jadwal kegiatan harian dan
menetapkan kembali kontrak pertemuan berikutnya.
Pertemuan kelima 28 Desember 2016 penulis melakukan evaluasi keseluruhan
kegiatan. Klien tampak kooperatif melakukan kegiatan. Penulis kembali menganjurkan
klien mengulang latihan dalam jadwal kegiatan harian dan menetapkan kembali kontrak

31
BAB IV

ANALISA KASUS

4.1 Analisa Pengkajian

Menurut Stuart dan Sundeen pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama

dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan

perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi identitas

klien, identitas penanggung jawab,pemeriksaan fisik, tanda vital, psikososial, spiritual

dan kegiatan sehari-hari (Keliat, 2010).

Saat dilakukan pengkajian Tn. Y, diperoleh data objektif, klien menyatakan dia

tidak bisa lepas dari sabu karena jika tidak memakai sabu tersebut badannya terasa tidak

enak, lemas, dan tidak bergairah melakukan aktivitas. Data subjektif dari keluarga,

keluarga merasa resah dengan keadaan klien yang selalu membuat masalah

dilingkungan tempat tinggal seperti mencuri, bertengkar dengan teman, dan lainnya.

Data objektif yang didapat saat pengkajian oleh penulis adalah pada klien, mata terlihat

cekung, pandangan tidak fokus pada saat wawancara, dan hiperaktif. Dari hasil

pemeriksaan fisik didapatkan hasil tekanan darah 110/70 mmHg, HR 70 x/menit, RR 20

x/menit, dan suhu 37,20C, kesadaran compos mentis. Hal ini menunjukkan masalah

keperawatan pada Tn Y adalah koping inefektif individu : belum mampu mengatasi

keinginan menggunakan zat tersebut.

Martono (2006) menjelaskan bahwa penyalahgunaan napza mempunyai dampak

yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan),

serta masyarakat, bangsa dan negara. Bagi diri sendiri penyalahgunaan napza dapat

mengakibatkan tergantungnya fungsi otak dan perkembangan moral pemakainya,

intoksikasi (keracunan), overdosis (OD), yang didapat menyebabkan kematian karena

32
terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku (mental

sosial), gangguan kesehatan, menurutnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum.

Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada pemakai narkoba

dapat dibedakan menjadi 3 (tiga golongan/jenis) yaitu upper merupakan jenis narkoba

yang membuat sipemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin.

Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai

jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat

tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan halusinogen adalah napza yang beracun

karena lebih menonjol sifat racunnya dibandingkan dengan kegunaan medis.

Bagi keluarga, penyalahgunaan napza dalam keluarga dapat mengakibatkan

suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa

malu karena memiliki anak pecandu, karena bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan

anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran

meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali

dirawat atau bahkan menjadi penghuni dirumah tahanan maupun lembaga

permasyarakatan.

Bagi pendidikan atau sekolah, Napza akan merusak disiplin dan motivasi yang

sangat tinggi untuk proses belajar. Penyalahgunaan napza berhubungan dengan

kejahatan dan perilaku asosial lain yang mengganggu suasana tertib dan aman, rusaknya

barang-barang sekolah dan meningkatnya perkelahian.

Bagi masyarakat, bangsa, dan negara, penyalahgunaan napza mengakibatkan

terciptanya hubungan pengedar narkoba dengan korbannya sehingga terbentuk pasar

gelap perdagangan napza yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang

rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam.

33
Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan

meningkat serta sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah

tersebut.

Pengkajian yang dilakukan pada klien dengan ketergantungan NAPZA pada

kasus ini meliputi:

1. Kaji situasi kondisi penggunan zat

Kapan zat digunakan

Kapan zat menjadi lebih sering digunakan/mulai menjadi masalah

Kapan zat dikurangi/dihentikan, sekalipun hanya sementara

2. Kaji resiko yang berkaitan dengan penggunaan zat

Berbagi peralatan suntik

Perilaku seks yang tidak nyaman

Menyetir sambil mabuk

Riwayat over dosis

Riwayat serangan (kejang) selama putus zat

3. Kaji pola penggunaan

Waktu penggunaan dalam sehari (pada waktu menyiapkan makan malam)

Penggunaan selama seminggu

Tipe situasi (setelah berdebat atau bersantai didepan TV)

Lokasi (timbul keinginan untuk menggunakan napza setelah berjalan melalui

rumah bandar)

Kehadiran atau bertemu dengan orang-orang tertentu (“ah, sekali nggak bakal

ngerusak” atau “saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make”)

Adanya emosi-emosi tertentu (cemas atau bosan)

34
Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur atau

stres yang berkepanjangan)

4. Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi bila tidak

menggunakan.

4.2 Analisa Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis terhadap respon aktual atau

potensial dari individu, keluarga atau masyarakat terhadap masalah kesehatan atau

proses kehidupan (Keliat, 2010).

Dari yang diperoleh penulis, sesuai dengan teori yang ada diatas disimpulkan

bahwa masalah utama klien adalah koping individu inefektif yang didukung dengan

data subjektif dan objektif dari klien.

Penyebab dari masalah keperawatan penggunaan napza adalah koping individu

inefektif. Sebagai tindak lanjut tersebut, penulis melakukan implementasi keperawatan

yang disesuaikan dengan standart asuhan keperawatan (SAK). Rencana tindakan

tersebut telah dilaksanakan dan dievaluasi kemudian dibandingkan dengan teori dan

penelitian yang ada.

4.3. Analisis Intervensi dan Evaluasi Keperawatan

Penanganan pasien tersebut lebih mengedepankan terapi perilaku non

farmakologis (Lindenmayer, 2009). Terapi non farmakologi lebih aman digunakan

karena tidak menimbulkan efek samping seperti obat-obatan karena terapi non

farmakologi menggunakan proses psiologis (Zikria, 2012).

Strategi pertemuan yang dilakukan oleh penulis adalah dengan melakukan

strategi pertemuan yang dilakukan sebanyak dua kali pada klien. Diharapkan kegiatan

strategi pertemuan pertama mendapatkan kriteria hasil klien mampu:

35
1. Membina hubungan saling percaya

2. Mendiskusikan dampak napza

3. Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi

4. Mendiskusikan cara mengontrol keinginan

5. Latihan cara meningkatkan motivasi

6. Latihan cara mengontrol keinginan

7. Membuat jadwal aktivitas

Setelah kegiatan strategi pertemuan kedua dilakukan pada klien, dilanjutkan dengan

strategi pertemuan kedua yang diharapkan mendapatkan kriteria hasil:

1. Mendiskusikan cara menyelesaikan masalah

2. Mendiskusikan cara hidup sehat

3. Latihan cara menyelesaikan masalah

4. Latihan cara hidup sehat

5. Mendiskusikan tentang obat dalam hal ini pengobatan

Setelah dilakukan strategi pertemuan pertama dan kedua, dilakukan evaluasi.

Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah strategi pertemuan yang dilakukan telah

mencapai tujuan atau kriteria hasil yang diharapkan. Hal yang dievaluasi dari klien

adalah sebagai berikut:

1. Klien mengetahui dampak napza

2. Klien mampu melakukan cara meningkatkan motivasi untuk berhenti

menggunakan napza

3. Klien mampu mengontrol kemampuan keinginan menggunakan napza

kembali

36
4. Klien dapat menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif

5. Klien dapat menerapkan cara hidup sehat

6. Klien mematuhi program pengobatan

4.4. Analisis Implementasi dan Evaluasi keperawatan

Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, yaitu kategori dari

perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil

yang diperkirakan dari asuhan keperawatan mengikuti komponen perenanaan dari

proses keperawatan (Potter & Perry, 2005).

Pertemuan pertama 20 Desember 2016 penulis membina hubungan saling

percaya dengan klien kemudian melakukan kontrak untuk dikaji pada pertemuan

berikutnya. Pertemuan kedua 22 Desember 2016 penulis membina kembali hubungan

saling percaya kemudian melakukan anamnesa dan pengkajian keperwatan jiwa. Saat

diwawancara klien kooperatif dan kontak mata baik Pertemuan ketiga 23 Desember

2016 penulis melakukan strategi pertemuan pertama (SP 1) pada klien dengan terlebih

dahulu mendiskusikan dampak napza, mendiskusikan cara meningkatkan motivasi,

mendiskusikan cara mengontrol keinginan, melakukan latihan cara meningkatkan

motivasi, melakukan latihan cara mengontrol keinginan dan membuat jadwal aktivitas.

Setelah penulis dan klien mendiskusikan dampak napza, cara meningkatkan motivasi,

dan cara mengontrol keinginan klien menyatakan telah mengerti. Setelah klien

memahami diskusi yang telah dilakukan penulis dan klien melakukan latihan cara

meningkatkan motivasi dan cara mengontrol keinginan, klien kurang kooperatif

mengikuti kegiatan. Penulis menganjurkan kepada klien untuk melakukan latihan cara

meningkatkan motivasi dan cara mengontrol keinginan untuk menggunakan zat

37
kedalam jadwal kegiatan harian dan menetapkan kembali kontrak pertemuan

berikutnya.

Pertemuan keempat 26 Desember 2016, penulis melakukan strategi pertemuan

kedua (SP 2). Penulis membantu mengevaluasi kegiatan sebelumnya dan melatih

kembali cara meningkatkan motivasi dan mengontrol keinginan. Pada kegiatan ini klien

masih cukup mampu melakukan cara meningkatkan motivasi dan mengontrol keinginan

dengan baik. Pada pertemuan ini penulis dan klien juga mendiskusikan cara

menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat. Klien terlihat kooperatif saat berdiskusi.

Kemudian penulis dan klien melakukan latihan cara menyelesaikan masalah dan cara

hidup sehat. Klien menyatakan sudah mengerti cara menyelesaikan masalah dan cara

hidup sehat. Penulis menganjurkan kepada pasien dan keluarga untuk melakukan

pengobatan medis. Penulis menganjurkan klien memasukkan kegiatan dalam jadwal

kegiatan harian dan menetapkan kembali kontrak pertemuan berikutnya.

Pertemuan kelima 28 Desember 2016, penulis melakukan evaluasi keseluruhan

kegiatan. Klien tampak kooperatif melakukan kegiatan. Penulis kembali menganjurkan

klien mengulang latihan dalam jadwal kegiatan harian dan menetapkan kembali kontrak

38
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengkajian dan observasi yang dilakukan oleh penulis

di Kelurahan Kp.Baru, disimpulkan bahwa diagnosa pada remaja adalah koping

individu inefektif. Koping adalah suatu upaya yang diarahkan untuk manajemen

stres yang berorientasi pada tugas dan pertahanan ego. Untuk mengatasi masalah

koping individu inefektif ini penulis melakukan asuhan keperawatan pada klien

melalui strategi pertemuan yaitu : SP 1 dan SP 2 membina hubungan saling

percaya, SP 3 mendiskusikan dampak penggunaan napza, mendiskusikan

bagaimana cara meningkatkan motivasi, dan mendiskusikan bagaimana cara

mengontrol keinginan, SP 4 penulis melakukan kembali sesuai SP 3 serta

penulis membantu mengevaluasi kegiatan sebelumnya, pada kegiatan ini klien

masih cukup mampu melakukan cara meningkatkan motivasi dan mengontrol

keinginan dengan baik. Pada pertemuan ini penulis dan klien juga

mendiskusikan cara menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat.

Setelah melakukan kegiatan SP (strategi pertemua), pada pertemuan

selanjutnya klien mengulang kembali latihan yang sudah di buat dalam jadwal

kegiatan harian dan menetapkan kembali kontrak, dan setelah dievaluasi

didapatkan bahwa klien dapat mengontrol cara hidup sehat dan cara mengontrol

keinginan melalui terapi perilaku kognitif.

5.2 Saran

a. Bagi mahasiswa yang melakukan pblk di kelurahan Kp.Baru untuk lebih

mengembangkan terapi keperawatan spesifik.

39
b. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat meneliti lebih mendalam tentang

terapi perilaku kognitif pada remaja pengguna napza.

c. Terapi perilaku kognitif diharapkan dapat menjadi rujukan sebagai terapi

untuk menangani kasus pada remaja pengguna napza yang disebabkan

oleh kesalahan dalam berfikir atau distorsi kognitif.

40

Anda mungkin juga menyukai