PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa remaja adalah masa yang paling krusial karena dalam masa ini
remaja dapat meluapkan emosi yang dirasakan. Menurut Muss (dalam Santrock,
2005) menyatakan bahwa pada masa remaja pasti mengalami perubahan fisik
seperti perubahan tinggi badan, berat badan serta perkembangan seksualitas. Hal
ini yang kemudian mendukung terjadinya perubahan secara psikologis dan
emosional pada remaja. Selain itu, menurut Piager ( dalam Santrock, 2005 )
masa remaja berada pada tahap operasional format ( formal operation
stage ) yaitu tahap keempat dan terakhir dari perkembangan kognitif ini ditandai
dengan remaja telah mampu berfikir secara abstrak, logis dan idealis yang
biasanya ditunjukkan melalui bagaimana remaja menyelesaikan masalahnya.
Pada sisi lain, E.H.Erikson dalam Elvi, (2005) mengemukakan bahwa
remaja merupakan masa dimana terbentuknya suatu perasaan baru mengenai
dirinya yang meliputi cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal
oleh orang lain, sehingga berpengaruh pula terhadap pembentukan perilaku pada
usia remaja yang cenderung sering bertentangan dengan orang tua dan lebih
memihak kepada teman sebaya. Menurut Elvi (2005) pada masa ini berkembang
pula kemampuan untuk memahami orang lain. Pemahaman ini mendorong
remaja untuk menjalin hubungan persahabatan maupun percintaan yang lebih
akrab seperti halnya dengan membentuk sebuah kelompok. Perkembangan
pergaulan yang terjadi dalam kelompok remaja dapat memberi dampak positif
maupun negatif. Oleh karena itu teman sebaya juga sangat berpengaruh terhadap
perkembangan perilaku remaja, beberapa kenakalan remaja yang dapat terjadi
seperti penyalahgunaan Napza.
Departemen Kesehatan (Depkes) menyatakan pemakaian NAPZA terus
menerus dan berlebihan dapat mengakibatkan ketergantungan fisik dan atau
psikologis, serta dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf dan organ penting
lainnya (Depkes, 2010). Menurut NAAA (National survey of American Attitudes
on substance Abuse) bahwa 60 % remaja SMA dan 32 % remaja SMP
mengatakan bahwa mereka menjual, mendapatkan dan menggunakan obat-
1
obatan terlarang di lingkungan sekolahnya. Hal ini terjadi ditahun 2011
sebanyak 36 % dan menjadi 54 % di tahun 2012, dengan kata lain
penyalahgunaan NAPZA dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Menurut World Health Organization (WHO) sekitar seperlima dari
penduduk dunia adalah remaja berumur 10-19 tahun, 900 juta berada di Negara
berkembang. Data demografi di Amerika Serikat menunjukkan jumlah remaja
berumur 10-19 tahun sekitar 15% populasi. Jumlah penduduk di Asia Pasifik
merupakan 60% dari penduduk dunia, seperlimanya adalah remaja umur 10-19
tahun. Kelompok umur 10-19 tahun di Indonesia menurut Biro Pusat Statistik
adalah 22%, terdiri dari 50,9% remaja laki-laki dan 49,1% remaja perempuan
(Soetjiningsih, 2010).
Hasil survei Badan Narkoba Nasional (BNN) tahun 2012 menunjukkan
prevalensi penyalahgunaan narkoba di Indonesia telah mencapai 3,8 juta orang
dengan usia antara 10 sampai 60 tahun. 21,2% tersangka kasus NAPZA berada
pada kelompok umur 17–24 tahun. Prevalensi penyalahguna NAPZA tertinggi
adalah anak jalanan yaitu 28,2%. Jenis NAPZA terbanyak yang disalahgunakan
di Indonesia pada tahun 2011 adalah shabu dan ganja, sedangkan di Daerah
Istimewa Yogyakarta (DIY) ganja dan ekstasi adalah terbanyak. Survei Harm
Reduction Dinas Kesehatan DIY (2012) menunjukkan penyalahgunaan NAPZA
suntik terbanyak pertama adalah heroin dan benzodiazepine di urutan kedua.
Data anak jalanan Yogyakarta pada tahun 2003 yang diperoleh dari data PKBI
berdasarkan jenis kelamin, laki-laki 79,51%, dan perempuan 20,48% (PKBI 3
Yogya, 2003). Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebutkan pada tahun
2004 sebanyak 92,8% anak jalanan terlibat dalam penjualan obat-obatan
terlarang. Dinas Sosial Propinsi DIY hingga akhir tahun 2004 menemukan 5.561
orang pengguna narkoba, 28% di antara mereka yang terlibat adalah remaja
berusia 17–24 tahun.
Konsekuensi kesehatan dan sosial dari penyalahgunaan NAPZA adalah
adanya potensi menjadi ketergantungan yang dicirikan lemahnya kontrol diri
terhadap kemauan menggunakan NAPZA (West, 2006). Penyalahgunaan
NAPZA menyebabkan penderitaan tidak hanya sosial tapi juga ekonomi bagi
individu dan keluarga sehingga diperlukan suatu strategi yang efektif untuk
2
pencegahan dan intervensi. Penyalahgunaan dan ketergantungan terhadap
NAPZA menyebabkan gangguan perilaku melalui jalur neurotransmiter otak
yang menjelaskan adanya perubahan mood, gangguan kesadaran, dan persepsi
(Gould, 2010).
Hasil penelitian dari pengaruh dan efektivitas cognitive behavioral
therapy (CBT) terhadap klien kecemasan sosial dan asertivitas milik Zakiyah
(2014) menyatakan bahwa Cognitive Behavioral Therapy (CBT) merupakan
gabungan terapi kognitif dan terapi perilaku yang dirancang untuk menrubah
pola pikir negatif menjadi positif sehingga individu memiliki kemampuan untuk
berinteraksi dengan lingkungan secara adptif dalam menghadapi masalah atau
situasi sulit dalam setiap fase kehidupan. Serta CBT efektif dan banyak
dilakukan pada pasien-pasien gangguan kecemasan sosial.
Terapi kognitif perilakuan (Oemarjoedi, 2003) pada dasarnya meyakini
pola pemikiran masnusia terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon
(SKR), yang saling berkaitan dan membentuk semacam jaringan SKR dalam
otak manusia, dimana proses kognitif menjadi faktor penentu dalam
menjelaskan bagaimana manusia bepikir, merasa dan bertindak. Hal ini karena
terapi perilaku kognitif merupan suatu bentuk teknik psikoterapi yang
mengintegrasikan teknik terapi kognitif dan perilaku yang berfokus untuk
membantu individu dalam melakukan perubahan-perubahan. Perubahan ini tidak
hanya dalam perilaku namun juga dalam pemikiran, keyakinan dan sikap yang
mendasarinya (Nevid, dkk 2005).
Sementara menurut Meichenbaum (dalam Ivey,1993) sebuah perilaku
terjadi secara langsung dipengaruhi oleh pemikiran, perasaan, proses fisiologis
dan konsekuensi perilaku. Terapi kognitif perilaku merupakan bentuk terapi
untuk melihat bahwa individu tidak hanya dipahami melalui perilaku yang
tampak saja seperti yang dilihat oleh pihak perlakuan,namun dibalik tingkah
laku yang tampak terdapat proses internal yang sebenarnya merupakan hasil
pemikiran kognisi. Dengan demikian terapi kognitif perilakuan akan digunakan
sebagai intervensi untuk memberikan perubahan-perubahan kognitif-perilaku
asertif sesuai yang diharapkan oleh peneliti
3
Selain itu seperti yang dipaparkan oleh Monty P. Satiadarma
(Oemarjoedi, 2003) penyimpangan perilaku individu terjadi kaena adanya
penyimpangan fungsi kognitif, sedangkan untuk memperbaiki perilaku individu
yang mengalami penyimpangan tersebut terlebih dahulu harus dilakukan
perbaikan terhadap fungsi kognitif manusia. Pernyataan tersebut menunjukkan
pentingnya pengaruh askpek kognitif terhadap perilaku manusia serta peran
kognitif dalam mempertimbangkan keputusan untuk melakukan tindakan
tertentu. Oleh karena itu peneliti menggunakan intervensi yaitu terapi kognitif
perilaku, dengan alasan terapi tersebut dapat membantu individu untuk
mengubah cara berpikir para remaja terhadap pemakaian napza. Adapun jumlah
remaja Di Kelurahan Kp.Baru sebesar 30 orang. Oleh karena itu penulis tertarik
untuk meneliti Penerapan Terapi Kognitif Perilaku pada Remaja Pengguna
Napza Dengan Masalah Koping Individu Inefektif Di Kelurahan Kp.Baru Dusun
17 Medan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari permasalahan diatas peneliti mengajukan rumusan
permasalahan ; Bagaimana Penerapan Terapi Kognitif Perilaku pada Remaja
Pengguna Napza Dengan Masalah Koping Individu Inefektif Di Kelurahan
Kp.Baru Dusun 17 Medan.
C. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Terapi Kognitif
perilaku Efektif pada Remaja Pengguna Napza Dengan Masalah Koping
Individu Inefektif Di Kelurahan Kp.Baru Dusun 17 Medan.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi bidang
keperawatan khususnya bidang keperawatan kejiwaan.
2. Manfaat Praktis
Terapi perilaku kognitif diharapkan dapat menjadi rujukan sebagai terapi
untuk menangani kasus pada remaja pengguna napza yang disebabkan oleh
kesalahan dalam berfikir atau distorsi kognitif.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
lainnya (Kemenkes RI, 2010). Kesemua zat tersebut sebenarnya adalah termasuk zat
dan psikotropika maka istilahnya juga dibuat berdiri sendiri-sendiri. Alkohol juga
dijadikan istilah tersendiri karena alkohol merupakan minuman yang mudah dan sering
dikonsumsi oleh masyarakat baik di daerah rural maupun urban. Zat adiktif lainnya
ditambahkan karena selain narkotik, psikotropika dan alkohol masih terdapat zat-zat
menjadi tiga golongan utama yaitu narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
Narkotika digolongkan menjadi tiga golongan utama yaitu: Yang memiliki potensi
sangat tinggi menimbulkan ketagihan seperti heroin atau putau, kokain dan ganja, Yang
memiliki potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan seperti morfin dan petidin, Yang
5
Narkotika yang sering disalahgunakan seperti opiat (morfin, putau, petidin, candu dan
lain-lain ), ganja atau cannabis, dan kokain yang biasa dalam bentuk serbuk kokain.
atau obat, alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
berpotensi amat kuat, kedua berpotensi kuat, ketiga berpotensi sedang, dan keempat
contohnya amfetamin, ekstasi dan shabu. Kemudian sedatif hipnotik yaitu obat
penenang dan obat tidur seperti mogadon, BK, dumolid, pil koplo, lexo dan lain
etanol seperti wiski, vodka, bir, arak, tuak dan ciu (Joewana, 2005). Menurut Keppres
No.3 tahun 1997 tentang pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol sering
menjadi bagian dari gaya hidup atau dari budaya tertentu. Alkohol jika dkonsumsi
dengan narkotika atau psikotropika akan memperkuat pengaruh obat atau zat itu dalam
tubuh manusia.
Zat adiktif lainnya seperti inhalan dan solven, tembakau dan kafein (Depkes,
2006). Inhalan dan solven mudah menguap dan banyak terdapat di barang keperluan
rumah tangga yang akhirnya banyak disalahgunakan seperti lem, tiner, penghapus cat
kuku dan bensin. Tembakau dan kafein merupakan zat yang bila dikonsumsi dengan
cara berlebih mampu menimbulkan masalah kesehatan. Rokok dan tembakau biasanya
6
merupakan pintu masuk penyalahgunaan NAPZA pada remaja sehingga banyak
dilakukan upaya pencegahan penggunaan barang tersebut (Depkes, 2006). Kafein yang
Napza berdasar efeknya terhadap susunan syaraf pusat digolongkan menadi tiga
yaitu depresan, stimulan dan halusinogen (Depkes, 2006). Golongan depresan adalah
jenis Napza yang berfungsi mengurangi aktivitas fungsional tubuh. Jenis ini membuat
pemakainya tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri.
alkohol dalam dosis rendah dan lain-lain. Golongan stimulan adalah jenis zat yang
merangsang fungsi susunan saraf pusat (Joewana, 2005; Sullivan, 1995). Zat ini
amfetamin (shabu dan ekstasi), dan kafein. Ekstasi dan shabu-shabu adalah golongan
Selain efek positif yang diharapkan, pengguna dapat memperoleh efek negatif
aritmia jantung, tekanan darah naik, stroke dan lainnya. Selain itu juga dapat
menimbulkan waham, halusinasi, aktivitas motor berulang tanpa ada tujuan, tiba-tiba
dihubungkan dengan perilaku kekerasan dan psikosis paranoid karena ini merupakan
salah satu efek penggunaan (Joewana, 2005). Masalah psikosis sendiri juga paling
7
sering muncul pada pengguna amfetamin, sedangkan untuk efek negatif MDMA dapat
mengganggu daya ingat, konsentrasi, belajar, tidur serta kerja ginjal dan jantung
(Joewana, 2005).
Golongan ketiga adalah halusinogen. Sesuai dengan namanya, jenis NAPZA ini
mampu membuat efek halusinasi yang mampu merubah perasaan dan pikiran, seringkali
menciptakan daya pandang yang berbeda yang berakibat pada terganggunya perasaan
pemakai. Golongan ini biasanya tidak digunakan dalam terapi medis. Contoh
halusinogen adalah ganja atau cannabis, LSD, berbagai jenis jamur dan kecubung.
Ganja adalah salah satu jenis halusinogen yang sering disalahgunakan memiliki banyak
nama seperti cannabis atau mariyuana. Zat yang biasa dikonsumsi dengan cara dihirup
asapnya ini memiliki efek menimbulkan halusinasi penglihatan berupa kilatan sinar,
Persepsi waktu dan jarak karena pemakaian ganja juga akan terganggu misalnya
semenit jadi sepuluh menit, semeter jadi sepulih meter, hal ini akan mengkhawatirkan
ansietas, rasa takut serta gelisah, namun akhirnya mampu memberi efek menenangkan
dan euforia. Pemakaian jangka panjang ganja dapat mempengaruhi pikiran, menurunkan
sembarangan. Hal ini dikarenakan efek negatif yang mampu timbul dari
8
mampu mengubah perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, dan kesadaran pemakainya
karena zat psikoaktif ini bekerja pada otak (Joewana, 2005). Kerja obat yang
berpengaruh langsung pada kerja sel otak menimbulkan efek perubahan kinerja pada
organ lain dimana jika terjadi secara terus menerus mampu menimbulkan perubahan
pada sel otak yang nantinya mengganggu kerja organ dan berakhir pada komplikasi
medis. Selain itu juga efek lain selain komplikasi medis juga muncul atau memperberat
provinsi dengan mengambil sampel setiap masing-masing provinsi satu daerah urban
(kota) dan satu daerah rural (kabupaten), menunjukkan bahwa angka penyalahgunaan
Napza oleh pelajar dan mahasiswa lebih tinggi dikota daripada dikabupaten. Pada
daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah angka
penyalahgunaan Napza cenderung stabil dari tahun 2006, 2009 dan 2011. Namun untuk
DKI Jakarta cenderung menunjukkan peningkatan. Hal ini juga didukung data dari
BNN yang menunjukkan kesatuan Metro jaya menduduki peringkat pertama sebagai
akan perubahan pemikiran terkait penggunaan zat (biasanya untuk alasan selain
kepentingan medikasi yang legal) yang berakibat pada gangguan fisik, mental,
emosional, dan sosial pengguna, keluarga pengguna dan komunitas dalam berbagai
tingkatan (Carroll, 2000). Penyalahgunaan zat juga dapat diartikan sebagai penggunaan
9
zat yang bersifat patologis, paling sedikit telah berlangsung satu bulan lamanya
sehingga menimbulkan gangguan dalam pekerjaan dan fungsi sosial (Joewana, 2005).
(Sullivan, 1995). Intoksikasi adalah kondisi yang timbul akibat menggunakan Napza
sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek atau mood, perilaku
atau fungsi dan respon psikofisiologis lainnya. Toleransi adalah kondisi dimana
kebutuhan akan dosis Napza semakin meningkat untuk dapat memperoleh efek yang
sebelumnya diperoleh. Sedangkan toleransi silang terjadi jika seseorang telah toleran
dengan salah satu zat psikoaktif, dia juga toleran dengan zat psikoaktif lain yang
fisiologis, perilaku dan koginitif akibat pengguna suatu Napza tertentu yang mendapat
prioritas lebih tinggi bagi individu tertentu daripada yang pernah diunggulkan pada
psikis dan fisik. Kriteria lain yang muncul seperti rasa nagih dimana klien akan
memiliki perasaan yang kuat untuk terus menggunakan. Selain itu muncul
pemakaian Napza yang membuatnya kehilangan kontrol juga akan kehidupannya. Hal
ini juga dikarenakan faktor proses progesif alami (progessive nature) yang dialami yaitu
10
dimana pemakai akan lebih mementingkan penggunaan zat daripada aspek
kehidupannya yang lain. Hal ini berakibat pemakai akan mengurangi aktivitas dan
membatasi pada aktivitas dan teman yang mendukung untuk memakai Napza. Akhirnya
tidak hanya fisik namun juga mental, emosional dan sosial pemakai. Efeknya pun tidak
hanya bagi pemakai namun juga ke lingkungan kehidupan sekitar pemakai seperti
munculnya tindak kriminalitas atau kekerasan. Pada akhirnya masalah yang biasa
muncul pada penyalahgunaan Napza disebut dengan gangguan mental dan perilaku
akibat penggunaan zat psikoaktif pada kelompok gangguan jiwa (Joewana, 2005).
Untuk mengatasi ini, terdapat terapi yang biasa digunakan yaitu detoksifikasi dan
pascadetoksifikasi.
Detoksifikasi berfokus pada terapi untuk melepaskan klien dari kelebihan dosis,
proses pemulihan gangguan napza baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang
masyarakat (Kemenkes, 2010). Pada fase rehabilitasi juga ditujukan kepada penyakit
komorbiditas dimana terdapat dua atau lebih penyakit yang secara bersama-sama ada
11
2.2 Konsep Koping
Setiap individu tidak akan terlepas dari permasalahan kehidupan yang dapat
menimbulkan stress. Stress itu yang nantinya akan membuat seseorang tersebut
berusaha untuk mengatasinya. Koping adalah suatu proses dari seseorang yang
menginterpretasikan suatu stress, (Craven & Hirnle, 2003). Menurut Lazarus dan
Folkman pada bukunya Stress, Appraisal, and Coping menyebutkan bahwa koping
adalah perubahan kognitif dan perilaku secara konstan dalam upaya untuk mengatasi
tuntutan internal dan eksternal khusus yang melelahkan atau melebihi sumber individu.
Jadi koping bisa diartikan sebagai istilah cara yang digunakan seseorang untuk
dilakukan untuk mengatasi stress disebut dengan mekanisme koping (Stuart & Laraia,
2005).
Mekanisme koping tersebut terdiri dari tiga tipe yaitu koping berfokus pada
masalah, koping yang berfokus pada emosi dan koping berfokus dengan kognitif (Stuart
& Laraia, 2005). Koping berfokus pada masalah menunjukkan pada usaha langsung
pertimbangan koping yang berfokus pada emosi dimana seseorang lebih berorientasi
untuk mengurangi distres emosi. Contoh koping berfokus pada emosi termasuk
penggunaan mekanisme pertahanan ego seperti penolakan, supresi atau proyeksi. Cara
religius dan menerima adanya masalah adalah cara lain yang sering muncul juga pada
koping berfokus pada emosi ini. Sedangkan seseorang dengan koping yang berfokus
12
dengan kognitif akan mengontrol arti masalah tersebut dan menetralisasinya. Misalnya
Jenis koping yang dapat dilakukan dan muncul pada mekanisme koping
usaha ini menunjukkan adanya usaha langsung. Kemudian seseorang juga mampu
strategi tindakan yang perlu dimbil. Individu juga mampu menunjukkan kontrol diri
dalam memutuskan waktu melakukan tindakan yang tepat. Terakhir, individu yang
informasi, dukungan moral, empati dan pengertian. Setiap individu dalam melakukan
koping tidak hanya menggunakan satu strategi tetapi dapat melakukannya bervariasi,
hal ini tergantung dari kemampuan dan kondisi individu (Rasmun, 2004).
Mekanisme koping yang digunakan dapat bersifat konstuktif dan dapat bersifat
destruktif (Stuart & Laraia, 2005). Koping yang konstruktif jika menganggap
munculnya ansietas sebagai pertanda akan adanya gangguan pada suatu sistem dan hal
ini menjadi tantangan untuk diselesaikan. Hal ini menunjukkan seseorang mampu
memilih dan melakukan cara koping yang dapat mengatasi masalahnya. Koping yang
sukses digunakan untuk mengatasi masalah ini akan menjadi pedoman bagi individu
dalam mengatasi masalah selanjutnya, dan hal ini memungkinkan seseorang untuk
melakukan modifikasi akan cara koping itu, sedangkan bersifat destruktif jika adanya
13
ansietas diacuhkan dan tidak dicari jalan keluarnya. Membuat masalah tetap ada, tidak
Mekanisme koping tersebut juga dapat digolongkan menjadi dua yaitu mekanisme
adaptif dan maladaptif (Stuart & laraia, 2005). Penggolongan ini dijelaskan dalam
bagan model adaptasi stress Stuart dalam rentang respon koping. Jadi koping yang
digunakan apakah akan meruntut pada respon yang adaptif ataukah respon yang
berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi,
latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Koping yang menunjuk pada respon
Mekanisme koping adalah suatu upaya yang diarahkan untuk manajemen stres
yang berorientasi pada tugas dan pertahanan ego ( Potter & Perry, 2005). Koping
merupakan salah satu alasan awal pemakaian Napza. Penggunaan zat psikoaktif
dilingkungan daerah perkotaan biasanya dikaitkan dengan alasan ingin memuaskan rasa
ingin tahu, menjalin solidaritas, dan mengatasi stres serta rasa tidak bahagia (Joewana,
2005). Selain itu koping juga menjadi alasan penggunaan heroin, dimana dikonsumsi
untuk mengatasi perasaan yang tidak enak seperti ketegangan, kecemasan, dan
menurunkan ketegangan, dan beberapa zat lain untuk menginduksi tidur, dijadikan jalan
14
Inti dari penggunaan Napza adalah untuk mengubah pengalaman kewaspadaan dan
kesadaran (Carroll, 2000). Pemakai biasanya ingin merasakan nyaman, santai, jauh dari
stres, tidak ada beban, dapat diterima, tidak merasa kesepian, mengatasi masalah
emosional dan nyeri fisik, dan mengeksplorasi sesuatu yang belum diketahui. Banyak
cara untuk mengubah tingkat kesadaran seseorang, namun Napza memiliki cara yang
lebih mudah dan cepat dalam mencapai tujuan. Napza juga digunakan untuk
Napza dapat mengimbangi tuntutan itu misal meningkatkan performa kerja dengan
menggunakan golongan stimulan. Selain itu, seseorang juga ingin menghindar dari
Penggunaan Napza selain sebagai alasan menjadi koping di awal penggunaan, dapat
menjadi konsekuensi sikap yang dapat diperoleh karena penyalahgunaan dalam jangka
panjang dan akhirnya menjadi stressor tersendiri (Carroll, 2000; Sullivan, 1995).
Umumnya pada penyalahguna Napza yang lama akan memiliki metode koping yang
tidak jelas, hal ini nantinya menjadikan Napza sebagai predominan koping yang akan
digunakan jika suatu stressor muncul terutama situasi yang membuat cemas atau sakit.
Selain itu, pada penyalahgunaan Napza akan terbentuk suatu hubungan dimana zat
menjadi penentu identitas, kognisi, dan perilaku. Hal ini juga yang menjadikan zat
sebagai strategi koping utama. Jika hubungan yang telah terbentuk itu diganggu maka
akan muncul karakteristik mekanisme pertahanan pada pemakai, dimana cara yang
berfikir delusional.
15
Mekanisme pertahanan tersebut merupakan strategi koping yang biasa yang disebut
mengatasi stress emosionalnya. Hal ini juga dijelaskan pada model adaptasi stress Stuart
seperti penolakan, proyeksi, rasionalisasi dan minimalisasi (Stuart & Laraia, 2005).
mengingkari realita tersebut. Misal dengan pernyataan “ aku minum setiap hari namun
tidak mengganggu pekerjaanku” (Sullivan, 1995; Stuart & Laraia, 2005). Penguna
pernyataan “aku hanya minum dua botol sehari”. Kemudian klien mampu
merasionalisasi dengan memberikan penjelasan yang tambapk logis dan dapat diterima.
Dan terakhir dengan proyeksi dimana karakteristik negatif yang dimiliki digambarkan
kepada orang lain misal dengan pernyataan “jika saja istrika tidak memberi beban setiap
saat”.
Napza selain sebagai penyelesai masalah bagi penggunanya juga dapat menjadi masalah
tersendiri baginya. Pada seseorang yang menggunakan cara koping berfokus pada
masalah akan menganggap bahwa penyalahgunaan Napza ini adalah masalah baginya
sehingga akan mencari solusi untuk menyelesaikannya. Mekanisme koping seperti ini
yang dapat dianggap sebagai koping konstruktif pada pemakai Napza. Koping yang
merupakan suatu masalah dianggap bukan masalah baginya. Hal ini menunjukkan
bahwa koping tidak selalu konstruktif bagi penyalahguna sehingga respon koping yang
16
Peran koping pada Napza sangat penting karena menjadi salah satu faktor penentu
kekambuhan pemakai setelah mengikuti program rehabilitas. Jika stressor muncul dan
klien tidak memiliki mekanisme koping yang adaptif, biasanya penggunaan Napza
pada pengguna alkohol selama 6 tahun setelah terapi, pengguna marijuana pada bulan
ketiga dan keenam, dan pengguna polisubstans pada bulan ketiga. Selain itu, pengguna
koping yang adaptif mampu meningkatkan hasil akhir tindakan, sedangkan koping yang
Penelitian yang dilakukan oleh Fullerton-Hall dan Felicia Lee pada tahun 2009
tentang gaya koping dan level stres yang diterima pada penyalahgunaan Napza yang
telah pulih dari penyalahgunaan Napza. Hasil penelitian menunjukkan bahwa level stres
yang diterima adalah sedang kebawah, dengan stres lebih terkait karena metode koping
seperti menyalahkan diri sendiri, distraksi dan perilaku yang tidak sesuai. Stres tidak
muncul atau terkait pada cara koping penerimaan dan koping yang aktif. Koping sendiri
penyelesaian terapi, terutama juga pada individu dewasa dengan komorbiditas yang
telah mengalami level stres kehidupan yang tinggi (Anderson, Ramo & Brown, 2006).
Koping dan Napza dapat menjadi dua aspek yang saling berkaitan satu sama
lain. Pada masalah keperawatan jiwa psikososial yaitu koping individu tidak efektif
ditunjukkan dengan salah satu tandanya adalah dengan pemakaian alkohol dan obat-
17
obatan terlarang, jika stres atau masalah muncul dan individu merasa tertekan dengan
negatif sebagai contoh penafsiran yang tidak akurat terhadap suatu peristiwa (Priharjo,
1993). Terapi kognitif perilaku secara umum juga meliputi teknik relaksasi dan
pengalihan perhatian. Telah terbukti terapi kognitif perilaku telah diterima secara luas,
karena efektif terhadap psikoterapi pada yang mengalami gangguan dan masalah
Kognitif adalah proses pemikiran kita yang meliputi ide, keadaan mental,
kepercayaan dan sikap, terapi kognitif didasarkan pada prinsip yang berfikir secara pasti
untuk mengidentifikasi adanya bahaya dan situasi yang tidak dapat dipertahankan
(Tamsuri, 2007). Sebagai contoh: kecemasan, depresi, fobia dan lain-lain, tapi terdapat
masalah lain yaitu masalah fisik, terapi ini membantu seseorang untuk mengerti pola
pemikiran, khususnya untuk mengidentifikasi beberapa bahaya yang akan muncul dan
tidak dapat dipertahankan dan ide atau pemikiran yang salah untuk mengubah cara
berfikir dengan menghindari ide-ide itu juga menolong pola berfikir seseorang untuk
bagi penderita nyeri kronis dan nyeri yang tidak dapat ditoleransi. Ada beberapa teknik
yang digunakan sebagai contoh untuk menghindari situasi yang dapat menimbulkan
cemas. Pada beberapa perilaku orang dengan keadaan fobia dapat menjadi ekstrim dan
18
mempengaruhi hari-hari dikehidupannya. Pada keadaan ini jenis terapi perilaku disebut
terapi pembukaan yang mungkin dapat digunakan. Terapi ini mengajarkan seseorang
manajemen stress dan beberapa cara untuk membantu koping seseorang terhadap situasi
tertentu. Terapi kognitif perilaku didasarkan pada pola pemikiran dan perilaku yang
penyembuhan. Sebagai contoh, ketika pasien dengan kasus pemakaian napza mulai
(Priharjo, 1993).
Terapi kognitif perilaku seseorang dapat latihan berfikir yang lebih spesifik guna
seseorang untuk merubah cara dan respon terhadap gejala yang timbul (Keefe.F.J,
1996).
Terapi kognitif perilaku lebih efektif kerjanya bila dilakukan bersamaan dengan
adanya konsultan untuk mencapai tujuannya. Terapi kognitif perilaku dapat membantu
pasien dengan penyalahgunaan napza dengan merubah cara berfikir terhadap akibat
Terapi kognitif perilaku merupakan terapi secara praktek yang berfokus pada
masalah khusus dan bertujuan untuk mengatasi pola perilaku menyimpang dari pasien
19
dengan penyalahgunaan napza yang ditandai dengan serangan panik, gangguan panik,
gangguan stress setelah trauma, kemarahan, masalah dalam tidur, halusinasi, syindrom
lemah kronis, nyeri kronis, fobia. Terapi kognitif perilaku kadang digunakan secara
sendiri dan kadang digunakan dengan tambahan obat tergantung dari tipe dan beratnya
pasien agar dapat mengendalikan dirinya terhadap pemakaian napza yang dialaminya.
Hal ini membuat pasien lebih mudah untuk bisa keluar dari masalah yang sedang
Bagian-bagian tersebut antara lain, situasi masalah, kejadian atau situasi yang
sulit dapat diikuti oleh pikiran, emosi, perasaan, tindakan dan tingkah laku. Masing-
masing bagian itu dapat mempengaruhi satu sama lain. Bagaimana cara pasien
mengendalikan respon atau keinginan dalam pemakaian napza yang dialami dapat
mempengaruhi, bagaimana juga pasien merasakannya secara fisik dan secara emosional
(Tamsuri, 2007).
Siklus keadaan ini akan membuat seseorang merasa takut, situasi itu dapat
dimulai dengan perasaan tidak senang terhadap sesuatu pada dirinya sendiri, ini terjadi
ketika kita tertekan, kita mungkin lebih menyimpulkan sesuatu dengan ekstrem. Terapi
kognitif perilaku dapat membantu seseorang untuk berhenti dari siklus keadaan seperti
diatas yaitu berhubungan dengan pemikiran, perasaan dan perilaku (Keefe.F.J, 1996).
20
2.3.4.1ALUR SESI CBT
2. Tanyakan harapan klien terhadap terapi ini? Apa yang terjadi jika harapan ini
tidak tercapai?
3. Jelaskan keterlibatan klien: Datang tepat waktu pada seluruh sesi yang telah
Nama Klien :
Umur :
Suku :
Pendidikan Terakhir :
Pekerjaan Terakhir :
Alamat :
Diagnosa Medis :
Diagnosa Keperawatan :
No RM :
Tgl MRS :
21
Tgl Pengkajian :
Struktur Keluarga
Nama Suami/Istri :
Usia Suami/Istri :
Pekerjaan Istri/Suami :
22
c. Riwayat Gangguan Jiwa
g. Hobi/Peminatan:
-Kapan Pertama Kali Kejadiannya? Jadi Sampai Saat ini, Sudah Berapa
Perilaku?
23
SESI 2 KONSEPTUALISASI KASUS
Langkah Kerja:
4. Validasi ulang hasil interaksi sessi ke-2 mengenai situasi tertentu yang dapat
menimbulkan masalah utama yang terkait dan gejala utama yang terjadi saat
c. Berikan contoh
7. Rumuskan kembali masalah atau gejala yang sangat mengganggu bagi klien,
perlihatkan lembar kerja tujuan terapi, kemudian katakan pada klien “bayangkan
jika terapi ini berhasil, bagaimana anda akan hidup berbeda. Apa yang akan
24
9. Buat jadwal aktifitas sehari-hari yang dapat dilakukan oleh klien saat ini
10. Berikan PR
3. Training skills: Latih cara berkomunikasi yang jelas, menatap ke lawan bicara
4. Berikan PR
4. Berikan PR
25
plus pernafasan dalam; dan 3) relaksasi, ditambah pernafasan dalam
terjadinya perubahan
hiperventilasi
dengan baik
b. Kontrol teratur
4. Berikan PR
26
Catatan: Sesi 6 ini dibagi ke dalam beberapa pertemuan tergantung dari kemampuan
pasien menerima
3. Terminasi akhir
27
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian
Nama : Tn. Y
Alamat : Jl. Brigjen Katamso Gg. Kenaga Medan
Umur : 21 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Belum bekerja
Suku : Batak
Pendidikan : SMA
Status pernikahan : Belum Menikah
Keadaan umum :
Tn. Y mulai menggunakan narkotika jenis sabu sejak 2 tahun lalu. Berawal dari coba-
coba mengkonsumsi dari teman, dan akhirnya kecanduan hingga sekarang. Klien
menyatakan bahwa dia belum pernah menjalani pengobatan medis karena dia merasa
tidak sakit. Klien mengkonsumsi sabu ketika berkumpul dengan temannya yang sama-
sama mengkonsumsi sabu. Klien menyatakan dia tidak bisa lepas dari sabu karena jika
tidak memakai sabu tersebut badannya terasa tidak enak, lemas, dan tidak bergairah
melakukan aktivitas. Keluarga merasa resah dengan keadaan klien yang selalu membuat
masalah dilingkungan tempat tinggal seperti mencuri, bertengkar dengan teman, dan
lainnya. Dari hasil pengamatan pada klien, mata terlihat cekung, pandangan tidak fokus
pada saat wawancara, dan hiperaktif.
Tanda vital
Dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil tekanan darah 110/70 mmHg, HR 70 x/menit,
RR 20 x/menit, dan suhu 37,20C, kesadaran compos mentis.
Psikososial
Klien anak kedua dari 5 bersaudara, klien tinggal bersama orangtua. Klien mempunyai
riwayat pendidikan SMA dan belum bekerja.
28
Hubungan sosial
Klien menyatakan orang yang berarti saat ini adalah keluarganya. Klien tidak memiliki
peran dalam kelompok atau masyarakat karena takut mengalami penolakan.
Spiritual
Klien beragama islam, dan tidak pernah melakukan ibadah menurut kepercayaannya.
Aktivitas sehari-hari
Klien menyatakan mandi satu hari sekali dan menyikat gigi pagi dan sore hari. Klien
menyatakan selalu mengganti pakaian setelah mandi. Klien berpenampilan kurang rapi.
Keluarga klien menyatakan klien sering tidur siang.
Kecanduan
29
Strategi pertemuan pertama yaitu:
1. Membina hubungan saling percaya
2. Mendiskusikan dampak napza
3. Mendiskusikan cara meningkatkan motivasi
4. Mendiskusikan cara mengontol keinginan
5. Latihan cara meningkatkan motivasi
6. Latihan cara mengontrol keinginan
7. Membuat jadwal aktivitas
Strategi pertemuan kedua yaitu:
1. Mendiskusikan cara menyelesaikan masalah
2. Mendiskusikan cara hidup sehat
3. Latihan cara menyelesaikan masalah
4. Latihan cara hidup sehat
5. Mendiskusikan tentang obat
30
menggunakan zat kedalam jadwal kegiatan harian dan menetapkan kembali kontrak
pertemuan berikutnya.
Pertemuan keempat 26 Desember 2016 penulis melakukan Sp 2. Penulis
membantu mengevaluasi kegiatan sebelumnya dan melatih kembali cara meningkatkan
motivasi dan mengontrol keinginan. Pada kegiatan ini klien masih cukup mampu
melakukan cara meningkatkan motivasi dan mengontrol keinginan dengan baik. Pada
pertemuan ini penulis dan klien juga mendiskusikan cara menyelesaikan masalah dan
cara hidup sehat. Klien terlihat kooperatif saat berdiskusi. Kemudian penulis dan klien
melakukan latihan cara menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat. Klien menyatakan
sudah mengerti cara menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat. Penulis
menganjurkan kepada pasien dan keluarga untuk melakukan pengobatan medis. Penulis
menganjurkan klien memasukkan kegiatan dalam jadwal kegiatan harian dan
menetapkan kembali kontrak pertemuan berikutnya.
Pertemuan kelima 28 Desember 2016 penulis melakukan evaluasi keseluruhan
kegiatan. Klien tampak kooperatif melakukan kegiatan. Penulis kembali menganjurkan
klien mengulang latihan dalam jadwal kegiatan harian dan menetapkan kembali kontrak
31
BAB IV
ANALISA KASUS
Menurut Stuart dan Sundeen pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama
dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan
perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi identitas
Saat dilakukan pengkajian Tn. Y, diperoleh data objektif, klien menyatakan dia
tidak bisa lepas dari sabu karena jika tidak memakai sabu tersebut badannya terasa tidak
enak, lemas, dan tidak bergairah melakukan aktivitas. Data subjektif dari keluarga,
keluarga merasa resah dengan keadaan klien yang selalu membuat masalah
dilingkungan tempat tinggal seperti mencuri, bertengkar dengan teman, dan lainnya.
Data objektif yang didapat saat pengkajian oleh penulis adalah pada klien, mata terlihat
cekung, pandangan tidak fokus pada saat wawancara, dan hiperaktif. Dari hasil
x/menit, dan suhu 37,20C, kesadaran compos mentis. Hal ini menunjukkan masalah
yang sangat luas bagi pemakainya (diri sendiri), keluarga, pihak sekolah (pendidikan),
serta masyarakat, bangsa dan negara. Bagi diri sendiri penyalahgunaan napza dapat
32
terhentinya pernapasan dan perdarahan otak, kekambuhan, gangguan perilaku (mental
sosial), gangguan kesehatan, menurutnya nilai-nilai, dan masalah ekonomi dan hukum.
Sementara itu, dari segi efek dan dampak yang ditimbulkan pada pemakai narkoba
dapat dibedakan menjadi 3 (tiga golongan/jenis) yaitu upper merupakan jenis narkoba
yang membuat sipemakai menjadi aktif seperti sabu-sabu, ekstasi dan amfetamin.
Downer yang merupakan golongan narkoba yang dapat membuat orang yang memakai
jenis narkoba itu jadi tenang dengan sifatnya yang menenangkan/sedatif seperti obat
tidur (hipnotik) dan obat anti rasa cemas, dan halusinogen adalah napza yang beracun
suasana nyaman dan tentram dalam keluarga terganggu. Dimana orang tua akan merasa
malu karena memiliki anak pecandu, karena bersalah, dan berusaha menutupi perbuatan
anak mereka. Stres keluarga meningkat, merasa putus asa karena pengeluaran
meningkat akibat pemakaian narkoba ataupun melihat anak yang harus berulangkali
permasyarakatan.
Bagi pendidikan atau sekolah, Napza akan merusak disiplin dan motivasi yang
kejahatan dan perilaku asosial lain yang mengganggu suasana tertib dan aman, rusaknya
gelap perdagangan napza yang sangat sulit diputuskan mata rantainya. Masyarakat yang
rawan narkoba tidak memiliki daya tahan dan kesinambungan pembangunan terancam.
33
Akibatnya negara mengalami kerugian karena masyarakatnya tidak produktif, kejahatan
meningkat serta sarana dan prasarana yang harus disediakan untuk mengatasi masalah
tersebut.
rumah bandar)
Kehadiran atau bertemu dengan orang-orang tertentu (“ah, sekali nggak bakal
ngerusak” atau “saya udah nggak tahan lagi nih, saya harus make”)
34
Adanya faktor-faktor pencetus (jika capek, labil, lapar, tidak dapat tidur atau
4. Kaji hal baik/buruk tentang penggunaan zat maupun tentang kondisi bila tidak
menggunakan.
potensial dari individu, keluarga atau masyarakat terhadap masalah kesehatan atau
Dari yang diperoleh penulis, sesuai dengan teori yang ada diatas disimpulkan
bahwa masalah utama klien adalah koping individu inefektif yang didukung dengan
tersebut telah dilaksanakan dan dievaluasi kemudian dibandingkan dengan teori dan
karena tidak menimbulkan efek samping seperti obat-obatan karena terapi non
strategi pertemuan yang dilakukan sebanyak dua kali pada klien. Diharapkan kegiatan
35
1. Membina hubungan saling percaya
Setelah kegiatan strategi pertemuan kedua dilakukan pada klien, dilanjutkan dengan
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah strategi pertemuan yang dilakukan telah
mencapai tujuan atau kriteria hasil yang diharapkan. Hal yang dievaluasi dari klien
menggunakan napza
kembali
36
4. Klien dapat menyelesaikan masalahnya dengan koping yang adaptif
perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil
percaya dengan klien kemudian melakukan kontrak untuk dikaji pada pertemuan
saling percaya kemudian melakukan anamnesa dan pengkajian keperwatan jiwa. Saat
diwawancara klien kooperatif dan kontak mata baik Pertemuan ketiga 23 Desember
2016 penulis melakukan strategi pertemuan pertama (SP 1) pada klien dengan terlebih
motivasi, melakukan latihan cara mengontrol keinginan dan membuat jadwal aktivitas.
Setelah penulis dan klien mendiskusikan dampak napza, cara meningkatkan motivasi,
dan cara mengontrol keinginan klien menyatakan telah mengerti. Setelah klien
memahami diskusi yang telah dilakukan penulis dan klien melakukan latihan cara
mengikuti kegiatan. Penulis menganjurkan kepada klien untuk melakukan latihan cara
37
kedalam jadwal kegiatan harian dan menetapkan kembali kontrak pertemuan
berikutnya.
kedua (SP 2). Penulis membantu mengevaluasi kegiatan sebelumnya dan melatih
kembali cara meningkatkan motivasi dan mengontrol keinginan. Pada kegiatan ini klien
masih cukup mampu melakukan cara meningkatkan motivasi dan mengontrol keinginan
dengan baik. Pada pertemuan ini penulis dan klien juga mendiskusikan cara
menyelesaikan masalah dan cara hidup sehat. Klien terlihat kooperatif saat berdiskusi.
Kemudian penulis dan klien melakukan latihan cara menyelesaikan masalah dan cara
hidup sehat. Klien menyatakan sudah mengerti cara menyelesaikan masalah dan cara
hidup sehat. Penulis menganjurkan kepada pasien dan keluarga untuk melakukan
klien mengulang latihan dalam jadwal kegiatan harian dan menetapkan kembali kontrak
38
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
individu inefektif. Koping adalah suatu upaya yang diarahkan untuk manajemen
stres yang berorientasi pada tugas dan pertahanan ego. Untuk mengatasi masalah
koping individu inefektif ini penulis melakukan asuhan keperawatan pada klien
keinginan dengan baik. Pada pertemuan ini penulis dan klien juga
selanjutnya klien mengulang kembali latihan yang sudah di buat dalam jadwal
didapatkan bahwa klien dapat mengontrol cara hidup sehat dan cara mengontrol
5.2 Saran
39
b. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat meneliti lebih mendalam tentang
40