Anda di halaman 1dari 23

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN OBSTRUKSI INTESTINAL

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Promosi Kesehatan

Yang dibina oleh Ibu Sulastyawati Skep.,Ns.MKep.

Oleh:

Dina Tri Santika P172201810012

Amalia Rizki Wasilah P172201810013

Yesi Elsa Nabela P17220182028

Hilda Firdaus R P17220182029

Mochamad Zen Wahyudi P17220183044

Adelia Fitriana Sari P17220183045

POLITEKNIK KESEHATAN MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

D3 KEPERAWATAN LAWANG

Agustus 2019
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN OBSTRUKSI INTESTINAL

A. Definisi
Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut
yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan. Ileus Obstruktif adalah kerusakan atau
hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan mekanik sehingga isi lumen saluran
cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena ada sumbatan/hambatan yang disebabkan
kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan
vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut
(Sjamsuhidajat, 2003).

Berdasarkan proses terjadinya ileus obstruksi dibedakan menjadi ileus obstruksi mekanik
dan non mekanik. Ileus obstruksi mekanik terjadi karena penyumbatan fisik langsung yang bisa
disebabkan karena adanya tumor atau hernia sedangkan ileus obstruksi non mekanik terjadi
karena penghentian gerakan peristaltic (Manaf , 2010).

B. Epidemiologi
Obstruksi usus halus menempati sekitar 20% dari seluruh pembedahan darurat, dan
mortalitas dan morbiditas sangat bergantung pada pengenalan awal dan diagnosis yang tepat.
Apabila tidak diatasi maka obstruksi usus halus dapat menyebabkan kematian pada 100% pasien
(Manaf. 2010).

Hampir seluruh obstruksi pada usus besar atau kolon memerlukan intervensi pembedahan.
Mortalitas dan morbiditas sangat berhubungan dengan penyakit yang mendasari dan prosedur
pembedahan yang digunakan. Obstruksi kolon sering terjadi pada usia lanjut karena tingginya
insiden neoplasma dan penyakit lainnya pada populasi ini. Pada neonatus, obstruksi kolon bisa
disebabkan karena adanya kelainan anatomi seperti anus imperforata yang secara sekunder dapat
menyebabkan mekonium ileus (Sloane, 2003).

C. Etiologi
Obstruksi usus halus dapat disebabkan oleh :

a. Perlekatan usus atau adhesi, dimana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit usus.
b. Jaringan parut karena ulkus, pembedahan terdahulu atau penyakit Crohn.
c. Hernia inkarserata, usus terjepit di dalam pintu hernia
d. Neoplasma.
e. Intususepsi.
f. Volvulus.
g. Benda asing, kumpulan cacing askaris
h. Batu empedu yang masuk ke usus melalui fistula kolesisenterik.
i. Penyakit radang usus, striktur, fibrokistik dan hematoma (Mansjoer, 2000).
Kira-kira 15% obstruksi usus terjadi di usus besar. Obstruksi dapat terjadi di setiap bagian
kolon tetapi paling sering di sigmoid. Penyebabnya adalah :

a. Karsinoma.
b. Volvulus.
c. Kelainan divertikular (Divertikulum Meckel), Penyakit Hirschsprung
d. Inflamasi.
e. Tumor jinak.
f. Impaksi fekal (Mansjoer, 2000).

D. Anatomi

1. Duodenum
Duodenum atau juga disebut dengan usus 12 jari merupakan usus yang berbentuk seperti
huruf C yang menghubungkan antara gaster dengan jejunum. Duodenum melengkung di sekitar
caput pancreas. Duodenum merupakan bagian terminal/muara dari system apparatus biliaris dari
hepar maupun dari pancreas. Selain itu duodenum juga merupakan batas akhir dari saluran cerna
atas. Dimana saluran cerna dipisahkan menjadi saluran cerna atas dan bawah oleh adanya
ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) yang terletak pada flexura duodenojejunales yang
merupakan batas antara duodenum dan jejunum. Di dalam lumen duodenum terdapat lekukan-
lekukan kecil yg disebut dengan plica sircularis. Duodenum terletak di cavum abdomen pada
regio epigastrium dan umbilikalis. Duodenum memiliki penggantung yg disebut dengan
mesoduodenum. Duodenum terdiri atas beberapa bagian yaitu:
a) Duodenum pars Superior
b) Duodenum pars Descendens
c) Duodenum pars Horizontal
d) Duodenum pars Ascendens (Scanlon, 2007).
Gambar 1. Anatomi Usus Halus
2. Jejunum dan Ileum
Jejunum dan ileum juga sering disebut dengan usus halus/usus penyerapan
membentang dari flexura duodenojejunales sampai ke juncture ileocacaecalis. Jejunum dan
ileum ini merupakan organ intraperitoneal. Jejunum dan ileum memiliki penggantung yang
disebut dengan mesenterium yang memiliki proyeksi ke dinding posterior abdomen dan disebut
dengan radix mesenterii. Pada bagian akhir dari ileum akan terdapat sebuah katup yang disebut
dengan valvulla ileocaecal (valvulla bauhini) yang merupakan suatu batas yang memisahkan
antara intestinum tenue dengan intestinum crassum. Selain itu, juga berfungsi untuk mencegah
terjadinya refluks fekalit maupun flora normal dalam intestinum crassum kembali ke intestinum
tenue, dan juga untuk mengatur pengeluara zat sisa penyerapan nutrisi. Berikut adalah perbedaan
antara jejunum dan duodenum (Scanlon, 2007).
Gambar 2. Bagan Perbedaan Jejunum dan Ileum

Gambar 3. Perbedaan Jejunum dan Ileum

Usus besar besar lebih panjang dan lebih besar diameternya dari pada usus halus. Panjang
usus besar mencapai 1,5 m dengan diameter rata-rata 6,5 cm. Semakin mendekati anus diameter
semakin mengecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat
katup ileocaecaal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua
atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileocaecaal mengontrol aliran kimus dari ileum ke
sekum (Sherwood, 2001).
Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens, dan sigmoid. Kolon
ascendens berjalan ke atas dari sekum ke permukaan inferior lobus kanan hati, menduduki regio
iliaca dextra. Setelah mencapai hati, kolon ascendens membelok ke kiri, membentuk fleksura
koli dekstra (fleksura hepatik). Kolon transversum menyilang abdomen pada regio umbilikalis
dari fleksura koli dekstra sampai fleksura koli sinistra. Kolon transversum, waktu mencapai
daerah limpa, membengkok ke bawah, membentuk fleksura koli sinistra (fleksura lienalis) untuk
kemudian menjadi kolon descendens. Kolon sigmoid mulai pada pintu atas panggul. Kolon
sigmoid merupakan lanjutan kolon descendens. Ia tergantung ke bawah dalam rongga pelvis
dalam bentuk lengkungan. Kolon sigmoid bersatu dengan rektum di depan sakrum. Rektum
menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rektum ke atas dilanjutkan oleh kolon sigmoid dan
berjalan turun di depan sekum, meninggalkan pelvis dengan menembus dasar pelvis. Di sisi
rektum melanjutkan diri sebagai anus dalan perineum (Scanlon, 2007).

E. Fisiologi

Pada duodenum pars superior secara histologis terdapat adanya sel liberkeuhn yang
berfungsi untuk memproduksi sejumlah basa. Basa ini berfungsi untuk menaikkan pH dari
chymus yang masuk ke duodenum dari gaster, sehingga permukaan duodenum tidak teriritasi
dengan adanya chymus yang asam tadi (Sherwood, 2001).
Selain itu, pada duodenum terjadi proses pencernaan karbohidrat secara enzymatic yang
telah berbentuk disakarida. Duodenum merupakan muara dari ductus pancreaticus, dimana pada
pancreas diproduksi enzyme maltase, lactase dan sukrase. Dimana enzyme maltase akan
berfungsi untuk memecah 1 gugus gula maltose menjadi 2 gugus gula glukosa. Sedangkan
lactase akan merubah 1 gugus gula laktosa menjadi 1 gugus glukosa dan 1 gugus galaktosa.
Sementara itu, enzyme sukrase akan memecah 1 gugus sukrosa menjadi 1 gugus fruktosa dan 1
gugus glukosa (Sherwood, 2001).
Sementara itu,di dalam duodenum juga terjadi pencernaan lipid secara enzymatic. Dimana
lipid dalam bentuk diasilgliserol akan teremulsi oleh adanya getah empedu yang dialirkan
melalui ductus choledocus dari vesica fellea dan hepar. Setelah itu, emulsi lemak tersebut akan
diubah oleh enzyme lipase pancreas menjadi asam lemak dan 2 diasilgliserol (Sherwood, 2001).
Dilihat secara histologik, jejunum dan ileum memiliki vili vhorialis. Dimana vili chorialis
ini berfungsi utk menyerap zat2 gizi hasil akhir dr proses pencernaan spt glukosa, fruktosa,
galaktosa, peptide, asam lemak dan 2 asilgliserol (Sherwood, 2001).
Gambar 4. Traktus Digestifus

F. Patofisiologi
Pada obstruksi mekanik, usus bagian proksimal mengalami distensi akibat adanya
gas/udara dan air yang berasal dari lambung, usus halus, pankreas, dan sekresi biliary. Cairan
yang terperangkap di dalam usus halus ditarik oleh sirkulasi darah dan sebagian ke interstisial,
dan banyak yang dimuntahkan keluar sehingga akan memperburuk keadaan pasien akibat
kehilangan cairan dan kekurangan elektrolit. Jika terjadi hipovolemia mungkin akan berakibat
fatal (J.Corwin, 2001).

Obstruksi yang berlangsung lama mungkin akan mempengaruhi pembuluh darah vena, dan
segmen usus yang terpengaruh akan menjadi edema, anoksia dan iskemia pada jaringan yang
terlokalisir, nekrosis, perforasi yang akan mengarah ke peritonitis, dan kematian. Septikemia
mungkin dapat terjadi pada pasien sebagai akibat dari perkembangbiakan kuman anaerob dan
aerob di dalam lumen. Usus yang terletak di bawah obstruksi mungkin akan mengalami kolaps
dan kosong (Schrock, 1993). Menurut Ester (2001 : 49) pathofisiologi dari obstruksi usus atau
illeus adalah:
Secara normal 7-8 cairan kaya elektrolit disekresi oleh usus dan kebanyakan direabsorbsi,
bila usus tersumbat, cairan ini sebagian tertahan dalam usus dan sebagian dieliminasi melalui
muntah, yang menyebabkan pengurangan besar volume darah sirkulasi. Mengakibatkan
hipotensi, syok hipovolemik dan penurunan aliran darah ginjal dan serebral.
Pada awitan obstruksi, cairan dan udara terkumpul pada bagian proksimal sisi yang
bermasalah, menyebabkan distensi. Manifestasi terjadinya lebih cepat dan lebih tegas pada blok
usus halus karena usus halus lebih sempit dan secara normal lebih aktif, volume besar sekresi
dari usus halus menambah distensi, sekresi satu-satunya yang yang bermakna dari usus besar
adalah mukus. Distensi menyebabkan peningkatan sementara pada peristaltik saat usus berusaha
untuk mendorong material melalui area yang tersumbat. Dalam beberapa jam peningkatan
peristaltik dan usus memperlambat proses yang disebabkan oleh obstruksi. Peningkatan tekanan
dalam usus mengurangi absorbsinya, peningkatan retensi cairan masih tetap berlanjut segera,
tekanan intralumen aliran balik vena, yang meninkatkan permeabilitas kapiler dan
memungkinkan plasma ekstra arteri yang menyebabkan nekrosis dan peritonitis.
Gambar 5. Gangguan pada usus

Secara umum, pada obstruksi tingkat tinggi (obstruksi letak tinggi/obstruksi usus halus),
semakin sedikit distensi dan semakin cepat munculnya muntah. Dan sebaliknya, pada pasien
dengan obstruksi letak rendah (obstruksi usus besar), distensi setinggi pusat abdomen mungkin
dapat dijumpai, dan muntah pada umumnya muncul terakhir sebab diperlukan banyak waktu
untuk mengisi semua lumen usus. Kolik abdomen mungkin merupakan tanda khas dari obstruksi
distal. Hipotensi dan takikardi merupakan tanda dari kekurangan cairan. Dan lemah serta
leukositosis merupakan tanda adanya strangulasi. Pada permulaan, bunyi usus pada umumnya
keras, dan frekuensinya meningkat, sebagai usaha untuk mengalahkan obstruksi yang terjadi.
Jika abdomen menjadi diam, mungkin menandakan suatu perforasi atau peritonitis dan ini
merupakan tanda akhir suatu obstruksi (J.Corwin, 2001).

G. Klasifikasi

Klasifikasi obstruksi usus berdasarkan:

1. Kecepatan timbul (speed of onset)


a. Akut, kronik, kronik dengan serangan akut
2. Letak sumbatan
a. Obstruksi tinggi, bila mengenai usus halus (dari gaster sampai ileum terminal)

b. Obstruksi rendah, bila mengenai usus besar (dari ileum terminal sampai anus)

3. Sifat sumbatan
a. Simple obstruction : sumbatan tanpa disertai gangguan aliran darah

b. Strangulated obstruction : sumbatan disertai gangguan aliran darah sehingga timbul


nekrosis, gangren dan perforasi

4. Etiologi
a. Kelainan dalam lumen, di dalam dinding dan di luar dinding usus (Price, S.A. 1994).

H. Gejala Klinis

Gejala utama dari ileus obstruksi antara lain nyeri kolik abdomen, mual, muntah, perut
distensi dan tidak bisa buang air besar (obstipasi). Mual muntah umumnya terjadi pada
obstruksi letak tinggi. Bila lokasi obstruksi di bagian distal maka gejala yang dominan adalah
nyeri abdomen. Distensi abdomen terjadi bila obstruksi terus berlanjut dan bagian proksimal
usus menjadi sangat dilatasi (Sjamsuhidajat, 2003).

Obstruksi pada usus halus menimbulkan gejala seperti nyeri perut sekitar umbilikus
atau bagian epigastrium. Pada pasien dengan suatu obstruksi sederhana yang tidak melibatkan
pembuluh darah, sakit cenderung menjadi kolik yang pada awalnya ringan, tetapi semakin lama
semakin meningkat, baik dalam frekuensi atau derajat kesakitannya. Sakit mungkin akan
berlanjut atau hilang timbul. Pasien sering berposisi knee-chest, atau berguling-guling. Pasien
dengan peritonitis cenderung kesakitan apabila bergerak (Mansjoer, 2000).

Pasien dengan obstruksi partial bisa mengalami diare. Kadang – kadang dilatasi dari
usus dapat diraba. Obstruksi pada kolon biasanya mempunyai gejala klinis yang lebih ringan
dibanding obstruksi pada usus halus. Umumnya gejala berupa konstipasi yang berakhir pada
obstipasi dan distensi abdomen. Muntah adalah suatu tanda awal pada obstruksi letak tinggi
atau proksimal. Bagaimanapun, jika obstruksi berada di distal usus halus, muntah mungkin
akan tertunda. Pada awalnya muntah berisi semua yang berasal dari lambung, yang mana
segera diikuti oleh cairan empedu, dan akhirnya muntah akan berisi semua isi usus halus yang
sudah basi. Muntah jarang terjadi. Pada obstruksi bagian proksimal usus halus biasanya muncul
gejala muntah. Nyeri perut bervariasi dan bersifat intermittent atau kolik dengan pola naik
turun. Jika obstruksi terletak di bagian tengah atau letak tinggi dari usus halus (jejenum dan
ileum bagian proksimal) maka nyeri bersifat konstan/menetap. Pada pemeriksaan abdomen
didapatkan abdomen tampak distensi, terdapat darm contour (gambaran usus), dan darm
steifung (gambaran gerakan usus), pada auskultasi terdapat hiperperistaltik berlanjut dengan
Borborygmus (bunyi usus mengaum) menjadi bunyi metalik (klinken) / metallic sound. Pada
tahap lanjut dimana obstruksi terus berlanjut, peristaltik akan melemah dan hilang. Pada
palpasi tidak terdapat nyeri tekan, defans muscular (-), kecuali jika ada peritonitis (Himawan,
1996).

Pada tahap awal, tanda vital normal. Seiring dengan kehilangan cairan dan elektrolit,
maka akan terjadi dehidrasi dengan manifestasi klinis takikardi dan hipotensi postural. Suhu
tubuh biasanya normal tetapi kadang – kadang dapat meningkat. Hipovolemia dan kekurangan
elektrolit dapat terjadi dengan cepat kecuali jika pasien mendapat cairan pengganti melalui
pembuluh darah (intravena). Derajat tingkat dan distribusi distensi abdominal dapat
mencerminkan tingkatan obstruksi. Pada obstruksi letak tinggi, distensi mungkin minimal.
Sebaliknya, distensi pusat abdominal cenderung merupakan tanda untuk obstruksi letak rendah
(Sjamsuhidajat, 2003).

Tidak ada tanda pasti yang membedakan suatu obstruksi dengan strangulasi dari suatu
obstruksi sederhana: bagaimanapun, beberapa keadaan klinis tertentu dan gambaran
laboratorium dapat mengarahkan kepada tanda-tanda strangulasi (Badash, 2005)

a. Obstruksi sederhana
Obstruksi usus halus merupakan obstruksi saluran cerna tinggi, artinya disertai dengan
pengeluaran banyak cairan dan elektrolit baik di dalam lumen usus bagian oral dari obstruksi,
maupun oleh muntah. Gejala penyumbatan usus meliputi nyeri kram pada perut, disertai
kembung. Pada obstruksi usus halus proksimal akan timbul gejala muntah yang banyak, yang
jarang menjadi muntah fekal walaupun obstruksi berlangsung lama. Nyeri bisa berat dan
menetap. Nyeri abdomen sering dirasakan sebagai perasaan tidak enak di perut bagian atas.
Semakin distal sumbatan, maka muntah yang dihasilkan semakin fekulen (Himawan, 1996).

Tanda vital normal pada tahap awal, namun akan berlanjut dengan dehidrasi akibat
kehilangan cairan dan elektrolit. Suhu tubuh bisa normal sampai demam. Distensi abdomen
dapat dapat minimal atau tidak ada pada obstruksi proksimal dan semakin jelas pada sumbatan
di daerah distal. Bising usus yang meningkat dan “metallic sound” dapat didengar sesuai
dengan timbulnya nyeri pada obstruksi di daerah distal (Andari, 1994).

b. Obstruksi disertai proses strangulasi


Gejalanya seperti obstruksi sederhana tetapi lebih nyata dan disertai dengan nyeri hebat.
Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya skar bekas operasi atau hernia. Bila dijumpai tanda-
tanda strangulasi berupa nyeri iskemik dimana nyeri yang sangat hebat, menetap dan tidak
menyurut, maka dilakukan tindakan operasi segera untuk mencegah terjadinya nekrosis usus
(Himawan, 1996).

Obstruksi mekanis di kolon timbul perlahan-lahan dengan nyeri akibat sumbatan biasanya
terasa di epigastrium. Nyeri yang hebat dan terus menerus menunjukkan adanya iskemia atau
peritonitis. Borborygmus dapat keras dan timbul sesuai dengan nyeri. Konstipasi atau obstipasi
adalah gambaran umum obstruksi komplit. Muntah lebih sering terjadi pada penyumbatan usus
besar. Muntah timbul kemudian dan tidak terjadi bila katup ileosekal mampu mencegah refluks.
Bila akibat refluks isi kolon terdorong ke dalam usus halus, akan tampak gangguan pada usus
halus. Muntah fekal akan terjadi kemudian. Pada keadaan valvula Bauchini yang paten, terjadi
distensi hebat dan sering mengakibatkan perforasi sekum karena tekanannya paling tinggi dan
dindingnya yang lebih tipis. Pada pemeriksaan fisis akan menunjukkan distensi abdomen dan
timpani, gerakan usus akan tampak pada pasien yang kurus, dan akan terdengar metallic sound
pada auskultasi. Nyeri yang terlokasi, dan terabanya massa menunjukkan adanya strangulasi
(Andari, 1994).

I. Diagnosis
Pada anamnesis obstruksi tinggi sering dapat ditemukan penyebab misalnya berupa adhesi
dalam perut karena pernah dioperasi atau terdapat hernia. Gejala umum berupa syok, oliguri dan
gangguan elektrolit. Selanjutnya ditemukan meteorismus dan kelebihan cairan di usus,
hiperperistaltis berkala berupa kolik yang disertai mual dan muntah. Kolik tersebut terlihat pada
inspeksi perut sebagai gerakan usus atau kejang usus dan pada auskultasi sewaktu serangan
kolik, hiperperistaltis kedengaran jelas sebagai bunyi nada tinggi. Penderita tampak gelisah dan
menggeliat sewaktu kolik dan setelah satu dua kali defekasi tidak ada lagi flatus atau defekasi.
Pemeriksaan dengan meraba dinding perut bertujuan untuk mencari adanya nyeri tumpul dan
pembengkakan atau massa yang abnormal (Khan, 2012).

Gejala permulaan pada obstruksi kolon adalah perubahan kebiasaan buang air besar
terutama berupa obstipasi dan kembung yang kadang disertai kolik pada perut bagian bawah.
Pada inspeksi diperhatikan pembesaran perut yang tidak pada tempatnya misalnya pembesaran
setempat karena peristaltis yang hebat sehingga terlihat gelombang usus ataupun kontur usus
pada dinding perut. Biasanya distensi terjadi pada sekum dan kolon bagian proksimal karena
bagian ini mudah membesar (Mansjoer, 2000).

Nilai laboratorium pada awalnya normal, kemudian akan terjadi hemokonsentrasi,


leukositosis, dan gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan radiologis, dengan posisi tegak,
terlentang dan lateral dekubitus menunjukkan gambaran anak tangga dari usus kecil yang
mengalami dilatasi dengan air fluid level. Pemberian kontras akan menunjukkan adanya
obstruksi mekanis dan letaknya. Pada ileus obstruktif letak rendah jangan lupa untuk melakukan
pemeriksaan rektosigmoidoskopi dan kolon (dengan colok dubur dan barium in loop) untuk
mencari penyebabnya. Periksa pula kemungkinan terjadi hernia (Khan, 2012).

Diagnosis Banding

Pada ileus paralitik nyeri yang timbul lebih ringan tetapi konstan dan difus, dan terjadi
distensi abdomen. Ileus paralitik, bising usus tidak terdengar dan tidak terjadi ketegangan
dinding perut. Bila ileus disebabkan oleh proses inflamasi akut, akan ada tanda dan gejala dari
penyebab primer tersebut. Gastroenteritis akut, apendisitis akut, dan pankreatitis akut juga dapat
menyerupai obstruksi usus sederhana (Schrock, 1993).

Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam menegakkan diagnosis, tetapi sangat
membantu memberikan penilaian berat ringannya dan membantu dalam resusitasi. Pada tahap
awal, ditemukan hasil laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya
hemokonsentrasi, leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase
sering didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau strangulasi, tetapi hanya
terjadi pada 38% - 50% obstruksi strangulasi dibandingkan 27% - 44% pada obstruksi non
strangulata. Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat ditemukan
adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin terganggu, dengan alkalosis metabolik
bila muntah berat, dan metabolik asidosis bila ada tanda – tanda shock, dehidrasi dan ketosis
(Himawan, 1996).

Radiologis

Posisi supine (terlentang): tampak herring bone appearance. Posisi setengah duduk atau
LLD: tampak step ladder appearance atau cascade. Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran
“step ladder” dan “air fluid level” pada foto polos abdomen dapat disimpulkan bahwa adanya
suatu obstruksi. Foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus
halus, sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon (Andari, 1994).

a. Foto polos abdomen 3 posisi


1. Ileus obstruktif letak tinggi
Tampak dilatasi usus di proksimal sumbatan (sumbatan paling distal di iliocaecal junction)
dan kolaps usus di distal sumbatan. Penebalan dinding usus halus yang mengalami dilatasi
memberikan gambaran herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal
dan menempel membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler menyerupai kosta.
Tampak air fluid level pendek-pendek berbentuk seperti tangga yang disebut step ladder
appearance karena cairan transudasi berada dalam usus halus yang terdistensi (Andari, 1994).

Gambar5. Gambaran Herring bone appearance

2. Ileus obstruktif letak rendah


Tampak dilatasi usus halus di proksimal sumbatan (sumbatan di kolon) dan kolaps usus di
distal sumbatan. Penebalan dinding usus halus yang mengalami dilatasi memberikan gambaran
herring bone appearance, karena dua dinding usus halus yang menebal dan menempel
membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang sirkuler menyerupai kosta. Gambaran
penebalan usus besar yang juga distensi tampak di tepi abdomen.
Tampak gambaran air fluid level pendek-pendek berbentuk seperti tangga yang disebut step
ladder appearance karena cairan transudasi berada dalam usus halus yang terdistensi dan air
fluid level panjang-panjang di kolon (Andari, 1994).

Gambar 6. Gambaran air fluid level

b. CT–Scan harus dilakukan dengan memasukkan zat kontras kedalam pembuluh darah. Pada
pemeriksaan ini dapat diketahui derajat dan lokasi dari obstruksi.
c. USG. Pemeriksaan ini akan mempertunjukkan gambaran dan penyebab dari obstruksi.
d. MRI. Walaupun pemeriksaan ini dapat digunakan. Tetapi tehnik dan kontras yang ada
sekarang ini belum secara penuh mapan. Tehnik ini digunakan untuk mengevaluasi iskemia
mesenterik kronis.
e. Angiografi. Angiografi mesenterik superior telah digunakan untuk mendiagnosis adanya
herniasi internal, intussuscepsi, volvulus, malrotation, dan adhesi (Andari, 1994).
J. Komplikasi
Strangulasi menjadi penyebab dari keabanyakan kasus kematian akibat obstruksi usus. Isi
lumen usus merupakan campuran bakteri yang mematikan, hasil-hasil produksi bakteri, jaringan
nekrotik dan darah. Usus yang mengalami strangulasi mungkin mengalami perforasi dan
menggeluarkan materi tersebut ke dalam rongga peritoneum.

Pada obstruksi kolon dapat terjadi dilatasi progresif pada sekum yang berakhir dengan
perforasi sekum sehingga terjadi pencemaran rongga perut dengan akibat peritonitis umum.
Tetapi meskipun usus tidak mengalami perforasi bakteri dapat melintasi usus yang permeabel
tersebut dan masuk ke dalam sirkulasi tubuh melalui cairan getah bening dan mengakibatkan
shock septic (Badash, 2005).

K. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami obstruksi
untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan. Menghilangkan
penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh dengan
sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan. Penderita
penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit (Schrock, 2003).

Dasar pengobatan ileus obstruksi adalah koreksi keseimbangan elektrolit dan cairan,
menghilangkan peregangan dan muntah dengan dekompresi, mengatasi peritonitis dan syok bila
ada, dan menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali
normal (Andari, 1994).

Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda – tanda vital, dehidrasi
dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami dehidrasi dan gangguan
keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena seperti ringer laktat. Respon
terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda – tanda vital dan jumlah urin yang keluar.
Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT
digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan
mengurangi distensi abdomen (Schrock, 1993).

Pemberian obat – obat antibiotik spektrum luas dapat diberikan sebagai profilaksis.
Antiemetik dapat diberikan untuk mengurangi gejala mual muntah (Mansjoer, 2000).

Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah sepsis
sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang
disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi (Mansjoer, 2000).

a. Persiapan Operasi
Pipa lambung harus dipasang untuk mengurangi muntah, mencegah aspirasi dan
mengurangi distensi abdomen (dekompresi). Pasien dipuasakan, kemudian dilakukan juga
resusitasi cairan dan elektrolit untuk perbaikan keadaan umum.

Setelah keadaan optimum tercapai barulah dilakukan laparatomi. Pada obstruksi parsial
atau karsinomatosis abdomen dengan pemantauan dan konservatif (Schrock, 1993).
b. Operasi
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah sepsis
sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul dengan teknik bedah yang
disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi. Operasi dapat dilakukan bila sudah
tercapai rehidrasi dan organ-organ vital berfungsi secara memuaskan. Tetapi yang paling sering
dilakukan adalah pembedahan sesegera mungkin. Tindakan bedah dilakukan bila terjadi:

1. Strangulasi
2. Obstruksi lengkap
3. Hernia inkarserata
4. Tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif (dengan pemasangan NGT, infus,
oksigen dan kateter) (Sjamsuhidajat, 2003).
c. Pasca Operasi
Pengobatan pasca bedah sangat penting terutama dalam hal cairan dan elektrolit. Harus
dicegah terjadinya gagal ginjal dan harus memberikan kalori yang cukup. Perlu diingat bahwa
pasca bedah, usus pasien masih dalam keadaan paralitik. Tujuan pengobatan yang paling utama
adalah dekompresi kolon yang mengalami obstruksi sehingga kolon tidak perforasi, tujuan kedua
adalah pemotongan bagian yang mengalami obstruksi (Sjamsuhidajat, 2003).

Persiapan sebelum operasi sama seperti persiapan pada obstruksi usus halus, operasi terdiri
atas proses sesostomi dekompresi atau hanya kolostomi transversal pada pasien yang sudah
lanjut usia. Perawatan sesudah operasi ditujukan untuk mempersiapkan pasien untuk menjalani
reseksi elektif kalau lesi obstruksi pada awalnya memang tidak dibuang (Schrock, 1993).

L. Prognosis
Mortalitas ileus obstruktif ini dipengaruhi banyak faktor seperti umur, etiologi, tempat
dan lamanya obstruksi. Jika umur penderita sangat muda ataupun tua maka toleransinya terhadap
penyakit maupun tindakan operatif yang dilakukan sangat rendah sehingga meningkatkan
mortalitas. Pada obstruksi kolon mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan obstruksi usus halus
(Khan, 2012).

Obstruksi usus halus yang tidak mengakibatkan strangulasi mempunyai angka kematian 5
%. Kebanyakan pasien yang meninggal adalah pasien yang sudah lanjut usia. Obstruksi usus
halus yang mengalami strangulasi mempunyai angka kematian sekitar 8 % jika operasi dilakukan
dalam jangka waktu 36 jam sesudah timbulnya gejala-gejala, dan 25 % jika operasi diundurkan
lebih dari 36 jam. Pada obstruksi usus besar, biasanya angka kematian berkisar antara 15–30 %.
Perforasi sekum merupakan penyebab utama kematian yang masih dapat dihindarkan (Khan,
2012).

M. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Syamsuhidayat ( 1997 : 845 ) pemeriksaan penunjang dari obstruksi usus atau illeus
yaitu :
a. Pemeriksaan rontgen dengan enteroklisis. Menggunakan cairan kontras encer berguna
untuk menentukan diagnosis sebab memberikan gambaran ke sepanjang usus halus.
b. Enteroskopi yaitu meneropong usus dapat dilakukan sebagai refleksi bagian ligament
treiz, sampai permulaan yeyenum.
c. Sonogram. Berguna untuk menentukan adanya ruang yang mengandung cairan seperti
kista, abses atau cairan bebas didalam rongga perut atau ruang yang berisi jaringan padat.

N. Fokus Pengkajian

Menurut Doenges (1999 : 471) focus pengkajian dari obstruksi usus adalah:
a. Aktifitas atau istirahat.
Gejala : kelemahan, kelelahan, malaise.
b. Sirkulasi.
Tanda : takikardi (proses inflamasi dan nyeri).
c. Makanan dan cairan.
Gejala : anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan.
d. Nyeri atau kenyamanan.
Gejala : nyeri tekan dan abdomen atau distensi.
O. Fokus Intervensi

1). Nyeri berhubungan dengan diskontinuitas jaringan, pembedahan (Carpenito, 2001 : 43).
A. Tujuan : nyeri berkurang atau terkontrol.
B. Kriteria hasil :
- Pasien melaporkan nyeri berkurang atau terkontrol.
- Pasien nampak rileks.
- Mampu beristirahat atau tidur dengan tepat.
C. Intervensi :
a. Kaji adanya nyeri, lokasi, karakteristik, intesitas (skala 0-19). Rasional : membantu
mengevaluasi derajad ketidaknyamanan dan keefektifan analgetik.
b. Pantau tanda-tanda vital.
Rasional : autonomik meliputi perubahan pada tekanan darah, nadi dan pernafasan yang
berhubungan dengan keluhan atau kehilangan nyeri.
c. Ajarkan tekhnik rileksasi.
Rasional : membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali
perhatian sehingga menurunkan nyeri.
d. Pertahankan tirah baring pada posisi yang nyaman.
Rasional : tirah baring mengurangi penggunaan energi dan membantu mengontrol nyeri.
e. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
Rasional : untuk mengurangi nyeri.
2). Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan jalan masuknya mikroorganisme sekunder akibat
pembedahan (carpenito, 2001 : 205).
A.Tujuan :
a. Tidak terjadi infeksi.
b. Suhu dalam batas normal.

B.Kriteria Hasil :
- Tidak terdapat tanda-tanda infeksi
- Suhu dalam batas normal.
A. Intervensi :
a. Pantau tanda-tanda vital.
Rasional : suhu yang meningkat atau memuncak dan kembali ke normal pada pagi hari
adalah karakteristik infeksi.
b. Pertahankan perawatan luka dengan tekhnik septik dan aseptik. Rasional : melindungi
pasien dari dari kontaminasi silang selama penggantian balutan.
c. Observasi penyatuan luka, karakter dan adanya inflamasi.
Rasional : perkembangan infeksi dapat memperlambat pemulihan.
d. Lakukan irigasi luka sesuai kebutuhan Rasional : dapat mengatasi infeksi bila ada.
e. Kolaborasi pemberian antibiotik
Rasional : diberikan secara profilaktik dan untuk mengatasi infeksi.
3). Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan fisik (Tucker, 1998 : 10).
A. Tujuan : kebutuhan aktifitas terpenuhi.
B. Kriteria Hasil :
- Kebutuhan sehari-hari terpenuhi.
- Pasien dapat melakukan aktifitas secara bertahap.
C. Intervensi :
a. Kaji toleransi mobilitas dan motivasi klien.
Rasional : tirah baring lama dapat menurunkan kemampuan diri, ini dapat terjadi karena
keterbatasan aktivitas yang mengganggu periode istirahat.
c. Bantu aktivitas sehari-hari.
Rasional : menurukan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen.
d. Bantu aktivitas sehari-hari secara minimal.
Rasional : untuk membantu agar tidak terlalu ketergantungan pada orang lain.
e. Anjurkan aktivitas secara toleransi.
Rasional ; tekhnik penghematan energi menurunkan penggunaan energi sehingga
membantu keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
f. Anjurkan pada klien untuk mobilisasi secara bertahap.
Rasional : kemjuan aktivitas bertahap mencgah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
4).Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan tidak nafsu makan (Doenges,
1999 : 931).
A. Tujuan : resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi.
B. Kriteria Hasil :
- Menunjukkan pola makan yang meningkat.
- Berat badan naik.
C. Intervensi
a) Kaji penyebab kehilangan atau peningkatan berat badan.
Rasional : membantu menciptakan rencana perawatan atau pilihan intervensi
b) Anjurkan untuk makan sedikit-sedikit tapi sering.
Rasional : buruknya toleransi terhadap makanan mungkin berhubungan dengan
peningkatan intra abdomen.
c) Sajikan makanan selagi hangat. Rasional : meningkatkan rasa lapar.
d) Berikan makanan kesukaan yang tidak berpantangan dengan diet dari rumah sakit.
Rasional : dapat meningkatkan selera makan.
e) Kolaborasi : konsul dengan ahli gizi.
Rasional : menambahkan dalam menetapkan program nutrisi, spesifik untuk
memenuhi kebutuhan individual pasien.
Daftar Pustaka
“ Buku Ajar KEperawatan Medikal Bedah Brunner 7 Suddarth “ Volume 2 Edisi 8,
Jakarta: EGC, 2001
Suratun, Lusianah. “Asuhan Keperawatan Klien gangguan sistem Gastrointestinal”.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai