Latar Belakang KDRT
Latar Belakang KDRT
Menurut Salvicion dan Ara Celis (1989) keluarga adalah dua individu atau lebih yang
tergabung karena adanya hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan
hidup dalam suatu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan dalam perannya masing-
masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Dalam suatu rumah
tangga selalu mengharapkan adanya keadaan yang harmonis, bahagia dan saling mencintai,
tetapi faktanya terdapat keluarga yang tidak harmonis, justru merasakan adanya tekanan dan
kesedihan karena adanya kekerasan dalam rumah tangganya itu (Ramadhan, 2018).
Menurut World Health Organitation, kekerasan dalam rumah tangga termasuk pelanggaran
terhadap hak asasi bagi perempuan dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
utama. Berdasarkan perkiraan data global yang diterbitkan oleh WHO menunjukan bahwa
sekitar 1 dari 3 atau 35% perempuan diseluruh dunia mengalami kekerasan dari
pasangannnya yang berupa kekerasan fisik, mental, maupun seksual. Secara global, sebanyak
38% dari kasus pembunuhan perempuan dilakukan oleh pasangan dalam rumah tangganya
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Kekerasan dalam rumah tangga merupakan
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah
diabaikan karena dikhawatirkan kejadian kasus dapat terus meningkat. Menyikapi hal
(SPHPN) pada tahun 2016 untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
Hasil SPHPN tersebut menunjukan bahwa 18,3% perempuan yang sudah menikah usia 15-64
tahun telah mengalami kekerasan fisik dan atau kekerasan seksual. Kekerasan fisik lebih
seksual yaitu sebesar 10,6 %. Kekerasan emosional atau psikologis yang bentuknya berupa
tindakan mengancam, memanggil dengan sebutan yang tak pantas atau mempermalukan
(CATAHU) Komnas Perempuan pada 6 Maret 2019, jumlah kekerasan terhadap perempuan
paling tinggi adalah KDRT atau ranah personal yang mencapai angka 71% atau 9.637 kasus
dan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik mencapai 41% atau 3.927 kasus
(KEMENPPPA,2019).
Kasus KDRT akan menimbulkan dampak pada suasana keluarga yang akan langsung
berdampak pada harmonisasi dalam keluarga serta akan mempengaruhi psikologi pada anak.
Keharmonisan dalam keluarga meliputi rasa kasih sayang sesama anggota keluarga, ketaatan
dalam beribadah dan komunikasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan
menunjukan bahwa tingkat keharmonisan keluarga rendah dipengaruhi oleh KDRT yang
mengenai pengaruh KDRT terhadap psikologi anak dikatakan bahwa KDRT mengakibatkan
suatu keadaan yang tak baik bagi psikologi anak. Penyampaian kata-kata kasar terhadap
masing-masing pasangan dihadapan anak dan didikan yang keras akan menimbulkan
kepribadian dan kondisi psikologis yang tak stabil. Dampak negatif dari KDRT terhadap
psikologi anak dapat berupa anak menjadi penyendiri atau pendiam, kesulitan berkonsentrasi
di sekolah, susah diatur, tidak disiplin, tidak menghargai orang yang lebih tua, dan dapat
melakukan hal diluar kendali orang tua seperti menjadi pecandu alkohol. Hal-hal tersebut
akan berakibat buruk terhadap masa depan mereka (Ramadhan, 2018; Manumpahi,
dkk,2016)
Berdasarkan SPHPN (2016) terdapat 4 faktor yang menimbulkan terjadinya KDRT, yaitu
faktor individu, faktor pasangan, faktor sosial budaya dan faktor ekonomi. Faktor individu
yang dimaksud adalah faktor individu perempuan, jika dilihat dari bentuk pengesahan
perkawinan, perempuan dengan perkawinan melalui kawin siri secara agama, adat, kontrak
atau lainnya berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi dan diakui negara melalui catatan sipil
atau KUA. Selain itu faktor pertengkaran dengan suami, perempuan dengan faktor ini akan
beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan
pasangan lain beresiko 1,34 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual
dibandingkan dengan perempuan yang suaminya tak memiliki pasangan lain. Perempuan
dengan suami yang mengggunakan narkotika memiliki resiko 2 kali lebih besar dibandingkan
dengan perempuan dengan suami tidak mengggunakan narkotika. Perempuan dengan suami
pengguna narkotika 45,1% mengalami kekerasan fisik, 35,6% mengalami kekerasan seksual,
54,7% mengalami kekerasan fisik dan seksual, 59,3% mengalami kekerasan ekonomi, 61,3%
mengalami kekerasan emosional/psikis dan yang tertinggi yaitu 74,8% mengalami kekerasan
Faktor ekonomi berperan dalam tingkat kesejahteraan rumah tangga. Perempuan yang
berasal dari 25% termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik
dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan dengan kelompok 25% terkaya. Faktor sosial
budaya yang berperan seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan yang
mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali
lebih besar mengalami kekerasan, kemudian perempuan yang tinggal diperkotaan memiliki
risiko 1,2 kali lebih besar mengalami kekerasan dibandingkan perempuan yang tinggal di
jadi korban KDRT, kenali faktor penyebabnya [artikel online]. Tersedia dari
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1742/perempuan-rentan-jadi-korban-
kdrt-kenali-faktor-penyebabnya.
KEMEN PPPA ajak milenial cegah KDRT [artikel online]. Tersedia dari
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2089/kasus-meningkat-kemen-pppa-
ajak-milenial-cegah-kdrt.
Manumpahi E, Goni SY.V.I, Pongoh HW. 2016. Kajian kekerasan dalam rumah tangga
terhadap psikologi anak di Desa Soakonora Kecamatan Jailolo Kabupaten Halmahera Barat.
Ramadhan, RA. 2018. Pengaruh kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap tingkat
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/violence-against-women.