Anda di halaman 1dari 41

CASE REPORT

Asma Eksaserbasi Akut

Oleh:
dr. Muhammad Bardan Hanif

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PERIODE 3 OKTOBER 2018 – 3 OKTOBER 2019
RSUD SULTAN SYARIF MOHAMAD ALKADRIE
BAB I
PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit peradangan saluran pernapasan kronik dengan tingkat


morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi sehingga asma merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius di seluruh dunia. Global Initiative for Asthma (GINA) mencatat
pada tahun 2011 terdapat 300 juta penduduk dunia menderita asma dan diperkirakan pada
tahun 2025 penderita asma akan terus meningkat mencapai 400 juta.4,10 Pada tahun 2013,
World Health Organization (WHO) mencatat sebanyak 235 juta penduduk dunia menderita
asma.14 Di Indonesia, asma termasuk 10 besar penyakit yang menyebabkan kematian dan
kesakitan berdasarkan Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT).3 Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional tahun 2013, diperoleh data pravalensi
asma di Indonesia mencapai 4,5% dari seluruh penduduk Indonesia, dengan angka
kejadian tinggi pada usia 15 tahun hingga 44 tahun.
Menurut derajat beratnya, asma diklasifikasikan menjadi asma intermitten, persisten
ringan, persisten sedang dan persisten berat. Pada pasien asma persisten, selain
menggunakan obat jangka pendek untuk melegakan, juga diharuskan menggunakan obat
jangka panjang setiap hari untuk mempertahankan asma dalam keadaan terkontrol.8 Asma
sebenarnya dapat dikontrol dan diobati secara efektif, namun tingkat kepatuhan terhadap
pengobatan asma masih rendah dengan angka kepatuhan yang rendah berkisar dari 38%
sampai 50%.2 Berbagai penelitian di Eropa dan Asia menunjukkan bahwa pasien asma
sering menganggap remeh mengenai berat penyakitnya sehingga mempengaruhi
keteraturan untuk kontrol dan kepatuhan terhadap pengobatan yang sesuai dengan prosedur
pengobatan asma.11
Tujuan jangka panjang penanganan asma adalah untuk mencapai asma terkontrol.
Kontrol asma diperlukan untuk meminimalkan risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi
paru sehingga dapat beraktivitas dengan optimal dalam kehidupan sehari-hari. Asma yang
tidak terkontrol dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari baik secara fisik dan mental.
Berbagai faktor berperan dalam menyebabkan keadaan asma yang tidak terkontrol, di
antaranya adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, merokok, volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), penyakit komorbid dan berat badan berlebih.4
BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
I. Identitas Pasien
• Nama pasien : Tn AR
• Usia : 42 tahun
• Pekerjaan pasien : Wiraswasta
• Alamat : Jeruju
• Pendidikan : SMP
• TB : 162 cm
• BB : 60 kg
• IMT : 22,9 Kg/m2
• Tanggal Masuk : 18 Juni 2019
• Jam : 04.20 WIB
• Kode CM : 109850
• DPJP : dr. Alfian

II. Anamnesis
Keluhan utama : Sesak Napas
Anamnesis khusus :
Pasien datang ke IGD RSUD Kota Pontianak dengan keluhan
sesak nafas sejak 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku
dalam 4 hari ini keluhan sesak nafasnya sering kambuh, makin berat dan
sudah tidak berkurang dengan konsumsi obat semprot dari dokter yang
biasa digunakan. Sesak dirasa bertambah berat pada malam hari dan atau
hawa dingin. Keluhan sesak disertai dengan adanya mengi. Saat sesak
memberat, pasien lemas, gelisah, dan sulit untuk berbicara, namun masih
dapat membentuk kalimat. Sesak tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi.
Pasien juga mengeluh adanya demam disertai batuk berdahak sejak
4 hari, warna kuning agak kental dan sulit dikeluarkan.

3
Keluhan sesak ini tidak diawali dengan adanya batuk lama,
penurunan berat badan, serta keringat berlebih pada malam hari. Keluhan
sesak tidak disertai adanya bengkak pada kedua kaki dan sesak yang
menyebabkan pasien terbangun pada malam hari. Pasien juga menyangkal
keluhan sesak diawali dengan adanya trauma. Pasien menyangkal keluhan
disertai dengan adanya lemas dan pipis menjadi berkurang dari biasanya.
Menurut keluarga pasien, pasien tidak pernah merokok. Pasien
juga mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal,
hipertensi, ataupun diabetes mellitus. Pasien memiliki ayah yang memiliki
riwayat penyakit asma. Pasien mengaku sudah pernah ke klinik
sebelumnya bila terjadi sesak napas dan diberikan obat bernama
salbutamol. Pasien mengaku memiliki alergi terhadap debu.

III. Pemeriksaan Fisik


• Status Generalis
• Keadaan umum : Sakit berat
• Kesadaran : Compos mentis
• Tanda vital :
• TD : 130/80 mmHg
• N : 125 x /menit, reguler, equal, isi cukup
• S : 36,90C
• R : 30x/menit, reguler
• SpO2 : 70%
• Kepala : Conjunctiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, tidak ada
kelainan, napas cuping hidung (-)
• Leher : KGB tidak teraba membesar, JVP dbn,
• Thorax :
• Inspeksi : simetris (+), retraksi interkostae (+),
gerakan napas simetris, ptekie (-), purpura (-)
• Palpasi : gerakan napas simetris
• Perkusi : sonor +/+, batas jantung normal

4
• Paru : vesikuler, slem +/+, ronkhi +/- basal,
wheezing +/+ (inspirasi dan ekspirasi)
• Jantung : S I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
• Abdomen :
• Inspeksi : distensi (-), ptekie (-), purpura (-)
• Auskultasi : bising usus (+) normal
• Perkusi : timpani
• Palpasi : supel, nyeri tekan epigastik (-), hepar lien
tidak teraba
• Ekstremitas : CRT < 2 detik, akral hangat, edema -/-

IV. Diagnosis Banding


 Obs Dyspneu ec Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut
 Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) + Hipertensi Grade 2
 Bronkitis Kronis + Hipertensi Grade 2

V. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium Darah
Darah Rutin
Hemoglobin : 13,6 mg/dl
Leukosit : 28.710/mm3
Trombosit : 240.000/ul
Hematokrit : 40.1%

Kimia Klinik (darah)


Gula Darah Sewaktu: 190 mg/dL

Tes Faal Paru


(tidak ada data)

Foto Rontgen Thorax

5
(tidak ada data)

VI. Diagnosa Kerja


 Obs Dyspneu ec Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut + Bronkopneumonia

VII. Tatalaksana
1. Non farmakologis:
a. Edukasi agar pasien menghindari pencetus dari penyakit asma
tersebut
b. Menjelaskan mengenai penyakit tersebut dan cara pemakaian obat
c. Edukasi agar pasien rutin kontrol untuk pemantauan terapi

2. Farmakologis:
O2 Nasal Kanul 5 lpm
Combivent prn
Ringer Asetat 20 tpm
Injeksi Ranitidin 50 mg IV

Saran :
untuk dilakukannya pemeriksaan tes faal paru dan rontgen thorax agar
menunjang diagnosis dan membantu pemantauan terapi

VIII. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Asma


Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.4,8

Gambar 1. Mekanisme dasar kelainan asma


3.2 Epidemiologi Asma
Asma bronkial merupakan salah satu penyakit alergi dan masih menjadi
masalah kesehatan baik di negara maju maupun di negara berkembang. Prevalensi
dan angka rawat inap penyakit asma bronkial di negara maju dari tahun ke tahun
cenderung meningkat. Perbedaan prevalensi, angka kesakitan dan kematian asma
bronkial berdasarkan letak geografi telah disebutkan dalam berbagai penelitian.
Selama sepuluh tahun terakhir banyak penelitian epidemiologi tentang asma

7
bronkial dan penyakit alergi berdasarkan kuisioner telah dilaksanakan di berbagai
belahan dunia. Semua penelitian ini walaupun memakai berbagai metode dan
kuisioner namun mendapatkan hasil yang konsisten untuk prevalensi asma
bronkial sebesar 5-15% pada populasi umum dengan prevalensi lebih banyak pada
wanita dibandingkan laki-laki. Di Indonesia belum ada data epidemiologi yang
pasti namun diperkirakan berkisar 3-8%.7 Dua pertiga penderita asma bronkial
merupakan asma bronkial alergi (atopi) dan 50% pasien asma bronkial berat
merupakan asma bronkial atopi. Asma bronkial atopi ditandai dengan timbulnya
antibodi terhadap satu atau lebih alergen seperti debu, tungau rumah, bulu
binatang dan jamur. Atopi ditandai oleh peningkatan produksi IgE sebagai respon
terhadap alergen. Prevalensi asma bronkial non atopi tidak melebihi angka 10%.
Asma bronkial merupakan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
lingkungan. Data pada penelitian saudara kembar monozigot dan dizigot,
didapatkan kemungkinan kejadian asma bronkial diturunkan sebesar 60-70%.7

3.3 Patofisiologi Asma


Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara
lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
Alergen akan memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan
IgE dependent dari sel mast saluran pernafasan dan terjadi degranulasi sel mast
tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti
histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin,
prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus,
sekresi mukus dan vasodilatasi.4
Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga
terjadi oleh karena saluran pernafasan pada pasien asma sangat hiper responsif
terhadap bermacam-macam jenis serangan. Akibatnya keterbatasan aliran
udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran nafas dengan
atau tanpa kontraksi otot polos. Peningkatan permeabilitas dan kebocoran
mikrovaskular berperan terhadap penebalan dan pembengkakan pada sisi luar
otot polos saluran pernafasan.1,11

8
Gambar 2. Bronkiolus normal dan bronkiolus pada asma bronkial2

Penyempitan saluran pernafasan yang bersifat progresif yang disebabkan


oleh inflamasi saluran pernafasan dan atau peningkatan tonos otot polos
bronkioler merupakan gejala serangan asma akut dan berperan terhadap
peningkatan resistensi aliran, hiper inflasi pulmoner, dan ketidakseimbangan
ventilasi dan perfusi.11
Pada penderita asma bronkial karena saluran napasnya sangat peka
(hipersensitif) terhadap adanya partikel udara, sebelum sempat partikel tersebut
dikeluarkan dari tubuh, maka jalan napas (bronkus) memberi reaksi yang sangat
berlebihan (hiperreaktif), maka terjadilah keadaan dimana1
 Otot polos yang menghubungkan cincin tulang rawan akan
berkontraksi/memendek/mengkerut
 Produksi kelenjar lendir yang berlebihan
 Bila ada infeksi akan terjadi reaksi sembab/pembengkakan dalam saluran
napas
Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran napas.
Akibatnya menjadi sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha untuk
membersihkan diri, keluar dahak yang kental bersama batuk, terdengar suara

napas yang berbunyi yang timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas
yang sempit. Suara napas tersebut dapat sampai terdengar keras terutama saat
mengeluarkan napas.1,11

9
Gambar 3 Patofisiologi Asma13
Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada
asma akut. Gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan
ekspirasi dan dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana seperti Peak
Expiratory Flow Rate (PEFR) dan FEV1 (Forced Expiration Volume). Ketika
terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan
menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya
tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiper inflasi
dinamik. Besarnya hiper inflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas
cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula terlihat pada
foto toraks yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan
diafragma yang mendatar.11

10
Hiperinflasi dinamik terutama berhubungan dengan peningkatan aktivitas
otot pernafasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskular.
Hiper inflasi paru akan meningkatkan after load pada ventrikel kanan oleh karena
peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.11
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi
peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional dan pasien akan bernapas
pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total. Keadaan hiperinflasi ini
bertujuan agar saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar.
Untuk mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.12
Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran napas yang
besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di
saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan
sesak lebih dominan dibanding mengi.12
Airway Remodelling
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process)
yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan
sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan
regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang
sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung
yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan
menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat
kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling.
Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari
diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan
penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur

11
dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan
kelenjar mucus. 4
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal,
matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya,
pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi : 4
 Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
 Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
 Penebalan membran reticular basal
 Pembuluh darah meningkat
 Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
 Perubahan struktur parenkim
 Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Gambar 4. Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik dan airway


remodeling dengan gejala klinis4

3.4 Faktor Risiko Asma


Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu
(host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi
genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma,

12
alergik (atopi), hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi
faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan
:4,8,14
 pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma,
 baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko
penyakit asma.

Gambar 6. Interaksi faktor genetik dan lingkungan pada kejadian asma14


Faktor risiko pada asma :4,8
Faktor Pejamu
Prediposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas

13
Jenis kelamin
Ras/ etnik
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi
asma
Alergen di dalam ruangan
 Mite domestik
 Alergen binatang
 Alergen kecoa
 Jamur (fungi, molds, yeasts)
Alergen di luar ruangan
 Tepung sari bunga
 Jamur (fungi, molds, yeasts)

Bahan di lingkungan kerja


Asap rokok
 Perokok aktif
 Perokok pasif

Polusi udara
 Polusi udara di luar ruangan
 Polusi udara di dalam ruangan

Infeksi pernapasan
 Hipotesis higiene

Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Besar keluarga
Diet dan obat

14
Obesiti
Faktor Lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau`menyebabkan gejala-gejala asma
menetap
Alergen di dalam dan di luar ruangan
Polusi udara di dalam dan di luar ruangan
Infeksi pernapasan
Exercise dan hiperventilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan (a.l. parfum, bau-bauan merangsang, household spray)

3.5 Diagnosis Asma


Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan
dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis,
ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.4
Riwayat penyakit / gejala :
 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator
 Nafas berbunyi
Tanda - tanda fisik : 1,5,6
 Cemas/gelisah/panik/berkeringat

15
 Tekanan darah meningkat
 Nadi meningkat
 Pulsus paradoksus : penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg
pada waktu inspirasi
 Frekuensi pernafasan meningkat
 Sianosis
 Otot-otot bantu pernafasan hipertrofi
Paru :
 Didapatkan ekspirium yang memanjang
 Wheezing

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :4


 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan
Pemeriksaan laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman,
kristal Charcot Leyden).6
Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru
antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter
objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
 obstruksi jalan napas
 reversibiliti kelainan faal paru
 variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas

16
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE). 4,8,14

Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur
yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi.4,8
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau
VEP1 < 80% nilai prediksi.
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
 Menilai derajat berat asma

Arus Puncak Ekspirasi (APE)


Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter
(PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari plastik dan
mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk puskesmas
ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah digunakan/
dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di
rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan
APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi
yang jelas. 4,8

17
Manfaat APE dalam diagnosis asma
 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau
respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
 Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit (lihat klasifikasi)

Peran Pemeriksaan Lain untuk Diagnosis


Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan uji
provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitis
yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat menyingkirkan
diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu berarti bahwa
penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada penyakit lain seperti
rinitis alergik, berbagai gangguan dengan penyempitan jalan napas seperti
PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik.4

Pengukuran Status Alergi


Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan
uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai
kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor
risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan.4
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan cara
yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan positif
maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan alergen yang
relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu dilakukan. Pengukuran
IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak dapat dilakukan (antara lain

18
dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit pada lengan tempat uji kulit, dan
lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai dalam diagnosis
alergi/ atopi.4

3.6 Klasifikasi Asma


Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan
pola keterbatasan aliran udara.
Secara etiologis, asma bronchial terbagi dalam 3 tipe 12
1. Asma bronchial tipe non atopi (intrinsic)
Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang
berasal dari allergen. Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi saluran nafas dan
kondisi lingkungan yang buruk seperti kelembaban, suhu, polusi udara, zat-zat
iritan kimia atau obat-obatan serta aktivitas olahraga yang berlebihan. Pada
golongan ini keluhan ini tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure)
terhadap allergen dengan sifat-sifat:
a. Serangan timbul setelah dewasa
b. Pada keluarga tidak ada yang menderita asma
c. Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan
d. Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik
e. Rangsangan/stimuli psikis mempunyai peran untuk menimbulkan
serangan reaksi asma
f. Perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non-spesifik
merupakan keadaan yang peka bagi penderita.
2. Asma bronchial tipe atopi (ekstrinsic)
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena
reaksi alergi penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa
terhadap orang yang sehat. Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan
paparan (exposure) terhadap allergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini
biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau uji provokasi bronchial. Pada
tipe mempunyai sifat-sifat:
a. Timbul sejak kanak-kanak

19
b. Keluarga ada yang menderita asma
c. Adanya eksim saat bayi
d. Sering menderita rhinitis
e. Di Inggris jelas penyebabnya House Dust Mite, di USA tepung sari
bunga rumput.
3. Asma bronchial tipe campuran (mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsic
maupun ekstrinsik.

Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan


perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin
tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan berdasarkan
gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai.4,8
Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum
pengobatan) : 4,8

20
Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan : 4,8

21
3. 7 Diagnosis Banding
 Bronkitis kronis 11,13
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum
3 bulan dalam setahun untuk sediknya 2 tahun. Gejala utama batuk yang
disetai sputum dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama
kelamaan disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.
 Emfisema paru 11,13
Sesak nafas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya.
 Gagal Jantung kiri 11,13

22
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada
malam hari disebut paroxysmal noctrunal dispnea. Pasien tiba-tiba
terbangun pad malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau
berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan
edema paru.
 Emboli paru 11,13
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung.
Disamping gejala sesak nafas, pasien batuk dengan disertai darah
(haemoptoe).

3.8 Penatalaksanaan Asma


Tujuan penatalaksanaan asma:4
a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
b. Mencegah eksaserbasi akut
c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
d. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
e. Menghindari efek samping obat
f. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
g. Mencegah kematian karena asma
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma
dikatakan terkontrol bila :4
a. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
b. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
c. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan)
d. Variasi harian APE kurang dari 20%
e. Nilai APE normal atau mendekati normal
f. Efek samping obat minimal (tidak ada)
g. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat

23
Medikasi Asma
Penatalaksanan asma bronkial terdiri dari pengobatan non medikamentosa
dan pengobatan medikamentosa :
1. Pengobatan non medikamentosa 5,6
Pengobatan non medikamentosa terdiri dari :
- Penyuluhan
- Menghindari faktor pencetus
- Pengendalian emosi
- Pemakaian oksigen
2. Pengobatan medikamentosa 4,8
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.4,8
1) Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol
asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan
asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol : 4,8
a. Kortikosteroid inhalasi
Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol
asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi
menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan
asma persisten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan
baik dan aman pada dosis yang direkomendasikan.

24
b. Kortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan
sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau
selang sehari), tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek
sistemik. Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid
inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.
Beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberi steroid oral:
 gunakan prednison, prednisolon, atau metilprednisolon karena
mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan
efek striae pada otot minimal
 bentuk oral, bukan parenteral
 penggunaan selang sehari atau sekali sehari pagi hari

c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)


Mekanisme yang pasti dari sodium kromoglikat dan nedokromil sodium
belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi
nonsteroid, menghambat penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi
yang diperantarai IgE yang bergantung kepada dosis dan seleksi serta
supresi sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit); selain

25
kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya
secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan.
Studi klinis menunjukkan pemberian sodium kromoglikat dapat
memperbaiki faal paru dan gejala, menurunkan hiperesponsif jalan napas
walau tidak seefektif glukokortikosteroid inhalasi. Dibutuhkan waktu 4-6
minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini bermanfaat atau
tidak. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa obat tidak
enak saat melakukan inhalasi.
d. Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner
seperti antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan hambatan
fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi tinggi (>10 mg/dl),
sedangkan efek antiinflamasi melalui mekanisme yang belum jelas terjadi
pada konsentrasi rendah (5-10 mg/dl). Pada dosis yang sangat rendah efek
antiinflamasinya minim pada inflamasi kronik jalan napas dan studi
menunjukkan tidak berefek pada hiperesponsif jalan napas. Teofilin juga
digunakan sebagai bronkodilator tambahan pada serangan asma berat.
Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi
dengan agonis beta-2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika
dibutuhkan.
e. Agonis beta-2 kerja lama (inhalasi dan oral)
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol
dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti
lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan
pembersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan
memodulasi penglepasan mediator dari sel mast dan basofil. Kenyataannya
pada pemberian jangka lama, mempunyai efek antiinflamasi walau kecil.
Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka lama mempunyai
efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi
agonis beta-2 kerja lama, menghasilkan efek bronkodilatasi lebih baik

26
dibandingkan preparat oral. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis
beta-2 :

f. Leukotrien modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui
oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok
sintesis semua leukotrin (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-
reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas,
pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen,
sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai
efek antiinflamasi. Penderita dengan aspirin induced asthma menunjukkan
respons yang baik dengan pengobatan leukotriene modifiers. Saat ini yang
beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien
sisteinil).
Sediaan dan dosis obat pengontrol asma

27
28
2) Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala
akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi
jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega
adalah : 4,8
a. Agonis beta2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan
prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja
(onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang

29
lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi
mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/ tidak ada.
Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos
saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti
pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.
Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan sangat bermanfaat
sebagai praterapi pada exercise-induced asthma. Penggunaan agonis beta-2
kerja singkat direkomendasikan bila diperlukan untuk mengatasi gejala.
Kebutuhan yang meningkat atau bahkan setiap hari adalah petanda
perburukan asma dan menunjukkan perlunya terapi antiinflamasi. Demikian
pula, gagal melegakan jalan napas segera atau respons tidak memuaskan
dengan agonis beta-2 kerja singkat saat serangan asma adalah petanda
dibutuhkannya glukokortikosteroid oral.

b. Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega


bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum
tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

c. Antikolinergik
Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek
penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan
bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain
itu juga menghambat refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Efek
bronkodilatasi tidak seefektif agonis beta-2 kerja singkat, onsetnya lama dan
dibutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimum. Tidak
mempengaruhi reaksi alergi tipe cepat ataupun tipe lambat dan juga tidak
berpengaruh terhadap inflamasi.
Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan
tiotropium bromide. Analisis meta penelitian menunjukkan ipratropium
bromide mempunyai efek meningkatkan bronkodilatasi agonis beta-2 kerja
singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko

30
perawatan rumah sakit secara bermakna. Oleh karena disarankan
menggunakan kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja
singkat sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau
pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2 saja,
sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Tidak bermanfaat diberikan
jangka panjang, dianjurkan sebagai alternatif pelega pada penderita yang
menunjukkan efek samping dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi
seperti takikardia, aritmia dan tremor. Efek samping berupa rasa kering di
mulut dan rasa pahit. Tidak ada bukti mengenai efeknya pada sekresi
mukus.

d. Metilsantin
Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah
dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat. Aminofillin kerja singkat dapat
dipertimbangkan untuk mengatasi gejala walau disadari onsetnya lebih lama
daripada agonis beta-2 kerja singkat Teofilin kerja singkat tidak menambah
efek bronkodilatasi agonis beta-2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi
mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot
pernapasan dan Teofilin berpotensi menimbulkan efek samping
sebagaimana metilsantin, tetapi dapat dicegah dengan dosis yang sesuai dan
dilakukan pemantauan. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak diberikan
pada penderita yang sedang dalam terapi teofilin lepas lambat kecuali
diketahui dan dipantau ketat kadar teofilin dalam serum.

31
Sediaan dan dosis obat pelega untuk mengatasi gejala asma :

32
Rute pemberian medikasi
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral
dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian
medikasi langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah : 4,8
a. lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
b. efek sistemik minimal atau dihindarkan
c. beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak
terabsorpsi pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja
bronkodilator adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.

Macam-macam cara pemberian obat inhalasi : 4,8


a. Inhalasi dosis terukur (IDT)/ metered-dose inhaler (MDI)
b. IDT dengan alat Bantu (spacer)
c. Breath-actuated MDI
d. Dry powder inhaler (DPI)

33
e. Turbuhaler
f. Nebuliser

Pengobatan sesuai berat asma :

34
Penatalaksanaan Serangan Akut :
Penilaian berat serangan merupakan kunci pertama dalam penanganan
serangan akut. Langkah berikutnya adalah memberikan pengobatan tepat,
selanjutnya menilai respons pengobatan, dan berikutnya memahami tindakan
apa yang sebaiknya dilakukan pada penderita (pulang, observasi, rawat inap,
intubasi, membutuhkan ventilator, ICU, dan lain-lain). 4,8

Klasifikasi berat serangan asma akut : 4,8

35
Penatalaksanaan serangan asma di rumah sakit :

36
37
3.9 Komplikasi 5,9
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Status asmatikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
3.10 Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka
kematian penderita asma wanita dua kali lipat penderita asma pria. Juga suatu
kenyataan bahwa angka kematian pada serangan asma dengan usia lebih tua lebih
banyak, kalau serangan asma diketahui dan di mulai sejak kanak-kanak dan
mendapat pengawasan yang cukup kira-kira setelah 20 tahun, hanya 1% yang
tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan
commond cold 29% akan mengalami serangan ulangan.7
Pada penderita yang mengalami serangan intermiten (kumat-kumatan)
angka kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan
serangan terus menerus angka kematiannya 9%. 7

38
BAB IV
KESIMPULAN

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan


banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan.
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, berupa batuk,
sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan
cuaca. Biasanya pasien akan berespons terhadap pemberian bronkodilator.
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi
genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma,
alergik (atopi), hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan / predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap, seperti faktor cuaca dingin dan
kelelahan.
Serangan asma bervariasi dari ringan sampai berat bahkan dapat bersifat
fatal atau mengancam jiwa. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan
gambaran klinis dibagi menjadi 4, yaitu asma intermitten, persisten ringan,
persisten sedang, dan persisten berat.
Pada serangan asma oksigen segera diberikan untuk mencapai kadar
saturasi oksigen ≥ 90% dan dipantau dengan oksimetri. Pemberian inhalasi
ipratropium bromide kombinasi dengan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi
dapat meningkatkan respons bronkodilatasi. Bila dibutuhkan dapat
ditambahkan bronkodilator aminofilin intravena dengan dosis 5-6 mg/ kg BB/
bolus yang diberikan dengan dilarutkan dalam larutan NaCL fisiologis 0,9%

39
atau dekstrosa 5% dengan perbandingan 1:1. Pada penderita yang sedang
menggunakan aminofilin 6 jam sebelumnya maka dosis diturunkan
setengahnya; untuk mempertahankan kadar aminofilin dalam darah, pemberian
dilanjutkan secara drip dosis 0,5-0,9 mg/ kgBB/ jam. Glukokortikosteroid
sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada serangan asma derajat
manapun kecuali serangan ringan. Glukokortikoid sistemik diberikan terutama
jika pemberian agonis beta-2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak
memberikan respon, serangan terjadi walau penderita sedang dalam
pengobatan dan atau serangan asma berat.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Asma bronkial. 2008. http://www.medicastore.com [diakses 21 Mei 2019].


2. Axelsson M, Emilsson M, Brink E, Lundgren J, Torén K, Lötvall J.
Personality, adherence, asthma control and health-related quality of life in
young adult asthmatics. Resp Med. 2009;103(7):1033-40.
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar [Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional]. 2013. p.84-7.
4. GINA (Global Initiative for Asthma). Global Strategy for Diagnosis,
Management and Prevention of Asthma. WHO Workshop Report. 2011.
p.2
5. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, wardani WI, Setiowulan W. Kapita
Selekta kedokteran. Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2001.
477-82.
6. Manurung P, Yunus F, Wiyono WH, Jusuf A, Murti B. Hubungan Antara
Eosinofil Sputum dengan Hiperreaktivitas Bronkus pada Asma Persisten
Sedang. Jurnal Respirologi Indonesia 2006;1.45
7. Marleen FS, Yunus F. Asma pada Usia Lanjut. Jurnal Respirologi
Indonesia 2008;28. 165-73.
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). ASMA Pedoman Diagnosis
dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2009. p.1-59
9. Priyanto H, Yunus F, Wiyono WH. Studi Perilaku Kontrol Asma pada
Pasien yang tidak teratur di Rumah Sakit Persahabatan. J Respir Indo.
2011;31(3):139.
10. Ratnawati. Epidemiology of Asthma. J Respir Indo. 2011;31(4):172.
11. Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Jakarta :
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2007. 981
12. Ward JPT. Ward J, Leach RM, Wiener CM. at a glance Sistem Respirasi.
Jakarta: Erlangga. 54-57
13. Widjaja A. Patogenesis Asma. Makalah Ilmiah Respirologi 2003.
Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, 2003.27.
14. World Health Organization. Who.int. [Online] 2013. [Cited 2019 Mei 21].
Available form : who.int/mediacentre/factsheets/fs307/en/#

41

Anda mungkin juga menyukai