Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KASUS

TONSILITIS KRONIS

Oleh:

Erly Tibyan Wahyuly

H1A014022

Pembimbing

dr. Didit Yudhanto, Sp.THT-KL, M.Sc

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROK

RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian


dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral
band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatine biasanya
meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara (air
borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada
anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk
strain bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr,
enterovirus, dan virus herpes simplex. Salah satu penyebab paling sering pada
tonsilitis adalah bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik (GABHS), 30% dari
tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan juga merupakan penyebab radang
tenggorokan.3
Tonsilitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten yang
berpotensi membentuk formasi batu tonsil.4 Terdapat referensi yang menghubungkan
antara nyeri tenggorokan yang memiliki durasi 3 bulan dengan kejadian tonsilitis
kronik.5 Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari
daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena
peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis
klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan obstruksi saluran napas
bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki dampak
sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam berulang,
odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan submandibula.6

1
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Tonsilitis kronis


Tonsilitis kronis secara umum diartikan sebagai infeksi atau inflamasi
pada tonsila palatina yang menetap. Tonsilitis kronis disebabkan oleh serangan
ulangan dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan yang permanen pada
tonsil. Organisme patogen dapat menetap untuk sementara waktu ataupun untuk
waktu yang lama dan mengakibatkan gejala-gejala akut kembali ketika daya
tahan tubuh penderita mengalami penurunan.2

2.3 Anatomi dan Fisiologi tonsil


Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang
letaknya di bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ.
Berdasarkan lokasinya, tonsil dibagi menjadi:
1. Tonsilla lingualis, terletak pada radix linguae
2. Tonsilla palatina, terletak pada isthmus faucium antara arcus
glossopalatinus dan arcus glossopharingeus
3. Tonsilla pharingea (adenoid), terletak pada dinding dorsal dari nasofaring
4. Tonsilla tubaria, terletak pada bagian lateral nasofaring di sekitar ostium
tuba auditiva
5. Plaques dari peyer (tonsil perut), terletak pada ileum
Dari kelima macam tonsil tersebut, tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla
pharingea, tonsilla tubaria dan ditambah lateral pharyngeal band membentuk
cincin yang dikenal dengan cincin waldeyer.5

3
Gambar 1.1 Anatomi tonsil

Tonsilla palatina merupakan suatu massa jaringan limfoid yang terletak di


2
dalam fossa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior
(musculus palatoglosus) dan pilar posterior (musculus palatofaringeus).
Tonsilla palatina berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil
mempunyai 10-30 kriptus yang meluas kedalam jaringan tonsil.6
Tonsil mendapat perdarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu: 1.3
1. A. Maksilaris eksterna (A. Fasialis) dengan cabangnya A. Tonsilaris dan A.
Palatina asenden
2. A. Maksilaris interna dengan cabangnya A. Palatina desenden
3. A. Lingualis dengan cabangnya A. Lingualis dorsal
4. A. Faringeal asenden

4
Gambar 1.2 Perdarahan tonsil

Aliran getah bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferen
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.7

Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensais dari serabut saraf ke V (trigeminus)
melalui ganglion spenophalatina dan pada bagian bawah mendapat sensasi dari
cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeus).7 3

Fisiologi dan imunologi tonsil

Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan penting


sebagai sistem pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk
ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas. Mekanisme pertahanan dapat
bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen menembus lapisan epitel
maka sel – sel fagositik mononuklear pertama – tama akan mengenal dan
mengeliminasi antigen.

5
Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi antibodi
dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

Tonsil merupakan jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang


terletak pada kedua sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil
membantu mencegah terjadinya infeksi dan bertindak seperti filter untuk
mencegah bakteri dan virus masuk ke tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil
juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi antibodi untuk melawan
patogen. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen,
selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil tidak mampu melindungi
tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi yaitu tonsilitis.7
Tonsil mengandung sel limfosit B dan limfosit T. Limfosit B membentuk
kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar sedangkan limfosit T pada tonsil adalah
40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di
pusat germinal. Imunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), interferon, lisozim dan
sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi.7

2.4 Etiologi dan Faktor resiko Tonsilitis kronis


Bakteri penyebab tonsilitis kronis sama halnya dengan tonsilitis akut
4
yaitu kuman streptokokus beta hemolitikus grup A, pneumokokus, streptokokus
viridian,streptokokus piogens,stafilokokus, dan hemophilus influenza, namun
terkadang ditemukan bakteri golongan gram negatif.6
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronis yaitu rangsangan yang
menahun dari asap rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak
adekuat.1.6

6
2.5 Patofisiologi Tonsilitis kronis
Terjadinya proses radang berulang disebabkan oleh rokok, beberapa jenis
makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan
pengobatan tonsilitis yang tidak adekuat. Proses peradangan dimulai pada satu
atau lebih kripte tonsil. Karena proses radang berulang, maka epitel mukosa dan
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid
akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripte
akan melebar.1.2

Secara klinis kripte ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel
yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa
eksudat yang berwarna kekuning-kuningan). Proses ini terus meluas hingga
menembus kapsul sehingga terjadi perlekatan dengan jaringan sekitar fossa
tonsillaris. Pada anak-anak, proses ini akan disertai dengan pembesaran kelenjar
submandibula.1.8

Gambar 1.3 Patofisiologi tonsilitis

2.6 Tanda dan Gejala Tonsilitis kronis


Tanda - tanda dari tonsilitis kronis yaitu adanya kriptus melebar dan
beberapa kriptus terisi oleh detritus, kadang disertai pembesaran tonsil serta 5
permukaan tonsil tidak rata, warna kemerahan pada plika anterior dan apa bila
5

7
dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material seperti
keju.2
Gejala klinisnya yaitu sangkut menelan, bau mulut (halitosis) yang disebabkan
adanya pus pada kripta tonsil, sengau atau sering tersedak pada malam hari
(bila tonsil membesar dan menyumbat jalan nafas), nafsu makan menurun,
badan terasa lesu, kadang disertai demam, serta sakit kepala.2

2.7 Komplikasi Tonsilitis kronis


a) Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan
otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada
penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang
bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan
melakukan aspirasi abses.8
b) Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring
sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi
servikal.8
c) Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil.
Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut.
Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar
dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan
drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.8 6
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta
diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan

8
magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu
tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi
dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa
tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan
mudah dengan melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak
rata pada perabaan.8

2.8 Diagnosis
Diagnosis dapat di tegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan peunjang.
Pada anamnesis dapat di temukan gejala-gejala seperti sangkut menelan, bau
mulut (halitosis) yang disebabkan adanya pus pada kripta tonsil, sengau atau
sering tersedak pada malam hari (bila tonsil membesar dan menyumbat jalan
nafas), nafsu makan menurun, malaise, kadang disertai demam, serta sakit
kepala.1.2
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tonsil tampak membesar, dapat terlihat
butiran pus kekuningan pada permukaan medial tonsil, bila dilakukan
penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau material menyerupai keju,
warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa faring.6

Pada umumnya pembesaran tonsil dapat dibagi dalam ukuran T1 – T4 : 4.6


 T1 : batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior – uvula
 T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula sampai ½
jarak anterior – uvula
 T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾
jarak pilar anterior – uvula

9
 T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula
atau lebih

Gambar 1.4 Pembesaran tonsil

Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas
yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi
hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat
menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur
yang dapat diketahui dalam anamnesis.2

2.9 Pemeriksaan penunjang

Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk menghilangkan
kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan
menghilangkan organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian
antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat. Gold standard
pemeriksaan lab pada tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan
penelitian di India terhadap 40 penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan

10
tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa kultur yang dilakukan dengan swab
permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang akurat terhadap flora
bakteri Tonsilitis Kronis tidak dapat dipercaya dan juga valid. Kuman terbayak
yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus di ikuti Staflokokus
aureus.5.10

Histopatologi
Penelitian yang dilakukan di Turkey terhadap 480 spesimen tonsil,
menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan berdasarkan
8
pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan
ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Abses dan infitrasi limfosit yang difus.
Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat
dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.5

2.10 Penatalaksanaan Tonsilitis kronis


Medikamentosa
Jika penyebabnya adalah bakteri, diberikan antibiotik per oral selama 10
hari.Jika anak mengalami kesulitan menelan bisa diberikan dalam bentuk
suntikan.
- Penisilin 500 mg 3 x sehari.
- Pilihan lain adalah eritromisin 500 mg 3 x sehari atau amoksisilin 500 mg
3 x sehari yang diberikan selama 5 hari.
Dosis pada anak : eritromisin 40 mg/kgBB/ hari, amoksisilin 30 – 50
mg/kgBB/hari.2
Tak perlu memulai antibiotik segera, penundaan 1 – 3 hari tidak
meningkatkan komplikasi atau menunda penyembuhan penyakit. Antibiotik
hanya sedikit memperpendek durasi gejala dan mengurangi risiko demam
rematik. Bila suhu badan tinggi, penderita harus tirah baring dan dianjurkan
untuk banyak minum. Makanan lunak diberikan selama penderita masih nyeri

11
menelan. Analgetik (parasetamol dan ibuprofen adalah yang paling aman) lebih
efektif daripada antibiotik dalam menghilangkan gejala. Nyeri faring bahkan
dapat diterapi dengan spray lidokain. Bila dicurigai adanya tonsilitis difteri,
penderita harus segera diberi serum anti difteri (ADS), tetapi bila ada gejala
sumbatan nafas, segera rujuk ke rumah sakit.4
Pada tonsilitis kronik, penting untuk memberikan edukasi agar menjauhi
rangsangan yang dapat menimbulkan serangan tonsilitis akut, misalnya rokok,
minuman/makanan yang merangsang, higiene mulut yang buruk, atau
penggunaan obat kumur yang mengandung desinfektan.9
Operatif
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina dengan eksisi surgikal tonsil palatina untuk mencegah tonsilitis
rekuren. Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, 9
namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap
memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya.1.3
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat
ini.Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan
berulang.Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan
hipertrofi tonsil. Indikator klinis untuk prosedur surgikal adalah seperti
berikut:9

a. Indikasi Absolut 9
a. Tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal
b. Tonsilitis yang menyebabkan kejang demam
c. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan
drainase
d. Difteri career

12
e. Upper Respiratory Obstruction and Swallowing disorders (OSAS)
f. Kecurigaan pada keganasan

b. Indikasi Relatif 9
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi
antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian
terapi medis
c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
d. Rhinitis kronis
e. Infeksi saluran pernapasan atas yang berulang
f. Otalgia yang berulang
g. Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan
10
0
c. Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang “manfaat dan risiko”. Keadaan tersebut adalah:
1. Gangguan perdarahan

2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat

3. Anemia

4. Infeksi akut yang berat

2.11 Komplikasi Tonsilektomi


Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan
gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien

13
yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun
komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.

2.12 Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari
satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan
mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit
menelan.Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai
bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun
sebelum digunakan kembali.Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk
mencegah infeksi berulang. Orang – orang yang merupakan karier tonsilitis
semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi
pada orang lain

2.13 Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan
pengobatan suportif.Menangani gejala – gejala yang timbul dapat membuat
penderita tonsilitis lebih nyaman.Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi
penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami
perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala – gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya,
infeksi yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada
kasus – kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius
seperti demam rematik atau pneumonia.

14
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : An W
Umur : 13 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bengkel Lobar
Pekerjaan : Pelajar
No. RM : 02 44 49
Tanggal Pemeriksaan : 27 Februari 2019

3.2 Anamnesis
a. Keluhan utama:
Rasa mengganjal di tenggorokan
b. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke poliklinik THT RSUDP NTB dengan keluhan rasa mengganjal
di tenggorokan sejak 5 hari yang lalu. Rasa mengganjal disertai rasa nyeri saat
menelan. Pasien mengaku menjadi malas makan karena rasa nyeri tersebut.
Pasien mengaku keluhan ini sering dialami pasien sejak 1 tahun yang lalu.
Pasien juga merasa tenggorokan kering dan terkadang batuk. Batuk dirasakan
tidak berdahak. Menurut tante pasien, pasien tidak mengorok saat tidur. Dua hari
yang lalu pasien mengaku demam yang tidak begitu tinggi, demam yang
dirasakan membaik dengan meminum parasetamol. Pilek dan hidung tersumbat
disangkal oleh pasien. Nyeri telinga dan adanya sekret pernah keluar di telinga
disangkal. Pusing, mual, dan muntah disangkal.
.

15
c. Riwayat penyakit dahulu:
Keluhan serupa (+) 1 tahun yang lalu

d. Riwayat penyakit keluarga:


Keluhan serupa pada keluarga disangkal.

e. Riwayat alergi:
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal.

f. Riwayat Pengobatan:
Pasien mengaku langsung membersihkan telinga dengan minyak zaitun
kemudian berobat ke puskesmas. Di puskesmas, pasien diberikan obat anti
nyeri.
g. Riwayat sosial:
Pasien mengaku suka meminum minuman dingin (2-4x dalam sehari).
Makanan pedas (+)

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
 Keadaan umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis
 GCS : E4V5M6
 Tanda vital
TD : 1000/80 mmHg
HR : 80 x/menit
RR : 16 x/menit
Suhu : 37oC

16
Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan Telinga kanan Telinga kiri
Telinga
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran dalam
batas normal, hematoma (-), batas normal, hematoma (-),
nyeri tarik aurikula (-) nyeri tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-), Serumen (-), hiperemis (+),
furunkel (-), edema (-), furunkel (-), edema (-),
sekret (-) mukopurulen. sekret (-).

4. Membran Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),


timpani hiperemi (-), edema (-), intak hiperemi (-), edema (-),
(+), cone of light (+), intak (+), cone of light (+),
kolesteatoma (-). kolesteatoma (-).

17
Pemeriksaan hidung

Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri


Bentuk (dbn), inflamasi (-), Bentuk (dbn), inflamasi (-),
Hidung luar
nyeri tekan (-), deformitas (-) nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi dbn, ulkus (-) dbn, ulkus (-)
Bentuk (dbn), mukosa Bentuk (dbn), mukosa
Cavum nasi
hiperemia (-) hiperemia (-)
Mukosa hiperemia (-) , sekret Mukosa hiperemia (-) , sekret
Meatus nasi media
(-), massa (-) (-), massa (-)
Edema (-), mukosa hiperemi Edema (-), mukosa hiperemi
Konka nasi inferior
(-), sekret (-), livide (-) (-), sekret (-), livide (-)
Deviasi (-), benda asing (-), Deviasi (-), benda asing(-),
Septum nasi
perdarahan (-), ulkus (-) perdarahan (-), ulkus (-)
Palpasi sinus
Nyeri tekan (-) Nyeri tekan (-)
maksila dan frontal

18
Pemeriksaan Tenggorokan

Mukosa Bukal berwarna merah muda, hiperemia (-)


Lidah Normal
Uvula Normal
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), membran (-), granul (-)
Tonsila palatina Hiperemia (-), ukuran T3-T3, kripte melebar (+), detritus (+)

3.4 Assessment

Tonsilitis Kronis

3.5 Planning

3.5.1 Penunjang diagnostik

 Pemeriksaan Darah Lengkap


 Pemeriksaan Ro Thorax

3.5.2 Terapi

 Pro tonsilektomi

19
3.5.3 KIE kepada pasien

 Menjaga telinga tetap kering dan menjaga air tidak masuk ke telinga sewaktu
mandi dengan cara menutup telinga dengan kapas atau ear plug. Selain itu,
pasien dilarang berenang untuk sementara waktu.
 Menjelaskan kepada pasien bahwa trauma akibat cotton bud tersebut
mengakibatkan adanya lubang pada gendang telinga. Pasien saat ini
dipasangkan tampon untuk menghentikan perdarahan. Harapanya, gendang
telinga dapat menutup secara spontan
 Pasien diminta meminum antibiotik sampai habis untuk mencegah infeksi dan
kontrol kembali ke poliklinik untuk mengevaluasi gendang telinga yang telah
berlubang

3.6 Prognosis
Dubia ad bonam

20
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini dibahas seorang laki-laki berusia 38 tahun dengan
dagnosis kerja perforasi membran timpani traumatik. Diagnosis kerja tersebut
ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pasien datang dengan
keluhan berdarah di telinga kiri setelah adanya trauma akibat cotton bud yang
tersenggol oleh anak pasien ketika pasien tengah mengorek telinga dengan cotton bud
tersebut. Sebagaiamana yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka, 6,30% pasien
dengan perforasi membran timpani traumatik mengalami perdarahan pada telinga.
Pasien juga mengeluh adanya suara mendengung, nyeri, dan penurunan pendengaran
yang berdasarkan penelitian ditemukan pasien berturut-turut sebesar 90,90%, 30%,
dan 56,60%4.

Jika dilihat dari etiologi, pada pasien trauma diakibatkan oleh benda tumpul
berupa cotton bud. Trauma akibat mengorek telinga sendiri tidak jarang dijumpai
yang biasanya dimasukkan kedalam trauma Q tip. Selain kesalahan dalam
menggunakan cotton bud, menggaruk liang telinga dengan penjepit rambut, ujung
jarum, atau korek api juga sering ditemukan dan dimasukkan kedalam trauma Q tip4.
Berdasarkan penelitian Lou et al, persentase etiologi perforasi membran timpani
traumatik diantaranya akibat tamparan sebesar 78,4%, ledakan sebesar 8,6%,
iatrogenik sebesar 5%, cedera olah raga sebesar 5,5%, akibat menekan liang telinga
sebesar 2,2%, dan kiss ear sebesar 0,3%6.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, kondisi umum pasien masih dalam kondisi


baik. Meskipun mengeluh berdarah pada telinga, tidak tampak tanda-tanda
hipovolemia maupun anemia pada pasien. Berdasarkan status lokalis, didapatkan
adanya kelainan pada telinga pasien. Tampak adaanya hiperemis pada meatus
akustikus eksternus sinistra dan perforasi pada membran timpani sinistra. Perforasi
tampak pada satu kuadran, yaitu kuadran anteroinferior sehingga jika dilihat dari

21
ukuraannya, perforasi diklasifikasikan ke dalam perforasi kecil (<25%). Jika dilihat
dari waktu, perforasi ini termasuk perforasi akut karena kurang dari 3 bulan. Dan jika
dilihat dari adanya cairan yang keluar dari telinga berupa darah, perforasi termasuk
perforasi basah4.
Berdasarkan diagnosis kerja tersebut, pasien pada kasus diberikan terapi
simtomatik dan dipasangkan tampon. Pada membran timpani yang mengalami
perforasi tidak banyak dilakukan manipulasi/pemberian tetes telinga. Perforasi pada
membran timpani dalam hal ini diharapkan untuk menutup sendiri mengingat angka
penutupan perforasi dengan spontan dapat >90%7. Mengingat saat perforasi membran
timpani kemungkinan adanya infeksi meningkat1, pasien diberikan antibiotik
sistemik. Selain itu, pasien juga diedukasi untuk mencegah masuknya air kedalam
telinga saat mandi. Pada kasus ini, pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan
audiometri.

22
BAB V

PENUTUP

Perforasi membran timpani traumatik merupakan keadaan bocornya membran


timpani akibat trauma. insidensi 6.80/1000 penduduk dan mengakibatkan perforasi
sebanyak 1,4-8,6 per 100.000 penduduk tiap tahunnya. Perforasi membran timpani
akibat trauma dapat menunjukkan gejala nyeri yang mendadak, gangguan
pendengaran, perdarahan, tinitus, pusing. Keadaan ini selanjutnya dapat
membutuhkan terapi sesegera dengan angka kesembuhan spontan sebesar 78% - 90%.
Namun, pada beberapa kasus dapat terjadi kegagalan penyembuhan dan
membutuhkan tindakan bedah seperti timpanoplasti.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono & Kartosoediro, S. Odinofagi, dalam buku Ajar Ilmu


Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta; 2007.
2. Zamzam A.M. Referat Tonsilitis Kronis, Fakultas Kedokteran, Universitas
Yarsi. Cilegon; 2016.
3. Boies L.R, Adams G.L & Higler P.A. Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6,
penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta; 1997.
4. Bailey BJ et al. Head and Neck Surgery – Otolangology 2nd Edition
Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 1998.
5. Wirawan, S. & Putra, I.G.A.G. Arti fungsi dari elemen histologi tonsil,
dalam : Masna, P.W. (ed) Tonsilla palatina dan permasalahannya, FK
UNUD, Denpasar. 2006
6. Brody L. Poje C. Tonsilitis, Tonsilectomy and Adenoidectomy. In: Bailey
BJ. Johnson JT. Head and Neck surgery. Otolaryngology. 4rd Edition.
Philadelphia: Lippinscott Williams Wilkins Publishers. 2008. p1183-1208
7. Snell, R.S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3, edisi
9, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta; 2011.
8. Rusmarjono, Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid.
Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan kepala dan leher.
Balai penerbit FKUI, Jakarta; 2012.
9. Snow, Wackym. Otolaryngology – head and neck surgery. McGraw-Hill
Education. 2009.
10. Hammouda, Mostafa. Chronic Tonsillitis Bacteriology in Egyptian
Children Including Antimicrobial Susceptibility, Department of ENT,
Department of Medical Microbiology and Immunology,Faculty of
Medicine, Cairo University and Department of Pediatrics, Research
Institute of Ophthalmology, Giza, Egypt, Australian Journal of Basic and
Applied Sciences. 2009.

24
11.

25

Anda mungkin juga menyukai