Anda di halaman 1dari 14

1.

DEFINISI KESEHATAN JIWA

1) Undang – Undang Nomor 18 Tahun 2014


Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif,
dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
2) Menurut World Health Organitation
Kesehatan Jiwa adalah keadaan ketika setiap individu menyadari potensinya,
dapat mengatasi stres yang normal dalam kehidupan sehari – hari, dapat bekerja
dengan produktif dan bermanfaat, serta mampu memberikan kontribusi untuk
komunitasnya.
3) Menurut Jhonson 1997
Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan sosial
yang terlihat dari hubungan intrapersonal yang memuaskan, perilaku dan
koping yang efektif, konsep diri yang positif, serta kestabilan emosional.

2. Indikator Sehat Jiwa


1) Emosi
2) Fisik
3) Perilaku
4) Psikologi

3. Karakteristik Sehat Jiwa


1) Mereka merasa senang atau enak dengan keadaan diri mereka sendiri.

 Mereka tidak dengan emosi yang berlebihan (ketakutan, marah, cinta,


iri, rasa bersalah atau kekhawatiran) mereka sendiri.
 Mereka dapat mengatasi kekecewaan hidup.
 Mereka mempunyai sikap yang toleran dan santai terhadap diri mereka
sendiri maupun orang lain dan mereka dapat mentertawakan diri sendiri.
 Mereka dapat mengukur kemampuan mereka sendiri.
 Mereka dapat menerima kekurangannya.
 Mereka mempunyai harga diri
 Mereka merasa dapat mengatasi kebanyakan situasi
 Mereka menikmati hal-hal sederhana hari-hari apapun

2) Mereka merasa nyaman dengan orang lain

 Mereka dapat memberikan cinta kasih dan mempertimbangkan


keinginan orang lain.
 Mereka mempunyai hubungan personal yang memuaskan dan bertahan
lama
 Mereka menyukai dan mempercayai orang lain dan merasa bahwa orang
lain akan menyukai dan mempercayainya.
 Mereka menghargai perbedaan yang dijumpai dalam diri orang lain.
 Mereka tidak memanfaatkan orang lain dan tidak mengizinkan orang
lain memanfaatkan dia.
 Mereka dapat merasakan bahwa mereka adalah bagian dari kelompok.
 Mereka merasa bertanggung jawab terhadap orang lain.

3) Mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup

 Mereka berbuat sesuatu terhadap masalah yang timbul


 Mereka menerima tanggung jawab.
 Mereka membentuk lingkungan bila mungkin, namun menyesuaikan
dengan lingkungan tersebut bila perlu.
 Mereka merencanakan sebelumnya dan tidak takut terhadap masa
datang.
 Mereka menyambut baik pengalaman dan ide-ide baru.
 Mereka memanfaatkan bakatnya.
 Mereka menetapkan tujuan yang realistik untuk dirinya sendiri.
 Mereka mampu membuat keputusan sendiri.
 Mereka puas dengan memberikan usaha-usaha terbaik yang mereka
miliki terhadap apa yang mereka lakukan.
4. Karakteristik Sakit Jiwa
1) Menarik diri dari interaksi sosial
2) Kesulitan Mengorientasikan waktu, tempat, dan orang
3) Mengalami penurunan daya ingat
4) Mengabaikan kebersihan dan penampilan
5) Perasaanya selalu berubah – ubah
6) Perilakunya aneh
7) Enggan melakukan apa – apa

5. Masalah Psikososial

Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup
aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan yang
dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi dan memengaruhi satu
sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan sosial. Kata psiko mengacu
pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan dan perilaku) sedangkan sosial
mengacu pada hubungan eksternal individu dengan orang - orang di sekitarnya(Pusat
Krisis Fakultas Psikologi UI). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial
yang mencakup faktor - faktor psikologis (Chaplin, 2011)
Masalah – Masalah Psikososial menurut (NANDA. 2012) yaitu :
1) Berduka
2) Keputusasaan
3) Ansietas
4) Ketidakberdayaan
5) Resiko penyimpangan perilaku sehat
6) Gangguan Citra Tubuh
7) Koping tidak efektif
8) Koping keluarga tiddak efektif
9) Sindroma Post Trauma
10) Penampilan Peran tidak efektif
11) HDR
6. Ciri – Ciri Masalah Psikososial
1) Cemas, Khawatir berlebihan takut
2) Mudah tersinggung
3) Sulit konsentrasi
4) Ragu – ragu, merasa rendah diri
5) Kecewa
6) Pemarah dan Agresif
7) Reaksi fisik : jantung berdebar, sakit kepala, sukar tidur, sesak nafas

7. Pengertian Keperawatan Jiwa

Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang


menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri
secara terapeutik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan
mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada. (American
Nursing Assiciation)

8. Prinsip Keperawatan Jiwa


1) Manusia
Fungsi seseorang sebagai makhluk holistik yaitu bertindak, berinteraksi dan
bereaksi dengan lingkungan secara keseluruhan. Setiap individu mempunyai
kebutuhan dasar yang sama dan penting. Setiap individu mempunyai harga
diri dan martabat. Tujuan individu adalah untuk tumbuh, sehat, mandiri dan
tercapai aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk
berubah dan keinginan untuk mengejar tujuan personal. Setiap individu
mempunyai kapasitas koping yang bervariasi. Setiap individu mempunyai hak
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputuasan. Semua perilaku individu
bermakna dimana perilaku tersebut meliputi persepsi, pikiran, perasaan dan
tindakan.
2) Lingkungan
Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam
dirinya dan lingkungan luar, baik keluarga, kelompok, komunitas. Dalam
berhubungan dengan lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi
koping yang efektif agar dapat beradaptasi. Hubungan interpersonal yang
dikembangkan dapat menghasilkan perubahan diri individu.

3) Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang menunjukkan
salah satu segi kualitas hidup manusia, oleh karena itu, setiap individu
mempunyai hak untuk memperoleh kesehatan yang sama melalui perawatan
yang adekuat.

4) Keperawatan
Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan
menggunakan diri sendiri secara terapeutik.

9. Peran dan Fungsi Perawat Jiwa


1) Peran Perawat Jiwa
 Pengkajian yang mempertimbangkan budaya
 Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan
 Berperan serta dalam pengelolaan kasus
 Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental, mengatasi
pengaruh penyakit mental – penyuluhan dan konseling
 Mengelola dan mengkoordinasikan sistem pelayanan yang
menintegrasikan kebutuhan pasien, keluarga staf dan pembuat
kebijakan
 Memberikan pedoman pelayanan kesehatan
2) Fungsi Perawat Jiwa
 Memberikan lingkungan terapeutik yaitu lingkungan yang ditata
sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perasaan aman,
nyaman baik fisik, mental dan social sehingga dapat membentu
penyembuhan pasien.
 Bekerja untuk mengatasi masalah klien “here and now” yaitu dalam
membantu mengatasi segera dan tiak itunda sehingga tidak terjai
penumpukan masalah.
 Sebagai model peran yaitu paerawat dalam memberikan bantuan
kepada pasien menggunakan dir sendiri sebagai alat melalui contoh
perilaku yang ditampilkan oleh perawat.
 Memperhatikan aspek fisik dari masalah kesehatan klien merupakan
hal yang penting. dalam hal ini perawat perlu memasukkan
pengkajian biologis secara menyeluruh dalam mengevaluasi pasien
kelainan jiwa untuk meneteksi adanya penyakit fisik sedini
mungkin sehingga dapat diatasi dengan cara yang tepat.
 Member pendidikan kesehatan yang ditujukan kepada pasien,
keluarga dan komunitas yang mencakup pendidikan kesehatan jiwa,
gangguan jiwa, cirri-ciri sehat jiwa, penyebab gangguan jiwa, cirri-
ciri gangguan jiwa, fungsi dan ugas keluarga, dan upaya perawatan
pasien gangguan jiwa.
 Sebagai perantara social yaitu perawat dapat menjadi perantara dari
pihak pasien, keluarga dan masyarakat alam memfasilitasi
pemecahan masalah pasien.
 Kolaborasi dengan tim lain. Perawat dalam membantu pasien
mengadakan kolaborasi dengan petugas lain yaitu dokter jiwa,
perawat kesehatan masyarakat (perawat komunitas), pekerja social,
psikolog, dan lain-lain.
 Memimpin dan membantu tenaga perawatan dalam pelaksanaan
pemberian asuhan keperawatan jiwa didasarkan pada management
keperawatan kesehatan jiwa. Sebagai pemimpin diharapkan dapat
mengelola asuhan keperawatan jiwa an membantu perawat yang
menjadi bawahannya
 Menggunakan sumber di masyarakat sehubungan dengan kesehatan
mental. Hal ini penting untuk diketahui perawat bahwa sumber-
sumber di masyarakat perlu iidentifikasi untuk digunakan sebagai
factor penukung dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa yang ada
di masyarakat.
10. Model Asuhan Keperawatan Jiwa

1) Psycoanalytical (Freud, Erickson)


Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi pada seseorang
apabila ego(akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu
atau insting). Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya
(ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama(super ego/das
uber ich), akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (deviation of
Behavioral).

2) Interpersonal ( Sullivan, peplau)


Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bias muncul akibat
adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety).
Ansietas timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat
berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep ini
perasaan takut seseorang didasari adnya ketakutan ditolak atau tidak
diterima oleh orang sekitarnya.

3) Social ( Caplan, Szasz)

Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau


penyimpangan perilaku apabila banyaknya factor social dan factor
lingkungan yang akan memicu munculnya stress pada seseorang ( social
and environmental factors create stress, which cause anxiety and
symptom).

4) Existensial ( Ellis, Rogers)

Menurut teori model ekistensial gangguan perilaku atau gangguan jiwa


terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya.
Individu tidak memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan
mengalami gangguan dalam Bodi-image-nya
5) Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)

Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial dan
respon maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering
sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak
keluhan seperti : mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-
ragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah seperti : susah bergaul,
menarik diri, tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan,
dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan
jiwa. Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam
beradaptasipada masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya
dengan masa lalu.

6) Medica ( Meyer, Kraeplin)

Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor yang
kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial. Sehingga
focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi
somatic, farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat berperan dalam
berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur diagnostic dan
terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian terapi, laporan
mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan menentukan jenis
pendekatan terapi yang digunakan.

11. Sejarah Keperawatan Jiwa


Pada zaman dahulu, ada suatu keyakinan bahwa setiap penyakit menunjukan
ketidaksenangan dewa dan merupakan hukuman atas dosa dan perbuatan yang
salah. Penderita gangguan jiwa dipandang jahat atau baik tergantung pada
perilakunya. Individu yang baik disembah dan dipuja, individu yang jahat
diasingkan, dihukum, dan kadang kala dibakar di tiang pembakaran. Setelah itu,
Aristoteles (382-322 SM) mencoba menghubungkan gangguan jiwa dengan
gangguan fisik dan mengembangkan teorinya bahwa emosi dikendalikan oleh
jumlah darah, air, empedu kuning dan hitam dalam tubuh. Keempat zat atau
cairan tersebut berhubungan dengan emosi gembira, tenang, marah, dan sedih.
Ketidakseimbangan empat cairan tersebut diyakini menyebabkan gangguan
jiwa sehingga terapi ditujukan pada upaya mengembalikan keseimbangan
dengan kurban persembahan, puasa, dan menyucikan diri.
Pada masa awal kristiani (1-10000 M) keyakinan dan tahayul primitif kuat.
Setan sekali lagi dianggap penyebab penyakit dan individu yang terganggu
jiwanya dianggap kerasukan setan. Penderita berupaya mengusir setan dari
individu yang kerasukan. Apabila gagal, tindakan yang lebih berat dilakukan,
seperti mengurung di kamar bawah tanah, mencambuk, membiarkan lapar, dan
terapi brutal lain.
Selama zaman renaisans (1300-1600), penderita gangguan jiwa dibedakan dari
penjahat di Inggris. Mereka yang dianggap tidak berbahaya dibiarkan
berkeliaran keluar kota atau tinggal di masyarakat pedesaan, tetapi individu
yang lebih “tidak waras dan berbahaya“ tetap di penjarakan, dirantai, dan
dibiarkan lapar (Rosenblatt, 1984). Pada tahun 1547, Rumah Sakit St. Mary
Bethlehem secara resmi dinyatakan sebagai Rumah Sakit untuk penderita
gangguan jiwa, yang merupakan rumah sakit pertama jenis ini. Pada tahun 1775,
pengunjung di institusi tersebut dibebankan biaya untuk dapat melihat dan
mengejek penghuninya, yang dipandang sebagai hewan makhluk yang lebih
rendah dari manusia (McMilland, 1997). Selama periode yang sama di koloni-
koloni Amerika Serikat, pada waktu berikutnya, penderita gangguan jiwa
dianggap jahat atau kerasukan setan dan dihukum. Tindakan memfitnah
dilakukan dan individu yang bersalah dibakar di tiang pembakaran.

Gangguan jiwa pada abad ke-21


Department of Health and Human Services (1999) memperkirakan 21 juta
penduduk Amerika dapat didiagnosis mengalami gangguan jiwa. Dari jumlah
tersebut, 6,5 juta mengalami disabilitas akibat gangguan jiwa yang berat, dan 4
juta diantaranya adalah anak-anak dan remaja. Misalnya, 3% sampai 5% anak
usia sekolah mengalami gangguan hiperaktivitas / defisit perhatian. Lebih dari
10 juta anak berusia kurang dari 7 tahun tumbuh di rumah yang salah satu orang
tuanya menderita gangguan jiwa yang signifikan atau menyalahgunakan zat
sehingga menghambat kesiapan mereka untuk masuk sekolah.
Beberapa ahli berpendapat bahwa deinstitutionalization memiliki efek negatif
sekaligus positif (Torrey, 1997). Walawpun jumlah tempat tidur di Rumah Sakit
umum menurun sebesar 80%, ada peningkatan jumlah pasien yang masuk
Rumah Sakit sebesar 90% (Appleby & Desai, 1993). Hal ini memunculkan
istilah “efek pintu putar”. Penderita gangguan jiwa persisten dan berat dirawat
dalam waktu singkat, tetapi frekuensi mereka masuk rumah sakit lebih tinggi.
Unit psikiatri rumah sakit umum kewalahan dengan arus kontinu pasien yang
masuk dan keluar rumah sakit dengan cepat. Jumlah kunjungan individu yang
mengalami gangguan akut ke ruang kedaruratan meningkat 400% sampai 500%
di beberapa kota.
Banyak ahli berpendapat bahwa pasien saat ini lebih agresif. Empat sampai
delapan persen pasien di ruang kedaruratan psikiatri membawa senjata (Ries,
1997), dan sekitar 1000 pembunuhan dalam setahun dilakukan oleh penderita
gangguan jiwa persisten dan berat yang tidak mendapatkan perawatan yang
adekuat (Torrey, 1997). Sepuluh sampai lima belas persen pesakitan di penjara
pemerintah menderita gannguan jiwa persisten dan berat (Lamb & Weinberger,
1998). Tunawisma merupakan masalah utama di amerika serikat sampai saat
ini. Departement of Healt and Human Services (1999) memeperkirakan bahwa
750.000 individu tinggal dan tidur di jalan. Perkiraan prevalensi gangguan jiwa
diantara populasi tunawisma adalah 25 % sampai 50 % tunawisma dewasa
menagalami psikosis dan 33 % sampai 50 % mengalami masalah
penyalahgunaan zat (Haugland et al; 1997). Mereka yang tunawisma dan
mengalami gangguan jiwa ditemukan di taman, bandara, terminal bis, gang, dan
lorong bertangga, penjara, dan tempat umum lain. Beberapa dari mereka
menggunakan tempat penampungan, halfway house atau board and care room,
yang lain menyewa kamar hotel yang murah jika mereka mampu (Haugland et
al; 1997). Banyak penderita gangguan jiwa yang tinggal di jalan semakin
memburuk masalah kejiwaannya akibat tidak memiliki rumah sehingga hal ini
menjadi sebuah lingkaran setan.
Banyak masalah yang dialami penderita gangguan jiwa yang tunwisma dan
mereka yang melewati pintu kutar perawatan pisikiatri, disebabkan oleh dana
masyarakat yang tidak adekuat. Ketika rumah sakit pemerintahan di tutup dana
yang disimpan negara tidak di transfer ke program dan dukungan masyarakat.
Terapi pisikiatri rawat inap masih merupakan pos pengeluaran utama dalam
bidang kesehatan jiwa di amerika serikat sehingga kesehatan jiwa masyarakat
tidak pernah memiliki dana pokok yang dibutuhkan untuk menjadi efektif
(Keltner Schwecke, & Bostrom, 1999).
Pada tahun 1993, Acces to Community Care and Ef-fective Services and Support
(ACCESS) dibentuk dan didanai oleh pemerintah pederal untuk mulai
memenuhi kebutuhan penderita gangguan jiwa yang juga tunawisma baik
secara purna maupun paru waktu. Tujuan ACCESS ialah meningkatkn akses
kepelayanan komprehensif melalui rangkaian keperawatan mengurangi
duplikasi dan biaya pelayanan, dan meningkatkan efisiensi pelayanan
(Randolph at al ; 1997) program seperti ini memberi pelayanan kepada individu
yang tidak mendapatkan pelayanan jika keadaan yang terjadi sebaliknya.

12. Aspek legal dan etik keperawatan jiwa

Pokok bahasan aspek legal dan etis dalam keperawatan jiwa diawali dengan
pembahasan peran fungsi perawat jiwa, domain aktivitas keperawatan jiwa,
standar praktik keperawatan jiwa, dan penerapan konsep etika dalam
keperawatan jiwa. Peran dan fungsi perawat jiwa saat ini telah berkembang
secara kompleks dari elemen historis aslinya (Stuart, 2002). Peran perawat jiwa
sekarang mencakup parameter kompetensi klinik, advokasi pasien, tanggung
jawab fiskal (keuangan), kolaborasi profesional, akuntabilitas (tanggung gugat)
sosial, serta kewajiban etik dan legal. Dengan demikian, dalam memberikan
asuhan keperawatan jiwa perawat dituntut melakukan aktivitas pada tiga area
utamayaitu:

1. aktivitas asuhan langsung,


2. aktivitas komunikasi, dan
3. aktivitas pengelolaan/penatalaksanaan manajemen keperawatan.

Meskipun tidak semua perawat berperan serta dalam semua aktivitas, mereka
tetap mencerminkan sifat dan lingkup terbaru dari asuhan yang kompeten dari
perawat jiwa. Selain itu, perawat jiwa harus mampu melakukan hal-hal sebagai
berikut :
1) Membuat pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka terhadap
budaya.
2) Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan untuk pasien
dan keluarga dengan masalah kesehatan yang kompleks dan kondisi
yang dapat menimbulkan sakit.
3) Berperan serta dalam aktivitas pengelolaan kasus, seperti
mengorganisasi, mengkaji, negosiasi, koordinasi, dan mengintegrasikan
pelayanan serta perbaikan bagi individu dan keluarga.
4) Memberikan pedoman pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga,
dan kelompok untuk menggunakan sumber yang tersedia di komunitas
kesehatan mental termasuk pemberi pelayanan terkait, teknologi, dan
sistem sosial yang paling tepat.
5) Meningkatkan, memelihara kesehatan mental, serta mengatasi pengaruh
penyakit mental melalui penyuluhan dan konseling.
6) Memberikan asuhan kepada mereka yang mengalami penyakit fisik
dengan masalah psikologik dan penyakit jiwa dengan masalah fisik.
7) Mengelola dan mengoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan
kebutuhan pasien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan.
Dalam menjalankan peran fungsinya, perawat jiwa harus mampu
mengidentifikasi, menguraikan, dan mengukur hasil asuhan yang mereka
berikan pada pasien, keluarga, dan komunitas. Hasil adalah semua hal
yang terjadi pada pasien dan keluarga ketika mereka berada dalam sistem
pelayanan kesehatan, dapat meliputi status kesehatan, status fungsional,
kualitas kehidupan, ada atau tidaknya penyakit, jenis respons koping, serta
kepuasan terhadap tindak penanggulangan. Evaluasi hasil dapat berfokus
pada kondisi klinik, intervensi, dan proses pemberian asuhan. Berbagai
hasil dapat dievaluasi mencakup indikator-indikator klinik, fungsional,
finansial, serta perseptual kepuasan pasien dan keluarga seperti pada tabel
berikut.
13. Tujuan Keperawatan Jiwa

Adalah untuk menolong klien agar kembalike masyarakat sebagai individu yang
mandiri dan berguna. Tujuan ini dapat dicapai dengan proses komunikasi atau
dengan metode – metode dalam keperawatan jiwa dapat berhubungan dengan
orang lain atau lingkungannya serta mandiri.

14. Kiat Keperawatan Jiwa

1) Nursing is caring adalah perawat harus berperan dalam pemberian askep,


tidak dikenal kasus pribadi
2) Nursing is Sharing adalah dalam pemberian askep perawat harus selalu
melakukan diskusi antara perawat, tim kesehatan lain, klien
3) Nursing is Laughing adalah perawat meyakini bahwa senyum adalah
suatu kiat dalam asuhan keperawatan untuk meningkatkan rasa nyaman
4) Nursing is Crying adalah perawat menerima respon emosional sebagai
suatu hal yang biasa pada situasi senang atau duka
5) Nursing is Touching adalah perawat dapat menggunakan sentuhan untuk
meningkatkan rasa nyaman klien
6) Nursing is Helping adalah asuhan keperawatan dilakukan untuk
menolong klien
7) Nursing is Believing in other adalah perawat meyakini bahwa oranglain
memiliki hasrat dan kemampuan untuk kesehatan
8) Nursing is Trust adalah perawat harus menjaga kepercayaan klien,
menjaga mutu askep
9) Nursing is Believing in self adalah perawat yakin bahwa dirinya
memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk menolong orang dalam
memelihara kesehatan
10) Nursing is Learning adalah perawat harus selalu mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan keperawatan profesional melalui askep
11) Nursing is Respecting adalah perawat memperlihatkan rasa hormat dan
penghargaan kepada orang lain dengan kepercayaan
12) Nursing is Listening adalah perawat harus mau jadi pendengar yang baik
13) Nursing is Doing adalah perawat melaksanakan pengkajian dan
intervensi keperawatan berdasarkan pengetahuan
14) Nursing is Feeling adalah perawat dapat merasakan dan memahami
perasaan duka, senang, frustasi, dan rasa puas klien
15) Nursing is Accepting adalah perawat harus menerima diri sendiri
sebelum dapat menerima oranglain.

Anda mungkin juga menyukai