Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. karena atas izin-Nyalah yang
telah melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya, memberikan kecerdasan ilmu dan wawasan,
sehingga Penulis dapat menyelesaikan analisis kasus yang berjudul “Tragedi Kasus
PETRUS (Penembakan Misterius)” yang merupakan salah satu tugas mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah
limpahkan kepada nabi Muhamad SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya, serta mudah-
mudahan sampai kepada kita selaku umatnya.

Penulis mengharapkan semoga penulisan analisis kasus ini dapat bermanfaat baik bagi
Penulis maupun bagi para pembaca.

Surabaya, 5 Agustus 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Manfaat
1.4 Tujuan

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1 Landasan Hukum
2.2 Teori tentang HAM ___

BAB III PEMBAHASAN ____________


3.1 Kronologis Kasus
3.2 Analisis Kasus ______

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia karena
persoalannya berkaitan langsung dengan hak dasar yang dimiliki manusia yang berasal
dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu pada dasarnya setiap manusia memiliki martabat
yang sama maka, dalam hal hak asasi mereka harus mendapat perlakuan yang sama,
walaupun kondisi mereka berbeda-beda. Martabat manusia, sebagai substansi sentral hak-
hak asasi manusia di dalamnya mengandung aspek bahwa manusia memiliki hubungan
secara eksistensial dengan Tuhannya.

Berlatar dari pengertian HAM diatas maka dapat disimpulkan bahwa setiap manusia
memiliki martabat yang sama tanpa ada pembeda baik itu dari kondisi maupun status
sosial mereka di masyarakat. Pemerintah sebagai institusi yang diamanati kekuasaan oleh
rakyat bertugas dalam penjaminan hak-hak warga negaranya.

Namun jaminan atas hak-hak dasar tersebut harus tercoreng oleh peristiwa PETRUS
(Penembakan Misterius) yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan
oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Korban yang tewas dalam peristiwa tersebut
sebagian besar merupakan preman atau mereka yang melawan kekuasaan Orde Baru,
residivis atau mantan narapidana, dan orang yang diadukan sebagai penjahat.

1.2 Rumusan Masalah


 Bagaimana kronologis terjadinya peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)?
 Apa yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa PETRUS (Penembakan Misterius)?
 Pasal apa saja yang dilanggar oleh pemerintah selama terjadinya peristiwa PETRUS
(Penembakan Misterius)?
1.3 Manfaat
 Agar para pembaca tahu lebih dalam tentang kronologis terjadinya peristiwa
PETRUS.
 Agar para pembaca dapat memahami latar belakang terjadinya peristiwa PETRUS.
 Agar para pembaca tahu tentang pasal-pasal yang dilanggar oleh pemerintah pada
peristiwa petrus
1.4 Tujuan
 Untuk menjelaskan tentang kronologis terjadinya peristiwa PETRUS.
 Untuk menjelaskan latar belakang terjadinya peristiwa PETRUS.
 Agar menjelaskan tentang pasal-pasal yang dilanggar oleh pemerintah pada peristiwa
petrus

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Hukum
Pasal-pasal yang dilanggar dalam peristiwa Petrus :
1. Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan : “Barang siapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.”
2. Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”
3. Pasal 344 KUHP tentang pembunuhan: “Barang siapa merampas nyawa orang lain
atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
4. Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyiksaan diartikan
sebagai tindakan yang dengan sengaja dan melawan hukum menimbulkan kesakitan
atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental, terhadap seorang tahanan atau
seseorang yang berada di bawah pengawasan.
5. Pasal 354 KUHP tentang Penganiayaan :
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun.
6. Pasal 355 KUHP tentang Penganiayaan :
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.

2.2 Teori Tentang HAM


Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
pasal (1), bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.

Dalam bagian Pendekatan dan Substansi TAP MPR No. XVII/MPR/1998


tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar
yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa, dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,
kemerdekaan, perkembangan manusia, dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan,
dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.

Dalam konteks HAM, peristiwa Petrus (Penembakan Misterius) ini masuk ke


dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Sebagaimana yang
dimaksud dalam penjelasan dalam UU No. 39 Th 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
dalam pasal 104 ayat (1) Yang dimaksud dengan “pelanggaran hak asasi manusia
yang berat” adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang
atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan,
4
penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan
secara sistematis (systematic diserimination).

5
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Kronologi Kasus
Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu
operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat
kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi
penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan
dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan
tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah “petrus” (penembakan misterius).

Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto
memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas
keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret tahun yang
sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah
pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto
dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib
Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro
Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam
rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti
oleh kepolisian dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.

Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Ta-
hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri
saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban
juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang
ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh
orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di
Yogyakarta dan diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan
Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima
Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana
mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di
berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.

Menurut Bhati salah seorang target yang selamat, mereka yang melawan langsung ditembak
di tempat. Di berbagai tempat, orang menemukan mayat dengan luka tembak pada pagi hari
—sebagian besar bertato. Ketakutan pun menyebar hingga 1985.

Dari para tentara dan polisi yang ia kenal akrab, Bathi Moelyono tahu ia masuk sasaran
tembak. Sejak itu, ia tak lagi tidur di rumah sendiri. Ia menghabiskan malam di langit-langit
rumah tetangga. Belakangan, dari kota kediamannya, Semarang, Bathi ke Jakarta, menghadap
orang yang ia sebut sebagai “Number One”, yakni Ali Moertopo.

Tokoh “Operasi Khusus” ini ketika itu telah menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan
Agung. Bathi menganggap Ali Moertopo “patron” para preman yang ia pimpin. Ali Moertopo
memberinya selembar “surat jaminan” tak akan ditembak. Tapi tetap saja Bathi tak merasa
aman. “Mungkin penguasa saat itu menganggap tugas saya sudah selesai dan tiba saatnya
untuk dihabisi,” Bathi mengenang.

6
Selama sepuluh tahun Bhati berpindah-pindah, awalnya ke lereng Gunung Lawu di wilayah
Magetan, Jawa Timur, lalu ke Jakarta, Bogor, dan sejumlah tempat lain. Ia setidaknya tujuh
kali berganti nama: Edi, Hari, Budi, Agus, dan berbagai nama pasaran lain.

Bathi lahir di Semarang, 1947, tanpa catatan tanggal dan bulan akibat buruknya administrasi.
Ia mandek di kelas dua Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa, Semarang. Pada 1968, ia
terlibat pembunuhan di Semarang, katanya bukan bermotif perampokan. Bathi diganjar
hukuman penjara hingga 1970.

Keluar dari penjara, ia direkrut Golongan Karya menjadi anggota Tim Penggalangan
Monoloyalitas Serikat Buruh Terminal dan Parkir Kota Madya Semarang. Ketika itu, Orde
Baru gencar melembagakan monoloyalitas pada semua elemen masyarakat. Intinya: setia
hanya kepada Golkar.

Dalam tim itu, Bathi bertugas mengajak preman dan wong cilik Semarang memilih Golkar
dalam Pemilu 1971. Pada 1975-1980, ia mengetuai serikat buruh terminal dan parkir
Semarang, lalu diangkat menjadi kader Golkar Jawa Tengah pada 1976. Pada Pemilu 1977,
Bathi kembali menjadi motor penggalang suara preman dan masyarakat jelata agar
mencoblos Golkar. “Istilahnya kami bina,” katanya. “Kalau tidak mau kami bina… ya kami
binasakan.”

Sukses menggarap preman Semarang, pada 1981 Bathi mendapat tugas dari orang yang ia
sebut “bos besar” untuk mengetuai Yayasan Fajar Menyingsing. Ini adalah organisasi bekas
narapidana di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Anggotanya ribuan, semuanya preman. Pada
1982, Golkar bertekad merebut Jakarta—pada Pemilu 1977 kalah dari Partai Persatuan
Pembangunan.

Kelompok preman pimpinan Bathi terlibat operasi menghancurkan citra PPP di Jakarta. Pada
Pemilu 1982, Bathi mengkoordinasi pengawalan dan pengamanan Badan Pemenangan
Pemilu Golkar Jawa Tengah. Tapi ia dan anak buahnya dikirim ke Jakarta untuk
memenangkan Golkar. Ketika lautan manusia memenuhi kampanye Golkar di lapangan
Banteng, Jakarta, menjelang Pemilu 1982, Bathi dan anak buahnya menyamar sebagai
pendukung PPP.

Mereka menyerang pendukung Golkar dan merobohkan panggung sambi berteriak, “Hidup
Ka’bah!” Sejumlah kendaraan dibakar. Mereka berangkat naik bus berkaus PPP, tapi
terbungkus rapat jaket Golkar. Sesampai di lapangan, mereka melepas jaket sehingga tinggal
kaus PPP yang tampak. “Sudah kami siapkan mana mobil yang dibakar, mana yang tidak,”
kata Bathi. Alhasil, pada Pemilu 1982, suara PPP di Jakarta tumbang oleh Golkar.

Kontras pernah menginvestigasi kasus ini pada 2002 dengan menghadirkan sejumlah saksi
dan korban selamat. Setahun kemudian, Komnas HAM meneliti kasus ini, tapi mandek di
tengah jalan. Kini tragedi petrus kembali menjadi target Komnas HAM untuk diungkap
dengan membentuk tim ad hoc pada akhir Februari lalu.

Tim itu telah mengundang sejumlah keluarga korban. Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim
mengatakan petrus adalah kejahatan kemanusiaan. Penjahat pun harus tetap dihormati hak
hukumnya. “Mereka tidak boleh asal ditembak,”katanya.
Kontras mencatat korban tewas petrus di seluruh Indonesia pada 1983 berjumlah 532 orang,
pada 1984 sebanyak 107 orang, dan pada 1985 sebanyak 74 orang.
7
3.2 Analisis Kasus
Dilihat dari pemaparan kronologis diatas, dapat disimpulkan bahwa petrus adalah gagasan
Soeharto. Hal ini merujuk pengakuan Soeharto dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan
dan Tindakan Saya.
Tindakan tegas bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas
dengan tembakan.. dor.. dor.. begitu saja, bukan! Yang melawan, mau tidak mau, harus
ditembak. Karena melawan, mereka ditembak. Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu
saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa
terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu
dilakukan supaya bisa menumpas semua kejahatan yang sudah melampaui batas
perikemanusiaan itu. Maka, kemudian meredalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.

—Suharto (Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989), yang ditulis Ramadhan
K.H.)

Selain Soeharto, orang yang harus bertanggung jawab adalah Sudomo dan mantan Panglima
ABRI/Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani.

Dalam kasus Petrus terdapat tiga pedoman pokok mengenai pelanggaran HAM atau
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Presiden Soeharto, yaitu :

Pertama, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM pada Pasal 42 ayat (2) huruf a
dan b juncto Pasal 9 haruf a, menjabarkan beberapa unsur-unsur penting bahwa (1) Seorang
atasan Polisi, mampu bertanggung jawab secara pidana, yang mempunyai bawahan,
mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengendalian efektif; (2) Tidak melakukan
pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar; (3) Mengetahui atau secara sadar
mengabaikan informasi yang jelas menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru
saja melakukan pelanggaran HAM yang berat; (4) Tidak mengambil tindakan yang layak dan
diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya, untuk mencegah atau menghentikan
perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk
dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; (5) Kejahatan terthadap kemanusiaan
dalam bentuk serangan yang meluas atau sistemik, yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan cara pembunuhan.

Kedua, Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, bahwa “Barangsiapa dengan
sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain.” Sehingga
unsur perbuatan yang memenuhi rumusan delik dari pasal ini adalah perbuatan dengan
sengaja, direncanakan terlebih dahulu, merampas nyawa orang lain.

Ketiga, Ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b jis Pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf e UU No.
26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM juga pasal 354 dan 355 KUHP tentang
penganiayaan berat dan perencanaan penganiayaan berat yang berakhir pada kematian. Hal
ini didasarkan pada keterangan saksi bahwa pada mayat korban yang ditemukan terdapat
bekas jeratan di leher seperti dijeran oleh plat besi, dan tindak penganiayaan lainnya.
Substansi tuntutan yang ada pada kedua pasal ini adalah tindakan kekerasan, penyiksaan keji,
pembunuhan dan perampasan kemerdekan terhadap korban.

8
Dengan demikian, uraian pasal-pasal ini bermuara pada satu definisi bahwa secara
kontekstual tindakan aparat kepolisian dalam kasus ini merupakan bentuk “kejahatan
terhadap kemanusiaan”. Definisi ini selaras dengan Pasal 9 huruf e bahwa adanya tindakan
dengan sengaja perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-
wenang.

9
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penembakan misterius atau petrus merupakan sebuah kasus yang terjadi pada zaman orde
baru atau era Soeharto berkuasa. Kasus ini digolongkan sebagai kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia, karena mengadili seseorang tanpa -melalui proses hukum dengan cara
dibunuh. Akibat kasus ini, ketakutan para preman pada zaman itu sangat besar, karena
mereka menjadi “sasaran tembak” pelaku petrus. Sistem dari penembakan misterius
adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku kriminal atau kejahatan, seperti
preman, perampok, , anak jalanan, dan sejenisnya. Awalnya, program ini dijalankan
sebagai Operasi Clurit yang diimplementasikan oleh Polda Metro Jaya, Jakarta untuk
mereduksi angka kriminalitas yang dinilai berada di ambang kritis. Namun karena
hasilnya cukup efektif, maka operasi ini diadopsi oleh daerah-daerah lain seperti Jawa
Tengah dan Yogyakarta.

Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu kuatnya rezim pemerintahan Soeharto,
sehingga segala macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan pribadinya. Kasus ini juga
mencerminkan sikap pemerintah yang represif. Orang-orang yang menjadi buruan petrus
adalah oknum yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Soeharto. Ironisnya, salah
satu saksi hidup menyebutkan bahwa oknum tersebut dulunya pernah dimanfaatkan
Soeharto selama kampanye pemilu tahun 1982. Banyak yang mengindikasikan kasus ini
dilakukan oleh aparat keamanan. Banyak yang berpendapat bahwa Soeharto melakukan
strategi ini untuk meneror siapa saja yang menentang kekuasaannya. Di samping itu,
peran lembaga yudikatif seolah berada di bawah kontrol penguasa, sehingga kasus ini
belum tuntas sampai sekarang.

4.2 Saran

1. Bagi aparat keamanan penulis sarankan untuk menerapkan hukum secara tegas dan
sesuai dengan hukum yang berlaku, tanpa adanya intervensi dari pihak lain.

2. Bagi Komnas HAM penulis sarankan untuk segera membentuk tim khusus pencari
fakta sejarah serta segera pula mengembangkan jaringan komuniskasi. Hal ini
berdasarkan pada pengalaman penulis sendiri dalam penulisan analisis kasus
mengenai kasus petrus. Penulis cukup kesulitan dalam mencari sumber sejarah yang
akurat. Langkah ini dimaksudkan agar para penerus bangsa mengetahui detail
peristiwa yang sebenarnya terjadi dan kelak kasus seperti petrus tidak terulang
kembali dalam sejarah bangsa Indonesia

10
DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. (2013) Penembakan Misterius. Tersedia :


http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius[2 April 2015]

Litabm. (2008) Kidung Gugat Sasaran Tembak. [Online] Tersedia :


https://litabm.wordpress.com/ [2 April 2015]

D’Jeantackque, Ollenk (2013) Tentang Pengadilan HAM Abepura. [Online] Tersedia :


http://hukum.kompasiana.com/2013/08/07/tentang-pengadilan-ham-abepura–582205.html [2
April 2015]

Hamzah, Andi. (2007) KUHP & KUHAP. Jakarta : Rineka Cipta.

Janan, Malik.(2011) Pengertian dan Pelanggaran HAM Berat. [Online] Tersedia :


http://malik-janan.blogspot.com/2011/05/pengertian-dan-jenis-pelanggaran-ham.html [2 April
2015]

Mohammad, Achor. (2011) Penembakan Misterius : Bukti Sikap Represif Rezim Soeharto.
[Online] Tersedia : http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/02/penembakan-misterius-bukti-
sikap-represif-rezim-soeharto-418312.html [2 April 2015]

11

Anda mungkin juga menyukai