Anda di halaman 1dari 12

Pendahuluan

Radiofarmasi adalah penggunaan senyawa radioaktif dalam pengobatan


penyakit. Salah satu aplikasi radiofarmasi adalah sebagai terapi radiasi (radioterapi
atau onkologi radiasi). Terapi radiasi (radioterapi atau onkologi radiasi) ialah radiasi
berion yang digunakan dalam kesehatan sebagai bagian dari pengobatan kanker
untuk mengontrol sel-sel kanker yang berbahaya.

Radioterapi biasa digunakan untuk pengobatan kanker yang sifatnya kuratif


atau pun adjuvant (tambahan) . Radioterapi bisa digunakan sebagai terapi paliatif
(bertujuan semata-mata untuk mengontrol penyakit secara lokal atau meringankan
gejala) atau sebagai pengobatan terapi (dimana terapi bersifat menguntungkan dan
dapat menyembuhkan).

Radioterapi juga berguna untuk kasus diluar kanker, seperti pengobatan


neuralgia trigeminal, penyakit mata tiroid berat, pterigium, sinovitis villonodular
berpigmen, mencegah pertumbuhan jaringan parut keloid, dan mencegah ossifikasi
heterotropik. Penggunaan radioterapi pada kondisi di luar kanker tersebut sifatnya
tebatas karena kekhawatiran risiko terjadinya kanker akibat radiasi (radiation-induced
cancers). Radioterapi digunakan untuk pengobatan tumor ganas (kanker) dan bahkan
digunakan sebagai terapi primer kanker.

Kombinasi radioterapi dengan bedah, kemoterapi dan terapi hormon atau


percampuran kombinasi di antara ketiganya sudah biasa dilakukan. Hampir semua
tipe kanker kini dapat diobati dengan radioterapi. Pengobatan yang dilakukan dengan
tepat dan seksama (kuratif, adjuvant, neoadjuvant, therapeutic, atau paliatif) akan
tergantung pada tipe, lokasi dan derajat keganasan tumor, disamping kondisi umum
pasien.
ISI

Definisi Radioterapi

Radioterapi / Onkologi Radiasi adalah tindakan medis yang dilakukan pada


pasien dengan menggunakan radiasi pengion untuk mematikan sel kanker sebanyak
mungkin dengan kerusakan pada sel normal sekecil mungkin. Tindakan terapi ini
menggunakan sumber radiasi tertutup. Radiasi adalah pemancaran/pengeluaran dan
perambatan energy menembus ruang atau sebuah substansi dalam bentuk
gelombang atau partikel. Radiasi pengion adalah berkas pancaran energy/ partikel
yang bila mengenai sebuah atom akan menyebabkan terpentalnya electron keluar
dari orbit electron tersebut. Pancaran energy berupa gelombang elektromagnetik yang
dapat berupa sinar gamma dan sinar X. Akibat dari disintegrasi inti akan terbentuk 1
pancaran energy berupa sinar gamma dan 2 pancaran partikel yaitu pancaran electron
disebut sinar beta dan pancaran inti helium disebut sinar alpha.

Partikel radiasi terdiri dari atom atau subatom dimana mempunyai massa dan
bergerak, menyebar dengan kecepatan tinggi menggunakan energi kinetik. Beberapa
contoh dari partikel radiasi adalah electron, beta, alpha, photon & neutron. Sumber
radiasi dapat terjadi secara alamiah maupun buatan. Sumber radiasi alamiah
contohnya radiasi dari sinar kosmis, radiasi dari unsur-unsur kimia yang terdapat pada
lapisan kerak bumi, radiasi yang terjadi pada atsmosfir akibat terjadinya pergeseran
lintasan perputaran bola bumi. Sedangan sumber radiasi buatan contohnya radiasi
sinar x, radiasi sinar alfa, radiasi sinar beta , radiasi sinar gamma.

Mekanisme kerja Radioterapi dalam Pengobatan kanker

Radioterapi bekerja dengan cara merusak sel DNA. Kerusakan disebabkan oleh
proses ionisasi photon, elektron, proton, neutron atau ion secara langsung maupun
tidak langsung terhadap rantai DNA. Ionisasi secara tidak langsung terjadi akibat
ionisasi air, membentuk radikal bebas, radikal hidroksil, yang kemudian merusak DNA.
Sayangnya sel memiliki mekanisme memperbaiki kerusakan DNA secara alami. Oleh
karena itu teknik yang paling ampuh dalam memodifikasi sel kanker ialah dengan
merusak kedua helai rantai DNA secara bersamaan.
Secara umum sel kanker bersifat seperti stem sel, mereka dapat
memperbanyak diri secara cepat, dan sensitif mudah rusak terhadap radiasi jika
dibandingkan dengan sel normal yang sehat lainnya. Kerusakan DNA ini dapat
diturunkan melalui pembelahan sel sehingga terjadi akumulasi kerusakan terhadap
sel kanker. Sel-sel tersebut akan mati atau bahkan masih bisa bertambah secara
perlahan.

Salah satu keterbatasan radioterapi adalah sulitnya menjangkau sel-sel tumor


padat karena sel-sel tumor padat cenderung mengalami kekurangan oksigen
(hipoksia) akibat kurangnya suplai darah. Oksigen ialah radiosensitizer yang sangat
poten, dapat meningkatkan efektivitas radiasi dengan cara membentuk kompleks
DNA-radikal bebas perusak. Sel tumor yang hipoksia ini lebih resisten 2-3 kali
dibandingkan sel tumor yang non-hipoksia pada pemberian dosis radiasi normal. Para
peneliti akhirnya berupaya untuk menanggulangi masalah ini antara lain dengan cara
menggunakan tangki oksigen tekanan tinggi, penggunaan substitusi darah dengan
suplai oksigen tinggi, penggunaan radiosensitizer sel hipoksia seperti misonidazol dan
metronidazol, dan sitotoksin seperti tirapazamin. Partikel high-LET (linear energy
transfer) seperti karbon atau neon memiliki efek antitumor yang tidak dipengaruhi oleh
suplai oksigen karena partikel tersebut beraksi dengan merusak sel secara langsung.

Penggunaan prinsip dan cara-cara farmasi dan radiokimia untuk membuat


obat yang mengandung atom radioaktif (radiofarmaka) bagi keperluan diagnosa dan
penyembuhan (terapi). Senyawa kimia atau obat, yang salah satu atom penyusun
strukturnya adalah nuklida radioaktif, untuk keperluan diagnosa atau penyembuhan
(terapi) suatu penyakit dan dapat diberikan secara oral, parenteral, dan inhalasi
disebut sebagai radiofarmaka. Sedangkan untuk bidang keahlian (specialist)
kedokteran yang berhubungan dengan penggunaan bahan radioaktif (radiofarmaka)
untuk tujuan diagnosa dan terapi suatu penyakit disebut kedokteran nuklir.

Radiofarmaka diformulasikan dalam berbagai wujud kimia dan fisika untuk


mengarahkan (targeted) keradioaktifan ke bagian-bagian tertentu dari tubuh dengan
harapan bahwa Radiasi-γ yang dipancarkan dari radiofarmaka diagnosa dengan
mudah akan keluar dari tubuh sehingga memungkinkan deteksi dan pengukuran
dilakukan di luar tubuh (eksternal). Terapi Radiofarmaka akan memancarkan radiasi
dalam bentuk partikel bermuatan yang mendepositkan energi kedalam organ yang
sedang disembuhkan dari penyakit.

Dosis Radioterapi

Satuan radiasi yang digunakan pada radioterapi adalah gray (Gy). Variasi
dosis tergantung pada tipe dan stadium tumor yang akan diterapi. Pada kasus kuratif,
dosis untuk tumor epithelial padat berkisar antara 60 - 80 Gy, sementara itu tumor
limfoma dosisnya ialah 20 - 40 Gy. Dosis preventif (adjuvant) berkisar 45 - 60 Gy
dalam dosis terbagi 1.8 - 2 Gy (untuk kanker Payudara, Kepala dan Leher).

Terdapat beberapa alasan mengapa dosis total harus diberikan dalam dosis
terbagi/ fraksinasi, antara lain agar sel-sel normal yang ikut terkena radiasi memiliki
waktu untuk pulih kembali, memberikan waktu siklus agar sel-sel tumor pada fase
radio-resisten berubah ke fase radio-sensitif terhadap radiasi. Selain itu, fraksinasi
juga berguna agar sel-sel tumor yang hipoksia secara kronis maupun akut
( radioresisten) akan mengalami reoksigenasi diantara dua fraksi, sehingga pada
akhirnya menjadi radiosensitif terhadap radiasi. Pada beberapa tipe tumor, pemberian
jadwal fraksi yang terlalu lama dapat menyebabkan sel-sel tumor mengalami
repopulasi kembali, termasuk di dalamnya kanker sel skuamosa servikal, kepala dan
leher. Keberhasilan radioterapi ini dapat dicapai dalam waktu tertentu. Bagi anak-anak,
dosis fraksi biasanya 1.5 - 1.8 Gy per hari, ukuran fraksi yang lebih rendah ini
diharapkan dapat mengurangi efek samping pada jaringan yang masih normal. Pada
beberapa kasus, dilakukan dua fraksi per hari menjelang akhir terapi, yang dikenal
sebagai concomitant boost regimen atau hiperfraksinasi, terutama digunakan pada
tumor yang mengalami regenerasi semakin cepat ketika sudah semakin kecil.
Biasanya karakter ini ada pada tumor kepala dan leher. Salah satu cara/jadwal
pemberian fraksinasi yang terbaik adalah Continuous Hyperfractionated Accelerated
Radiotherapy (CHART). CHART, biasa dipakai pada kanker paru, terdiri dari tiga fraksi
dosis rendah per hari.

Beda kanker, beda juga respon terhadap radioterapinya. Hal ini disebut juga
radiosensitivitas. Sel kanker dengan radiosensitivitas tinggi dapat membunuh sel
kanker secara cepat dalam dosis rendah-sedang, diantaranya leukemia, limfoma dan
tumor sel germinal. Mayoritas kanker epithelium memiliki radiosensitivitas tipe
moderate, dan membutuhkan radiasi dosis tinggi (60-70Gy) untuk mencapai terapi
radikal. Beberapa tipe kanker tergolong radioresisten sehingga membutuhkan dosis
lebih tinggi lagi untuk memperoleh terapi radikal, contohnya ialah kanker sel renal dan
melanoma. Tidak semua sel tumor dengan radiosensitivitas tinggi dapat memperoleh
hasil yang memuaskan. Sebagai contoh leukemia, tidak bisa hanya mengandalkan
radioterapi saja karena tumor ini adalah tumor darah yang menyebar ke seluruh tubuh
atau limfoma yang tidak hanya terletak pada satu lokasi saja atau tumor-tumor yang
sudah berada dalam stadium lanjut dan bermetastasis jauh. Tidak lah mungkin jika
nantinya seluruh tubuh kita yang akan menerima radiasi.

Respon radioterapi juga bergantung terhadap ukuran tumor. Tumor dengan


ukuran besar memiliki respon yang kurang dibandingkan tumor ukuran kecil. Berbagai
strategi dicoba untuk mengatasi kendala ini seperti dengan melakukan reseksi bedah
tumor sebelum radioterapi yang sering dilakukan pada kanker payudara dengan eksisi
lokal luas atau mastektomi yang dilanjutkan dengan radioterapi adjuvant. Metode
lainnya ialah neoadjuvant dengan menyusutkan ukuran tumor terlebih dahulu dengan
kemoterapi sebelum radioterapi radikal. Teknik ketiga ialah dengan memberikan obat
tertentu selama proses radioterapi untuk meningkatkan radiosensitivitas seperti
Cisplatin, Nimorazole, dan Cetuximab.

Perkembangan Radioterapi

Radioterapi sudah digunakan sebagai pengobatan kanker sejak lebih dari 100 tahun,
sejak ditemukannya sinar X pada tahun 1895 oleh Wilhelm Röntgen. Radioterapi
mulai berkembang era 1900an sejak kemenangan Nobel Marie Curie, yang
menemukan elemen radioaktif polonium dan radium. Hal ini membuka era baru bagi
terapi dan penelitian di bidang kedokteran. Radium telah sering digunakan hingga
pertengahan 1900an ketika kobalt dan caesium mulai diperkenalkan. Medical linear
accelerators telah digunakan sebagai sumber radiasi sejak akhir 1940an. Masa tiga
dimensi mulai berkembang tahun 1971 berkat penemuan computed tomography (CT)
oleh Godfrey Hounsfield. Radiasi secara tiga dimensi ini memudahkan para dokter
dalam mempertimbangkan distribusi dosis radiasi secara akurat. Orthovoltage dan
kobalt telah digantikan oleh megavoltage linear accelerators. Seiring dengan
kedatangan teknologi pencitraan yang terbaru seperti magnetic resonance imaging
(MRI) pada era 1970an dan positron emission tomography (PET) pada era 1980an,
radioterapi bentuk 3-D berubah/ menyesuaikan diri menjadi bentuk intensity-
modulated radiation therapy (IMRT) dan image-guided radiation therapy (IGRT).
Kemajuan teknologi ini berdampak pada hasil keluaran terapi yang lebih baik dan lebih
sedikit efek samping.

Tipe radioterapi

Dahulu kala, terdapat tiga divisi radioterapi external beam radiotherapy (EBRT
or XBRT) atau teleterapi, brakiterapi dan terapi radioisotope sistemik. Perbedaan di
antara ketiganya ialah pada letak/posisi sumber radiasi; (a). EBRT di luar tubuh, (b).
brakiterapi menggunakan sumber radiasi tertutup yang ditempelkan pada area dekat
tumor, dan (c). radioisotope sistemik diberikan melalui infuse atau oral.

Brakiterapi dapat menempatkan sumber radioaktif secara temporer atau


permanen dengan cara ditanamkan pada organ yang akan diterapi. Keuntungannya
ialah meminimalisir paparan radiasi pada organ/ jaringan yang sehat. Terapi partikel
radioterapi eksternal dengan sinar proton dan ion-ion berat. Radioterapi introperatif
ialah tipe radioterapi yang dilakukan segera setelah dilakukan pembedahan
pengangkatan tumor. Method ini biasa digunakan pada kanker payudara (Targeted
Introperative radioTherapy), tumor otak dan kanker rektum.

Radioterapi sinar eksternal merupakan terapi dengan memanfaatkan sinar-X


dan terdapat tiga tipe.(a). Radioterapi sinar eksternal konvensional (2DXRT) yang
menggunakan sinar dua dimensi melalui mesin asselerator linear (simulator). Tipe
kedua yakni (b). Radioterapi stereotaktik yang fokus pada radiasi dosis tinggi dan
diklaim sebagai metode radioterapi yang lebih akurat dibanding sebelumnya,
contohnya Cyberknife, Gamma Knife dan Novalis Tx. Tipe yang ketiga, yang terbaru
adalah (b) Virtual simulation, 3-dimensional conformal radiotherapy, and intensity-
modulated radiotherapy yang menggunakan alat bantu CT dan/atau MRI guna
mendapatkan gambaran tumor dan struktur/ jaringan normal disekitarnya dalam
bentuk tiga dimensi. Maksud dari transisi radioterapi dua dimensi ke tiga dimensi ialah
meningkatkan keakurasian dalam pelayanan radioterapi kanker. Hal ini terjadi karena
radioterapi 2D membuat ketidakakuratan definisi target tumor yang biasanya
menggunakan sinar-X simulator. Selain itu, radioterapi 2D akan sulit membuat
distribusi dosis semaksimal mungkin pada target tumor dan minimum pada jaringan
sehat atau organ beresiko. Hal ini disebabkan radioterapi 2D tidak presisi dalam
mendefiniskan target tumor yang hanya berdasarkan simulasi di pesawat simulator
atau hanya berdasarkan beberapa potongan irisan citra CT. Dengan tujuan radioterapi
pada kanker stadium dini yaitu dapat mematikan sel tumor dengan semaksimal
mungkin melindungi jaringan sehat sekitarnya akan sulit dicapai. Oleh karena itu,
transisi ke radioterapi 3D adalah menjadi sebuah keharusan yang harus ditempuh,
dengan maksud membuat kualitas pelayanan radioterapi prima sesuai dengan tujuan
dan dilakukan dengan tingkat keakurasian tinggi dalam penentuan target tumor.

Pada terapi partikel (proton dan karbon) secara langsung mengionisasi target
tumor. Dosis meningkat saat partikel berpenetrasi ke dalam jaringan, hingga
mencapai maksimum (Bragg peak), dan kemudian dosis menurun hingga (hampir) nol.
Keuntungan cara ini ialah sedikitnya energi yang akan mengendap pada jaringan
sehat di sekitar tumor target.

Terapi radioisotope sistemik ialah bentuk terapi target. Hal ini didasari oleh
suatu zat kimia radioisotope seperti radioiodine yang secara spesifik diabsorbsi oleh
kelenjar tiroid. Caranya ialah dengan mengikatkan radioisotope dengan molekul lain
atau antibodi yang akan mengantarkannya pada jaringan target. Radioisotopes dapat
diberikan melalui infus (aliran darah) atau oral. Sebagai contoh ialah
metaiodobenzylguanidine (MIBG) untuk terapi neuroblastoma, iodine-131 oral untuk
terapi kanker tiroid atau tirotoksikosis, dan gabungan hormon lutetium-177 and
yttrium-90 untuk terapi tumor neuroendokrin (terapi radionuklida reseptor peptide).
Contoh lainnya ialah teropong radioaktif ke dalam arteri hepatika untuk
radioembolisasi tumor atau metastasis liver/ hati. Kegunaan utama terapi radioisotope
sistemik lainnya ialah untuk terapi metastasis kanker ke tulang. Radioisotop hanya
akan menuju ke tulang yang mengalami kerusakan dan tidak mengisi tulang yang
masih sehat. Isotop yang sering digunakan untuk metastasis tulang ialah strontium-
89 dan Samarium-153-ethylene diamine tetramethylene phosphonate.
Sinar X

Sinar X dapat menembus bahan dengan daya tembus sangat besar dan
digunakan dalam radiograf. Makin tinggi tegangan tabung (besarnya KV) yang
digunakan, makin besar daya tembusnya. Makin rendah berat atom atau kepadatan
suatu benda, makin besr daya tembus sinarnya. Pertebaran Fluoresensi Sinar x
menyebabkan bahan-bahan tertentu seperti kalsium tungstat atau zink sulfide
memendarkan cahaya (luminisensi). Luminisensi ada 2 jenis yaitu : (1). Fluoresensi,
yaitu memendarkan cahaya sewaktu ada radiasi sinar x saja. (2).Fosforisensi,
pemendaran cahaya akan berlangsung beberapa saat walaupun radiasi sinar x sudah
dimatikan (after – glow).

Ionisasi Efek primer dari sinar x apabila mengenai suatu bahan atau zat dapat
menimbulkan ionisasi partikel-partikel atau zat tersebut. Efek biologi Sinar x akan
menimbulkan perubahan-perubahan biologi pada jaringan. Efek biologi ini yang
dipergunakan dalam pengobatan radioterapi. Efek Radiasi Radioterapi dengan sinar
x, sinar gamma, dan partikel isotop radioaktif pada hakikatnya tergantung daripada
energi yang diabsorpsi baik secara efek fotolistrik maupun efek kompton yang
menimbulkan ionisasi pada jaringan. Akibat dari ionisasi terjadi kerusakan pada
jaringan yang disebut efek biologis.

Efek biologis terbagi menjadi dua yaitu efek somatic dan efek genetis. (a). Efek
somatik yang ditimbulkan oleh radiasi pengion terutama terlihat kelainan pada tubuh,
yaitu: Terhadap kulit: Dermatitis akut, dermatitis khronika, dan late effect dari
dermatitis akut. Terhadap mata: menimbulkan konjungtivitis dan keratitis. Lensa mata
sangat sensitive, sehingga pada penyinaran 400-500 rad akan menimbulkan katarak.
Terhadap alat kelamin: dosis 600 rad menimbulkan sterilitas.dosis rendah dapat
menimbulkan mutasi gen dan kelainan pada keturunan. Pada wanita hamil akan akan
terjadi kelainan fetus atau menimbulkan anomali/kelainan. Terhadap paru-paru:
menimbulkan batuk, sesak nafas, nyeri dada, dan fibrosis paru-paru. Terhadap tulang:
manimbulkan gangguan pertumbuhan tulang dan osteoporosis. Terhadap saraf:
myelitis den degenerasi jaringan otak.(b). Efek genetik Terjadi mutasi gen
diperkirakan pada dosis 25-100 rem.
Efek Samping

Terapi radiasi tidak menyakitkan. Banyak terapi paliatif dosis rendah (seperti
radioterapi pada metastasis tulang) dapat menyebabkan sedikit atau tanpa efek
samping, meskipun begitu nyeri/rasa terbakar jangka pendek dapat terjadi pada hari-
hari kemudian selama terapi berlangsung akibat saraf di sekitar area terapi yang
terjepit oleh edema (kompartemen sindrom). Terapi dengan dosis tinggi dapat
menyebabkan berbagai efek samping selama terapi (efek samping akut), hingga
berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah terapi (efek samping jangka panjang),
atau setelah pengobatan ulang (efek samping kumulatif). Sifat, keparahan, dan
lamanya efek samping tergantung pada organ yang menerima efek samping,
pengobatan itu sendiri (tipe radiasi, dosis, fraksinasi, kemoterapi secara bersamaan),
dan pasien itu sendiri. Efek samping kebanyakan dapat diprediksi dan diperkirakan
sebelumnya.

Efek samping akut antara lain ialah kerusakan pada lapisan epitel (kulit, mukosa mulut,
faring, usus dan ureter). Biasanya diawali dengan kulit berubah menjadi pink dan nyeri
dalam beberapa minggu. Reaksi bahkan bisa bertambah parah selama terapi dan
seminggu setelah terapi. Kulit menjadi pecah-pecah, berskuama, basah dan terasa
tidak nyaman tetapi penyembuhannya biasanya cepat. Pada penyinaran tumor kepala
dan leher, dapat terjadi ulkus dan nyeri sementara di mulut dan tenggorokan. Jika
memberat, dapat mengganggu fungsi menelan, sehingga pasien membutuhkan obat
anti nyeri dan suplemen makanan. Begitu pula dengan mukosa esophagus (biasanya
akibat penyinaran kanker paru-paru) dan usus besar (biasanya akibat penyinaran
kanker rektum, anus, prostat, kandung kemih, dan traktus genitalia wanita). Gejalanya
berupa rasa nyeri, diare, dan mual. Efek samping akut lainnya adalah bengkak/edema
terutama akibat penyinaran tumor di otak atau metastasis sehingga dapat
meningkatkan tekanan intrakranial atau apabila tumor mengakibatkan obstruksi lumen
(seperti trakea atau bronkus). Pada kasus seperti ini, intervensi bedah sangat
dipertimbangkan sebelum memutuskan dengan radioterapi. Namun jika tidak
memungkinkan untuk pembedahan,maka pasien diberikan steroid selama menjalani
radioterapi untuk mengurangi edema. Efek samping lainnya ialah infertilitas karena
alat kelamin (ovarium dan testis) sangat sensitive terhadap radiasi. Efek samping
jangka panjang ialah fibrosis akibat skar, rambut rontok, keringnya kelenjar ludah
(xerostomia), air mata (xeroftalmia) dan kelenjar mukosa lainnya serta perasaan lelah
(fatigue). Radiasi sendiri berpotensi menimbulkan kanker sekunder di kemudian hari
serta kematian akibat penyakit jantung.
Kesimpulan

1. Aplikasi Radiofarmasi dalam bidang kesehatan salah satunya adalah radiasi


menggunakan sinar X pada terapi kanker yang dikenal Radioterapi Onkologi.
2. Tipe Radioterapi onkologi yang terbaru dan terbaik adalah dengan pesawat
LINAC (Linear Accelerator) dengan kemampuan 3-dimensional conformal
radiotherapy (3D-CRT) dan intensity-modulated radiotherapy (IMRT) yang dapat
memperlihatkan gambaran tumor dan struktur/ jaringan normal disekitarnya
dalam bentuk tiga dimensi.
3. Radioterapi bekerja dengan cara merusak sel DNA. Kerusakan disebabkan oleh
proses ionisasi photon, elektron, proton, neutron atau ion secara langsung
maupun tidak langsung terhadap rantai DNA.
4. Keterbatasan dari Radioterapi adalah sulitnya menjangkau sel-sel tumor padat
karena sel-sel tumor padat cenderung mengalami kekurangan oksigen (hipoksia)
akibat kurangnya suplai darah dan mempunyai banyak efek samping serta dapat
merusak jaringan sehat di sekitar tempat yang di radiasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Leswara ND. 2008. Buku Ajar Radiofarmasi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
2. Sjahrial, Rasad. Radiologi Diagnostik. Jakarta: FK UI. Ed. 2. 1995.
3. International Atomic Energy Agency. 2006. Nuclear Medicine Resources Manual.
Austria: IAEA

Anda mungkin juga menyukai