Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Thalasemia merupakan defek genetik yang mengakibatkan berkurang atau
tidak adanya sama sekali sintesis satu atau lebih rantai globin yang merupakan
polipeptida penting molekul hemoglobin.1 Thalasemia disebabkan oleh
penurunan kecepatan sintesis atau kemampuan produksi satu atau lebih rantai
globin α, β ataupun rantai globin lainnya sehingga terjadi delesi total atau
parsial gen globin dan substitusi, delesiatau insersi nukleotida. Defek bersifat
kuantitatif dimana sintesis rantai globin normal menjadi kurang atau tidak
ada, tapi ada juga mutasi yang menyebabkan struktur bervariasi dan mutasi
yang menghasilkan hemoglobin yang sangat tidak stabil.2

B. EKSPRESI HEMOGLOBIN SELAMA PERKEMBANGAN NORMAL


Sesuai dengan rangkaian hematopoisis yang dimulai dari yolk sac, limpa,
hati dan sumsum tulang diikuti juga dengan variasi sintesis hemoglobin.
Terdapat 2 gugus gen globin yaitu gugus gen globin α pada kromosom 16 dan
gugus gen globin β pada kromosom 11. Gugus gen globin α yang normal
terdiri dari satu gen globin δ (zeta) dan 2 gen globin α (alpha) pada masing-
masing kromosom 16.3
Gen globin zeta aktif selama kehidupan embrional dan gen globin alpha
aktif sejak kehidupan fetal dan seterusnya. Gugus gen globin β terdiri atas gen
globin ε (epsilon), γ (gamma), δ (delta) dan β (beta) pada masing-masing
kromosom 11. Gen globin epsilon aktif selama kehidupan embrional, dan gen
globin sisanya aktif sejak kehidupan fetal dan seterusnya, dengan gen globin
gamma lebih aktif pada kehidupan fetal dibandingkan beta. Sejak masa
embrio, janin, anak dan dewasa sel darah merah mempunyai 6 hemoglobin
antara lain:4
 Hemoglobin embrional : Gower 1 (δ2ε2), Gower 2 (α2ε2), Portland (δ2γ2)

3
 Hemoglobin fetal : HbF (α2γ2)
 Hemoglobin dewasa : HbA(α2β2) dan HbA2(α2δ2)

Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritroblas primitif dalam yolk sac
membentuk rantai globin epsilon dan zeta yang akan membentuk hemoglobin
primitive Gower 1. Selanjutnya dimulai sintesis rantai alpha mengganti rantai
zeta; rantai gamma mengganti rantai epsilon di yolk sac, yang akan
membentuk Hb Portland dan Gower 2. Hemoglobin yang ditemukan terutama
pada masa gestasi 4-8 minggu adalah Hb Gower 1 dan Gower 2 yaitu kira-
kira 75% dan merupakan hemoglobin yang disintesis di yolk sac tetapi akan
menghilang pada masa gestasi 3 bulan. Migrasi pluripoten stem cell dari yolk
sac ke hati diikuti dengan sintesis hemoglobin fetal dan awal sintesis rantai β.
Setelah masa gestasi 8 minggu HbF paling dominan dan setelah janin berusia
6 bulan merupakan 90% dari keseluruhan hemoglobin kemudian berkurang
bertahap dan pada saat lahir ditemukan kira-kira 70% HbF. Sintesis HbF
menurun secara cepat setelah bayi lahir dan setelah usia 6-12 bulan hanya
sedikit ditemukan.4

Gambar 2.1 Ekspresi gen globin selama perkembangan normal

4
Pada masa embrio telah dapat dideteksi HbA karena telah terjadi
perubahan sintesis rantai γ menjadi β dan selanjutnya globin β meningkat
pada masa gestasi 6 bulan ditemukan 5-10% HbA, pada waktu lahir mencapai
30% dan pada usia 6- 12 bulan sudah memperlihatkan gambaran hemoglobin
dewasa. Hemoglobin dewasa minor (HbA2) ditemukan kira-kira 1% pada saat
lahir dan pada usia 12 bulan mencapai 2-3,4%, dengan rasio normal antara
HbAdan HbA2 adalah 30:1. Perubahan hemoglobin janin ke dewasa
merupakan proses biologi berupa diferensiasi sel induk eritroid, sel stem
pluripoten, gen dan reseptor yang mempengaruhi eritroid dan dikontrol oleh
faktor humoral.3

C. SINTESIS HEMOGLOBIN
Hemoglobin dibentuk dari hem dan globin. Hem sendiri terdiri dari 4
struktur pirol dengan atom Fe di tengah nya, sedangkan globin terdiri dari 2
pasang rantai polopeptida. Pembuatan setiap rantai polipeptida ini di atur oleh
beberapa gen (gen regulator), sedangkan urutannya dalam rantai tersebut di
atur oleh gen struktural. Sintesis globin terjadi seperti protein pada umumnya,
mRNA dari intisel akan ditranslasi ribosom untuk merakit rantai asam amino
untuk membentuk globin.5
Di sisi lain proses pembentukan heme relatif lebih kompleks, bahan dasar
heme adalah asam amino glisin dan suksinil-KoA, hasil dari siklus asam
sitrat. Pada awalnya proses ini terjadi di dalam mitokondria, kemudian setelah
terbentuk δ-aminolevulinat (ALA) reaksi terjadi di sitoplasma sampai
terbentuk coproporhyrinogen III, kemudian substrat akan masuk kembali
kedalam mitokondria untuk menyelesaikan serangkaian reaksi pembentukan
heme yaitu penambahan besi ferro ke cincin protoporphyrin.
Sintesis heme terjadi hampir pada semua sel mamalia dengan
pengecualian eritrosit matur yang tidak memiliki mitokondria, namun hampir
85% heme dihasilkan oleh sel prekursor eritroid pada sumsum tulang dan
hepatosit. Regulasi sintesis heme terjadi melalui mekanisme umpan balik oleh
enzim δ-aminolevulinat sintase (ALAS), ALAS tipe 1 ditemukan pada hati

5
sedangkan ALAS tipe 2 ditemukan pada sel eritroid. Heme tampaknya
bekerja melalui molekul aporepresor bekerja sebagai regulator negatif
terhadap sintesis ALAS1, pada percobaan tampak bahwa sintesis ALAS1
tinggi saat kadar heme rendah dan hampir tidak terjadi saat kadar heme tinggi.
Selain sintesis hemoglobin, heme juga dibutuhkan enzim hati sitokrom P450
untuk memetabolisme zat lain, keadaan ini dapat meningkatkan kerja
ALAS1.5

D. EPIDEMIOLOGI
Penyakit thalassemia ini tersebar luas di daerah Mediterania seperti Italia,
Yunani, Afrika bagian utara, kawasan Timur Tengah, India Selatan, Srilangka
sampai kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, daerah ini di kenal
sebagai kawasan thalassemia. Frekuensi thalassemia di Asia Tenggara adalah
antara 3-9% kejadian.6

Gambar 2.2 Peta sebaran thalassemia α dan β

Kelainan Hemoglobin pada awalnya endemik di 60% dari 229 negara, dan
berpotensi mempengaruhi 75% kelahiran. Namun sekarang cukup umum di
71% dari Negara dengan mempengaruhi diantaranya 89% kelahiran. Tabel
menunjukkan perkiraan prevalensi konservatif oleh WHO regional.
Setidaknya 5,2% dari populasi dunia (dan lebih dari 7% wanita hamil)
membawa varian yang signifikan. Hemoglobin jenis S (Hb S) membawa 40%

6
carir namun lebih dari 80% kelainan dikarenakan prevalensi pembawa lokal
yang sangat tinggi. Sekitar 85% dari gangguan sickle-cell disorders dan lebih
dari 70% seluruh kelahiran terjadi di afrika. Selain itu, setidaknya 20% dari
populasi dunia membawa Thalassemia α +. Dari sebuah studi survei skala
besar di Cina yang dilakukan oleh Yi-Tao Zeng dan Shu-Zhen Huang, dalam
dua dekade terakhir ini, dari satu juta orang di 28 provinsi, kasus α-
thalassemia yang dilaporkan adalah 2,64% dan untuk β-thalassemia adalah
0,66%.6
Diantara 1.1% pasangan suami istri mempunya resiko memiliki anak
dengan kelainan hemoglobin dan 2.7 per 1000 konsepsi terganggu.
Pencegahan hanya memberikan pengaruh yang kecil, pengaruh prevalensi
kelahiran dikalkulasikan antara 2.55 per 1000. Sebagian besar anak anak yang
lahir dinegara berpenghasilan tinggi dapat bertahan dengan kelainan kronik,
sementara di Negara Negara yang berpengasilan rendah meninggal sebelum
usia 5 tahun. Kelainan hemoglobin memberikan kontribusi setara dengan
3.4% kematian padan anak usia di bawah 5 tahun di seluruh dunia.7

Tabel 2.1 Estimasi prevalensi carir dari varian gen hemoglobin dan hubungan konsepsi

7
Indonesia kasus talasemia disebabkan oleh adanya migrasi penduduk dan
percampuran penduduk. Keseluruhan populasi ini tersebar di Kalimantan,
Sulawesi, pulau Jawa, Sumatera, Nias, Sumba dan Flores. Di Indonesia,
diperkirakan jumlah pembawa sifat thalasemia sekitar 3-5% dari jumlah
populasi. Di beberapa daerah di Indonesia mencapai 10% sedangkan angka
pembawa sifat HbE berkisar antara 1,5-36%.2 Hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional talasemia adalah 0,1%, dengan
8 propinsi yang menunjukkan prevalensi di atas prevalensi nasional yaitu
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (1,34%), DKI Jakara (1,23%), Sumatera
Selatan (0,54%), Gorontalo (0,31%), Kep. Riau (0,3%), Nusa Tenggara Barat
(0,26%), Papua Barat (0,22%) dan Maluku (0,19%). Prevalensi terendah
terdapat di Provinsi Lampung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Utara masing-
masing sebesar 0,01%. Di Bali prevalensi talasemia didapatkan 0,04%.8

E. ETIOLOGI
Thalasemia merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara
autosomal resesif dimana semua perubahan genetik yang terjadi diturunkan
dari ibu maupun ayah. Apabila kedua orangtua penderita thalassemia trait
maka dalam setiap kehamilan ada kemungkinan sebesar 25% mereka akan
mempunyai anak dengan darah yang normal, 50% kemungkinan thalassemia
trait dan 25% kemungkinan menderita thalassemia.9

8
Gambar 2.3 Pewarisan sifat thalasemia

Thalasemia terjadi bila sintesis salah satu rantai polipeptida menurun.


Sebagian besar kelainan hemoglobin dan jenis thalasemia merupakan hasil
kelainan mutasi pada gamet yang terjadi pada replikasi DNA. Pada replikasi
DNA dapat terjadi pergantian urutan asam basa dalam DNA dan perubahan
kode genetik akan diteruskan pada penurunan gen berikutnya.
Mutasi ini dapat memperpendek rantai asam amino maupun
memperpanjangnya. Kelainan mutasi dapat pula terjadi pada kesalahan
berpasangan kromosom pada proses meiosis yang mengakibatkan perubahan
susunan material genetik. Bila terjadi crossing over pada kesalahan
berpasangan itu, sebagai hasil akhir peristiwa tadi akan terjadi apa yang
disebut duplikasi, delesi, translokasi dan inversi.10
Mutasi gen pada thalasemia β dibagi menjadi bentuk :9
 Delesi, sedikitnya 17 delesi berbeda ditemukan pada thalasemia β. Yang
sering ditemukan adalah delesi 619 bp pada ujung akhir 3’ gen globin β,
pada populasi Sind dan Gujarat di Pakistan dan India. Bentuk homozigot
delesi ini menyebabkan talasemia β° sedangkan heterozigotnya
menimbulkan peningkatan HbA2 dan HbF.
 Non delesi, terjadi transkripsi, prosesing dan translasi, berupa mutasi titik:

9
 Region promoter
 Mutasi transkripsional pada lokasi CAP
 Mutasi prosesing RNA: intron-exon boundaries, polyadenilation
signal, splice site consesnsus sequences, cryptic sites in exons, cryptic
sites in introns.
 Mutasi yangmenyebabkan translasi abnormal RNA messenger:
inisiasi, nonsense dan mutasi frameshift.
 Bentuk mutasi lain seperti thalasemia β yang diwariskan dominan, varian
globin β tidak stabil, thalasemia β tersembunyi, mutasi thalasemia yang
tidak terkait kluster gen globin β dan bentuk variasi thalasemia β.
Sedangkan pada thalasemia α, mutasi gen yang terjadi berbentuk :10
 Delesi, mencakup satu gen (-α) atau kedua (--) gen globin α. Pada
talasemia -α°, terdapat 14 delesi yang mengenai gen α, sehingga produksi
rantai α hilang sama sekali dari kromosom abnormal. Bentuk umum –α+
yang paling umum (-α3,7 dan -α4,2) mencakup delesi satu atau duplikasi
gen globin α lainnya.
 Non delesi, kedua haplotip gen α utuh (αα). Ekspresi gen–α2 lebih kuat 2-
3 kali dari ekspresi gen–α1 sehingga sebagian besar mutasi non delesi
ditemukan predominasi pada ekspresi gen-α2.

F. PATOFISIOLOGI
Hemoglobin merupakan kompleks protein yang terdiri dari heme yang
mengandung besi dan globin. Hemoglobin berperan dalam system
pengangkutan oksigen. Satu molekul hemoglobin mengandung 4 subunit.
Masing-masing subunit tersusun atas satu molekul globin dan satu molekul
heme.11

10
Gambar 2.4 Mutasi pada gen globin

Penyebab utama adalah terdapatnya ketidakseimbangan rantai globin.


Pada sumsum tulang mutasi thalasemia mengganggu pematangan sel darah
merah, sehingga tidak efektifnya eritropoiesis akibat hiperaktif sumsum
tulang, terdapat pula sedikit Retikulosit dan anemia berat. Eritropoesis
menjadi tidak efektif, hanya sebagian kecil eritrosit yang mencapai sirkulasi
perifer dan timbul anemia. Anemia berat yang berhubungan dengan
thalasemia beta mayor menyebabkan ginjal melepaskan erythropoietin yaitu
hormon yang menstimulasi bone marrow untuk menghasilkan lebih banyak
sel darah merah, sehingga hematopoesis menjadi tidak efektif. Eritropoiesis
yang meningkat mengakibatkan hiperplasia dan ekspansi sumsum tulang,
sehingga timbul deformitas pada tulang. Eritropoietin juga merangsang
jaringan hematopoesis ekstra meduler di hati dan limpa sehingga timbul
hepatosplenomegali.
Pada β-thalasemia terdapat kelebihan rantai globin α-yang relatif terhadap
β- dan γ-globin; tetramers-globin α (α4) terbentuk, dan ini berinteraksi dengan
membran eritrosit sehingga memperpendek hidup eritrosit, yang mengarah ke
anemia dan meningkatkan produksi erythroid. Rantai globin γ-diproduksi
dalam jumlah yang normal, sehingga menyebabkan peningkatan Hb F (γ2 α2).

11
Rantai δ-globin juga diproduksi dalam jumlah normal, Hb A2 meningkat (α2
δ2) di β-Thalassemia.12
Pada α-talasemia terdapat lebih sedikit-globin rantai α dan β-berlebihan
dan rantai γ-globin. Kelebihan rantai ini membentuk hb Bart (γ4) dalam
kehidupan janin dan Hb H (β4) setelah lahir. Tetramers abnormal ini tidak
mematikan tetapi mengakibatkan hemolisis extravascular.

G. KLASIFIKASI
Di indonesia thalasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan
anemia hemolitik dengan penyebab intrakorpuskuler. Secara molekuler
thalasemia dibedakan atas :13
 Thalasemia-α (gangguan pembentuakan rantai α)

 Thalasemia-β (gangguan pembentukan rantai β)

 Thalasemia- β-δ (gangguan pembentukan rantai β dan δ yang letak gen


nya di duga berdekatan)

 Thalasemia –δ (gangguan pembentukan rantai δ)

G.1 Thalasemia-α13
Seperti telah disebutkan diatas terdapat 2 gen α pada tiap haploid
kromosom, sehingga dapat di duga terjadi 4 macam kelainan pada
thalasemia- α. Atas dasar tersebut, α-thalasemia-1 dan α-thalasemia-2
sekarang disebut α0- dan α-+- thalassemia.
Disamping kelainan pada pembentukan rantai α ini terdapat pula
kelainan struktural pada rantai α. Yang paling banyak di temukan ialah
Hb constant spring. Pada Hb constant spring terdapat rantai α dengan
172 asam amino, berarti 31 asam amino lebih panjang daripada rantai α
biasa. Bentuk homozigot Hb constant spring juga tidak menimbulkan
gejala yang nyata, hanya anemia ringan dengan kadang kadang disertai
spleenomegali ringan.14

12
Pada fetus kekurangan rantai –α menyebabkan rantai-δ yang
berlebihan sehingga akan terbentuk tetramer δ 4 (Hb Bart’s) sedangkan
pada anak besar atau dewasa, kekurangan rantai- α ini menyebabkan
rantai– β yang berlebihan hingga akan terbentuk tetramer β 4 (HbH).
Jadi adanya nya Hb bart’s dan HbH pada elektroforesis merupakan
petunjuk terhadap adanya thalasemia α.
Pada Hidrops fetalis, biasanya bayi telah mati pada usia kehamilan
28-40 minggu atau lahir hidup untuk beberapa jam kemudian
meninggal. Bayi akan tampak anemia dengan kadar Hb 6-8 g%, sediaan
hapusan darah tepi memperlihatkan hipokromia dengan tanda tanda
anisositosis, poikilositosis, banyak normoblas dan retikulositosis. Pada
pemeriksaan eritroporesis darah, akan ditemukan Hb bart’s sebanyak
kira kira 80%. Tidak ditemukan HbF Maupun HbA.13
Pada penyakit HbH, biasanya ditemukan anemia dengan pembesaran
limpa. Anemia biasa nya tidak membutuhkan tranfusi darah. Mudah
terjadi serangan hemolisis akut pada serangan infeksi berat. Kadar Hb
biasanya 7-10 g%. Sediaan darah tepi biasanya menunjukkan tanda
tanda hipokromia. Terdapat pula retikulositosis (5-10%) dan ditemukan
inclusion bodies, pada sediaan hapus darah tepi yang di inkubasi dengan
biru brilian kresil.

G.2 Thalasemia- β
Bentuk ini lebih heterogen dibandingkan thalasemia α, tetapi untuk
kepentingan klinis umumnya dibedakan antara thalasemia β0 dan
thalasemia β+. Pada β0 thalasemia tidak dibentuk rantai globin sama
sekali, sedangkan β+ thalasemia terdapat pengurangan (10-50%)
daripada produksi rantai globin β tersebut. Pembagian selanjutnya
adalah kadar HbA2 yang normal baik pada β0 maupun β+- thalasemia
dalam bentuk heterozigotnya. Bentuk homozigot dari β0 atau campuran
antara β0 dengan β+ -thalasemia yang berat akan menimbulkan gejala
klinis yang berat yang memerlukan tranfusi darah sejak permulaan

13
kehidupannya. Tapi kadang kadang bentuk campuran ini memberi gejala
klinis ringan dan disebut thalasemia intermedia.15

H. TEMUAN KLINIS
Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis
rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Penderita sebagian
besar mengalami anemia yang ringan khususnya anemia hemolitik.
Keadaan yang berat pada beta-thalasemia mayor akan mengalami anemia
karena kegagalan pembentukan sel darah, penderita tampak pucat karena
kekurangan hemoglobin. Perut terlihat buncit karena hepatomegali dan
splenomegali sebagai akibat terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman
akibat dari meningkatnya produksi Fe, juga terjadi ikterus karena produksi
bilirubin meningkat. Gagal jantung disebabkan penumpukan Fe di otot
jantung, deformitas tulang muka, retrakdasi pertumbuhan, penuaan dini.16

Tanda Klinis Thalasemia

Carrier Hematologi normal

Thalasemia Trait Anemia ringan dengan mikrositik dan


α-thalasemia trait atau β-thalasemia hipokromik
trait
Hemoglobin H disease Anemia hemolitik menuju ke berat
α-Thalasemia
Hemoglobin H-Constant Sping Ikterus dan splenomegali

Talasemia Mayor Anemia berat, hepato-splenomegali

Thalasemia Intermedia Beberapa jenis thalassemia tanpa terapi


transfusi

Tabel 2.2 Tanda Klinis Thalasemia

14
Pada penderita thalassemia, menurut James dan Ashwill (2007) akan
ditemukan beberapa kelainan diantaranya :17
 Anemia dengan gejala seperti pucat, demam tanpa penyebab yang jelas,
tidak nafsu makan, infeksi berulang dan pembesaran limpa/hati.
 Anemia progresif yang ditandai hipoksia kronis seperti nyeri kepala,
nyeri precordial, tulang, penurunan toleransi terhadap latihan, lesu dan
anorexia
 Perubahan pada tulang, tulang akan mengalami penipisan dan
kerapuahan akibat sumsum tulang yang berkerja keras untuk memenuhi
kebutuhan kekurangan haemoglobin dalam sel darah merah. Hal ini
terjadi pada tulang kepala, frontal, parietal, molar yang menjadi lebih
menonjol, batang hidung lebih datar atau masuk ke dalam dengan tulang
pipi yang menonjol. Keadaan ini disebut facies cooley, yang merupakan
ciri khas thalassemia mayor.

A B C

Gambar 2.5 Gambaran (A) facies cooley, (B) hair on end, (C) Penipisan korteks tulang kecil

15
I. DIAGNOSIS
Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu
makan dan perut mungkin membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6
bulan, kemudian dilakukan pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka
facies Cooley, ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali dan
hepatomegali.
Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan meliputi : Hb bisa
sampai 2-3 g%, gambaran morfologi eritrosit ditemukan mikrositik
hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis,
mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly,
poikilositosis dan sel target. Pemeriksaan khusus juga diperlukan untuk
menegakkan diagnosis meliputi : Hb F meningkat 20%-90%, elektroforesis
Hb.18

I.1 Pemeriksaan Laboratorium


I.1.1 Darah Rutin
Kunci mendiagnosis talasemia adalah anemia hipokromik
mikrositik dengan mean corpuscular volume (MCV) < 80 fl dan
mean corpuscular haemoglobin (MCH)< 27 pg. Pemeriksaan
kombinasi MCV dan MCH ini lebih baik daripada hanya MCV
saja atau MCH saja.14 Anemia hipokromik mikrositik juga
ditemukan pada anemia defisiensi besi namun biasanya disertai
penurunan kadar red blood cell (RBC) dan peningkatan red cell
distribution width (RDW). Dapat juga ditemukan penurunan
jumlah eritrosit, peningkatan jumlah lekosit dan ditemukan pula
peningkatan dari sel PMN. Bila terjadi hipersplenisme akan
terjadi penurunan dari jumlah trombosit.19
I.1.2 Hitung retikulosit pada talassemia meningkat antara 2-8 %.
I.1.3 Gambaran Darah Tepi
Anemia pada talasemia mayor mempunyai sifat mikrositik
hipokrom. Pada gambaran sediaan darah tepi akan ditemukan

16
retikulosit, poikilositosis, basophilic stippling, sel tear drops dan
sel target.19
I.1.4 Feritin, Serum Iron (SI) dan Total Iron Binding Capacity
(TIBC)
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan
anemia terjadi karena defisiensi besi. Pada anemia defisiensi besi
Serum Iron akan menurun, sedangkan TIBC akan meningkat.
HbA2 yang rendah dapat ditemukan pada anemia defisiensi besi
dan talasemia α sehingga kadang sulit membedakan dengan
pembawa sifat talasemia β. Pemeriksaan feritin dapat
membedakan anemia karena talasemia dengan defisiensi besi.20

I.2 Pemeriksaan Rontgen


Ada hubungan erat antara metabolisme tulang dan eritropoesis. Bila
tidak mendapat tranfusi dijumpai osteopeni, resorbsi tulang meningkat,
mineralisasi berkurang. Apabila tranfusi tidak optimal terjadi ekspansi
rongga sumsum dan penipisan dari korteknya. Trabekulasi memberi
gambaran mozaik pada tulang. Tulang terngkorak memberikan
gambaran yang khas, disebut dengan “hair on end” yaitu menyerupai
rambut berdiri potongan pendek pada anak besar.20

J. DIAGNOSIS BANDING
Talasemia sering kali didiagnosis salah sebagai anemia defisiensi Fe, hal
ini disebabkan oleh karena kemiripan gejala yang ditimbulkan dan gambaran
eritrosit mikrositik hipokrom. Pada anemia sideroblastik dimana didapatkan
pula gambaran apusan darah tepi mikrositik hipokrom dan gejala-gejala
anemia, yang membedakan dengan talasemia adalah kadar besi dalam darah
tinggi, kadar TIBC (Total Iron Binding Capacity) normal atau meningkat
sedangkan pada talasemia kadar besi dan TIBC normal.21 Dapat juga
dibandingkan dengan anemia defisiensi G6PD, dimana enzim ini bekerja
untuk mencegah kerusakan eritrosit akibat oksidasi. Dapat dibedakan dengan

17
talasemia dari apusan darah tepi dimana pada defisiensi G6PD nomositik-
normokromik dan pemeriksaan enzim G6PD.22

Tabel 2.3 Diagnosis Banding Thalasemia

K. TATALAKSANA
K.1 Suportif1
 Tranfusi Darah
Penderita thalasemia mayor membutuhkan transfusi seumur
hidup untuk mengatasi anemia. Transfusi diberikan apabila kadar Hb
< 7 gr/dl dan diusahakan kadar Hb diatas 10 gr/dl namun dianjurkan
tidak melebihi 15 gr/dl dengan tujuan agar suplai oksigen ke
jaringan-jaringan cukup juga mengurangi hemopoesis yang
berlebihan dalam sumsum tulang dan mengurangi absorbsi Fe dari
traktus digestivus. Transfusi diberikan sebaiknya dengan jumlah 10-
20 ml/kg BB dan dalam bentuk PRC (paked read cells).
K.2 Medikamentosa1
 Pemberian iron chelating agent (desferoxamine): diberikan setelah kadar
feritin serum sudah mencapai 1000 mg/l atau saturasi transferin lebih 50%,
atau sekitar 10-20 kali transfusi darah. Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kg

18
berat badan/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam
dengan minimal selama 5 hari berturut setiap selesai transfusi darah.
 Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian kelasi besi, untuk
meningkatkan efek kelasi besi.
 Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
 Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah.
K.3 Splenektomi1
Splenektomi dengan indikasi:
 limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita,
menimbulkan peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya
terjadinya ruptur
 hipersplenisme ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah
atau kebutuhan suspensi eritrosit (PRC) melebihi 250 ml/kg berat
badan dalam satu tahun.
K.4 Transplantasi Sumsum Tulang23
Keberhasilan transplantasi allogenik pada pasien talasemia,
membebaskan pasien dari transfusi kronis namun tidak menghilangkan
kebutuhan terapi pengikat besi pada semua kasus. Pengurangan
konsentrasi besi pada hati hanya ditemukan pada pasein muda dengan
bebas besi rendah sebelum transplantasi. Baik flebotomi maupun
pemberian deferoksamin jangka pendek aman dan efektif untuk
menurunkan besi jaringan pada pasien “eks-talasemia” dan dapat
dimulai 1 jam setelah transplantasi sumsum tulang jika konsentrasi besi
hati > 7mg/kg berat kering jaringan hati.
Ada tiga faktor yang mempengaruhi keberhasilan transplantasi
sumsum tulang :
1. Tingkat hepatomegali
2. Adanya fibrosis portal pada biopsi hati
3. Efektivitas terapi kelasi besi sebelum transplantasi
Pasien yang menjalani transplantasi tanpa faktor diatas (kelas I)
memiliki probabilitas overall survival (OS) 93% dan disease free

19
survival (DFS) 91% . Pasien dengan 1 atau 2 faktor resiko (kelas II)
memiliki probabilitas OS 87% dan DFS 79%. Sedangkan pasien dengan
3 faktor resiko (kelas III) memiliki probabilitas OS 79% dan DFS 58%

L. KOMPLIKASI
Tindakan transfusi yang dilakukan secara rutin selama hidup selain untuk
mempertahankan hidup juga dapat membahayakan nyawa penderita karena
berisiko terinfeksi bakteri dan virus yang berasal dari darah donor seperti
infeksi bakteri Yersinia enterocolitica, virus hepatitis C, hepatitis B dan HIV.
Transfusi yang berulang-ulang setiap bulan akan mengakibatkan
penumpukan zat besi pada jaringan tubuh seperti hati, jantung, pankreas,
ginjal. Akumulasi zat besi pada jaringan hati mulai terjadi setelah dua tahun
mendapat transfusi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998, melaporkan
didapat gangguan faal hati yang terjadi pada transfusi ke 20 hingga 30,
dengan jumlah total darah yang ditransfusikan 2.500-3.750 ml pada usia
penderita 2-9 tahun (Priyantininsih R.D. 2010). Penimbunan zat besi pada
jaringan sangat berbahaya dan apabila tidak dilakukan penanganan yang
serius dapat berakibat kematian. Penimbunan zat besi pada jaringan akan
menyebabkan terjadinya hemosiderosis dan hemokromatosis.24
L.1 Hemosiderosis
Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena
dalam 1 liter darah terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut
akan menambah jumlah zat besi dalam tubuh. Manusia normal zat besi
plasma terikat pada trasnferin, kemampuan transferin mengikat zat besi
sangat terbatas sehingga apabila terjadi kelebihan zat besi maka seluruh
transferin berada dalam keadaan tersaturasi. Besi dalam plasma berada
dalam bentuk tidak terikat atau NTBI (non-transferrin bound plasma
iron) yang dapat menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil dan
mempercepat peroksidasi lipid membran in vitro. Kelebihan zat besi
terbanyak terakumulasi dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi

20
di jantung karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan
berakibat gagal jantung yang berperan pada kematian awal penderita.25
L.2 Hemokromatosis
Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari
penimbunan zat besi dan saturasi transferrin. Hemokromatosis terjadi
disertai dengan kadar feritin serum > 1000 μg/L. Kadar feritin yang
tinggi dapat meningkat pada infeksi-infeksi tertentu seperti hepatitis
virus dan peradangan lain dalam tubuh. Gejala klinis yang paling sering
dijumpai adalah hepatomegali, pada stadium lanjut dapat terjadi sirosis
yang ditandai dengan splenomegali, ikterus, asites dan edema. Sirosis
dapat mengakibatkan kanker hati. Penderita thalasemia lebih beresiko
terkena hemokromatosis sebagai akibat dari penimbunan zat besi pada
hati. 24

Gambar 2.6 Komplikasi Thalasemia

21
M. PROGNOSIS

Tidak ada pengobatan untuk Hb Bart’s. Pada umumnya kasus penyakit Hb


H mempunyai prognosis baik, jarang memerlukan transfusi darah atau
splenektomi dan dapat hidup biasa. Talasemia alfa 1 dan Talasemia alfa 2
dengan fenotip yang normal pada umumnya juga mempunyai prognosis baik
dan tidak memerlukan pengobatan khusus. Transplantasi sumsum tulang
alogenik adalah salah satu pengobatan alternative tetapi hingga saat ini belum
mendapatkan penyesuaian hasil atau bermanfaat yang sama di antara berbagai
penyelidik secara global.26
Talasemia β homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang
mencapai usia dekade ke 3, walaupun digunakan antibiotic untuk mencegah
infeksi dan pemberian chelating agents (desferal) untuk mengurangi
hemosiderosis (harga umumnya tidak terjangkau oleh penduduk Negara
berkembang). Di Negara maju dengan fasilitas transfuse yang cukup dan
perawatan dengan chelating agents yang baik, usia dapat mencapai dekade ke
5 dan kualitas hidup juga lebih baik.27

N. PENCEGAHAN
WHO menganjurkan dua cara pencegahan yakni pemeriksaan kehamilan
dan penapisan (screening) penduduk untuk mencari pembawa sifat Talasemia.
Program itulah yang diharapkan dimasukkan ke program nasional pemerintah.
Menurut Hoffbrand (2005) konseling genetik penting dilakukan bagi
pasangan yang berisiko mempunyai seorang anak yang menderita suatu defek
hemoglobin yang berat. Jika seorang wanita hamil diketahui menderita
kelainan hemoglobin, pasangannya harus diperiksa untuk menentukan apakah
dia juga membawa defek. Jika keduanya memperlihatkan adanya kelainan dan
ada resiko suatu defek yang serius pada anak (khususnya Talasemia-β mayor)
maka penting untuk menawarkan penegakkan diagnosis antenatal.28

22
a) Penapisan (Screening)
Ada 2 pendekatan untuk menghindari Talesemia:
 Karena karier Talasemia β bisa diketahui dengan mudah, penapisan
populasi dan konseling tentang pasangan bisa dilakukan. Bila
heterozigot menikah, 1-4 anak mereka bisa menjadi homozigot atau
gabungan heterozigot.
 Bila ibu heterozigot sudah diketahui sebelum lahir, pasangannya bisa
diperiksa dan bila termasuk karier, pasangan tersebut ditawari
diagnosis prenatal dan terminasi kehamilan pada fetus dengan
Talasemia β berat.
Bila populasi tersebut menghendaki pemilihan pasangan, dilakukan
penapisan premarital yang bisa dilakukan di sekolah anak. Penting
menyediakan program konseling verbal maupun tertulis mengenai hasil
penapisan Talasemia.28
b) Diagnosis Prenatal
Diagnosis prenatal dari berbagai bentuk Thalasemia, dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Dapat dibuat dengan penelitian sintesis rantai globin
pada sampel darah janin dengan menggunakan fetoscopi saat kehamilan 18-
20 minggu, meskipun pemeriksaan ini sekarang sudah banyak digantikan
dengan analisis DNA janin. DNA diambil dari sampel villi chorion
(CVS=corion villus sampling), pada kehamilan 9-12 minggu. Tindakan ini
berisiko rendah untuk menimbulkan kematian atau kelainan pada janin.32
Tehnik diagnosis digunakan untuk analisis DNA setelah tehnik CVS,
mengalami perubahan dengan cepat beberapa tahun ini. Diagnosis
pertama yang digunakan oleh Southern Blotting dari DNA janin
menggunakan restriction fragment length polymorphism (RELPs),
dikombinasikan dengan analisis linkage atau deteksi langsung dari
mutasi.29

23

Anda mungkin juga menyukai