Anda di halaman 1dari 31

TERM OF REFERRENCECONTINUING PROFESSIONAL

DEVELOPMENT (CPD) ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN


FRACTURE FEMUREDI RUANG CENDANA 5
RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Praktik Profesi Ners


Stase Manajemen Keperawatan

Disusun Oleh:
1. Anggit Nanda Y (180300640)
2. Christiana Dewi (180300623)
3. Deddy Agus S (180300624)
4. Ika Apriliani (180300606)
5. Sri Mardilah W (180300634)
6. Tiara Wahyuningsih (180300636)

PROGRAM STUDI PROFEDI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ALMA ATA
YOGYAKARTA
2019
TERM OF REFERRENCECONTINUING PROFESSIONAL
DEVELOPMENT (CPD) ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN
FRACTURE FEMUREDI RUANG CENDANA 5
RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

Dilaksanakan Oleh:
Maryanti, S.Kep.,Ns
Sri Mardilah W, S.Kep

KERJASAMA
RUANG CENDANA 5 RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
DENGAN NERS MUDA STASE MANAJEMEN PROGRAM PROFESI
NERS UNIVERSITAS ALMA ATA YOGYAKARTA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PROGRAM INOVASI DI BANGSAL CENDANA 5
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR SARDJITO
YOGYAKARTA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Profesi Ners

Stase Manajemen Keperawatan

Disahkan oleh:

Pembimbing Lahan Kepala Ruang Cendana 5

(Retno Koeswandari.,S.Kep.,Ns.,M.Kep) (Sunyar, S.Kep., Ns)

Pembimbing Akademik

(Aini Inayati, S.Kep ., Ns., MBA)


KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas praktik profesi
dengan judul “Pelaksanaan Continuing Professional Development (CPD): Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Fracture Femur”.Kegiatan ini dalam rangka
praktik Stase Manajemen Keperawatan, yang dapat terlaksana dengan baik berkat
bantuan, dukungan dan arahan dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Retno Koeswandari, S.Kep., Ns., M.Kep selaku Perseptor Stase Manajemen
Keperawatan di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta yang telah memberikan
bimbingan.
2. Sunyar, S.Kep.,Ns selaku Kepala RuangCendana 5 RSUP Dr.Sardjito
Yogyakarta
3. Patricia Suti Lasmani,S.Kep.,Ns.,MPH selaku Ketua Komite Keperawatan RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam
pelaksanaan praktik profesi stase manajemen keperawatan.
4. Titi Rusilawati,SST, selaku KFK penyakit bedah yang telah memberikan
bimbingan
5. Aini Inayati, S.Kep, Ns.,MBAselaku dosen pembimbing atas bimbingan.
6. Seluruh staf RuangCendana 5 RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta yang telah
memberikan dukungan dan kerja samanya dalam pelaksanaan praktik manajemen
keperawatan.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih perlu masukan
yang membawa ke arah yang lebih baik, untuk itu segala kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga
tugas ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi semua pembaca
pada umumnya.
Yogyakarta,Agustus2019

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ruang Cendana 5 merupakan salah satu ruang di Instalasi Rawat Inap
RSUP Dr. Sardjito. Ruangan ini merupakan ruang perawatan pasien dengan
penyakit bedah. Kapasitas yang dimiliki adalah 15 tempat tidur. Ruang Cendana
5 dipimpin oleh seorang kepala ruang yang dibantuk oleh 2Primary Nurse (PN)
dan 9Assosiated Nurse (AN). Salah satu tugas kepala ruang yaitu melaksanakan
Continuing Nursing Education (CNE) atau Continuing Professional
Development (CPD) dengan tujuan meningkatkan pengetahuan perawat di
ruangan. Oleh karena itu, penyelenggaraan CPD sangat dibutuhkan untuk
menjadi sarana meningkatkan pengetahuan perawat dalam memberikan
pelayanan pada pasien.
Pengembangan profesional berkelanjutan bagi Perawat (CPD) adalah
proses yang harus dilakukan oleh setiap individu perawat dalam rangka
mempertahankan dan memperbaharui perkembangan pelayanan kesehatan
melalui penetapan standar yang tinggi dari praktik profesional. Pengembangan
profesional berkelanjutan bagi perawat dilaksanakan dalam rangka
mempertahankan dan meningkatkan kompetensi perawat agar tetap dapat
melaksanakan tugas berorientasi pada proses dan keselamatan klien. CPD
bertujuan untuk mempertahankan kompetensi dan memperkenalkan keterampilan
baru yang diperlukan dalam pelaksanaan praktik keperawatan.
Pelayanan keperawatan di rumah sakit merupakan bentuk pelayanan
kesehatan berkaitan dengan mutu, dimana faktor manusia merupakan faktor yang
menentukan. Mutu pelayanan keperawatan adalahasuhan keperawatan
profesional yang mengacu pada lima dimensi kualitas pelayanan yaitu reability,
tangibles, assurance, responsiveness, dan emphaty ( Bauk et al).Pelayanan di
rumah sakit juga berorientasi pelayanan kepada pasien berdasarkan standar
kualitas untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pasien, sehingga pasien dapat
memperoleh kepuasan yang akhirnya dapat meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan. Pelayanan keperawatan yang bermutu, memenuhi karakteristik
proses keperawatan yaitu sistem terbuka dan fleksibel terhadap kebutuhan pasien
serta dinamis, mutu asuhan keperawatan dapat tergambar antara lain pada
dokumentasi proses keperawatan. Berdasarkan Permenkes No. 269 Tahun 2008,
dokter, dokter gigi, dan tenaga kesehatan tertentu bertanggung jawab atas catatan
dan/atau dokumen yang dibuat pada rekan medis. Perawat juga bertanggung
jawab terhadap mutu rekam medis karena perawat melakukan pelayanan
langsung kepada pasien melalui tindakan asuhan keperawatan.
Dokumentasi proses asuhan keperawatan merupakan tampilan perilaku
atau kinerja perawat pelaksana dalam memberikan proses asuhan keperawatan
kepada pasien selama pasien dirawat di rumah sakit. Dokumentasi proses asuhan
keperawatan yang baik dan berkualitas haruslah akurat, lengkap dan sesuai
standar. Apabila kegiatan keperawatan tidak didokumentasikan dengan akurat
dan lengkap maka sulit untuk membuktikan bahwa tindakan keperawatan telah
dilakukan dengan benar (Ali,2010). Pendokumentasian proses asuhan
keperawatan merupakan suatu proses yang harus dilaksanakan oleh perawat
pelaksana sebagai bagian dari standar kerja yang telah ditetapkan (Nursalam,
2015).
RSUP Dr. Sardjito telah memiliki standar pendokumentasian sesuai dengan
standar dalam Joint Commission International (JCI) dan Standar Nasional
Akreditasi Rumah Sakit (SNARS). Namun dalam pelaksanaan
pendokumentasian, salah satunya pendokumentasian asuhan keperawatan,
masing-masing perawat memiliki persepsi yang berbeda dan belum sepenuhnya
sesuai dengan standar yang ditetapkan. Sehingga, diperlukan kegiatan CPD
tentang Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fracture Femur.

B. Program Kegiatan
Pelaksanaan Continuing Professional Development (CPD): Asuhan Keperawatan
pada Pasien dengan Fracture Femur
1. Terlaksananya Continuing Professional Development (CPD): Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Fracture Femur dengan melakukan
koordinasi oleh ners muda dengan komite keperawatan, pencarian literature
penyusunan Term of Referrence (TOR) CPD oleh ners muda bersama ketua
komite keperawatan.
2. Pelaksanaan CPD dengan dihadiri oleh Ketua Komite Keperawatan,
Penanggung Jawab SDM IRNA 1, Penanggung Jawab Mutu IRNA 1, Kepala
Ruang Cendana 5, Perawat Cendana 5 serta perwakilan perawat di area KFK
Penyakit Bedah.

C. Tujuan CPD
Secara umum tujuan CPD adalah untuk meningkatkan kompetensi profesional
setiap perawat sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di
bidang kesehatan khususnya keperawatan, dengan memperhatikan kebutuhan
masyarakat, sehingga mutu pelayanan keperawatan dapat ditingkatkan.
Tujuan khusus CPD adalah:
1. Memelihara dan meningkatkan kempuan profesional perawat sesuai standar
kompetensi nasional dan global.
2. Terjaminnya mutu pelayanan keperawatan melalui upaya pengembangan
kompetensi profesional secara terus menerus.
D. Manfaat CPD
Manfaat yang diberikan setelah pelaksanaan CPD yaitu:
1. Perawat semua level dapat memberikan pelayanan yang berkualitas
2. CPD dapat meningkatkan inovasi dan berpikir kriitis perawat
3. CPD sebagai media pengembangan diri bagi perawat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Continuing Professional Development (CPD)


A. Pengertian
Continuing Professional Development (CPD) atau Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan (PKB) adalah semua aktifitas yang dilakukan oleh
semua perawat, baik formal, antara lain temu pakar, pembahasan kasus, temu
audit; maupun informal, dalam rangka mempertahankan, meningkatkan,
mengembangkan dan menambah pengetahuan, keterampilan dan sikap
(attitude) sebagai tanggapan (response) atas kebutuhan pasien. Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan Perawat adalah proses pengembangan keprofesian
yang meliputi berbagai kegiatan yang dilakukan seseorang dalam
kepasitasnya sebagai perawat praktisi, guna mempertahankan dan
meningkatkan profesionalismenya sebagai seorang perawat sesuai standar
kompetensi yang ditetapkan. Kegiatannya dapat berupa pengalaman
memberikan asuhan keperawatan, mengikuti pendidikan/pelatihan, menulis
artikel, melakkukan penelitian ataupun publikasi karya ilmiah.
Praktik profesional perawat merupakan ciri utama profesi yang
diharapkan tetap dipelihara, dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya guna
mempertahankan standar praktik professional yang tinggi. Untuk itu perlu
dilakukan pengembangan dan peningkatan kemampuan profesional sesuai
Standar Profesi Keperawatan. Pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi
perawat ini sesuai UU no 36 th. 2009 tentang Kesehatan pasal 22 yang
menyatakan: Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban
mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang
dimiliki. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
HK.02.02/MENKES/148/1/2010 Tentang : Izin dan Penyelanggaraan Praktik
Perawat, pasal 12 ayat 2 yang menyatakan: Perawat dalam menjalankan
Praktik senantiasa meningkatkan rnutu pelayanan profesinya dengan
mengikuti perkernbangan Ilmu pangetahuan dan teknologi melalui pendidikan
dan pelatihan sesuai dengan tugasnya, yang diselenggarakan oleh pemerintah
atau organisasi profesi.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dalam rumusan
Kerangka Kerja Kompetensi bagi Perawat Indonesia telah menetapkan
Pengembangan Profesional sebagai ranah ke tiga, sesuai dengan standar
kompetensi global yang ditetapkan oleh International Council of Nurses
(ICN). Dalam ranah tersebut, salah satu elemen kompetensi yang harus
dimiliki perawat adalah melakukan Continuing Professional Development
(CPD).
Berdasarkan guidelines for your continuing professional development
(2009), CPD berarti mempertahankan dan meningkatkan ilmu dan
keterampilan yang revelan dengan spealisasi tenaga kesehatan sehigga CPD
dapat memberikan dampak positif pada praktik dan pengalaman. Kegiatan
CPD seharusnya terdiri dari aktivitas yang relevan dengan rencana
peningkatan ilmu yang diinginkan. Bentuk pelaksanaan CPD bervariasi
seperti workshop, konferensi, pelatihan, diskusi kelompok.

B. Bentuk CPD

Kegiatan CPD perawat mencakup beberapa bentuk:


1. Kegiatan praktik profesional: memberikan pelayanan keperawatan, baik
berupa praktek di institusi pelayanan kesehatan maupun praktek mandiri
diluar institusi, serta membimbing praktek mahasiswa di klinik maupun
di masyarakat.
2. Pendidikan berkelanjutan: mengikuti temu ilmiah, seminar, workshop,
pelatihan.
3. Pengembangan ilmu pengetahuan: meneliti, publikasi hasil penelitian di
jurnal, menulis artikel di jurnal, menulis buku dipublikasikan.
4. Pengabdian masyarakat: berpartisipasi dalam pemberdayaan masyarakat
melalui bentuk-bentuk kegiatan sosial, memberikan penyuluhan,
penanggulangan bencana, terlibat aktif dalam pengembangan profesi,
annggota pokja kegiatan keprofesian.

C. Komponen CPD

1. Standar I. Organisasi dan Administrasi


Organisasi dan administrasi unit penyelenggara pelatihan konsisten dengan
filosofi, tujuan, sasaran lembaga dan selaras dengan standar pendidikan
keperawatan, praktik keperawatan dan pendidikan berkelanjutan perawat
oleh Organisasi Profesi (PPNI).
2. Standar II: Sumber Daya Manusia
Pimpinan lembaga, penanggung jawab program, fasilitator, narasumber, dan
staf pendukung yang memenuhi persyaratan kualifikasi terlibat dalam
pencapaian tujuan penyelenggaraan pelatihan.
3. Standar III: Peserta pelatihan
Perawat terdaftar (memiliki STR) sebagai peserta pelatihan berpartisipasi
dalam mengidentifikasi kebutuhan pembelajaran mereka dan merencanakan
kegiatan pendidikan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
4. Standar IV: Rancangan Program Pelatihan
Rancangan pelatihan untuk tiap program terdiri dari pengalaman
merencanakan, mengorganisasi dan mengevaluasi pengalaman belajar
berdasarkan prinsip pembelajaran pada orang dewasa.
5. Standar V: Sumber Materi/bahan dan Fasilitas
Sumber materi/bahan dan fasilitas memadai untuk mencapai tujuan dan
mengimplementasikan fungsi unit penyelenggara pelatihan secara
menyeluruh.

6. Standar VI: Catatan dan Laporan


Penyelenggara pelatihan menjaga dan mempertahankan penyimpanan
catatan dan sistem pelaporan.
7. Standar VII: Evaluasi
Evaluasi merupakan proses penjaminan mutu yang terintegrasi, terus
menerus dan sistematis. Evaluasi meliputi pengukuran dampak terhadap
peserta, dan jika memungkinkan, dampak terhadap organisasi dan
pelayanan kesehatan.
II. FRAKTUR FEMUR

A. PENGERTIAN
Menurut Arif Mutaqin (2015) fraktur adalah keadaan dimana
hubungan kesatuan jaringan tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur
dengan kekuatan yang memadai, apabila trauma melebihi dari daya lentur
tersebut maka terjadi fraktur, terjadinya fraktur disebabkan karena trauma,
stress kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal.
Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya
disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa
trauma langsung, misalnya yang sering terjadi benturan pada ekstremitas
bawah yang menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula dan juga dapat berupa
trauma tidak langsung misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang
menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah Syaifuddin (2016).

B. ETIOLOGI
Menurut Smeltzer dan Bare (2014), fraktur terjadi jika tulang dikenai
stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat
disebabkan oleh pukulan langsung, gaya remuk, gerakan punter mendadak,
dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan
sekitarnya juga akan berpengaruh mengakibatkan edema jaringan lunak,
perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, rupture tendon, kerusakan saraf,
dan kerusakan pembuluh darah.
Menurut Corwin (2009), penyebab fraktur tulang paling sering adalah
trauma, terutama pada anak-anak dan dewasa muda. Beberapa fraktur dapat
terjadi setelah trauma minimal atau tekanan ringan apabila tulang lemah
(fraktur patologis) fraktur patologis sering terjadi pada lansia yang mengalami
osteoporosis, atau individu yang mengalmai tumor tulang, infeksi, atau
penyakit lain. Fraktur stress atau fraktur keletihan dapat terjadi pada tulang
normal akibat stress tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang,
biasanya menyertai peningkatan yangcepat tingkat latihan atlet atau
permulaan aktivitas fisik yang baru (Corwin, 2009).
Patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak
di sekitar tulang yang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu
lengkap atau tidak lengkap. Penyebab terjadinya fraktur adalahtrauma, stres
kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti
kecelakan mobil, olah raga atau karena jatuh. Patah tulang terjadi jika tenaga
yang melawan tulang lebih besar daripada kekuatan tulang. Jenis dan beratnya
patah tulang dipengaruhi oleh:
- Arah, kecepatan dan kekuatan dari tenaga yang melawan tulang.
- Usia penderita.
- Kelenturan tulang.
- Jenis tulang.

C. PATOFISIOLOGI
Fraktur sering terjadi pada tulang rangka, jika tulang mengalami
fraktur, maka periosteum, pembuluh darah kortek morrow dan jaringan
sekitarnya rusak. Terjadi pendarahan dan kerusakan jaringan di ujung tulang.
Terbentuknya hematoma dikanal medulla, akan menyebabkan jaringan sekitar
tulang akan mengalami kematian. Nekrosis jaringan ini merangsang
kecenderungan untuk terjadi peradangan yang ditandai dengan vasodilatasi,
pengeluaran plasma dan leukosit, serta infiltrasi dari sel-sel darah putih yang
lain (Corwin, 2001)
Klasifikasi fraktur dibagi dua menurut ada tidaknya hubungan tulang
dengan dunia luar yaitu Fraktur tertutup bila tidak ada hubungan antara
fragmen tulang denga dunia luar dan fraktur terbuka bila terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan dikulit
(Mansjoer, 2000)
Fraktur terbuka terbagi atas tiga derajat (Gustilo, R: dalam Mansjoer,
A. 2000) yaitu : Derajat I luka kurang dari 1 cm, kerusakan jaringan lunak
sedikit, tidak ada tanda luka remuk, fraktur sederhana, transfersal, oblik atau
komunitif ringan, kontaminasi minimal, derajat II luka ringan dari 1 cm,
kerusakan jaringan lunak tidak luas, fraktur komunitif sedang, kontaminasi
sedang, derajat III terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
struktur kulit, otot, dan neurovascular serta kontaminasi derajat tinggi. Fraktur
derajat tiga terdiri atas jaringan lunak yang menutupi tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas atau fraktur segimental sangat komunikatif
yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat ukuran luka,
kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau
kontaminasi massif, luka pada pembulu arteri/saraf perifer yang harus
diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
D. PATHWAY

Sumber : Corwin, E.J, (2012: 298)


E. JENIS-JENIS FRAKTUR EKSTREMITAS BAWAH
Menurut Lewis et al (2012) jenis-jenis fraktur pada bagian ekstremitas
bawah, antara lain :
1. Fraktur collum femur (fraktur hip)
Mekanisme fraktur dapat disebabkan oleh trauma langsung (direct)
dan trauma tidak langsung (indirect). Trauma langsung (direct) biasanya
penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor
langsung terbentur dengan benda keras. Trauma tidak langsung (indirect)
disebabkan gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah. Karena
kepala femur terikat kuat dengan ligamen didalam acetabulum oleh
ligamen iliofemoral dan kapsul sendi, mengakibatkan fraktur didaerah
collum femur. fraktur leher femur kebanyakan terjadi pada wanita tua (60
tahun keatas) dimana tulang sudah mengalami osteoporosis.
2. Fraktur subtrochanter femur
Fraktur subtrochanter femur ialah dimana garis patah berada 5 cm
distal dari trochanter minor. Mekanisme fraktur biasanya trauma langsung
dapat terjadi pada orang tua biasanya disebabkan oleh trauma yang ringan
seperti jatuh dan terpeleset dan pada orang muda biasanya karena trauma
dengan kecepatan tinnggi.
3. Fraktur batang femur
Mekanisme trauma biasanya terjadi karena trauma langsung akibat
kecelakaan lalu lintas dikota-kota besar atau jatuh dari ketinggian. Patah
pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan yang cukup banyak
sehingga menimbulkan shock pada penderita. Secara klinis penderita tidak
dapat bangun, bukan saja karena nyeri tetapi juga karena ketidakstabilan
fraktur. Biasanya seluruh tungkai bawah terotasi keluar, terlihat lebih
pendek dan bengkak pada bagian proximal akibat perdarahan kedalam
jaringan lunak.
4. Fraktur patella
Mekanisme Fraktur dapat disebabkan karena trauma langsung atau
tidak langsung. Trauma tidak langsung disebabkan karena tarikan yang
sangat kuat dari otot kuadrisep yang membentuk muskulotendineus
melekat pada patella. Hal ini sering disertai pada penderita yang jatuh
dimana tungkai bawah menyentuh tanah terlebih dahulu dan otot
kuadrisep kontraksi secara keras, untuk mempertahankan kestabilan lutut.
Fraktur langsung dapat disebabkan penderita jatuh dalam posisi lutut
fleksi, dimana patella terbentur dengan lantai.
5. Fraktur proximal tibia
Mekanisme trauma biasanya terjadi trauma langsung dari arah
samping lutut, dimana kakinya masih terfiksir ditanah. Gaya dari samping
ini menyebabkan permukaan sendi bagian lateral tibia akan menerima
beban yang sangat besar yang akhirnya akan menyebabkan fraktur
intraartikuler atau terjadi patahnya permukaan sendi bagian lateral tibia,
dan kemungkinan yang lain penderita jatuh dari ketinggian yang akan
menyebabkan penekanan vertikal pada permukaan sendi. Hal ini akan
menyebabkan patah intra artikular berbentuk T atau Y.
6. Fraktur tulang tibia dan fibula
Mekanisme trauma biasanya dapat terjadi secara langsung maupun
tidak langsung. Secara langsung akibat kecelakaan lalu lintas atau jatuh
dari ketinggian lebih dari 4 cm, fraktur yang terjadi biasanya fraktur
terbuka. Sedangkan yang tidak langsung diakibatkan oleh gaya gerak
tubuh sendiri. Biasanya fraktur tibia fibula dengan garis patah spiral dan
tidak sama tinggi pada tibia pada bagian distal sedang fibula pada bagian
proksimal. Trauma tidak langsung dapat disebabkan oleh cedera pada
waktu olah raga dan biasanya fraktur yang terjadi yaitu tertutup.
Gambaran klinisnya berupa pembengkakan dan karena kompartemen
otot merupakan sistem yang tertutup, dapat terjadi sindrom kompartemen
dengan gangguan vaskularisasi kaki.

F. PROSES PENYEMBUHAN FRAKTUR


Proses penyembuhan fraktur bervariasi sesuai dengan ukuran tulang
dan umur pasien. Faktor lainnya adalah tingkat kesehatan pasien secara
keseluruhan, atau kebutuhan nutrisi yang cukup. Berdasarkan proses
penyembuhan fraktur, maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Proses hematom
Merupakan proses terjadinya pengeluaran darah hingga terbentuk
hematom (bekuan darah) pada daerah terjadinya fraktur tersebut, dan
yang mengelilingi bagian dasar fragmen. Hematom merupakan bekuan
darah kemudian berubah menjadi bekuan cairan semi padat.
2. Proses proliferasi
Pada proses ini, terjadi perubahan pertumbuhan pembuluh darah menjadi
memadat, dan terjadi perbaikan aliran pembuluh darah
3. Proses pembentukan callus pada orang dewasa antara 6-8 minggu,
sedangkan pada anak-anak 2 minggu
Callus merupakan proses pembentukan tulang baru, dimana callus dapat
terbentuk diluar tulang (subperiosteal callus) dan didalam tulang
(endosteal callus). Proses perbaikan tulang terjadi sedemikian rupa,
sehingga trabekula yang dibentuk dengan tidak teratur oleh tulang imatur
untuk sementara bersatu dengan ujung-ujung tulang yang patah sehingga
membentuk suatu callus tulang.
4. Proses konsolidasi (penggabungan
Adalah perkembangan callus secara terus-menerus, dan terjadi pemadatan
tulang seperti sebelum terjadi fraktur, konsolidasi terbentuk antara 6-12
minggu (ossificasi) dan antara 12-26 minggu (matur). Tahap ini disebut
dengan penggabungan atau penggabungan secara terus-menerus.
5. Proses remodeling
Merupakan tahapan terakhir dalam penyembuhan tulang, dan proses
pengembalian bentuk seperti semula. Proses terjadinya remodeling antara
1-2 tahun setelah terjadinya callus dan konsolidasi (Smeltzer & Bare,
2014).

G. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ektremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna
yang dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tidak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara alamiah (gerakan luar biasa). Pergeseran
fragmen pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas
(terlihat maupun teraba) ektremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkannya dengan ektremitas normal. Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot tergantung pada
integritasnya tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melengkapi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1
sampai 2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya. Uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan
lunak yang lebih berat.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasa
terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur.
Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur
impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis
fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x
pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah
tersebut.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang
cedera.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
5. Pemeriksaan Darah Lengkap
I. KOMPLIKASI
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak
adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma
yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh
tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam
ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi
cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat
dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala –
gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada
luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan
pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada
otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih
sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius
atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan
kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak
terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak.
Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat
menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary
yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli
lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh,
gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit
ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis
tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis
avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal
ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu
kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi
dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular
mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama,
pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar
dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan
hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya
melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap
pada saat menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum
dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari
luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam
tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka
tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang,
fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena
trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau
luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung.
Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan
fibrosa. Kadang –kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat
ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non union adalah
tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan
lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat
patologis..
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.

J. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur.


Fraktur atau patah tulang merupakan keadaan dimana hubungan atau
kesatuan jaringan tulang putus. Dalam proses penyembuhan fraktur ada
beberapa faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan pada fraktur, antara
lain :
1. Usia
Lamanya proses penyembuhan fraktur sehubungan dengan umur lebih
bervariasi pada tulang dibandingkan dengan jaringan-jaringan lain pada
tubuh. Cepatnya proses penyembuhan ini sangat berhubungan erat dengan
aktifitas osteogenesis dari periosteum dan endosteum. Sebagai contoh
adalah fraktur diafisis femur yang akan bersatu (konsolidasi sempurna)
sesudah 12 (dua belas) minggu pada usia 12 tahun, 20 (dua puluh) minggu
pada usia 20 tahun sampai dengan usia lansia
2. Tempat (lokasi) fraktur
Fraktur pada tulang yang dikelilingi otot akan sembuh lebih cepat dari
pada tulang yang berada di subkutan atau didaerah persendian. Fraktur
pada tulang berongga (cancellous bone) sembuh lebih cepat dari pada
tulang kompakta. Fraktur dengan garis fraktur yang oblik dan spiral
sembuh lebih cepat dari pada garis fraktur yang transversal.
3. Dislokasi fraktur
Fraktur tanpa dislokasi, periosteumnya intake, maka lama
penyembuhannya dua kali lebih cepat daripada yang mengalami dislokasi.
Makin besar dislokasi maka semakin lama penyembuhannya.
4. Aliran darah ke fragmen tulang
Bila fragmen tulang mendapatkan aliran darah yang baik, maka
penyembuhan lebih cepat dan tanpa komplikasi. Bila terjadi gangguan
berkurangnya aliran darah atau kerusakan jaringan lunak yang berat, maka
proses penyembuhan menjadi lama atau terhenti.

K. PENATALAKSANAAN MEDIS
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri,
namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk
mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan
juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur).
Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.
a) Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling
tulang.
b) Pemasangan gips merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar
tulang yang patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh
sesuai dengan bentuk tubuh
2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang
lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti
pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal
tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
3. Agar terjadi penyatuan tulang kembali
Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4
minggu dan akan menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun
terkadang terdapat gangguan dalam penyatuan tulang, sehingga
dibutuhkan graft tulang.
4. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula
Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan
kakunya sendi. Maka dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat
mungkin.

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas
2. Kerusakan integritas jaringan behubungan dengan trauma vaskular
3. Nyeri berhubungan dengan agen cidera fisik
K. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Diagnosa
No Tujuan Intervensi
Keperawatan

1. Nyeri Akut b.d Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 Manajemen Nyeri (1400)
agen cidera x 8 jam diharapkan Nyeri Akut teratasi dengan
biologis kriteria hasil: 1. Monitor TTV
Kontrol Nyeri (1605) 2. Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif
Indikator Awal Target
3. Ajarkan penggunaan teknik non
Mengenali kapan nyeri 2 4 farmakologi (teknik relaksasi)
terjadi 4. Ajarkan prinsip-prinsip manajemen
Menggunakan tindakan 2 4 nyeri
pengurangan nyeri tanpa 5. Kelola pemberian Obat
analgesik (teknik relaksasi)
Melaporkan nyeri yang 2 4
terkontrol
Keterangan :
2 = jarang menunjukan
4= sering menunjukan

2. Hambatan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Perawatan Tirah Baring (0740)
mobilitas fisik 3x8 jam, diharapkan klien kerusakn mobilitas 1. Monitor TTV
fisik teratasi, dengan kriteria hasil :
berhubungan 2. Jelaskan diperlukannya tirah baring
dengan intoleransi Pergerakan (0208) 3. Posisikan sesuai body aligement
aktivitas yang tepat
No Indikator A T
4. Ajarkan latihan ditempat tidur
1. Keseimbangan 2 4
dengan tepat
2. Bergerak dengan mudah 2 4
5. Monitor komplikasi dari tirah
3. Cara berjalan 2 4
baring, misal (kehilangan tonus otot,
Ket :
nyeri punggung, konstipasi,
2. Banyak terganggu
peningkatan stres dll)
4. Sedikit terganggu
3. Resiko Infeksi b.d Setelah diberikan asuhan keperawatan selama Kontrol Infeksi (6540)
Prosedur Invasif 2x8 jam diharapkan Resiko Infeksi teratasi
1. Monitor TTV
dengan kriteria Hasil :
2. Ajarkan pasien dan keluarga tanda
Kontrol Resiko (1902)
gejala infeksi
Indikator Awal Target
3. Ajarkan pasien dan keluarga cuci
Mengidentifikasi faktor 3 4 tangan menggunakan sabun
resiko antimikroba
Mengenali faktor resiko 3 4 4. Berikan terapi antibiotik yang
individu sesuai
Mengenali perubahan 3 4
status resiko
Keterangan :
3= Kadan-kadang Menunjukkan
4= Sering Menunjukkan
DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin. (2015). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Corwin, J.E. 2012. Buku Saku Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta:
EGC.
Doenges, Marilynn E. et.al. (2013) Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Lewis, Sharon L et al. 2011. Medical Surgical Nursing Volume 1. United States
America : Elsevier Mosby.
Rasjad, Chairuddin. 2013. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Lintang
Imumpasue.
Smeltzer, Suzanne C. Bare Brenda G. 2014. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, Edisi 8. Jakarta : EGC
Syaifuddin. 2016. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan, Edisi III.
Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai