Idul Adha, adalah salah satu hari raya utama bagi umat muslim. Merayakannya ataupun tidak, anak bisa
saja bertanya pada Anda tentang makna Idul Adha, Moms. Sudahkah Anda siap menjelaskannya?
Menjelaskan makna hari raya pada anak dapat membawa banyak manfaat. Bila keluarga Anda
merayakan hari raya tersebut, anak tentu menjadi dapat lebih memahami dan mengimani ajaran
agamanya.
Sementara bila keluarga Anda tidak merayakannya, anak dapat menambah wawasannya sekaligus
menumbuhkan empati yang menjadi bibit sikap toleransi. Nah, supaya Anda tidak bingung,
kumparanMOM merangkum makna Idul Adha untuk Anda agar mudah untuk menjelaskannya pada
anak.
Tapi saat Ibrahim menceritakan mimpinya ini pada Ismail, putranya ini justru menyetujui dan minta
ayahnya untuk mengorbankannya. Tepat saat Ibraham akan menyembelih Ismail, atas petunjuk Allah,
malaikat Jibril mengganti Ismail dengan seekor anak domba.
Inilah yang akhirnya menjadi asal dari peringatan Idul Adha yang disebut juga Hari Raya Kurban. Pada
hari raya ini, seekor binatang (biasanya domba, kambing, sapi, kerbau atau unta) dikorbankan, dengan
cara yang sama seperti Ibrahim mengorbankan seekor domba.
Sepertiga dari daging hewan kurban tersebut kemudian akan diberikan kepada fakir miskin dan anak-
anak yatim, dan sisanya dapat dinikmati oleh keluarga kita. Pada hari ini, biasanya keluarga juga
berkumpul, saling mengunjungi, makan dan berdoa bersama.
HARI Raya Idul Adha adalah salah satu momen yang pas untuk mengajarkan pada anak tentang makna
kepatuhan. Selain itu, wajib pula bagi orangtua mengajak anak memaknai Idul Adha yang tak sekadar
menyembelih hewan.
Banyak makna yang bisa disampaikan kepada anak agar ia memahami kehidupan dalam cara yang lebih
luas. Dilansir dari berbagai sumber, berikut beberapa hal yang bisa Anda lakukan untuk menanamkan
makna Idul Adha kepada anak:
Ibadah haji
Ajarkan pada si kecil bahwa Hari Raya Idul Adha bukan hanya soal menyembelih hewan kurban. Tetapi
juga merupakan perayaan ibadah haji yang dilaksanakan di Makkah. Ajak si kecil untuk melakukan Salat
Id di pagi hari agar mereka mengerti bahwa ini adalah salah satu hari raya untuk umat Islam.
Baca Juga: IDUL ADHA 2017: Libur Panjang Akhir Pekan, Ayo Berburu Paket Liburan!
Berbagi kepada yang membutuhkan
Idul Adha juga merupakan salah satu momen yang tepat untuk mengajarkan tentang berbagi pada anak.
Hal ini bisa diperlihatkan melalui hakikat berkurban. Yakni berkurban bagi yang mampu dan memberikan
daging-daging kurban tersebut untuk orang-orang yang kurang mampu. Anda juga bisa mengajak anak-
anak untuk membantu membagi-bagikan hewan kurban, atau setidaknya melihat aktivitas orang lain
yang membagi-bagikan daging kurban kepada yang membutuhkan.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ingin sekali memiliki keturunan yang saleh yang beribadah kepada
Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan membantu urusannya, istrinya yang bernama Sarah pun mengetahui
apa yang diharapkan suaminya sedangkan dirinya mandul, maka Sarah memberikan budaknya yang
bernama Hajar kepada Ibrahim agar suaminya memiliki anak darinya.
Selanjutnya, Hajar pun hamil dan melahirkan Nabi Ismail yang akan menjadi seorang nabi. Setelah
beberapa waktu dari kelahiran Ismail, Allah Subhaanahu wa Ta’ala memerintahkan Ibrahim pergi
membawa Hajar dan Ismail ke Mekah, maka Nabi Ibrahim memenuhi perintah itu dan ia pun pergi
membawa keduanya ke Mekah di dekat tempat yang nantinya akan dibangunkan ka’bah.
Tidak lama setelah sampai di sana, Nabi Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail di tempat tersebut dan
ingin kembali ke Syam. Ketika Hajar melihat Nabi Ibrahim pulang, maka Hajar segera mengejarnya dan
memegang bajunya sambil berkata, “Wahai Ibrahim, kamu mau pergi kemana? Apakah kamu (tega)
meninggalkan kami di lembah yang tidak ada seorang manusia dan tidak ada sesuatu apa pun ini?” Hajar
terus saja mengulang-ulang pertanyaannya berkali-kali hingga akhirnya Ibrahim tidak menoleh lagi
kepadanya. Akhirnya Hajar bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkan kamu atas semua ini?”
Ibrahim menjawab, “Ya.” Hajar berkata, “Kalau begitu, Allah tidak akan menelantarkan kami.”
Kemudian Hajar kembali dan Ibrahim melanjutkan perjalanannya hingga ketika sampai pada sebuah
bukit dan mereka tidak melihatnya lagi, Ibrahim menghadap ke arah Ka’bah lalu berdoa untuk mereka
dengan mengangkat kedua belah tangannya, dalam doanya ia berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya
aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di
dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka
mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah
mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Kemudian Hajar mulai menyusui Ismail dan minum dari air persediaan. Hingga ketika air yang ada pada
geriba habis, dia menjadi haus, begitu juga anaknya. Lalu dia memandang kepada Ismail sang bayi yang
sedang meronta-ronta, kemudian Hajar pergi meninggalkan Ismail dan tidak kuat melihat keadaannya.
Maka dia mendatangi bukit Shafa sebagai gunung yang paling dekat keberadaannya dengannya. Dia
berdiri di sana lalu menghadap ke arah lembah dengan harapan dapat melihat orang di sana namun dia
tidak melihat seorang pun. Maka dia turun dari bukit Shafa dan ketika sampai di lembah, dia
menyingsingkan ujung pakaiannya lalu berusaha keras layaknya seorang manusia yang berjuang keras,
hingga ketika dia dapat melewati lembah dan sampai di bukit Marwah lalu berdiri di sana sambil
melihat-lihat apakah ada orang di sana namun dia tidak melihat ada seorang pun. Dia melakukan hal itu
sebanyak tujuh kali (antara bukit Shafa dan Marwah).
Saat dia berada di puncak Marwah, dia mendengar ada suara, lalu dia berkata dalam hatinya “diamlah”
yang Hajar maksud adalah dirinya sendiri. Kemudian dia berusaha mendengarkannya maka dia dapat
mendengar suara itu lagi, maka dia berkata, “Engkau telah memperdengarkan suaramu jika engkau
bermaksud memberikan bantuan.” Ternyata suara itu adalah suara malaikat Jibril ‘alaihissalam yang
berada di dekat zamzam, lantas Jibril mengais air dengan sayapnya hingga air keluar memancar.
Akhirnya Hajar dapat minum air dan menyusui anaknya kembali. Kemudian malaikat Jibril berkata
kepadanya, “Janganlah kamu takut ditelantarkan, karena di sini adalah rumah Allah, yang akan
dibangun oleh anak ini dan ayahnya dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.”
Hajar terus melalui hidup seperti itu hingga kemudian lewat serombongan orang dari suku Jurhum atau
keluarga Jurhum yang datang dari jalur bukit Kadaa’ lalu singgah di bagian bawah Mekah kemudian
mereka melihat ada seekor burung sedang terbang berputar-putar. Mereka berkata, “Burung ini pasti
berputar karena mengelilingi air padahal kita mengetahui secara pasti bahwa di lembah ini tidak ada
air.” Akhirnya mereka mengutus satu atau dua orang yang larinya cepat dan ternyata mereka
menemukan ada air. Mereka kembali dan mengabarkan keberadaan air lalu mereka mendatangi air.
Saat itu Hajar sedang berada di dekat air. Maka mereka berkata kepada Hajar, “Apakah kamu
mengizinkan kami untuk singgah bergabung denganmu di sini?” Ibu Ismail berkata, “Ya boleh, tapi kalian
tidak berhak memiliki air.” Mereka berkata, “Baiklah.”
Ibu Ismail menjadi senang atas peristiwa ini karena ada orang-orang yang tinggal bersamanya. Akhirnya
mereka pun tinggal di sana dan mengirim utusan kepada keluarga mereka untuk mengajak mereka
tinggal bersama-sama di sana. Ketika itu, Nabi Ismail belajar bahasa Arab dari mereka (suku Jurhum),
dan Hajar mendidik puteranya dengan pendidikan yang baik serta menanamkan akhlak mulia sampai
Ismail agak dewasa dan sudah mampu berusaha bersama ayahnya; Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.
Selanjutnya, Nabi Ibrahim berkunjung menemui Hajar dan anaknya untuk menghilangkan rasa
kangennya kepadanya. Maka pada suatu hari, saat Nabi Ibrahim telah bersama anaknya, ia (Ibrahim)
bermimpi bahwa dirinya menyembelih puteranya, yaitu Ismail ‘alaihissalam. Setelah ia bangun dari
tidurnya, Ibrahim pun mengetahui bahwa mimpinya itu adalah perintah dari Allah Subhaanahu wa
Ta’ala karena mimpi para nabi adalah hak (benar), maka Nabi Ibrahim mendatangi anaknya dan
berbicara berdua bersamanya. Ibrahim berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ismail menjawab, “Wahai
ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar.” (QS. Ash Shaaffaat: 102)
Nabi Ibrahim membawa anaknya ke Mina, lalu ia taruh kain di atas muka anaknya agar ia (Ibrahim) tidak
melihat muka anaknya yang dapat membuatnya terharu, sedangkan Nabi Ismail telah siap menerima
keputusan Allah. Ketika Nabi Ibrahim telah membaringkan anaknya di atas pelipisnya dan keduanya
telah menampakkan rasa pasrahnya kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, maka Ibrahim mendengar
seruan Allah Subhaanahu wa Ta’ala, “Wahai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi
itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.” (QS. Ash Shaafffat: 104-106)
Tidak lama setelah ada seruan itu, Nabi Ibrahim melihat malaikat Jibril dengan membawa kambing yang
besar. Maka Nabi Ibrahim mengambilnya dan menyembelihnya sebagai ganti dari Ismail.
Dari sinilah asal permulaan sunah berkurban yang dilakukan oleh umat Islam pada tiap hari raya Idul
Adha di seluruh pelosok dunia.