Anda di halaman 1dari 26

5

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tekanan darah normal orang dewasa didefinisikan sebagai tekanan darah
sistolik kurang atau sama dengan 120 mmHg dan tekanan diastolik kurang atau
sama dengan 80 mmHg. Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang
ditandai dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau
sama dengan 140 mmHg dan atau diastolik diatas atau sama dengan 90 mmHg.
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2013, penyakit
kardiovaskular telah menyebabkan 17 juta kematian pertahun akibat komplikasi
dari hipertensi, yaitu sekitar 9,4 juta setiap tahunnya diseluruh dunia. Hipertensi
bertanggung jawab setidaknya 45% dari kematian karena penyakit jantung, dan
51% kematian akibat stroke (WHO, 2013).
Penderita hipertensi di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 78 juta
penduduk. Menurut data National Health and Nutrition Evaluation Survey
(NHANES) pada tahun 2007-2010 menunjukkan bahwa sebanyak 81,5%
penderita hipertensi menyadari bahwa mereka menderita hipertensi, 74,9%
menerima pengobatan, 52,5% pasien hipertensi terkontrol dan 47,5% pasien
hipertensi tidak terkontrol. Prevalensi hipertensi pada tahun 2030 diperkirakan
meningkat sebanyak 7,2% dari estimasi tahun 2013 (Go, 2014).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia 2013 menjelaskan,
prevalensi hipertensi di Indonesia sebesar 26,5%. Prevalensi hipertensi
berdasarkan hasil pengukuran pada umur ≥ 18 tahun sebesar 25,8%, angka
prevalensi tertinggi di Bangka Belitung (30,9%), diikuti Kalimantan Selatan
(30,8%), Kalimantan Timur (29,6%), dan Jawa Barat (29,4%). Prevalensi
hipertensi yang didapat melalui kuesioner terdiagnosis tenaga kesehatan sebesar
9,4%, sedangkan yang didiagnosis tenaga kesehatan, atau sedang minum obat
sebesar 9,5%. Jadi, terdapat 0,1% penduduk yang minum yang obat sendiri, tanpa
didiagnosis hipertensi oleh tenaga kesehatan. Responden yang mempunyai
6

tekanan darah normal tetapi sedang minum obat hipertensi sebesar 0,7%.
(Riskesdas, 2013)
Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2013
yang merujuk hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 di Sumatera Utara, prevalensi
hipertensi berdasarkan pengukuran pada umur ≥ 18 tahun di provinsi Sumatera
Utara yaitu sebesar 24,7% (Dinkes, 2013).
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi merupakan penyakit kardiovaskular yang ditandai dengan
adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan 140
mmHg dan atau diastolik diatas atau sama dengan 90 mmHg pada dua kali
pengukuran dengan selang waktu 5 menit dalam keadaan cukup tenang (istirahat)
(Depkes, 2007).
Hipertensi merupakan manifestasi gangguan keseimbangan hemodinamik
system kardiovaskular, yang mana patofisiologinya adalah multifaktor, sehingga
tidak bisa diterangkan dengan hanya satu mekanisme tunggal. Menurut Kaplan,
hipertensi banyak menyangkut faktor genetik, lingkungan dan pusat-pusat regulasi
hemodinamik. Bila disederhanakan, hipertensi adalah interaksi cardiac output
(CO) dan tahan perifer total. Semua defenisi hipertensi adalah angka kesepakatan
berdasarkan bukti klinis (evidence based) atau berdasarkan konsensus atau
berdasarkan epidemiologi studi meta analisis. Sebab bila tekanan darah lebih
tinggi dari angka normal yang disepakati, maka risiko morbiditas dan mortalitas
kejadian kardiovaskular akan meningkat. Dimana pada hipertensi tekanan darah
harus persisten diatas atau sama dengan 140/90 mmHg (Yogiantoro, 2014).
Krisis hipertensi merupakan keadaan klinis dimana tekanan darah
meningkat secara progresif melebihi tekanan diastolik 120 mmHg dengan atau
tanpa ancaman kerusakan organ target. Dikelompokan dalam urgensi dan
emergensi atas dasar adanya kerusakan organ target yang karakteristik pada
hipertensi emergensi dan belum terdapat kerusakan organ target pada urgensi.
Sebagian besar keadaan ini dapat dicegah, umumnya disebabkan oleh karena
pengobatan hipertensi yang tidak adekuat.
Hipertensi emergensi (darurat), yaitu peningkatan tekanan darah sistolik >
180 mmHg atau diastoik > 120 mmHg secara mendadak disertai kerusakan organ
8

terget. Hipertensi emergensi harus ditanggulangi sesegera mungkin dalam satu


jam dengan memberikan obat – obatan anti hipertensi intravena.
Hipertensi urgensi (mendesak), yaitu peningkatan tekanan darah seperti
pada hipertensi emergensi namun tanpa disertai kerusakan organ target. Pada
keadaan ini tekanan darah harus segera diturunkan dalam 24 jam dengan
memberikan obat – obatan anti hipertensi oral

2.1.2 Etiologi Hipertensi


Hipertensi dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan penyebabnya, yaitu
hipertensi essensial dan hipertensi sekunder:
a. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui
penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 90 %
kasus. Hipertensi primer adalah suatu kategori umum untuk peningkatan
tekanan darah yang disebabkan oleh beragam kausa tak diketahui dan
bukan suatu entinitas tunggal. Banyak faktor yang mempengaruhinya
seperti kencendrungan genetik yang kuat untuk mengidap hipertensi
primer, yang dapat dipercepat atau diperburuk oleh faktor-faktor yang
meningkatkan risiko, seperti stress, alkohol, merokok, obesitas dan
kebiasaan makan seperti asupan garam berlebihan serta diet yang kurang
mengandung buah, sayuran dan produk susu (Sherwood, 2015).
b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat sekitar 10% kasus.
Penyebab spesifiknya diketahui seperti penyakit ginjal, hipertensi vaskular
renal, hiperaldosteronisme primer, sindrom cushing, feokromositoma,
koartasio aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-
lain (Kenning, 2014).

2.1.3 Klasifikasi Hipertensi


Klasifikasi Hipertensi menurut The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure (JNC VII), klasifikasi hipertensi dibagi menjadi kelompok normal,
prahipertensi, hipertensi derajat I dan hipertensi derajat II.
9

Tabel 2.1. Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII (Yugiantoro, 2014).

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Normal <120 <80
Prahipertensi 120-139 80-89
Hipertensi Derajat I 140-159 90-99
Hipertensi Derajat II >160 >100

Sedangkan klasifikasi hipertensi menurut European Society of Hypertension


(ESH) / European Society of Cardiology (ESC) dan World Health Organization
(WHO) tahun 2013 tertera pada tabel dibawah ini.

Tabel 2.2. Klasifikasi hipertensi menurut ESH/WHO (Yugiantoro, 2014).

Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)


Optimal <120 <80
Normal 120-129 80-84
Normal Tinggi 130-139 85-89
Hipertensi Derajat I 140-159 90-99
Hipertensi Derajat II 160-179 100-109
Hipertensi Derajat III ≥180 ≥110
Hipertensi Sistolik ≥140 ≥90
Terisolasi

2.1.4 Patogenesis Hipertensi


Hipertensi merupakan penyakit yang bukan hanya disebabkan oleh satu
macam mekanisme, akan tetapi bersifat multifaktoral, yang timbul akibat dari
interaksi berbagai macam faktor resiko. Ada empat faktor yang mendominasi
terjadinya hipertensi:
10

A. Peran Volume Intravaskular


Tekanan darah tinggi adalah hasil interaksi antara cardiac output atau
curah jantung dan tahanan total perifer yang masing-masing dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Volume intravaskular merupakan determinan utama untuk
kestabilan tekanan darah dari waktu ke waktu. Tergantung keadaan tahanan total
perifer apakah dalam posisi vasodilatasi atau vasokonstriksi. Bila asupan NaCl
meningkat, maka ginjal akan merespon agar ekskresi garam keluar bersama urine
ini juga meningkat. Tetapi bila upaya mengeskresikan NaCl melebihi ambang
kemampuan ginjal, maka ginjal akan meretensi H2O sehingga volume
intravascular meningkat. Pada gilirannya cardiac output atau curah jantung juga
akan meningkat. Akibatnya terjadi ekspansi volume intravaskular, sehingga
tekanan darah meningkat (Yugiantoro, 2014).

B. Peran Kendali Saraf Autonom


Persarafan autonom ada dua macam, yang pertama ialah sistem saraf
simpatis yang berfungsi menstimulasi saraf visceral melalui neurotransmitter
seperti katekolamin, epinefrin, maupun dopamin. Sedang saraf parasimpatis
adalah yang menghambat stimulasi saraf simpatis (Yugiantoro, 2014).
Aktifitas berlebihan dari sistem saraf simpatis mempunyai peranan penting
pada awal terjadinya hipertensi primer. Pada awalnya terjadi peningkatan denyut
jantung, curah jantung, kadar norepinefrin plasma dan urin, berlebihnya
norepinefrin ditingkat regional, rangsangan saraf simpatis post ganglion dan
reseptor α-adrenergik menyebabkan vasokonstriksi disirkulasi perifer (Mohani,
2014).

C. Peran Sistem Renin Angiotensin Aldosteron


Bila tekanan darah menurun maka hal ini akan memicu refleks
baroreseptor. Berikutnya secara fisiologis sistem renin angiotensin aldosteron
akan dipicu. Renin akan disekresikan, lalu angiotensin I, angiotensin II dan
seterusnya sampai tekanan darah menibgkat kembali. Adapun proses
11

pembentukan renin dimulai dari pembentukan angiotensinogen yang dibuat oleh


hati, selanjutnya angiotensinogen akan dirubah menjadi angiotensin I oleh renin
yang dihasilkan oleh macula densa apparatus juxtaglomerular ginjal. Lalu
angiotensin I akan diubah menjadi angiotensin II oleh enzim ACE (angiotensin
converting enzyme). Akhirnya angiotensin II ini akan bekerja pada reseptor-
reseptor yang terkait tugasnya dalam fisiologis autoregulasi tekanan darah
(Yugiantoro, 2014).

D. Peran Dinding Vaskular Pembuluh Darah


Hipertensi adalah the disease cardiovascular continuum, penyakit yang
berlanjut terus menerus sepanjang umur. Hipertensi dimulai dengan disfungsi
endotel, lalu berlanjut menjadi disfungsi vaskular, vaskular biologi berubah
karena mengalami kerusakan berupa lesi vaskular dan remodelling, lalu berakhir
dengan kerusakan organ target (Yugiantoro, 2014).

Gambar 2.1 Patogenesis Hipertensi (Mohani, 2014).


12

2.1.5 Manifestasi Klinis Hipertensi


Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak mempunyai gejala spesifik
yang menunjukkan kenaikan tekanan darahnya dan hanya diidentifikasi pada
pemeriksaan fisik. Jika gejala membuat pasien kedokter, dapat digolongkan
menjadi tiga kategori. Pasien dihubungkan dengan kenaikan tekanan darah itu
sendiri, penyakit vaskular hipertensif dan penyakit yang mendasari pada kasus
hipertensi sekunder. Meskipun dengan popular dianggap gejala kenaikan tekanan
darah, sakit kepala hanya karakteristik untuk hipertensi berat, paling sering
terletak pada daerah oksipital, terjadi ketika pasien bangun pada pagi hari, dan
berkurang secara spontan setelah beberapa jam. Keluhan lain yang mungkin
berhubungan adalah pusing, palpitasi, mudah lelah, epistaksis dan impotensi
(Harrison, 2012).
Manifestasi klinis krisis hipertensi berhubunga dengan kerusakan organ
target yang ada. Tanda dan gejala hipertensi krisis berbeda – beda setiap pasien.
Sakit kepala, perubahan tingkat kesadaran dan atau tanda neurologi fokal bisa
terjadi pada pasien dengan hipertensi ensefalopati. Pada pemeriksaan fisik pasien
bisa saja ditemukan retinopati dengan perubahan arteriola, perdarahan dan
eksudasi maupun papiledema. Pada sebagian pasien yang lain manifestasi
kardiovaskular bisa saja muncul lebih dominan seperti; angina, akut miokardial
infark atau gagal jantung kiri akut. Dan beberapa pasien yang lain gagal ginjal
akut dengan oligouria dan atau hematuria bisa saja terjadi

Tekanan darah Urgensi Emergensi


tinggi
Tekanan >180/110 >180/110 >220/140
darah
Gejala Sakit kepala, Sakit kepala berat, Sesak nafas, nyeri
kecemasan, sering sesak nafas dada, nokturia,
asimptomatik disartria, kelemahan
umum sampai
dengan penurunan
kesadaran,
Pemeriksaan Tidak dijumpai Ada kerusakan Encefalopati, edema
kerusakan organ organ target; pulmonum,
target, tidak ada penyakit insufisiensi ginjal,
penyakit kardio kardiovaskular cerebrovascular
13

vaskular secara yang stabil accident, iskemik


klinis kardiak
Terapi Observasi 1-3 jam; Observasi 3-6 jam; Pemeriksaan lab
tentukan turunkan tekanan dasar; infus;
pengobatan awal; darah dengan obat pengawasan tekanan
tingkatkan dosis oral; berikan terapi darah; mulai
yang sesuai penyesuaian pengobatan awal di
ruang emergensi
Perencanaan Rencanakan Rencanakan Segera rawat di
pengawasan < 72 pengawasan < 24 ICU; obati mencapai
jam; jika tidak ada jam target tekanan darah;
indikasi dapat investigasi penyakit
rawat jalan lain.

2.1.6 Diagnosa Klinis Hipertensi


A. Anamnesis
Evaluasi pasien hipertensi bertujuan untuk menilai pola hidup dan
mengidentifikasi faktor resiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya
penyakit penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan pengobatan,
mencari penyebab kenaikan tekanan darah dan menentukan ada tidaknya
kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskular. Anamnesis pada pasien
hipertensi meliputi:
a. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
b. Indikasi adanya hipertensi sekunder, seperti adanya penyakit ginjal, infeksi
saluran kemih hematuri, pemakaian obat-obatan tertentu
c. Faktor faktor resiko yang mempengaruhi tekanan darah, seperti riwayat
hipertensi atau penyakit kardiovakular pasien dan keluarga pasien, riwayat
hiperlipidemia, riwayat diabetes mellitus, kebiasaan merokok, pola makan,
obesitas dan stress.
d. Gejala kerusakan organ, seperti sakit kepala, vertigo, gangguan
penglihatan, palpitasi, nyeri dada, sesak, edema pretibial, tidur dengan
bantal tinggi, poliuria, nokturia, hematuria, ekstremitas dingin, klaudikasio
intermitten.
e. Pengobatan anti-hipertensi sebelumnya.
f. Faktor pribadi, keluarga dan lingkungan (Mohani, 2014).
14

B. Pemeriksaan Fisik
Diagnosis hipertensi dapat dilakukan cukup akurat dengan pemeriksaan
tekanan darah menggunakan sphygmomanometer, suatu manset yang dapat
dikembungkan dan dipasang secara eksternal ke pengukur tekanan. Pengukuran
tekanan darah dilakukan pada penderita dalam keadaan nyaman, relaks dan tidak
tertutup atau tertekan pakaian. Ketika manset dilingkarkan disekitar lengan atas
dan kemudian dikembungkan dengan udara, tekanan manset disalurkan melalui
jaringan ke arteri brakialis. Teknik ini melibatkan penyeimbangan antara tekanan
dimanset dan tekanan diarteri. Selama penentuan tekanan darah, stetoskop
diletakkan diatas arteri brakialis disisi dalam siku tepat dibawah manset. Aliran
darah turbulen menciptakan getaran yang dapat terdengar. Bunyi yang terdengar
ketika memeriksa tekanan darah dikenal sebagai bunyi korotkoff. Bunyi pertama
dapat didengar menunjukkan tekanan sistolik, bunyi terakhir terdengar pada
tekanan diastolik minimal (Sherwood, 2015).
15

C. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dibagi menjadi pemeriksaan yang sebaiknya
dilakukan pada semua pasien dengan hipertensi yang menetap (pemeriksaan
dasar) dan pemeriksaan yang sebaiknya ditambahkan jika dari pemeriksaan awal
diduga ada bentuk hipertensi sekunder dan/atau tekanan arteri tidak terkendali
setelah terapi awal.
Pemeriksaan status ginjal dievaluasi dengan menilai adanya protein, darah,
glukosa urin, mengukur kreatinin serum dan/atau nitrogen urea darah (BUN,
blood urea nitrogen). Kimia darah lainnya juga mungkin berguna, terutama
seringkali dapat diminta sebagai serangkaian tes automatis dengan biaya yang
minimal pada pasien. Contohnya, penentuan glukosa darah membantu karena
diabetes mellitus mungkin disertai dengan aterosklerosis, penyakit vaskular renal
dan nefropati diabetik pada pasien dengan hipertensi. Kolesterol serum, kolesterol
HDL dan trigliserida juga dapat diukur untuk mengidentifikasi faktor lain yang
mempercepat timbulnya aterosklerosis. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG)
pada semua kasus sebagai penilaian keadaan jantung (Harrison, 2012).

2.1.7 Penatalaksanaan Hipertensi


A. Terapi Non-Farmakologi
Menjalani pola hidup sehat telah banyak terbukti dapat menurunkan
tekanan darah dan secara umum sangat menguntungkan dalam menurunkan risiko
permasalahan kardiovaskular. Pada pasien yang menderita hipertensi derajat 1,
tanpa faktor risiko kardiovaskular lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan
tatalaksana tahap awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 – 6 bulan. Bila
setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan darah yang
diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular yang lain, maka sangat
dianjurkan untuk memulai terapi farmakologi. Beberapa pola hidup sehat yang
dianjurkan adalah:
a. Penurunan berat badan. Mengganti makanan tidak sehat dengan
memperbanyak asupan sayuran dan buah-buahan dapat memberikan
16

manfaat yang lebih selain penurunan tekanan darah, seperti menghindari


diabetes dan dislipidemia.
b. Mengurangi asupan garam. Di negara kita, makanan tinggi garam dan
lemak merupakan makanan tradisional pada kebanyakan daerah. Tidak
jarang pula pasien tidak menyadari kandungan garam pada makanan cepat
saji, makanan kaleng, daging olahan dan sebagainya. Tidak jarang, diet
rendah garam ini juga bermanfaat untuk mengurangi dosis obat
antihipertensi pada pasien hipertensi derajat ≥ 2. Dianjurkan untuk asupan
garam tidak melebihi 2 gr/ hari.
c. Olah raga yang dilakukan secara teratur sebanyak 30 – 60 menit/ hari,
minimal 3 hari/ minggu, dapat menolong penurunan tekanan darah.
Terhadap pasien yang tidak memiliki waktu untuk berolahraga secara
khusus, sebaiknya harus tetap dianjurkan untuk berjalan kaki, mengendarai
sepeda atau menaiki tangga dalam aktifitas rutin mereka di tempat
kerjanya.
d. Mengurangi konsumsi alkohol. Walaupun konsumsi alkohol belum
menjadi pola hidup yang umum di negara indonesia, namun konsumsi
alkohol semakin hari semakin meningkat seiring dengan perkembangan
pergaulan dan gaya hidup, terutama di kota besar. Konsumsi alkohol lebih
dari 2 gelas per hari pada pria atau 1 gelas per hari pada wanita, dapat
meningkatkan tekanan darah. Dengan demikian membatasi atau
menghentikan konsumsi alkohol sangat membantu dalam penurunan
tekanan darah.
e. Berhenti merokok. Walaupun hal ini sampai saat ini belum terbukti
berefek langsung dapat menurunkan tekanan darah, tetapi merokok
merupakan salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular, dan
pasien sebaiknya dianjurkan untuk berhenti merokok (PERKI, 2015).
17

Tabel 2.3 Modifikasi Gaya Hidup Untuk Mengendalikan Tekanan Darah


(Rilantono, 2012)

Modifikasi Rekomendasi Perkiraan penurunan


TD sistolik
Menurunkan Memelihara Berat Badan Normal 5-20 mmHg/ 10 kg
Berat Badan (Indeks Massa Tubuh 18.5–24.9 penurunan Berat Badan
kg/m2).
Melakukan Mengkonsumsi makanan yang kaya 8 – 14 mmHg
pola diet dengan buah-buahan, sayuran, produk
makanan yang rendah lemak.
Diet Rendah Menurunkan Intake Garam sebesar 2-8 2-8 mmHg
Natrium mmHg tidak lebih dari 100 mmol per-
hari (2.4 gr Natrium atau 6 gr garam).
Olahraga Melakukan Kegiatan Aerobik fisik 4 – 9 mmHg
secara teratur, seperti jalan cepat
(paling tidak 30 menit per-hari atau
minimal 3 hari dalam seminggu).
Membatasi Membatasi konsumsi alkohol tidak 2 -4 mmHg
Penggunaan lebih dari 2 gelas per-hari pada pria
Alkohol dan tidak lebih dari 1 gelas per-hari
pada wanita.

B. Terapi Farmakologi
Tujuan pengobatan hipertensi adalah menurunkan dan mencegah kejadian
kardioserebrovaskular dan kerusakan renal, melalui penurunan tekanan darah dan
juga pengendalian dan pengobatan faktor-faktor risiko yang reversibel. Saat ini
tersedia 5 golongan obat antihipertensi, yaitu diuretic thiazid, antagonis kalsium,
ACEi (Angiotensin Converting Enzyme inhibitors), ARB (Angiotensin Receptor
Blockers) dan beta-blockers. Obat-obat ini dapat digunakan sebagai monoterapi
maupun sebagai bagian dari terapi kombinasi. Kelima jenis golongan obat ini
18

telah terbukti dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular pada


pengobatan hipertensi jangka panjang (Tedjasukmana, 2012).
Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6
bulan menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2.
Beberapa prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga
kepatuhan dan meminimalisasi efek samping, yaitu :
a. Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal.
b. Berikan obat generik (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya.
c. Berikan obat pada pasien usia lanjut (diatas usia 80 tahun) seperti pada
usia 55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid.
d. Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor
(ACE-i) dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs).
e. Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi
farmakologi.
f. Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur
Pemberian dua obat sebagai terapi kombinasi dapat langsung diberikan
sebagai terapi awal pada hipertensi derajat II (≥160/100 mmHg) atau pada
kelompok hipertensi dengan risiko kardiovaskuler tinggi atau sangat tinggi
(PERKI, 2015).
Dalam penatalaksaan kegawatan hipertensi dua hal penting perlu
dipertimbangkan yaitu berapa cepat dan berapa rendah tekanan darah harus
diturunkan. Penurunan tekanan darah sampai normal pada umumnya tidak
diperlukan bahkan pada keadaan tertentu bukan merupakan tujuan pengobatan.
Manajenem penurunan tekanan darah pada pasien dengan hipertensi
urgensi tidak membutukan obat-obatan parenteral. Pemberan obat-obatan oral aksi
cepat akan memberi manfaat untuk menurunkan tekanan darah dalam 24 jam awal
(Mean Arterial Pressure (MAP) dapat diturunkan tidak lebih dari 25%). Pada fase
awal goal standar penurunan tekanan darah dapat diturunkan sampai 160/110
mmHg
19

Terapi hipertensi emergensi harus disesuaikan setiap individu tergantung


pada kerusakan organ target. Managemen tekanan darah dilakukan dengan obat-
obatan parenteral secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan
ICU agar monitoring tekanan darah bisa dikonrol dengan pemantauan yang tepat.
Tingkat ideal penurunan tekanan darah masih belum jelas, tetapi Penurunan Mean
Arterial Pressure (MAP) 10% selama 1 jam awal dan 15% pada 2 – 3 jam
berikutnya. Penurunan tekanan darah secara cepat dan berlebihan akan
mengakibatkan jantung dan pembuluh darah orak mengalami hipoperfusi

Table 4. Obat yang biasa digunakan pada keadaan hipertensi emergensi

Obat Dosis Onset Lama Indikasi khusus


kerja
Diuretik
Furosemide 20-40 mg dalam 1-2 5-15 2-3 jam Biasanya diperlukan
min, ulangi dan menit obat jenis lain untuk
tingkatkan dosis pada mencapai target
insufisiensi ginjal tekanan darah
Vasodilators
Nitropruside 0.25-10.00 Segera 1-2 mnt Kebanyakan pd
(Nipride, g/mnt/kg/mnt dalam hipertensi emergensi;
Nitropress) infus intravena hati-hati pada keadaan
peningkatan tekanan
intracranial atau
azotemia
Nitroglycerin 5-100 g/mnt dalam 2-5 mnt 5-10 mnt Iskemia koroner
(Nitro-bid IV) infus intravena
Fenoldopam 0.1-0.6 g/kg/min 4-5 mnt 10-15 mnt Insufisiensi ginjal,
(Corlopam) dalam infus intravena pasca operasi
Nicardipine 5-15 mg/h i.v. 5-10 1-4 jam Kebanyakan hipertensi
(Cardiprin i.v) mnt emergensi; hati-hati
dengan payah jantung
akut
Hydralazine 10-20 mg i.v. 10-20 3-8 jam Eklampsia; hati-hati
(Apresoline) 10-20 mg IM mnt dengan peningkatan
20-30 tekanan intracranial
mnt
Enalaprilat 1.25-5.00 mg setiap 6 15 mnt 6 jam Payah jantung kiri akut
(Vasotec IV) jam
Adrenergic
inhibitors 5-15 mg i.v. 1-2 mnt 3-10 mnt Ekses Katekolamin
Phentolamine 200-500 g/kg/mnt 1-2 mnt 10-20 mnt Diseksi aorta pasca
20

Esmolol utk 4 mnt, kemudian operasi


(Brevibloc) 50-300 g/kg/mnt i.v.
20-80 mg i.v. bolus 5-10 3-6 jam
Labetalol setiap 10 mnt mnt Kebanyakan hipertensi
(Normo- 2 mg/min infus i.v. emergensi kecuali
dyne, Trandate payah jantung akut

Tabel 5. Obat yang biasa digunakan pada hipertensi urgensi

Obat Kelas Dosis Onset Lama kerja


(jam)
Captopril Angiotensin- 6.5-50.0 mg 15 min 4-6
(Capoten) converting
enzyme inhib.
Clonidine Central - 0.2 mg awal, 0.2-2.0 6-8
(Catapres) agonist kemudian 0.1 h
mg/h, naikkan
sampai total 0.8
mg
Furosemide Diuretik 20-40 mg 0.5-1.0 6-8
(Lasix) h
Labetalol - and - 100-200 mg 0.5-2.0 8-12
(Normodyne, Blocker h
Trandate)
Nifedipine Calcium 5-10 mg 5-15 3-5
(procardia, channel blocker min
Adalat)
Propanolol -Blocker 20-40 mg 15-30 3-6
(Inderal) min

2.1.8 Prognosis Hipertensi


Hipertensi dapat meningkatkan resiko untuk terjadinya kejadian
kardiovaskular dan kerusakan organ target, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Sebelum ditemukannya obat anti-hipertensi yang efektif harapan hidup
penderita hipertensi maligna kurang dari 2 tahun, dengan penyebab kematian
tersering adalah strok, gagal ginjal dan gagal jantung.[11] Kematian disebabkan
oleh uremia (19%), gagal jantung kongestif (13%), cerebro vascular accident
Sebelum ditemukannya obat anti-hipertensi yang efektif harapan hidup penderita
hipertensi maligna kurang dari 2 tahun, dengan penyebab kematian tersering
21

adalah strok, gagal ginjal dan gagal jantung.[11] Kematian disebabkan oleh
uremia (19%), gagal jantung kongestif (13%), cerebro vascular accident
(Yogiantoro, 2014; Mohani, 2014).
22

BAB III
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 51 tahun
Alamat : Jl. Yos Sudarso Gunung Sitoli
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Tgl masuk : 1-7- 2019
No. RM : 06.48.23

II. Anamnesis (autoanamnesis)


Keluhan Utama :
Nyeri kepala yang memberat sejak 1 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke RS Putri Hijau dengan keluhan nyeri kepala yang
memberat sejak 1 hari SMRS, nyeri kepala dirasakan berdenyut. Pasien
mengeluhkan nyeri kepala sudah dirasakan sejak 1 minggu SMRS. Pasien tidak
merasakan nyeri kepala berputar, dan merasakan pandangannya terasa gelap
apabila nyeri kepala, pasien merasa lemas pada tangan dan kaki kiri, mual, dan
disertai dengan muntah, muntah 2x berisi apa yg dimakan sebanyak ½ gelas aqua
kecil dan tanpa penurunan kesadaran.
Pasien merasakan leher terasa tegang seperti tertarik sejak 3 hari SMRS.
Selain itu pasien juga mengalami sesak nafas. Sesak nafas tidak disertai bunyi
mengi dan tidak dipengaruhi oleh udara dingin, asap, debu ataupun makanan
tertentu. Sesak juga tidak dipengaruhi oleh aktivitas. Pasien juga merasakan
dadanya berdebar-debar.
23

Riwayat adanya darah tinggi diakui pasien sejak 10 tahun yang lalu.
Pasien berobat apabila timbul keluhan namun tidak rutin kontrol, pasien tidak
ingat nama obat dan jumlah obat yang diminum.

Riwayat penyakit dahulu :


Hipertensi (+), Diabetes Mellitus (-)

Riwayat penyakit keluarga :


Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti
pasien. Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai riwayat penyakit jantung,
gula, ginjal dan asma.

III. Pemeriksaan Fisik


- Kesadaran: compos mentis
- Tekanan darah : 220/110
- Nadi : 110x/menit
- Pernapasan : 28x/menit normal
- Suhu : 36,5 C

Kepala
 Bentuk : Normal, simetris
 Rambut : Hitam, tidak mudah rontok
 Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebral
-/-, pupil isokor kanan dan kiri. Reflek cahaya +
 Telinga : Bentuk normal, simetris, ottorae -/-.
 Hidung : Bentuk normal, septum di tengah, tidak deviasi.
 Mulut : Mulut simetris, tidak ada deviasa Tonsil T1/T1.

Leher
Trakea berada di tengah, tidak deviasi dan intak, Tidak terdapat pembesaran
kelenjar tiroid dan kelenjar getah bening, JVP tidak meningkat.
24

Thoraks
 Inspeksi : Bentuk dada kanan kiri simetris, pergerakan nafas kanan
sama dengan kiri , tidak ada penonjolan masa.
 Palpasi : fremitus taktil kanan sama dengan kiri
 Perkusi : Sonor di kedua lapangan paru
 Auskultasi : Sp: bronchial , ronki -/-, Wheezing -/-

Jantung
 Inspeksi : Dalam batas normal
 Palpasi : Iktus kordis teraba pulsasi, tidak ada vibrasi
 Perkusi Batas jantung :
o Batas atas : Sela iga II garis parasternalis kiri
o Batas kanan : linea parasternalis kanan
o Batas kiri : Sela Iga V 1 jari lateral linea midclavicularis kiri
 Auskultasi :BJ S1 dan S2 murni regular, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
 Inspeksi : Perut datar, tidak tampak adanya kelainan
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Perkusi : Suara timpani pada lapang abdomen, shifting dullness (-),
undulasi (-)
 Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), tidak ada pembesaran hepar,
tidak ada pembesaran lien, ballotement ginjal (-)

Genitalia
Tidak dinilai

Ekstremitas
Akral hangat, CRT<2”, arteri perifer teraba normal, edema ekstermitas -/-,
25

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:
17 Febuari 2019
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hb 11,67 12-14 gr/dl
Ht 33,9 36-42 gr/dl
RBC 4,34x106 4-5,4X106 uL
WBC 6.030 4000-11000/mm3
Platelet 238.400 150000-400000/mm3
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
KGDs 115 < 200 mg/dLs
Bilirubin Total 0.42 <1.2 mg/dl
Bilirubin Direct 0.36 <0.3 mg/dl
SGOT 14 L: <35 U/L
P: 31 U/L
SGPT 11 L: <45 U/L
P: <34 U/L
Ureum 28 <50 mg/dl
Kreatinin 0.9 L: 0.8-1.3 mg/dl
P: 0.6-1.2 mg/dl
Asam Urat 5.9 L: <7 mg/dl
P: <5.7 mg/dl
Cholesterol Total 214 <200 mg/dl
HDL 64 >40 mg/dl
LDL 132 <100 mg/dl
Trigliserida 87 <150 mg/dl
26

EKG:

Kesan:
a. Irama: Sinus Ritme
b. Heart Rate: 75x/menit Reguler
c. Axis : Normoaxis
d. Gelombang P: 0.08s
e. PR Interval: 0.12s
f. QRS complex: 0,08s
g. ST segmen: ST elevasi (-), ST depresi (-)
h. Gelombang T: T inverted (-), T-Tall (-)
i. LVH: (-)
j. RVH (-)
Kesimpulan: Sinus Ritme

Diagnosa:
Berdasarkan keluhan pasien mengeluhkan nyeri kepala yang memberat sejak
1 hari SMRS disertai mual, muntah dan sesak nafas dan dari hasil pemeriksaan
fisik didapati Tekanan darah : 220/110 mmHg maka pasien didiagnosa dengan
Hipertensi Emergensi
27

Terapi:
- IVFD RL 20gtt/menit
- Inj. Nicardipin 20 mg (2 amp) mulai 0,5mcg/kgBB
- Inj. Furosemid 20 mg/12 jam
- Spironolakton 1x25mg
- Candesartan 2x16mg
- Simvastatin 1x20mg

Rencana:
Cek Elektrolit
28

BAB III
KESIMPULAN

Hipertensi emergensi merupakan keadaan tekanan darah tidak terkontrol


yang berhubungan dengan gagal organ akut. Adanya keadaan gagal organ akut ini
yang membedakan dengan keadaan hipertensi urgensi bukan pada nilai tekanan
darah. Penyebab dari hipertensi emergensi adalah semua yang dapat
meningkatkan tekanan darah.
Dalam penatalaksaan hipertensi emergensi dua hal penting perlu
dipertimbangkan yaitu berapa cepat dan berapa rendah tekanan darah harus
diturunkan. Penurunan tekanan darah sampai normal pada umumnya tidak
diperlukan bahkan pada keadaan tertentu bukan merupakan tujuan pengobatan.
Manajemen pada pasien hipertensi emergensi dengan pemberian obat anti
hipertensi. Obat Anti hipertensi yang dipilih merupakan antihipertensi parenteral
secara tepat dan cepat. Pasien harus berada di dalam ruangan ICU agar monitoring
tekanan darah bisa dikonrol dengan pemantauan yang tepat. Manajemen pasien
hipertensi emergensi yang tepat akan menurunkan angka kesakitan dan kematian.

DAFTAR PUSTAKA
29

Assob, J.C.N, et al. 2014. The Relationship between Uric Acid and Hypertension
in Adults in Fako Division, SW Region Cameroon. Journal Nutrion and
Food Science. http://dx.doi.org/10.4172/2155-9600.1000257
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta.
Champe, P.C., Harvey, R.A., Ferrier, D.A. 2011. Biokimia Ilustrasi Bergambar.
3th ed. Jakarta: EGC.
Go, A.S. et al. 2014. An Effective Approach to High Blood Pressure Control.
Journal of the American College of Cardiology.
http://hyper.ahajournals.org
Infodatin. 2013. Hipertensi. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kenning I, et al. 2014. Health Care Guideline Hypertension Diagnosis and
Treatment. Institute for Clinical Systems Improvement.
https://www.icsi.org/_asset/wjqy4g/HTN.pdf
Kosasih E.N., Kosasih A.S. 2008. Tafsiran Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Klinik. Ciputat: KARISMA Publishing Group.
Mohani, C.I. 2014. Hipertensi Primer In: Sudoyo, A.W. et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing, Hal: 2284.
Rilantono, L.I. 2012. Penyakit Kardiovaskular (PKV). Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Sherwood, L. 2015. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Alih bahasa: Brahm
U. Pedit. Jakarta: EGC.
Sylvia, P.A. 2006. Patofisisologi konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta:
EGC
Tedjakusuma, P. 2012. Tatalaksana Hipertensi. Karya Tulis Ilmiah. Jakarta:
Departemen Kardiologi RS Premier Jatinegara dan RS Grha Kedoya.
Williams, G.H. 2014. Penyakit Vaskular Hipertensi. In: Isselbacher K.J. et al.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 13th ed. Jakarta: EGC
World Health Organization (WHO). 2013. A Global Brief on Hypertension: Silent
Killer, Global Public Health Crisis.
30

Yugiantoro, M. 2014. Hipertensi Essensial. In: Sudoyo, A.W. et al. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. 6th ed. Jakarta: Interna Publishing, Hal: 2259.

Anda mungkin juga menyukai