Anda di halaman 1dari 5

Indonesia (Tidak) Bubar

Sejak berdiri tahun 1945, negara Indonesia telah menjadi perdebatan di kalangan
pengamat. Pertanyaan yang selalu diajukan adalah apakah negara ini akan tetap ada
atau akan bubar?

Dalam buletin Far Eastern Review edisi April dan Mei 1958, sejarawan Justus van der
Kroef mengatakan, Indonesia akan segera bubar akibat gerakan regionalisme yang
marak tahun 1950-an. Masyarakat ”Indonesia”, kata Kroef, akan kembali menjadi
kumpulan suku yang terserak-serak di ribuan pulau.

Pernyataan Kroef didukung penjelasan Jayashri Deshpande pada 1981 melalui


buku Indonesia: The Impossible Dream.

Menurut Deshpande, bertahannya Indonesia sebagai sebuah negara melulu karena


campur tangan Amerika Serikat, yang berkepentingan atas sumber daya alam di
Indonesia dan (waktu itu) kontestasi Perang Dingin. Tanpa AS, kata Deshpande,
Indonesia pasti bubar.

Pasca-tumbangnya Orde Baru, indonesianis Edward Aspinall dan Mark T Berger (2001)
memprediksi Indonesia segera pecah akibat proses restrukturisasi politik yang terseok-
seok. Menurut Marcus Mietzer (2008), kontestasi kekuasaan yang mengaduk-aduk
politik identitas akan berujung perpecahan.

Sejarawan Anne Booth (2011) menunjuk pemekaran wilayah administrasi yang marak
pada 2000-an sebagai proses bubarnya Indonesia secara perlahan-lahan karena
melebarnya jurang kesejahteraan antardaerah. Para peneliti ini melihat Indonesia
pasca-Orde Baru akan berakhir seperti Yugoslavia atau Uni Soviet yang bubar di ujung
Perang Dingin.

Pada sisi yang lain, keberadaan negara Indonesia juga melahirkan analisis-analisis
bernuansa kekaguman. Pada 1971, Duta Besar AS untuk Indonesia Howard Palfrey
Jones menerbitkan buku Indonesia: The Possible Dream. Menurut Jones, Indonesia
adalah sebuah keniscayaan. Ikatan sejarah dan budaya merupakan modal persatuan
yang kuat.

Sejarawan John Legge (1990) menulis, ”Dari semua negara-bangsa di Asia Tenggara
yang lahir pasca-Perang Dunia II, Indonesia merupakan bukti kemahiran intelektual
para desainernya.”
Adrian Vickers menyebut integrasi Indonesia telah merangkul semua perbedaan,
meskipun sebagian berdarah-darah. Menurut Anthony Reid (2011), Indonesia lahir
melalui periode revolusi yang meletakkan fondasi inti persatuan, menolak kolonialisme
dan membongkar feodalisme.

Begitulah! Existing dan masa depan Indonesia terus diperdebatkan. Bahkan, pada 2015,
ahli strategi PW Singer dan August Cole meramalkan Indonesia akan bubar pada 2030,
pada 2015 pula ahli ekonomi Hal Hill justru meyakini bahwa pada 2030 itu Indonesia
akan menjadi lima besar kekuatan ekonomi dunia.

Sifat ”Indonesia”

Yang luput dalam semua perdebatan tersebut adalah jika Indonesia bertahan atau
bubar, itu dalam arti apa?

Jika bertahan apakah artinya ”Indonesia” sebagai satu institusi kekuasaan yang
memiliki sistem ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan-keamanan
itu? Jika bubar, apakah berarti kesatuan semua sistem tersebut buyar dan kembali
menjadi kelompok suku bangsa dalam kerajaan atau kesultanan seperti sebelum
Proklamasi 1945?

Ketika berbicara tentang ”Indonesia”, orang cenderung merujuknya sebagai bentuk


wadah kelembagaan sistem pemerintahan. Secara hukum formal, wadah ini dikuatkan
oleh unsur-unsur tata negara, yaitu rumusan ideologi, konstitusi, dan sistem
perundangan-undangan.

Wadah formal negara Indonesia dijaga ketat oleh Tentara Nasional Indonesia dengan
seluruh armadanya dan oleh aparat keamanan yang memastikan perlindungan jiwa-
raga setiap warga negara. Inilah ”Indonesia” dalam sisi makna yang ”keras”.

Dalam sisi arti yang ”keras” itu, ramalan tentang bubarnya Indonesia adalah gagasan
yang mengada-ada. Jika ”Indonesia” dipahami sebagai wadah formal pemerintahan
negara, bubarnya Indonesia berarti bubarnya semua sistem formal yang selama ini jadi
”penjaga” negara, yaitu ideologi, sistem perundangan-undangan, TNI/Polri, dan
jaringan-jaringan ekonomi politik. Hal itu kemungkinan sangat kecil.

Apalagi penduduk kepulauan ini terkenal sebagai bangsa yang memiliki rasa
nasionalisme sangat besar. Mungkin paling heroik di Asia Tenggara. Rasa nasionalisme
yang besar dipastikan akan mencegah bubarnya ”Indonesia” dalam sisi makna ”keras”,
yaitu sebagai wadah formal pemerintahan negara.

Penduduk kepulauan ini terkenal sebagai bangsa yang memiliki rasa


nasionalisme sangat besar.

Meski demikian, ”Indonesia” juga memiliki sisi arti ”lembut”. Dalam sisi ini,
”Indonesia” adalah ide, gagasan, semangat dan cita-cita. Dalam arti ini, pertanyaan
yang tepat bukan ”apa atau siapa itu Indonesia” melainkan ”seperti apakah Indonesia
itu?” ”Indonesia” dalam sisi makna yang lembut berarti ”sifat Indonesia”.

Perdebatan tentang ”bertahan” atau ”bubarnya” Indonesia, sayangnya, tidak pernah


menyentuh ”sifat Indonesia”. Telah terbukti bahwa ”Indonesia” terus bertahan dan
tetap ada sampai sekarang.

Namun, apakah ”Indonesia” yang bertahan dan ada itu adalah ”Indonesia” yang
memiliki ”sifat Indonesia” sebagaimana dicita-citakan dan digagas dalam semua
pemikiran tentang kondisi faktual bangsa-bangsa di kepulauan ini?

Lahirnya ”Indonesia” sebagai kesatuan wadah pemerintahan negara adalah buah dari
kesepakatan tentang ”sifat Indonesia”. Artinya, ”wadah Indonesia” itu terbentuk karena
”sifat Indonesia” yang disepakati bersama.

Jika ”wadah Indonesia” itu ada, tetapi ”sifat Indonesia” yang melekat padanya tidak lagi
seperti yang dicita-citakan, maka itu bukan ”Indonesia” yang dulu disepakati untuk ada.
Dalam arti ini, sebenarnya ”Indonesia” itu telah bubar sifatnya. Yang ada dan tinggal
hanya ”Indonesia” dalam arti ”wadah sistem pemerintahan”.

Kata kunci

Untuk menggali lebih jauh, kita dapat menelisik tiga kata kunci yang membentuk ”sifat
Indonesia”. Kata kunci pertama adalah menghormati dan mengakui perbedaan. Dari
dimensi apa pun, dulu ataupun sekarang, bangsa-bangsa yang membentuk ”Indonesia”
ini sangat berbeda-beda. Terbentuknya ”Indonesia” dilandasi kesepakatan tentang
pengakuan dan penghormatan atas semua dimensi perbedaan itu. Apakah keberagaman
masih diakui dan dilindungi oleh negara?

Saat ini tantangan terbesar dalam ”menjaga Indonesia” adalah kuatnya politik identitas.
Politik identitas mengoyak ruang publik bukan hanya lewat media sosial, juga melalui
produk hukum positif yang terang- terangan dilandasi semangat ”peliyanan” (othering).

Laman BBC.com mencatat, misalnya, bahwa sejak 1998 di berbagai wilayah Indonesia
telah disahkan 443 peraturan daerah syariah (data 21 Februari 2017,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39033231).

Peraturan daerah syariah kemudian ”berbalas” perda injil di daerah-daerah tertentu


(https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-46813787).

Hadirnya perda berbasis hukum agama menunjukkan semakin jauhnya ”wadah


Indonesia” hari ini dari ”sifat Indonesia” yang dulu dicita-citakan. Dulu, saat negara ini
didirikan, kesepakatan atas ”sifat Indonesia” itu berbunyi ”melindungi segenap bangsa
Indonesia.” Siapa pun dia dan di mana pun dia berada.

Perda berbasis hukum agama telah meliyankan warga tertentu di suatu daerah yang
bukan dari kelompok agama yang diatur di dalam perda itu. Perda berbasis agama jelas
tak mencerminkan ”sifat Indonesia” dan jauh dari semangat untuk menjadi ”Indonesia
banget”.

Sultan Hamengku Buwono X dalam wawancara dengan Harian Kompas (22/4/2007)


mengingatkan bahaya ”bubarnya Republik ini” akibat kebijakan-kebijakan yang minus
perspektif kebangsaan, antara lain perda berbasis agama.

Kata kunci kedua dari ”sifat Indonesia” adalah ”sejahtera bersama”. ”Bersama”
maksudnya ”bareng-bareng”. Cita-cita yang disepakati sebagai “sifat Indonesia” dalam
hal ini adalah sosialisme berbasis gotong royong. Artinya, negara tidak boleh
memasrahkan kesejahteraan sekelompok warga miskin pada sekelompok warga
tertentu yang kaya. Negara harus membuat setiap warga berdaya dan mampu untuk
sejahtera secara mandiri.

Negara harus membuat setiap warga berdaya dan mampu untuk sejahtera
secara mandiri.

”Sejahtera bersama” dalam konsep sosialisme gotong royong tidak akan terwujud jika
kebijakan yang diterapkan berlandaskan teori trickle-down effect. Proyek-proyek besar
dan kebijakan strategis yang semata-mata dilandasi penghitungan ekonomi makro
adalah contoh skema trickle down.

Kebijakan yang membuat sebagian kecil warga menguasai sebagian besar sumber
kekayaan dengan asumsi kekayaannya yang besar akan memberikan penghidupan bagi
rakyat banyak adalah contoh lain kebijakan trickle down.

Seolah-olah sejahteranya rakyat banyak itu sekadar efek remah-remah


atau klepretan dari kekayaan segelintir warga. Model ekonomi trickle down effect jelas
bukan ”sifat Indonesia” yang dulu disepakati dalam cita-cita kesejahteraan bersama
negeri ini.

Kata kunci ketiga dari ”sifat Indonesia” adalah berdaulat. Sejarah bangsa ini
menunjukkan bahwa kedaulatan merupakan prasyarat mutlak terbentuknya
”Indonesia”.

Pembangunan besar-besaran jalan raya, jembatan, jalur kereta api, ribuan sekolah, dan
pusat kesehatan masyarakat oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-20
telah menstimulasi kemajuan dan modernisasi masyarakat. Namun, efek kemajuan itu
bagi rakyat hanya bersifat klepretan.

Infrastruktur menciptakan peluang mobilitas vertikal dan kemakmuran hanya bagi


usaha ”orang-orang besar”, yang waktu itu kebanyakan berbangsa Eropa. Meskipun
infrastruktur-infrastruktur modern itu secara fisik ada di depan mata rakyat setiap hari,
tetapi rakyat hanya dapat menikmati kemajuan-kemajuan itu dari remah- remah
keuntungan yang jatuh dari ”meja tuannya”.

Para nasionalis Indonesia tidak mau sekadar menjadi maju dan modern. Bahkan, ketika
pemerintah kolonial menawarkan otonomi untuk meredam gerakan perlawanan yang
semakin luas, kaum nasionalis tetap menuntut kedaulatan. Hanya dengan kedaulatan
ada kemerdekaan sejati.

Jadi, menjadi maju, modern dan mandiri itu tidak cukup. ”Sifat Indonesia” yang mau
diwujudkan adalah maju dan mandiri secara berdaulat. Berdaulat artinya memiliki daya
sepenuhnya untuk menentukan sendiri cara mencapai dan memanfaatkan kemajuan
demi kesejahteraan bersama. Dalam konteks ini pernyataan yang sesuai ”sifat
Indonesia” bukan ”NKRI harga mati”, melainkan ”kedaulatan harga mati”.

Akhirnya, harus dikatakan, perkara ”bertahan” atau ”bubarnya” Indonesia terlalu


sederhana jika ditempatkan hanya dalam konteks kampanye pertarungan kekuasaan.
Sebab, yang terjadi kemudian sekadar olok-olok ”Indonesia bubar”, lalu dijawab ”bubar
saja sendiri jangan ajak-ajak”.

Perkara ”bertahan” atau ”bubarnya” Indonesia membutuhkan pemikiran


kenegarawanan yang, sayangnya, semakin sulit dijumpai dewasa ini.

Anda mungkin juga menyukai