Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Self Compacting Concrete (SCC) dengan Styrofoam

2.1.1. Pengertian Self Compacting Concrete

Self Compacting Concrete (SCC) pertama kali dibuat di Jepang pada tahun

1980an. Self Compacting Concrete (SCC) merupakan beton yang sifatnya sangat

plastis dan mudah mengalir tanpa perlu dipadatkan karena beton tersebut telah

memiliki sifat untuk memadat sendiri. Konsekuensi dari beton bertulang yang

tidak sempurna pemadatannya, diantaranya dapat menurunkan kuat tekan beton

dan kekedapan air beton sehingga mudah terjadi karat pada besi tulangan. Beton

yang memadat dengan sempurna dapat memperkecil kemungkinan adanya pori-

pori pada beton sehingga dapat meningkatkan ketahanan dari beton.

SCC memiliki sifat yang homogen, kohesif, tidak mengalami segregasi,

dan bleeding walaupun memiliki sifat yang mengalir. Hal ini disebabkan karena

agregat pada beton segar terdistribusi secara merata. Material yang digunakan

pada beton konvensional dan SCC sama, hanya saja SCC memerlukan bahan

tambah berupa admixture. SCC memiliki fluiditas yang tinggi karena penambahan

admixture berupa high range water reducing admixture (superplastisizer).

Komposisi agregat dalam SCC berbeda dengan beton konvensional. Jumlah

agregat kasar dan halus cenderung berimbang jumlahnya.

Beton dengan tidak menggunakan alat vibrator untuk memadatkannya

(SCC) telah banyak digunakan dalam dunia konstruksi dan telah diterima

II - 1
penggunaanya, misalnya digunakan sebagai piling dan shotcrete. Perkembangan

SCC utamanya telah memfokuskan pada struktur sipil dengan penulangan yang

padat dan telah diterima di dalam dunia konstruksi utamanya pada saat
(John N. & Ban S.,2003 dalam
pengecoran ditempat yang sulit di jangkau beton normal.
Made,S. & Lusman,2011)

Setelah padat dan mengeras, beton SCC memiliki kualitas yang bagus dan

relatif mudah untuk mencapai beton mutu tinggi, beton dengan permeabilitas

rendah, beton tahan kimia atau karbonasi dan beton dengan permukaan dan

matriks yang homogen. (Supriadi & Ismail T.,2010)

2.1.2. Keunggulan SCC

SCC memiliki banyak keunggulan dibandingkan beton normal. Adapun


(John N. & Ban S., 2003 dalam
keunggulan SCC ditinjau dari beberapa segi antara lain :
Made,S. & Lusman, 2011)

a. Meningkatkan tingkat produksi hingga memperpendek waktu konstruksi beton.

b. Mengurangi biaya konstruksi beton.

c. Mengurangi resiko kesehatan pekerja dan resiko lingkungan pekerjaan.

d. Meningkatkan ketahanan dan kekuatan beton.

e. Meningkatkan kualitas beton walau pada kondisi penuangan beton segar yang

sulit karena kepadatan penulangan.

f. Meningkatkan kualitas permukaan beton.

II - 2
2.1.3. Kriteria bahan penyusun SCC

2.1.3.1. Semen Portland

Semen merupakan unsur terpenting dalam pembuatan beton karena semen

berfungsi sebagai bahan pengikat antara agregat kasar dan agregat halus dalam

beton. Apabila semen dicampur dengan air dan membentuk suatu adukan yang

halus, maka lambat laun akan mengeras sehingga menjadi padat.

Reaksi kimia antara semen Portland dengan air menghasilkan senyawa

yang disertai dengan pelepasan panas. Kondisi ini mengandung resiko besar

terhadap penyusutan beton yang berakibat pada keretakan beton. Reaksi semen

dibedakan menjadi dua, yaitu periode pengikatan dan periode pengerasan.

Pengikatan merupakan peralihan dari keadaan plastis menuju keadaan keras,

sedangkan pegerasan adalah penambahan kekuatan setelah pengikatan selesai.


(Kardiyono T., 1995)

Sifat kimia dari semen Portland cukup rumit. Dalam hal ini cukup untuk

mengenal pilihan bahan dan pengertian terhadap pengaruh empat macam senyawa

kimia terhadap proses pengikatan dan pengerasan.

Menurut L.J Murdock dan K. M. Brook pada saat semen diberi air akan

timbul reaksi kimia antara semen dan air. Reaksi ini menghasilkan macam-

macam senyawa kimia yang menyebabkan ikatan dan pengerasan. Ada empat

macam yang paling penting yaitu:

1. Trikalsium Aluminate (C3A)

Senyawa ini mengalami hidrasi sangat cepat disertai pelepasan sejumlah

besar panas yang menyebabkan pengerasan awal tetapi kurang pengaruh terhadap

II - 3
kekuatan batas, kurang ketahanan terhadap agresi kimiawi, paling menonjol

mengalami disintegrasi oleh sulfat air tanah, dan tendensinya sangat besar untuk

retak-retak oleh perubahan volume.

2. Trikalsium Silikat (C3S)

Senyawa ini mengeras dalam beberapa jam dengan melepas sejumlah panas.

Kwantitas yang terbentuk dalam ikatan menentukan pengaruhnya terhadap

kekuatan beton pada awal umurnya terutama dalam 14 hari pertama.

3. Dicalsium Silikat (C2S)

Formasi senyawa ini berlangsung perlahan dengan pelepasan panas yang

lambat. Senyawa ini berpengaruh terhadap progres peningkatan kekuatan yang

terjadi dalam 14 sampai 28 hari dan seterusnya. Jika semen mempunyai

kandungan dicalsium silikat tinggi, maka ketahanannya terhadap agresi kimia

akan relatif tinggi dan penyusutan keringnya relatif rendah sehingga lebih awet.

4. Tetra Calcium Aluminoferrite (C4AF)

Adanya senyawa aluminoferrite kurang penting karena tidak tampak

pengaruhnya terhadap kekuatan dan sifat-sifat semen keras lainnya.

Reaksi-reaksi kimia di atas berlangsung pada formasi suatu campuran gel

dan kristal dari larutan semen dengan air dimana timbul adhesi dan daya tarik

fisik satu dengan yang lainnya dan terhadap agregat secara berangsur-angsur

saling ikat dan mengeras menghasilkan beton.

Menurut SK.SNI T-15-1990-2002, semen Portland dibagi menjadi 5 jenis

yaitu: (Mulyono,T.hal 38)

II - 4
- Tipe I, semen Portland yang dalam penggunaannya tidak memerlukan

persyaratan khusus seperti jenis lainnya. Digunakan semen tipe I.

- Tipe II, semen Portland yang dalam penggunaannya memerlukan

ketahanan terhadap sulfat dan panas hidrasi sedang.

- Tipe III, semen Portland yang dalam penggunaannya memerlukan

kekuatan awal yang tinggi dalam fase permulaan setelah pengikatan

terjadi.

- Tipe IV, semen Portland yang dalam penggunaannya memerlukan panas

hidrasi yang rendah.

- Tipe V, semen Portland yang dalam penggunaannya memerlukan

ketahanan yang tinggi terhadap sulfat.

2.1.3.2. Agregat

Komposisi agregat dalam SCC sangat perlu diperhatikan. Ukuran dan

bentuk dari agregat kasar sangat penting dalam pencapaian komposisi SCC.

Sebaiknya digunakan agregat kasar yang bulat dengan permukaan yang tidak licin

karena memiliki kecenderungan saling mengunci dalam campuran.

Terdapat beberapa eksistensi air pada agregat. Dimaksudkan eksistensi air

disini adalah kondisi dan sifat keberadaan air dalam agregat sehingga agregat

berada pada salah satu kondisi diantaranya kondisi kering mutlak, kering, SSD,
(Madjid Akkas,
dan basah. Kondisi agregat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
2008)

II - 5
- Kondisi agregat kering mutlak, yaitu agregat tidak mengandung air sama

sekali. Hal ini dapat dicapai dengan jalan mengeringkan dalam oven sampai

berat tetap.

- Agregat kering mutlak, yaitu kondisi agregat kering muka tapi tidak jenuh air

atau tidak kering dan tidak basah, tapi sebagian pori-pori terisi air dan

sebagiannya lagi tidak terisi air.

- Kondisi agregat SSD (Saturated Surface Dry), yaitu agregat kondisi kering

muka dan jenuh air untuk semua pori-porinya.

- Kondisi agregat basah, yaitu semua pori-pori agregat jenuh dengan air sampai

melewati permukaan luar agregat.

Kondisi agregat dapat berubah dari kondisi yang satu ke kondisi lainnya.

Hal ini sangat penting diperhatikan dalam pembuatan beton karena akan

berpengaruh pada jumlah air dalam campuran beton. Dalam pembuatan beton

sebaiknya digunakan agregat dengan kondisi SSD.

Berdasarkan ukurannya, agregat dibedakan menjadi agregat kasar dan

agregat halus. Batasan antara agregat halus dan agregat kasar berbeda antara

disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Meskipun demikian dapat diberikan

batasan ukuran antara agregat halus dengan agregat kasar yaitu 4,80 mm (British

Standard) atau 4,75 mm (Standar ASTM). Agregat kasar adalah batuan yang

ukuran butirnya lebih besar dari 4,80 mm ( 4,75 mm ) dan agregat halus adalah

batuan yang lebih kecil dari 4,80 mm (4,75 mm). Agregat dengan ukuran lebih

besar dari 4,80mm dibagi lagi menjadi dua : yang berdiameter antara 4,80 –

II - 6
40mm disebut kerikil beton dan yang lebih dari 40mm disebut kerikil kasar.
(Made,S. & Lusman,2011)

Agregat yang digunakan dalam campuran beton biasanya berukuran lebih

kecil dari 40mm. Dan untuk penelitian ini digunakan ukuran agregat kasar yaitu

20mm. Agregat yang ukurannya lebih besar dari 40mm digunakan untuk

pekerjaan sipil lainnya, misalnya untuk pekerjaan jalan, tanggul-tanggul penahan

tanah, bendungan, dan lainnya. Agregat halus biasa dinamakan pasir dan agregat

kasar dinamakan dengan kerikil, split, atau batu pecah. (Mulyono,T.hal 65)

Agregat halus berfungsi sebagai pengisi dalam beton. Modulus halus butir

(MHB) dipakai untuk mengukur kehalusan atau kekasaran butir-butir agregat.

Semakin besar nilai MHB suatu agregat, semakin besar butiran agregatnya.

Kualitas agregat sangat berpengaruh terhadap kualitas beton. Dengan

agregat yang baik, beton dapat dikerjakan (workable), kuat, tahan lama dan

ekonomis. Pengaruh dapat dilihat pada Tabel 2.1

Tabel 2.1. Pengaruh Sifat Agregat pada Sifat Beton

Sifat Agregat Pengaruh pada Sifat Beton


Kelecakan, pengikatan, dan
Bentuk, tekstur, gradasi Beton cair
pengerasan
Sifat fisik, sifat kimia, Kekuatan, ketahanan
Beton keras
mineral (durability)
Sumber : Nugraha, P, hal43

2.1.3.3. Air

Air diperlukan pada pembuatan beton untuk memicu proses kimiawi

semen, membasahi agregat dan memberikan kemudahan dalam pekerjaan beton.

II - 7
Air yang digunakan untuk campuran beton harus bersih,tidak mengandung

minyak, asam, alkali, zat organis, dan bahan lainnya yang dapat merusak beton

dan tulangan.

Air yang diperlukan dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut:(Paul Nugraha,

2007 )

1. Ukuran agregat maksimum: diameter membesar, maka kebutuhan air menurun.

2. Bentuk butir: bentuk bulat, maka kebutuhan air menurun (batu pecah perlu

lebih banyak air).

3. Gradasi agregat: gradasi baik, maka kebutuhan air menurun untuk kelecakan

yang sama.

4. Kotoran dalam agregat: makin banyak silt, tanah liat dan lumpur, maka

kebutuhan air akan meningkat.

5. Jumlah agregat halus (dibandingkan agregat kasar): agregat halus lebih sedikit,

maka kebutuhan air menurun.

Namun dalam penggunaannya, jumlah air yang digunakan haruslah tetap

dikontrol dengan baik. Semakin tinggi mutu beton yang dibutuhkan nilai faktor

ais semen (fas) semakin rendah, sedangkan dilain pihak untuk menambah

workability diperlukan faktor air semen yang tinggi.

2.1.3.4. Superplasticizer

Superplasticizer berfungsi untuk mengurangi jumlah air pencampur yang

diperlukan untuk menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu. Bilamana

ditambahkan pada beton, superplasticizer mempunyai pengaruh dalam

II - 8
meningkatkan workabilitas beton sampai pada tingkat yang cukup besar dan juga

dapat meningkatkan kekuatan beton karena penggunaan air yang sedikit.

Pada dasarnya superplasticizer digunakan untuk menghasilkan beton

mengalir dan umumnya terjadi pada beton dengan jumlah air yang besar. Pada

alternatif lain, bahan ini digunakan untuk meningkatkan kekuatan beton, karena

memungkinkan pengurangan kadar air guna mempertahankan workabilitas yang

sama.

Superpalsticizer merupakan jenis bahan tambah baru yang dapat disebut

sebagai “bahan tambah kimia pengurang air”, yang terdiri atas beberapa jenis,

yaitu : (Nugraha P. hal 91)

1. Kondensasi sulphonate melamine formaldehyde condensates (SMFC)

2. Sulphonate naphthalene formaldehyde condensates (SNFC)

3. Polycarboxylate ethers (PCE)

Ketiga jenis bahan tambahan ini terbuat dari sulfonat organik dan disebut

superplasticizer karena bahan ini dapat mengurangi air pada campuran beton

sementara slump beton bertambah sampai 8 in (208 mm) atau lebih.

Karena sifat “mengalir” yang diberikan oleh superplasticizer pada beton,

maka bahan ini berguna untuk pencetakan beton di tempat-tempat yang sulit

seperti tempat yang terdapat penulangan yang padat. Superplasticizer tidak akan

menjadikan “encer” semua campuran beton dengan sempurna, oleh karenanya

campuran harus direncanakan untuk disesuaikan. Pengaruh yang penting adalah

jumlah dari butiran-butiran halus (semen dan pasir yang ukuran partikelnya

kurang dari 300 µm). (Murdock,J.L. hal 93-94)

II - 9
2.1.4. Styrofoam sebagai Bahan Tambah Beton

Menurut Dharmagiri, styrofoam merupakan bahan yang baik ditinjau dari

segi mekanis maupun suhu, namun bersifat agak rapuh maupun lunak pada suhu

dibawah 100°C . Styrofoam ini memiliki kuat tarik sampai 40 MN/m2, modulus

lentur sampai 3 GN/m2, modulus geser sampai 0,99 GN/m2 , angka poisson 0,33.

Jika dibentuk granular styrofoam atau expanded polystyrene maka berat

satuannya menjadi sangat kecil, yaitu berkisar antar 13-16 kg/m3. Penggunaan

styrofoam pada beton dapat dianggap sebagai rongga udara. Namun keuntungan

menggunakan styrofoam dibandingkan rongga udara dalam beton berongga adalah

styrofoam mempunyai kekuatan tarik. Dengan demikian selain membuat beton

menjadi ringan, dapat juga bekerja sebagai serat yang meningkatkan kekuatan

beton. Kerapatan atau berat jenis beton dengan campuran styrofoam dapat diatur

dengan mengontrol jumlah campuran styrofoam dalam beton. (Dharmagiri,LB,dkk,2008)

2.2. Baja Tulangan

Salah satu kelemahan beton terlihat dari kemampuan menahan tarik yang

lemah. Dalam setiap konstruksi sipil, untuk dapat menahan beban tertentu tanpa

mengalami keruntuhan di daerah tariknya, beton diberi perkuatan dengan tulangan

baja.

Baja tulangan beton terdiri dari batang, kawat, dan jaring kawat baja las.

Yang terpenting dalam baja tulangan adalah sebagai berikut: (G.Nawy, 1998)

1. Modulus Young, Es

2. Kekuatan leleh, fy

II - 10
3. Kekuatan batas, fu

4. Mutu baja yang ditentukan

5. Ukuran atau diameter batang atau kawat

Selain baja polos juga dapat digunakan baja ulir (deformasi), yaitu batang

tulangan baja yang permukaannya dikasarkan secara khusus, diberi sirip teratur

dengan pola tertentu atau batang tulangan yang dipilin pada proses produksinya.

Kekuatan bending dan fatigue tulangan tergantung pada keberadaan geometri atau

bentuk ulir tulangan. Efek takikkan (notch effect) ulir tulangan akan mereduksi

kekuatan bending dan fatigue tulangan.

Gambar 2.1. Diagram tegangan regangan hasil uji tarik (sumber:Ir.Oentoeng, 1999)

II - 11
Gambar 2.2. Diagram tegangan regangan hasil uji tarik yang diarsir pada Gambar
2.1 (sumber:Ir.Oentoeng, 1999)

Gambar 2.1 merupakan diagram tegangan regangan carbon steel A36 dari

batang yang ditarik aksial sampai batang patah. Gambar 2.2 merupakan

pembesaran kurva tegangan regangan yang diarsir pada gambar 2.1. Pada gambar

tampak batang ditarik sampai mencapai yield point (titik leleh) yaitu sebesar 36

ksi. Sebelum mencapai titik leleh batang berada dalam fase elastis. Setelah

mencapai titik leleh, tegangan tidak berubah besarnya tetapi regangannya

bertambah sampai mencapai st = 0,014. Fase ini merupakan fase plastis.

Tegangan 0-36 ksi merupakan garis lurus dengan kemiringan:

E = tg  = stress / strain = konstan = 2900 ksi  2050000 kg/cm2

E disebut modulus elastic atau Modulus Young. Pada Bj 37 E = 2100000 kg/cm2

sehinggan A36 dan Bj 37 dianggap sama. Setelah regangan mencapai 0,014,

tegangan dan regangan meningkat kembali dan mencapai tegangan maksimum

yang disebut tegangan ultimit (kuat tarik baja). Fase ini disebut pergeseran

II - 12
regangan (strain hardening). Setelah melampaui titiktegangan ultimit penampang

baja mengalami penyempitan (necking) yang mengakibatkan tegangan menurun

dan akhirnya baja putus. Fase ini disebut pelunakan regangan (strain softening).

Regangan, tegangan leleh dan tegangan ultimit pada pengujian kuat tarik

baja berbeda-beda tergantung mutu bajanya. Pada tabel 2.2 ditunjukkan nilai

tegangan ultimit, tegangan leleh, dan peregangan minimum berbagai jenis baja.

Tabel 2.2. Sifat mekanis baja struktural

Jenis Baja Tegangan putus Tegangan leleh Peregangan


minimum, fu minimum, fy minimum
(Mpa) (Mpa) (%)
BJ 34 340 210 22
BJ 37 370 240 20
BJ 41 410 250 18
BJ 50 500 290 16
BJ 55 550 410 13
Sumber : SNI 03 – 1729 – 2002

Lekatan adalah kunci untuk mengoptimalisasikan gaya tulangan. Geometri

(bentuk) permukaan tulangan berpengaruh terhadap sifat lekatan dan menentukan

kuat lekat. Lekat geser hanya dapat diperoleh dengan mengoptimalisasikan ulir

tulangan. Aspek parameter yang paling penting dalam lekatan adalah tinggi dan

spasi antar ulir tulangan, suatu koefisien yang akan diperoleh bila kedua

parameter tersebut dikombinasikan yang biasa disebut dengan relative rib area

(fR) didefinisikan sebagai perbandingan antara luas ulir tulangan dan luas
(Federation Internationale du
sekeliling tulangan. FR dapat diketahui melalui persamaan:
Beton, 1999 dalam Made,S. & Lusman, 2011)

II - 13
fR = γ.h s / cs (1)

(sumber: Federation Internaionale du Beton (fib), 1999 dalam Made,S. & Lusman,2011)

Dimana: γ = bentuk ulir tulangan (biasanya 0.5)

hs = tinggi maksimum ulir tulangan

cs = jarak antara ulir tulangan

Tabel 2.3. Nilai Persyaratan Minimum fR Menurut prEN 10080 dan ENV 10080.

Diameter nominal D (mm) FR


5-6 0.039
6.5-8.5 0.045
9-10.5 0.052
11-40 0.056
(Sumber: Federation Internationale du Beton (fib), Concrete Structure, 1999 dalam Made,S. & Lusman,2011).

2.3. Sengkang Spiral

D
Dk

Spiral
reinforcement

Pitch, p Cover

Spiral stirrup

Diameter

Gambar 2.3. Detail sengkang spiral. (Sumber: M.ghoneim & Mah. El-mihilmy, Foto-Design of
Reinforced Concrete Structures, 2006 dalam Made,S. & Lusman,2011.)

Menurut Nawy, 1998 tipe lain dari tulangan lateral adalah tulangan spiral

atau helical lateral. Tulangan spiral tersebut berguna dalam meningkatkan

daktalitas beton. Beton yang berada di luar efek kekangan dari kolom tulangan

spiral akan mengalami spalling yang tidak wajar dan secara tiba-tiba terjadi gaya

II - 14
lateral seperti gaya gempa. Oleh karena itu, spasi dan ukuran tulangan spiral di

desain untuk mempertahankan beban yang selain beban sendiri kolom. Jarak

antara tulangan spiral dibatasi pada range 1 sampai 3 inch (25.4 – 76.2 mm)

Kemampuan confinement beton untuk menahan beban diakibatkan oleh

penambahan tekanan lateral pada core (inti) beton dengan memperbanyak jumlah

lilitan spiral beton. Seperti pada Gambar 2.4. Jadi, sengkang spiral didesain untuk

meningkatkan kemampuan core beton.(M.ghoneim & Mah. El-mihilmy, 2006 dalam Made,S. &

Lusman,2011)

2.4. Sifat Tegangan Lekat (Bond Strenght)

Kuat lekat merupakan kombinasi kemampuan antara baja tulangan dan

beton yang menyelimutinya dalam menahan gaya-gaya yang dapat menyebabkan

lepasnya lekatan antara baja tulangan dan beton (Winter, 1993 dalam Panggoa,V.,2011) . Salah

satu anggapan dasar yang digunakan dalam perencanaan dan analisis struktur

beton bertulang adalah lekatan batang tulangan baja dengan beton yang

mengelilinginya berlangsung sempurna tanpa terjadi penggelinciran atau

pergeseran. Berdasarkan atas anggapan tersebut pada waktu komponen struktur

beton bertulang bekerja menahan beban akan timbul tegangan lekat berupa shear

interlock pada permukaan singgung antara batang tulangan dengan beton. (Istimawan
Dipohusado, 1994)

Menurut Nawy (1998), kuat lekat antara baja tulangan dan beton yang

membungkusnya dipengaruhi oleh faktor:

II - 15
1. Adhesi antara elemen beton dan bahan penguatnya yaitu tulangan baja.

Dimana adhesi ini adalah gaya tari- menarik (ikatan kimiawi) yang terbentuk

pada seluruh bidang kontak antara beton dan tulangan akibat adanya proses

reaksi pergeseran semen.

2. Efek gripping (memegang) sebagai akibat dari susut pengeringan beton

disekeliling tulangan.

3. Tahanan Geser (friksi) terhadap gelincir dan saling “mengunci” pada saat

elemen tulangan mengalami tarik. Mekanisme ini terbentuk karena adanya

permukaan yang tidak beraturan pada bidang kontak antara tulangan dengan

beton.

4. Efek kualitas beton termasuk kekuatan tarik dan tekannya. Akibat desakan

oleh tegangan radial, beton mengalami tegangan tarik keliling, jika tegangan

tarik beton terlampaui maka akan terjadi retak belah.

5. Efek mekanis penjangkaran ujung tulangan yaitu dengan panjang

penyaluran/panjang lewatan, bengkokan tulangan,dan persilangan tulangan.

6. Diameter, bentuk, dan jarak tulangan karena semuanya mempengaruhi

pertumbuhan retak. Terutama terhadap pertumbuhan retak radial. Diameter

yang terlalu kecil akan mengakibatkan keruntuhan putus pada tulangan karena

kuat lekatnya terlalu jauh lebih tinggi dari pada kuat putus baja. Sedangkan

diameter yang terlalu besar akan mengakibatkan keruntuhan slip, karena kuat

tarik baja lebih besar dari kuat lekatnya sehingga akan terjadi slip yang

didahului oleh retak belah yang sangat cepat.

II - 16
Kontribusi masing-masing faktor ini sulit dipisahkan satu dengan yang

lainnya. Kontribusi beton dengan adanya faktor saling geser, susut dan mutu

beton ditambah dengan kontribusi tulangan baja yang bergantung pada dimensi,

bentuk dan jarak tulangan ditambah dengan efek mekanis saling berinteraksi satu

dengan yang lainnya dalam memberikan kekuatan lekatan kedua material.

Untuk memperoleh nilai tegangan lekat rata-rata, maka digunakan rumus:

µ= P (2)
π . D . ld
(sumber:Edward G. Nawy, Reinforced Concrete, 2009.)

Dimana: µ = Tegangan Lekat Rata-rata (MPa)

P = Beban Maksimum (N)

D = Diameter Tulangan (mm)

ld = Panjang Penyaluran (mm)

2.5. Mekanisme Transfer Lekatan

Pada lekatan tulangan polos, setelah melewati lekatan adhesive, di tahap

kedua transfer gaya yang terjadi disebabkan oleh friksi antara tulangan dan beton.

Huang, Z. Engstrom, dan B. Magnusson dalam Panggoa,V.,2011 mengatakan

bahwa pada pembebanan tertentu dimana tulangan polos mencapai tegangan lelah,

adhesive dan friksi dapat hilang dengan cepat, hal ini disebabkan karena adanya

pengecilan diameter (pengaruh poisson's ratio). Tulangan polos umumnya tidak

dianjurkan untuk digunakan sebagai tulangan pokok. Tulangan pokok dianjurkan

menggunakan tulangan ulir.

II - 17
Pada tulangan ulir (ribbed bar) mekanisme lekatan terjadi beberapa tahap

yang dapat dilihat pada Gambar 2.5. Pada tahap pertama yang terjadi adalah

lekatan adhesive,dimana gaya adhesive ini merupakan kemampuan awal tulangan

melawan beton. Tegangan yang terjadi masih sangat kecil. Setelah terjadi

peningkatan nilai tegangan lekat yang lebih tinggi, mulai terjadi retak cone shape

dan terjadi lekatan friksi dan iterlocking, Pada tahap kedua ini, terjadi

displacement pada tulangan di dalam beton (slip) dimana terjadi interlocking dan

menghasilkan retak radial pada beton. Gaya tahanan yang terjadi disepanjang

tulangan ini biasanya disebut dengan tegangan lekat atau gaya lekat. Pada tahap

ketiga, diawali dengan retak radial. Pada tahap ini tegangan lekat dan

kekakuannya di tahan oleh ulir tulangan di sepanjang panjang penyaluran di

dalam matriks beton. Akhir dari tahap keempat terjadi dua bentuk kegagalan

lekatan. Dapat di lihat pada Gambar 2.5.


BOND STRESSES 

Stage IV

Stage III
II

Stage I SLIP



Gambar 2.4. Mekanisme Transfer Lekatan Tulangan Ulir Pull Out Test. (sumber: fib,
reinforced concrete, 199 dalam Made,S. & Lusman,2011)

force component on concrete


force component on bar
pulled rebar
resulting forces on concrete
internal crack Sliding plane

(a) (b)
Gambar 2.5. Deformasi disekitar tulangan. (a). splitting bond failure (b). pull-out
bond failure. (sumber: fib, reinforced concrete, 1999 dalam Made,S. & Lusman,2011)

II - 18
2.6. Sifat –Sifat Keruntuhan Lekatan

Keruntuhan lekatan antara beton dan tulangan pada pengujian tegangan

lekat, pada umumnya ditunjukkan oleh terjadinya salah satu dari berikut ini :
(Mindess,S.,1994 dalam Panggoa,V.,2011)

1) Splitting failure

Kondisi ini ditunjukkan adanya retak pada beton akibat tegangan tarik yang

tidak bisa ditahan oleh cover beton, keruntuhan ini mengakibatkan menurunnya

tegangan lekat antara beton dan tulangan.

2) Pull out failure (slip)

Merupakan suatu kondisi keruntuhan dimana besi tulangan tercabut dari dalam

beton tanpa mengalami retak yang diakibatkan oleh komponen tegangan geser

yang memecahkan beton diantara uliran tulangan

3) Keruntuhan tarik beton

Merupakan suatu kondisi dimana penampang beton tidak mampu menerima

tegangan tarik yang disalurkan oleh tulangan.

4) Tulangan mencapai leleh dan akhirnya putus.

Kuat lekatan jauh lebih besar dari pada kuat putus tulangan, sehingga tulangan

putus.

2.7. Panjang Penyaluran Dasar

Panjang penyaluran dasar ld merupakan suatu fungsi dari ukuran (dimensi)

dan tegangan leleh tulangan yang sangat menentukan ketahanan tulangan untuk

terjadinya slip. Kuat lekat beton µ adalah suatu fungsi dari kuat tekan beton.

II - 19
Berdasarkan SNI-03-2847-2002, panjang penyaluran ld, dinyatakan dalam

diameter db untuk batang ulir dan kawat ulir dalam kondisi tarik, harus ditentukan

berdasarkan ld/db, dapat dilihat pada Tabel 2.4, dan tidak boleh kurang dari

300mm.

Tabel 2.4. Panjang Penyaluran Tulangan Ulir

(Sumber: SNI-03-2847-2002, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung, 2002)

Berdasarkan tabel diambil persamaan

(3)

(Sumber: SNI-03-2847-2002, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung, 2002)

Dimana : ld = panjang penyaluran dasar (mm)

db = diameter tulangan (mm)

fy = tegangan leleh tulangan baja (MPa)

f’c = kuat tekan beton (Mpa)

II - 20
α, β, dan λ = koefisien

Nilai α, β, dan λ dapat diketahui dari tabel 2.5. Digunakan faktor lokasi

penulangan (α) sebesar 1.0 , faktor pelapis (β) sebesar 1.0 , dan faktor beton

agregat ringan (λ) sebesar 1.0 untuk SCC dan sebesar 1.3 untuk beton SCC-

Styrofoam

Tabel 2.4. Faktor-faktor yang digunakan pada persamaan-persamaan untuk

penyaluran batang ulir

(Sumber: SNI-03-2847-2002, Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung, 2002)

II - 21
2.8. Kuat Tekan Beton

Kuat tekan beton diwakili oleh perbandingan kuat tekan maksimum

dengan luas tampang silinder beton dengan satuan N/mm2. Kuat tekan beton

ditentukan oleh perbandingan semen, agregat halus, agregat kasar, air dan

berbagai campuran lainnya. Perbandingan air terhadap semen merupakan faktor

utama dalam menentukan kuat tekan beton.

Besarnya kuat tekan beton dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain:

a. Jenis semen dan kualitasnya, mempengaruhi kuat tekan rata-rata dan kuat batas

beton.

b. Jenis dan tekstur bidang permukaan agregat.

c. Perawatan beton harus diperhatikan, sebab kehilangan kekuatan akibat

pengeringan sebelum waktunya adalah sekitar 40%.

d. Suhu mempengaruhi kecepatan pengerasan

e. Umur, pada keadaan normal kekuatan beton bertambah dengan umurnya.

Kecepatan bertambahnya kekuatan, bergantung pada jenis semen yang

digunakan, misal semen dengan alumina yang tinggi akan menghasilkan beton

dengan kuat hancur pada umur 24 jam sama dengan semen portland biasa

umur 28 hari. Pengerasan berlangsung terus seiring dengan pertambahan umur

beton.

Rumus untuk mencari nilai kuat tekan beton yaitu :


P
Kuat Tekan Beton = (kg/cm2) (5)
A
Dimana : P = Beban maksimum (kg)

A = Luas bidang tekan (cm2)

II - 22

Anda mungkin juga menyukai