Anda di halaman 1dari 37

1

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II


POLIOMIELITUS

Disusun Oleh :

Kelompok 8

1. Lia Noveli (172426016 DP)


2. Lorenza Ferina Putri B (172426017 DP)

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS DEHASEN BENGKULU
T.A 2018/2019
2

TINJAUAN PUSTAKA
1. KONSEP DASAR TEORI POLIOMIELITUS ............................ 1
A. Definisi ......................................................................................... 1
B. Insiden ........................................................................................... 1
C. Etiologi .......................................................................................... 2
D. Faktor Resiko ................................................................................ 3
E. Anatomi Fisiologi .......................................................................... 3
F. Patofisiologi ................................................................................... 5
G.WOC/Pathway ............................................................................... 6
H. Gejala dan penyebab ..................................................................... 7
I. Klasifikasi ...................................................................................... 7
J. Tes Diagnosis ................................................................................. 10
K.Penanganan .................................................................................... 11
L. Pencegahan .................................................................................... 12
M.Rehabilitasi .................................................................................... 13
N.Program rehabilitasi medik ........................................................... 14
O.Komplikasi...................................................................................... 16
2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN........................................... 17
A.Pengertian asuhan Keperawatan ................................................... 17
B.Tujuan dan Manfaat asuhan Keperawatan .................................... 17
C.Tahap Asuhan Keperwatan ............................................................ 19
a. Pengkajian ............................................................................... 19
b. Pemerikasaan Fisik ................................................................... 20
c Analisi data .............................................................................. 28
d. Diagnosa ................................................................................... 29
E. Intervensi .................................................................................. 30
3

TINJAUAN PUSTAKA

KONSEP DASAR TEORI POLIOMIELITUS

A. Definisi

Poliomyelitis merupakan penyakit virus dengan penularan cepat


dan mengenai sel anterior masa kelabu medulla spinalis dan inti
motorik batang otak dan akibat kerusakkan tersebut terjadi
kelumpuhan dan atrofi otot (Cheng,2010).
Terdapat banyak terminologi untuk poliomyelitis, antara lain :
Poliomyelitis Anterior Akuta, Infantile Paralysis, Penyakit Heine dan
Medin. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia dengan beraneka ragam
gambaran epidemiologis dan klinis. Dan telah diketahui sejak akhir
abad XVIII. Di Indonesia penyakit ini sering dihubungkan dengan
akibat salah suntikan (Ghafoor & Sheikh, 2016).
Poliomyelitis terutama menyerang pada anak di bawah 5 tahun.
Pencegahan penyakit ini sangat penting, oleh karena belum ada obat
yang efektif terhadap penyakit ini. Namun, akhir-akhir ini dengan
begitu agresifnya program vaksinasi di seluruh dunia, tampak bahwa
insiden penyakit ini sudah menurun dengan sangat drastic, bahkan 10
tahun terkhir ini sangat jarang dijumpai terutama di Indonesia
(KESMAS, 2016).
B. Insiden

Di dunia kasus infeksi dari 1 per 200-2000 kasus tergantung


pada jenis serotype virus. Tingkat fatality biasanya dari 5 hingga 10%
dalam kasus-kasus lumpuh. World Health Organization (WHO) 27
tahun yang lalu telah mencapai keberhasilan luar biasa dalam
mengurangi jumlah polio di negara-negara endemik, dari 125 negara
di penjuru dunia hanya ada 3 negara termasuk Pakistan, Afghanistan,
dan Nigeria, dimana Wild Polio Virus (WPV) transmisinya belum
terputus walaupun angka kasus terjadinya polio telah turun dibawah
4

angka 99% dibandingkan dengan 350.000 kasus baru per tahun


kemudian (Ghafoor & Sheikh, 2016).

Rekapitulasi pelaksanaan PIN Polio 2016 tiap-tiap provinsi,


adalah: 1. D.I. Aceh (76,24%); 2. Sumatera Utara (83,57%); 3.
Sumatera Barat (68,61%); 4. Bangka Belitung (83,08%); 5. Jambi
(84,30%); 6. Kep. Riau (63,03%); 7. Riau (68,75%); 8. Bengkulu
(37,11%); 9. Sumatera Selatan (90,14%); 10. Lampung (92,73%); 11.
DKI Jakarta (54,68%); 12. Jawa Barat (88,27%); 13. Jawa Tengah
(74,70%); 14. Jawa Timur (79,7%); 15. Banten (62,29%); 16. NTB
(94,85%); 17. NTT (56,91%); 18. Kalimantan Barat (69,12%); 19.
Kalimantan Selatan (64,02%); 20. Kalimantan Tengah (70,65%); 21.
Kalimantan Timur (79,05%); 22. Kalimantan Utara (68,60%); 23.
Sulawesi Barat (57,50%); 24. Sulawesi Selatan (74,96%); 25.
Sulawesi Utara (64,37%); 26. Sulawesi Tenggara (54,98%); 27.
Sulawesi Tengah (69,88%); 28. Gorontalo (78,26%); 29. Maluku
(50,05%); 30. Maluku Utara (52,33%); 31. Papua (17,82%); 32. Papua
Barat (73,58%); 33. Bali (belum melaksanakan PIN Polio); 34. D.I.
Yogyakarta (tidak melaksanakan PIN polio oral) (Depkes RI, 2016).

C. Etiologi

Penyebab polio adalah virus polio.Virus polio merupakan RNA


virus dan termasuk famili Picornavirus dari genus Enterovirus. Virus
polio adalah virus kecil dengan diameter 20-32 nm, berbentuk spheris
dengan struktur utamanya RNA yang terdiri dari 7.433 nukleotida,
tahan pada pH 3-10, sehingga dapat tahan terhadap asam lambung dan
empedu. Virus tidak akan rusak dalam beberapa hari pada temperatur
20 – 80 C, tahan terhadap gliserol, eter, fenol 1% dan bermacam-
macam detergen, tetapi mati pada suhu 500 – 550 C selama 30 menit,
bahan oksidator, formalin, klorin dan sinar ultraviolet. Selain itu,
penyakit ini mudah berjangkit di lingkungan dengan sanitasi yang
5

buruk, melalui peralatan makan, bahkan melalui ludah (Depkes RI,


2016).

Secara serologi virus polio dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:

1. Tipe I Brunhilde
2. Tipe II Lansing dan
3. Tipe III Leoninya

Tipe I yang paling sering menimbulkan epidemi yang luas dan


ganas, tipe II kadang-kadang menyebabkan wajah yang sporadic
sedang tipe III menyebabkan epidemic ringan. Di Negara tropis dan
sub tropis kebanyakkan disebabkan oleh tipe II dan III dan virus ini
tidak menimbulkan imunitas silang. Penularan virus terjadi melalui

1. Secara langsung dari orang ke orang


2. Melalui tinja penderita
3. Melalui percikan ludah penderita

Virus masuk melalui mulut dan hidung,berkembang biak


didalam tenggorokan dan saluran pencernaan,lalu diserap dan
disebarkan melalui system pembuluh darah dan getah
bening(Riskesdas, 2013).

D. Faktor Resiko

Menurut Cheng (2010) beberapa faktor resiko poliomyelitis :

1. Berpergian kedaerah yang masih sering ditemukan polio


2. Usia sangat muda dan usia lanjut
3. Stres atau kelehahan fisik yang luar biasa(karena stress emosi dan
fisik dapat melemahkan system kekebalan tubuh).

G. WOC/Pathway
6

virus poliomyelitis pusat


pengaturan suhu

hipetermi

melalui mulut (berupa makan dan air)

kerongkongan

menginfeksi
saluran usus
(berkembang biak)

Menyerang System saraf pusat menyerang sel-sel saraf otot

Aliran darah
melemahkan otot Saluran pernapasan

kelumpuhan Sesak napas (pola nafas tidak efektif)

fisik

hambatan mobilitas

ansietas (cemas
7

E Anatomi Fisiologi

Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel


penyokong (neuroglia dan Sel Schwann). Kedua sel tersebut demikian
erat berikatan dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama
berfungsi sebagai satu unit. Sistem saraf dibagi menjadi sistem saraf
pusat (SSP) dan sistem saraf tepi. Sistem saraf pusat terdiri dari otak
dan medula spinalis. Sistem saraf tepi terdiri dari neuron aferen dan
eferen sistem saraf somatis dan neuron sistem saraf autonom (viseral).
Otak dibagi menjadi telensefalon, diensefalon, mesensefalon,
metensefalon, dan mielensefalon. Medula spinalis merupakan suatu
struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari medula oblongata
melalui foramen magnum dan terus ke bawah melalui kolumna
vertebralis sampai setinggi vertebra lumbal 1-2. Secara anatomis
sistem saraf tepi dibagi menjadi 31 pasang saraf spinal dan 12 pasang
saraf kranial. Suplai darah pada sistem saraf pusat dijamin oleh dua
pasang arteria yaitu arteria vertebralis dan arteria karotis interna, yang
cabang-cabangnya akan beranastomose membentuk sirkulus arteriosus
serebri Wilisi. Aliran venanya melalui sinus dura matris dan kembali
ke sirkulasi umum melalui vena jugularis interna (Wikipedia, 2012).

Membran plasma dan selubung sel membentuk membran


semipermeabel yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui
membran ini, tetapi menghambat ion lainnya. Dalam keadaan istirahat
(keadaan tidak terstimulasi), ion-ion K+ berdifusi dari sitoplasma
menuju cairan jaringan melalui membran plasma. Permeabilitas
membran terhadap ion K+ jauh lebih besar daripada permeabilitas
terhadap Na+ sehingga aliran keluar (efluks) pasif ion K+ jauh lebih
besar daripada aliran masuk (influks) Na+. Keadaan ini
memngakibatkan perbedaan potensial tetap sekitar -80mV yang dapat
8

diukur di sepanjang membran plasma karena bagian dalam membran


lebih negatif daripada bagian luar. Potensial ini dikenal sebagai
potensial istirahat (resting potential) (Wikipedia, 2012).

Bila sel saraf dirangsang oleh listrik, mekanik, atau zat kimia,
terjadi perubahan yang cepat pada permeabilitas membran terhadap
ion Na+ dan ion Na+ berdifusi melalui membran plasma dari jaringan
ke sitoplasma. Keadaan tersebut menyebabkan membran mengalami
depolarisasi. Influks cepat ion Na+ yang diikuti oleh perubahan
polaritas disebut potensial aksi, besarnya sekitar +40mV. Potensial
aksi ini sangat singkat karena hanya berlangsung selama sekitar
5msec. Peningkatan permeabilitas membran terhadap ion Na+ segera
menghilang dan diikuti oleh peningkatan permeabilitas terhadap ion
K+ sehingga ion K+ mulai mengalir dari sitoplasma sel dan
mengmbalikan potensial area sel setempat ke potensial istirahat.
Potensial aksi akan menyebar dan dihantarkan sebagai impuls saraf.
Begitu impuls menyebar di daerah plasma membran tertentu potensial
aksi lain tidak dapat segera dibangkitkan. Durasi keadaan yang tidak
dapat dirangsang ini disebut periode refrakter. Stimulus inhibisi
diperkirakan menimbulkan efek dengan menyebabkan influks ion Cl-
melalui membran plasma ke dalam neuron sehingga menimbulkan
hiperpolarisasi dan mengurangi eksitasi sel (Wikipedia, 2012).

F. Patofisiologi

Virus polio masuk melalui mulut dan hidung,berkembang biak


di dalam tenggorokkan dan saluran pencernaan,diserap dan di
sebarkan melalui sistem pembuluh darah dan getah bening.virus ini
dapat memasuki aliran darah dan dan mengalir ke sistem saraf pusat
menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan (paralisis)
(Hashemi, et al., 2014).
9

Virus hanya menyerang sel-sel dan daerah susunanan syaraf


tertentu.tidak semua neuron yang terkena mengalami kerusakan yang
sama dan bila ringan sekali dapat terjadi penyembuhan fungsi neuron
dalam 3-4 minggu sesudah timbul gejala.Daerah yang biasanya
terkena poliomyelitis ialah:medula spinalis terutama kornu
anterior,batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf
cranial serta formasio retikularis yang mengandung pusat
vital,sereblum terutama inti-inti vermis,otak tengah “midbrain”
terutama masa kelabu substansi nigra dan kadang-kadang nucleus
rubr. (Hashemi, et al., 2014).

H. Gejala dan penyebab

Polio disebabkan oleh salah satu dari tiga jenis virus polio, yang
merupakan bagian dari genus Enterovirus.

Pada sekitar 95% dari semua kasus polio, penderita tidak


memiliki gejala sama sekali. Dikenal sebagai kasus tanpa gejala. Sisa
kasus polio dapat dibagi menjadi tiga jenis: polio gagal, polio non-
paralitik, dan polio paralitik.

Gagal polio: Dalam kasus ini, polio adalah penyakit ringan,


dengan gejala virus-seperti demam, kelelahan, sakit kepala, sakit
tenggorokan, mual, dan diare.

Non-paralitik polio: Kasus-kasus ini biasanya melibatkan gejala


polio gagal, dengan gejala-gejala neurologis tambahan, seperti
sensitivitas terhadap cahaya dan kekakuan pada leher.

Polio paralitik: Tanda-tanda pertama dari Polio paralitik, setelah


periode awal gejala serangan seperti virus, biasanya dimulai dengan
hilangnya refleks superfisial dan nyeri otot atau kejang. Kelumpuhan,
biasanya asimetris, mengikuti kemudian. Kurang dari 1% -2% dari
orang yang terkena polio menjadi lumpuh. Dalam kebanyakan kasus
10

polio paralitik, pasien pulih sepenuhnya. Namun, untuk sejumlah


orang, kelumpuhan atau kelemahan otot menjadi seumur hidup
(Wikipedia, 2012).

I. Klasifikasi

Menurut (Wikipedia, 2012) klasifikasi Poliomielitis dapat berupa :

1. Asimtomatis (silent infection),

2. Poliomyelitis abortif,

3. Poliomyelitis non-paralitik

4. Poliomyelitis paralitik

1. 1. Asimtomatis (silent infection),

Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka
tidak terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemic
diperkirakan terdapat pada 90%-95% penduduk dan
menyebabkan imunitas terhadap virus tersebut.

2. Poliomyelitis abortif

Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemic.


Terutama yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis
yang jelas. Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu
epidemic. Timbul mendadak,berlangsung beberapa jam sampai
beberapa hari.

Gejala berupa infeksi virus,seperti :

Malaise,anoreksi, nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok,


konstipasi dan nyeri abdomen.
11

3. Poliomyelitis non-paralitik

Gejala klinik sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri


kepala,nausea dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-
2 hari,kadang-kadang diikuti penyembuhan sementara untuk
kemudian remisi demam atau masuk dalam fase kedua dengan
nyeri otot.

Khas untuk penyakit ini ialah adanya : Adanya nyeri, kaku otot
belakang leher, tubuh dan tungkai dengan hypertonia.

Mungkin ini disebabkan oleh lesi pada batang otak, ganglion


spinal dan kolumna posterior.

4. Poliomyelitis paralitik

Gejala yang terdapat pada poliomyelitis non-paralitik disertai


kelemahan satu atau lebih kumpulan otot skelet atau kranial.
Timbul paralisis akut. Pada bayi ditemukan paralisis vesika
urinaria dan atonia usus.

Secara klinik dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan


tingginya lesi pada susunan saraf :

a) Bentuk spinal
Dengan gejala kelemahan/paralisis/paresis otot
leher,abdomen,tubuh diafragma, toraks dan terbanyak
ekstremitas bawah. Tersering otot besar,pada tungkai bawah
otot kuadriseps femoris, pada lengan otot deltoideus.
Sifat paralisis asimetris. Reflex tendon
mengurang/menghilang. Tidak terdapat gangguan
sensibilitas.
b) Bentuk bulber
Gangguan motoric satu atau lebih saraf otak dengan atau
tanpa gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi.
c) Bentuk bulbospinal
12

Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk


spinal dan bentuk bulbar.
d) Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun,
tremor dan kadang-kadang kejang.

J. Tes Diagnosis
a. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan Gangguan
musculoskeletal.
b. Hipetermi berhubungan dengan proses penyakit.
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kendali
otot.
d. Anxietas berhubungan dengan perubuhan dalam status kesehatan.

1. Riwayat penyakit:

a) Keluhan utama (poliomielitis)


b) Pertama kali dirasakan/ pernah sebelumnya
c) Mendadak, terus-menerus, perlahan-lahan, hilang timbul,
sesaat
d) Di bagian tubuh mana atau Keluhan lokal: lokasi, menetap,
pindah-pindah, menyebar
e) Pengobatan sebelumnya dan hasilnya (macam obat dll)
f) Riwayat imunisasi (lengkap atau tidak).

2. Riwayat Pekerjaan

a) Hobi/kebiasaan

3. Riwayat Alergi

a) Apakah ada alergi makanan


b) Apakah pasien ada alergi obat

4. Riwayat Keluarga

a) Apakah ada anggota keluarga mengalami keluhan yang sama


b) Apakah ada tetangga mengalami keluhan yang sama

5. Riwayat Penyakit

a) Apakah penyakit dahulu yang mungkin berulang


13

b) Penyakit lain yang ada hubungannya dengan penyakit


sekarang

K. Penanganan

Poliomyelitis Abortif (Riskesdas, 2013).

a. Cukup diberikan analgetika dan sedatifa, untuk mengurangi


mialgia atau nyeri kepala,
b. Diet yang adekuat dan
c. Istirahat sampai suhu normal untuk beberapa hari, sebaiknya
aktivitas yang berlebihan dicegah selama 2 bulan, dan 2 bulan
kemudian diperiksa sistem neuroskeletal secara teliti untuk
mengetahui adanya kelainan.

Poliomyelitis nonparalitik(Riskesdas, 2013).

a) Sama seperti tipe abortif, Pemberian analgetik sangat efektif


b) Selain diberi analgetika dan sedatifsangat efektif. Bila diberikan
bersamaan dengan kompres hangat selama 15 – 30 menit, setiap 2
– 4 jam, dan kadang – kadang mandi air panas juga membantu

Poliomyelitis Paralitik(Riskesdas, 2013).

a. Membutuhkan perawatan di rumah sakit.


b. Istirahat total minimal 7 hari atau sedikitnya sampai fase akut
dilampaui
c. Selama fase akut kebersihan mulut dijaga
d. Perubahan posisi penderita dilakukan dengan penyangga
persendian tanpa menyentuh otot dan hindari gerakan menekuk
punggung.
14

e. Fisioterapi, dilakukan sedini mungkin sesudah fase akut, mulai


dengan latihan pasif dengan maksud untuk mencegah terjadinya
deformitas.
f. Akupunktur dilakukan sedini mungkin
g. Interferon diberikan sedinini mungkin, untuk mencegah terjadinya
paralitik progresif.

Poliomyelitis bentuk bulbar(Riskesdas, 2013).

a. Perawatan khusus terhadap paralisis palatum, seperti pemberian


makanan dalam bentuk padat atau semisolid
b. Selama fase akut dan berat, dilakukan drainase postural dengan
posisi kaki lebih tinggi (20°- 25°),Muka pada satu posisi untuk
mencegah terjadinya aspirasi, pengisapan lendir dilakukan secara
teratur dan hati – hati, kalau perlu trakeostomi.

L. Pencegahan

Cara pencegahan dapat dilalui melalui :


1. Imunisasi
2. jangan masuk daerah endemis
3. jangan melakukan tindakan endemis
Tempatkan anak yang sakit di kamar terpisah, jauh dari anak-
anak lainnya. Ibu harus mencuci tangan setiap kali menyentuhnya.
Perlindungan terbaik terhadap polio ialah dengan memberikan vaksin
polio/pemberian kekebalan.

Seorang anak yang cacat akibat polio harrus makan makanan


bergizi dan melakukan gerak badan untuk memperkuat otot-ototnya.
Selama tahun pertama, sebagian kekuatan dapat pulih kembali.
15

Bantulah anak agar belajar berjalan sebaik-baiknya, pasanglah 2


buah tiang, sebagai penyangga dan kemudian buatkan tongkat
penopang. Cegah Virus Polio dengan Vaksinasi

Hingga saat ini belum ditemukan cara pengobatan penyakit


polio. Yang paling efektif hanyalah pencegahan dengan cara
imunisasi. Kasus penyakit polio di Sukabumi, Jawa Barat,sangat
mengejutkan pemerintah dan masyarakat. Penyakit yang diakibatkan
infeksi virus ini jelas mencemaskan para orang tua yang punya anak
balita karena begitu mengerikan dampak buruk yang bisa ditimbulkan.
Sayangnya lagi, hingga saat ini belum ditemukan cara pengobatannya.
Yang paling efektif hanyalah pencegahan dengan cara imunisasi. Virus
polio (poliomyelitis) sangat menular dan tak bisa disembuhkan. Virus
ini menyerang seluruh tubuh (termasuk otot dan sistem saraf) dan bisa
menyebabkan kelemahan otot yang sifatnya permanen dan
kelumpuhan total dalam hitungan jam saja. Bahkan sekitar 10-15
persen mereka yang terkena polio akhirnya meninggal karena yang
diserang adalah otot pernapasannya (Depkes RI, 2016).

Virus polio terdiri atas 3 tipe (strain), yaitu tipe 1 (brunhilde),


tipe 2 (lanzig) dan tipe 3 (Leon). Tipe 1 seperti yang ditemukan di
Sukabumi adalah yang paling ganas (paralitogenik) dan sering
menyebabkan kejadian luar biasa atau wabah. Sedangkan tipe 2 paling
jinak (Depkes RI, 2016).

M. Rehabilitasi

Terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan, yaitu:24,25


1. Istirahat selama fase akut.
2. Penderita diisolasi selama fase akut.
3. Terapi simtomatik untuk meringankan gejala.
16

4. Dilakukan fisioterapi untuk mengurangi kontraktur, atrofi,


dan atoni otot. Otot-otot yang lumpuh harus dipertahankan pada
posisi untuk mencegah deformitas. Dua hari setelah demam
menghilang dilakukan latihan gerakan pasif dan aktif.
5. Akupunktur dapat dilakukan dengan hasil yang cukup memuaskan
6. Terapi ortopedik dilakukan bila terjadi cacat karena kontraktur dan
subluksasi akibat terkenanya otot di sekitar sendi dan lain-lain.

N. Program rehabilitasi medik

Fase akut (< 2 minggu) 6(Ghafoor & Sheikh, 2016).

Ditekankan tindakan suportif dan upaya pencegahan kerusakan sel-sel


kornu anterior medula spinalis yang permanen serta mencegah
kecacatan, yang meliputi:

 Istirahat di tempat tidur (sebaiknya dirawat di rumah sakit) dan diet


yang adekuat
 Aktivitas fisik dan trauma dihindari selama fase preparalitik
 Karena adanya demam dan nyeri otot, diberikan obat analgetik dan
kompres hangat untuk mengurangi nyeri dan spasme otot
 Posisi tidur diatur yang nyaman bagi anak dan cegah kontraktur,
kalau perlu dengan splinting. Pada awalnya otot- otot terasa nyeri,
sehingga anak menolakuntuk meluruskan tungkainya. Secara
lembut dan pelan luruskan lengan dan tungkainya sehingga anak
berbaring dalam posisi yang baik. Buat lengan, pinggul (hip, dan
tungkai selurus mungkin. Berikan penyokong pada kaki. Untuk
mengurangi nyeri, letakkan bantalan di bawah lutut.

Fase subakut (2 minggu - 2 bulan)5(Ghafoor & Sheikh, 2016).

Latihan pasif atau latihan aktif yang ringan dapat mulai diberikan.
Pada akhir fase ini, penderita bisa di latih berdiri.

Fase penyembuhan (2 bulan – 2 tahun)5(Ghafoor & Sheikh, 2016).


17

Pada fase ini dilakukan pemeriksaan

manual muscle test (MMT) pertama, untuk menentukan pemberian


jenis ortosis pada anggota gerak dengan kekuatan otot <3.

Jenis ortosis yang diberikan tergantung pada letak otot yang lemah
(MMT <3), misalnya:

- Bila kekuatan otot-otot pinggul <3, ortosis yang dipakai HKAFO


- Bila terdapat kelemahan otot-otot lutut maka yang dipakai KAFO
- Bila terdapat kelemahan otot-otot pergelangan kaki, maka yang
dipakai AFO

Evaluasi kekuatan otot (MMT) dilakukan setiap 3 bulan. Fase


penyem- buhan bisa terjadi sampai 2 tahun sehingga bila dalam kurun
waktu tersebut terdapat perbaikan kekuatan otot, maka ortosis bisa
diubah menjadi yang lebih sederhana atau bahkan ortosisnya bisa
dilepas.

Fase kronis (> 2 tahun)5(Ghafoor & Sheikh, 2016).

Bila sampai 2 tahun setelah lumpuh tidak terjadi perbaikan


kekuatan otot, maka ortosis dipakai seumur hidup untuk mencegah
komplikasi yang lain, misalnya: karena adanya perbedaan panjang
tungkai dan tanpa koreksi akan menimbulkan skoliosis, atau karena
adanya kekuatan otot pergelangan kaki yang tidak seimbang tanpa
koreksi, maka akan terjadi pes equinus.

Kadang-kadang pada fase ini memerlukan tindakan operasi


bila terdapat pemendekan otot atau kontraktur sendi yang tidak
dapat diperbaiki dengan tindakan fisioterapi maupun dengan ortosis.
Pada penderita poliomielitis selain dilakukan latihan penguatan
untuk otot-otot yang mengalami kelemahan, juga perlu dilakukan
latihan penguatan pada otot-otot yang tidak mengalami kelemahan,
18

terutama otot-ototekstremitas superior, untuk persiapan penggunaan


ortosis atau alat bantu seperti wheelchair dan crutches

O. Komplikasi

Menurut (Ghafoor & Sheikh, 2016).Komplikasi yang dapat terjadi pada


penderita poliomielitis antara lain :

1. Melena cukup berat sehingga memerlukan transfusi, yang mungkin


diakibatkan erosi usus superfisial.
2. Dilatasi lambung akut dapat terjadi mendadak selama stadium akut
atau konvalesen (dalam keadaan pemulihan kesehatan/ stadium
menuju kesembuhan setelah serangan penyakit/ masa
penyembuhan), menyebabkan gangguan respirasi lebih lanjut.
3. Hipertensi ringan yang lamanya beberapa hari atau beberapa
minggu , biasanya pada stdium akut, mungkin akibat lesi pusat
vasoregulator dalam medula.
4. Ulkus dekubitus dan emboli paru, dapat terjadi akibat berbaring
yang lama di tempat tidur, sehingga terjadi pembususkan pada
daerah yang tidak ada pergerakan (atrofi otot) sehingga terjadi
kematian sel dan jaringan)
5. Hiperkalsuria, yaitu terjadinya dekalsifikasi ( kehilangan zat kapur
dari tulang/ gigi) akibat penderita tidak dapat bergerak.
6. Kontraktur sendi,yang sering terkena kontraktur antara lain sendi
paha, lutut, dan pergelangan kaki.
7. Pemendekan anggota gerak bawah,biasanya akan tampak salah satu
tungkai lebih pendek dibandingkan tungkai yang lainnya,
disebabkan karena tungkai yang pendek mengalami antropi otot.
8. Skoliosis,tulang belakang melengkung ke salah satu sisi,
disebabkan kelumpuhan sebagian otot punggung dan juga
kebiasaan duduk atau berdiri yang salah.
9. Kelainan telapak kaki, dapat berupa kaki membengkok ke luar atau
ke dalam.
19

2. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengertian asuhan Keperawatan


Asuhan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan keperawatan
yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan meliputi
kebutuhan biologis, psikologis, sosial dan spiritual yang diberikan
langsung pada klien.
Proses keperawatan sebagai alat bagi perawat untuk
melaksanakan asuhan keperawatan yang dilakukan pada pasien
memiliki arti penting bagi kedua belah pihak yaitu perawat dan klien.
Sebagai seorang perawat proses keperawatan dapat digunakan sebagai
pedoman dalam pemecahan masalah klien, dapat menunjukkan profesi
yang memiliki profesionalitas yang tinggi, serta dapat memberikan
kebebasan pada klien untuk mendapatkan pelayanan yang cukup sesuai
dengan kebutuhannya (Aziz Alimul H, 2009)

Menurut Mahyar Suara.dkk pada tahun 2010 proses keperawatan


adalah suatu metode yang sistematis dan terorganisasi dalam pemberian
asuhan keperawatan, yang difokuskan pada reaksi dan respons untuk
individu pada suatu kelompok atau perorangan terhadap gangguan
kesehatan yang dialami, baik aktual maupun potensial. Proses
keperawatan juga dapat diartikan sebagai pendekatan yang digunakan
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, sehingga kebutuhan
dasar klien dapat terpenuhi.( Mahyar Suara,2010).
Jadi proses keperawatan merupakan cara yang dilakukan dalam
melaksanakan asuhan keperawatan dari definisi diatas jelas berbeda
antara proses dan asuhan keperawatan.

B. Tujuan dan Manfaat asuhan Keperawatan


Tujuan Asuhan Keperawatan
1. Membantu klien untuk mandiri
2. Menganjurkan klien, keluarga dan masyarakat untuk berpartisipasi
dalam bidang kesehatan
20

3. Membantuk klien mengembangkan potensi dalam memelihara


derajat kesehatan secara optimal sehingga diharapkan tidak
ketergantungan pada orang lain dalam memelihara kesehatannya.
4. Membantu klien mencapai derajat kesehatan yang optimal

Manfaat :

1. Dalam praktek klinik, memberikan serangkaian konndisi untuk


mengevaluasi mutu asuhan keperawatan dan juga merupakan alat
pengukur mutu penampilan kerja perawat yang sangat diperlukan
sebagai umpan balik dalam meningkatkan penampilan kerja
perawat.
2. Dalam administrasi pelayanan keperawatan, sangat penting dalam
perencanaan pola ketenagaan, program pengembangan staf dan
mengidentifikasi isi dari program pelatihan.
3. Dalam pendidikan keperawatan, standar sangat membantu
pendidikan keperawatan dalam merencanakan kurikulum.
4. Sebagai area riset dan penelitian keperawatan dengan temuan yang
dapat digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas
asuhan keperawatan.
5. Dalam sistem pelayanan kesehatan secara umum, perawat dapat
menggunakan standar untuk mengkomunikasikan inti asuhan
keperawatan kepada konsumen dan profesi kesehatan yang lain.

C. Tahap Asuhan Keperwatan

a. Pengkajian

1. Identitas Klien :
Nama Klien :
Alamat :
Pendidikan :
21

Pekerjaan :
Umur :
Agama :

Penanggung Jawab :
Nama :
Alamat :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Umur :
Agama :

Riwayat penyakit:

1. Keluhan utama (poliomielitis)


a) Pertama kali dirasakan/ pernah sebelumnya
b) Mendadak, terus-menerus, perlahan-lahan, hilang timbul,
sesaat
c) Di bagian tubuh mana atau Keluhan lokal: lokasi, menetap,
pindah-pindah, menyebar
d) Pengobatan sebelumnya dan hasilnya (macam obat dll)
e) Riwayat imunisasi (lengkap atau tidak).

2. Riwayat Pekerjaan

a) Hobi/kebiasaan

3. Riwayat Alergi

a) Apakah ada alergi makanan


b) Apakah pasien ada alergi obat

4. Riwayat Keluarga

a) Apakah ada anggota keluarga mengalami keluhan yang sama


b) Apakah ada tetangga mengalami keluhan yang sama

5. Riwayat Penyakit

a) Apakah penyakit dahulu yang mungkin berulang


22

b) Penyakit lain yang ada hubungannya dengan penyakit


sekarang

b. Pemerikasaan Fisik

1. Pengukuran Ttv

Posisi klien : duduk/ berbaring


Suhu tubuh (Normal : 36,5-37,5)
Tekanan darah (Normal : 120/80 mmHg) Nadi
a) Frekuensi = Normal : 60-100x/menit ; Takikardia: >100 ;
Bradikardia: <6
b) Keteraturan= Normal : teratur
c) Kekuatan= 0: Tidak ada denyutan; 1+:denyutan kurang
teraba; 2+: Denyutan mudah teraba, tak mudah lenyap; 3+:
denyutan kuat dan mudah teraba

Pernafasan
a. Frekuensi: Normal= 15-20x /menit; >20: Takipnea; <15
Bradipnea
b) Keteraturan= Normal : teratur
c) Kedalaman: dalam/dangkal
d) Penggunaan otot bantu pernafasan: Normal : tidak ada
e) setelah diadakan pemeriksaan tanda-tanda vital
evaluasi hasil yang di dapat dengan membandikan
dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat.

2. Pemeriksaan Head To Toe


23

1) Pemeriksaan Kulit
Tujuan
a) Mengetahui kondisi kulit.
b) Mengetahui perubahan oksigenasi, sirkulasi, kerusakan
jaringan setempat, dan hidrasi.
Inspeksi : kebersihan, warna, pigmentasi,lesi/perlukaan,
pucat, sianosis, dan ikterik.
Normal : kulit tidak ada ikterik/pucat/sianosis.
Palpasi : kelembapan, suhu permukaan kulit, tekstur,
ketebalan, turgor kulit, dan edema.
Normal : lembab, turgor baik/elastic, tidak ada edema.
setelah diadakan pemeriksaan kulit, evaluasi
hasil yang di dapat dengan membandikan
dengan keadaan normal, dan dokumentasikan
hasil pemeriksaan yang didapat tersebut

2) Pemeriksaan Rambut
Tujuan : mengetahui karakterisitik rambut dan
mengetahui kelainan pada rambut.
inspeksi : penyebaran, ketebalan, tekstur dan lubrikasi.
Rambut biasanya tersebar merata, tidak terlalu
kering, tidak terlalu berminyak dan liat.
Palpasi : lesi, luka , erupsi dan pustular pada kulit kepala
dan folikel rambut. Perhatikan adanya kutu
kepala ( yang tubuhnya kecil berwarna putih
keabuan), kutu kepiting berkaki merah dan telur
kutu ( seperti partikel oval ketombe ).

3) Pemeriksaan Kepala
a. Tujuan
• Mengetahui bentuk dan fungsi kepala.
• Mengetahui kelainan yang terdapat dikepala.
b. Prosedur pelaksanaan.
• Inspeksi
• Atur posisi klien duduk atau berdiri.
• Anjurkan untuk melepas penutup kepala, kacamata, dll.
24

• Lakukan inspeksi mengamati bentuk kepala


kesimetrisan dan keadaan kulit kepala.
• Inspeksi penyebaran, ketebalan, kebesihan dan tekstur,
warna rambut.
• Ukuran, bentuk dan posisi kepala terhadap tubuh,
Normal kepala tegak lurus dan digaris tengah tubuh.
Tulang kepala umumnya bulat dengan tonjolan frontal
dibagian anterior dan oksipital dibagian posterior.

c. Palpasi

• Lakukan palpasi dengan gerakan memutar yang lembut


menggunakan ujung jari, lakukan mulai dari depan
turun kebawah melalui garis tengah kemudian palpasi
setiap sudut garis kepala.

Rasakan apakah terdapat benjolan / massa, tanda bekas


luka dikepala, pembengkakan, nyeri tekan. Jika hal itu
ditemukan perhatikan berapa besrnya / luasnya,
bagaimana konsistensinya, dan dimana kedudukannya,
apakahdidalam kulit, pada tulang atau dibawah kulit
terlepas dari tulang.

4). Pemeriksaan Wajah

1) Mata

Tujuan

a) Mengetahui bentuk dan fungsi mata

b) Mengetahui adanya kelainan pada mata

Inspeksi: bentuk, kesimestrisan, alis mata, bulu


mata, kelopak mata, kesimestrisan, bola mata,
warna konjunctiva dan sclera (anemis/ikterik),
25

penggunaan kacamata / lensa kontak, dan respon


terhadap cahaya.

Diagnosa

1. Ketidak efektifan pola nafas berhubungan


dengan Gangguan musculoskeletal.
2. Hipetermi berhubungan dengan proses
penyakit.
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan
dengan penurunan kendali otot.
4. Anxietas berhubungan dengan perubuhan
dalam status kesehatan.

5). Telinga

Tujuan : Mengetahui keadaan telinga luar, saluran


telinga, gendang telinga, dan fungsi pendengaran.

Inspeksi : bentuk dan ukuran telinga, kesimetrisan,


integritas, posisi telinga, warna, liang telinga
(cerumen/tanda-tanda infeksi), alat bantu dengar.

Normal: bentuk dan posisi simetris kika, integritas kulit


bagus, warna sama dengan kulit lain, tidak ada tanda-
tanda infeksi, dan alat bantu dengar.

Palpas nyeri tekan aurikuler mastoid, dan tragus


Normal: tidak ada nyeri tekan

Setelah diadakan pemeriksaan telinga evaluasi hasil


yang didapat dengan membandingkan dengan keadaan
normal

6). Hidung
26

Tujuan

a) Mengetahui bentuk dan fungsi hidung

b) Menentukan kesimetrisan struktur dan adanya


inflamasi atau infeksi

 Inspeksi : hidung eksternal (bentuk, ukuran, warna,


kesimetrisan), rongga, hidung ( lesi, sekret,
sumbatan, pendarahan), hidung internal
 (kemerahan, lesi, tanda2 infeksi)
 Normal: simetris kika, warna sama dengan warna
kulit lain, tidak ada lesi, tidak ada sumbatan,
perdarahan dan tanda-tanda infeksi.

Palpasi

 Palpasi dan Perkusi frontalis dan, maksilaris


(bengkak, nyeri, dan septum deviasi)
 Normal: tidak ada bengkak dan nyeri tekan.
 setelah diadakan pemeriksaan hidung dan sinus
evaluasi hasil yang di dapat dengan membandikan
dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.

7). Mulut

 Tujuan : Mengetahui bentuk kelainan mulut

1. Inspeksi dan palpasi struktur luar : warna mukosa


mulut dan bibir, tekstur , lesi, dan stomatitis.

Normal: warna mukosa mulut dan bibir pink,


lembab, tidak ada lesi dan stomatitis.

2. Inspeksi dan palpasi strukur dalam : gigi


lengkap/penggunaan gigi palsu, perdarahan/ radang
27

gusi, kesimetrisan, warna, posisi lidah, dan


keadaan langit2.

Normal: gigi lengkap, tidak ada tanda-tanda gigi


berlobang atau kerusakan gigi, tidak ada
perdarahan atau radang gusi, lidah simetris, warna
pink, langit2 utuh dan tidak ada tanda infeksi.

8) pemeriksaan leher

Tujuan

a) Menentukan struktur integritas leher

b) Mengetahui bentuk leher serta organ yang berkaitan

c) Memeriksa system limfatik

• 1. Inspeksi leher: warna integritas, bentuk simetris.

• Normal: warna sama dengan kulit lain, integritas


kulit baik, bentuk simetris, tidak ada pembesaran
kelenjer gondok.

9) Pemeriksaan dada

Tujuan :

a) Mengetahui bentuk, kesimetrisas, ekspansi, keadaan


kulit, dan dinding dada

b) Mengetahui frekuensi, sifat, irama pernafasan,

c) Mengetahui adanya nyeri tekan, masa, peradangan.

1. Inspeksi : kesimetrisan, bentuk/postur dada, gerakan


nafas (frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya
28

pernafasan/penggunaan otot-otot bantu pernafasan),


warna kulit, lesi, edema, pembengkakan/ penonjolan.

Normal: simetris, bentuk dan postur normal, tidak ada


tanda-tanda distress pernapasan, warna kulit sama
dengan warna kulit lain, tidak ikterik/sianosis, tidak ada
pembengkakan/penonjolan/edema

2. Palpasi: Simetris, pergerakan dada, massa dan lesi, nyeri,


tractile fremitus.

Normal: integritas kulit baik, tidak ada nyeri


tekan/massa/tanda-tanda peradangan, ekspansi simetris,
taktil vremitus cendrung sebelah kanan lebih teraba jelas.

10) Pemeriksaan Ekstermitas Bawah

1. Inspeksi struktur muskuloskletal : simetris dan


pergerakan, integritas kulit, posisi dan letak, ROM,
kekuatan dan tonus otot

Normal: simetris kika, integritas kulit baik, ROM aktif,


kekuatan otot penuh

2. Palpasi : a. femoralis, a. poplitea, a. dorsalis pedis:


denyutan

Normal: teraba jelas

3. Tes reflex :tendon patella dan archilles.

Normal: reflex patella dan archiles positif

Setelah diadakan pemeriksaan ekstermitas bawah


evaluasi hasil yang di dapat dengan membandingkan
dengan keadaan normal, dan dokumentasikan hasil
pemeriksaan yang didapat tersebut.
29

c. Analisi data

No. Tanggal/jam Data Problem Etiologi


1. 30 November 2013 Ds : pasien masuk Ketidak efektifan Gangguan
karena sesak napas pola nafas muskuloskeletal
15.00
Do: RR 28x/menit

2. 30 November 2013 Ds: pasien berkata nyeri Hipetermi Proses penyakit


pada otot,lemas
15.00
Do: suhu 39, l'C,
RR 28x/mnt
3. 30 November 2013 Ds : pasien masuk Hambatan Penurunan
15.00(KESMAS, karena lumpuh dengan mobilitas fisik kendali otot
2016). tiba-tiba
Do :
1. Spastisitas
2. Hipertonus
3. RR 28X/menit

4 30 November 2013 Ds: - Anxietas Perubahan


dalam status
15.00 Do: kesehatan
1. Pasien rewel
2. (gelisah)
3. Pasien mengerang
4. kesakitan
5. RR : 28 kali /menit
6. Nadi 102x/mnt
30

d. Diagnosa

1) Ketidak efektifan pola nafas berhubungan dengan Gangguan


musculoskeletal.
2) Hipetermi berhubungan dengan proses penyakit.
3) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan
kendali otot.
4) Anxietas berhubungan dengan perubuhan dalam status
kesehatan.
31

E. Intervensi

Tanggal / Diagnosa Tujuan & Kriteria Intervensi keperawatan


Jam hasil

30 Ketidak efektifan Setelah dilakukan Respiratory monitoring


november pola nafas tindakan keperawatan (3350)
2013 berhubungan selama 3 x 24 jam  Monitor rata-rata,
15.30 dengan diharapkan kedalaman, dan irama
Gangguan keefektifan pola napas nafas pasien.
musculoskeletal dengan criteria  Kaji pola napas pasien.
respiratory status :  Monitor pola napas
ventilation(0403): pasien seperti bradipneu,
1. Pasien dapat takipnea.
bernapas dengan  Aukultasi suara paru
frekuensi normal. untuk mengetahui hasil.
(RR:16-  Tinggikan kepala tempat
20X/menit) tidur pasien atau

2. Dipsneu Posisikan pasien


berkurang. senyaman mungkin.
3. Pasien tidak Seperti semifowler.
dipsneu saat  Berikan tambahan
beraktivitas. oksigen. Seperti
4. Tanda-tanda vital menggunakan nasal
dalam rentang kanul, atau masker.
normal.  Monitor suara napas
32

 RR : 16- pasien untuk mengetahui


20X/menit adanya sektret atau tidak.

Nadi : 60-100
x/menit
 Suhu : 36,5-
37,5 ‘C
 TD : 120/80
mmHg

30 Hipetermi Setelah dilakuan Vital sign monitoring


november berhubungan tindakan keperawatan (6680)
2013 dengan proses selama 3x24 jam,  Monitor TD, nadi, suhu
15.45 penyakit diharapkan demam dan RR.
pasien menurun  Berikan kompres dingin.
dengan criteria hasil  Rencanakan monitoring
vital sign (0803) suhu secara kontinu.
1. Suhu tubuh pasien  Catat adanya fluktuasi
dalam rentang tekanan darah.
normal (36,5-37,5  Monitor warna dan
‘C) kelembapan kulit.
2. Nadi dan RR  Monitor sianosis perifer.
pasien dalam  Selimuti pasien untuk
rentang normal mencegah hilangnya
(nadi : 60- kehangatan tubuh.
100x/menit, RR :
120/80 mmHg)
33

3. Tidak ada
perubahan warna

kulit
4. Pasien tidak
mengeluh pusing

30 Hambatan Setelah dilakukan Exercise therapy :


november mobilitas fisik tindakan keperawatan ambulation (0221)
2013 berhubungan selama 3x24 jam,  Monitor vital sign
16.00 dengan diharapkan Hambatan sebelum dan sesudah
penurunan Mobilitas Fisik dapat latihan dan lihat respon
kendali otot diminimalisir dengan klien saat latihan.
criteria hasli mobility  Konsultasi dengan terapi
level (0208) : fisik tentang rencana
1. Klien meningkat ambulasi sesuai dengan
dalam melakukan kebutuhan.
aktivitas fisik.  Ajarkan pasien tentang
2. Pasien mengerti teknik ambulasi.
tujuan dari  Kaji kemampuan pasien
peningkatan dalam mobilisasi.
mobilitas.  Latih pasien dalam
3. Memverbalisasika pemenuhan kebutuhan
n perasaan dalam Adls secara mandiri
meningkatkan sesuai kemampuan.
kekuatan dan  Damping pasien dan
34

kemampuan bantu pasien dalam


berpindah. mobilisasi.
4. Pasien tidak  Nerilkan alat bantu jika
dipsneu setelah klien memerlukan seperti
melakukan tongkat.
aktivitas.  Ajarkan pasien
5. Pasien dapat bagaimana cara merubah
berpindah dari satu posisi yang baik dan
tempat ketempat benar. Misalnya dari
lain pisosi duduk dan
berbaring

30 Anxietas Setelah dilakukan Anxiatas reduction (5830)


november berhubungan tindakan keperawatan  Gunakan pendekatan
2013 dengan selama 3x24 jam. yang menenangkan.
16.15 perubuhan dalam Diharapkan  Pantau tingkat realita
status kesehatan kecemasan pasien bahaya bagi anak dan
dapat teratasi. Dengan keluarga tingkat ansietas
criteria hasil : (mis.rendah, sedang,
Anxietas control parah).
(1211)  Identifikasi level
1. Klien mampu perubahan kecemasan.
mengeidentifikasik  Temani pasien untuk
an dan memberikan keamanan
mengungkapkan dan mengurangi takut.
gejala cemas.  Dorong keluarga atau
35

2. Nadi dalam ibu pasien untuk selalu


rentang normal menemani anak.
(60-100x/menit).  Bantu pasien mengenal
3. Vital sign dalam situasi yang
rentang normal. menimbulkan
 RR : 16- kecemasan.
20X/menit  Dorong pasien untuk

Nadi : 60-100 mengungkapkan
x/menit perasaan takut .
 Suhu : 36,5-  Intruksikan dan ajarkan
37,5 ‘C klien menggunakan
 TD : 120/80 teknik relaksasi.
mmHg  Sediakan informasi yang
4. Postur tubuh, akurat sesuai kebutuhan
ekspresi wajah, jika diminta oleh
dan bahasa tubuh keluarga.
dan tingkat  Berikan obat untuk
aktivitas mengurangi kecemasan
menunjukkan
berkurangnya
kecemasan
36

DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, M. & Bhadauria, A.S., 2011, Modeling Spread

of Polio with the Role of Vaccination, Applications

and Applied Mathematics: An International Journal

(AAM) Vol. 6, Issue 2, pp. 552 – 571, Department

of Mathematics & Astronomy, Lucknow University

, Uttar Pradesh, India.

Anton, H., 2000, Dasar-Dasar Aljabar Linear, edisi ketujuh,

(diterjemahkan oleh: Suminto, H.), Interaksara, Batam.

Bender, E.A., 1978, An Introduction to Mathematical

Modelling, John Willey and Sons, Inc., USA.

Finizio, N. & Ladas , G., 1998, Persamaan Diferensial Biasa

dengan Penerapan Modern, edisi kedua,

(diterjemahkan oleh: Santoso, W.), Erlangga, Jakarta.

diakses tanggal 20 Juli 2012 pukul 15.04

Iswanto, R.J., 2012, Pemodelan Matematika Aplikasi dan

Terapannya, edisi pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Kartono, 2012, Persamaan Diferensial Biasa Model

Matematika Fenomena Perubahan, edisi pertama,

Graha Ilmu, Yogyakarta.


37

Murray, J.D., 1993, Mathematical Biology, 2nd edition,

Springer- Verlag, Berlin. Olsder, G.J., 1994, Mathematical

System Theory, deflt university of technology, Belanda

Anda mungkin juga menyukai