Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN
l.l Latar Belakang

Hepatitis Virus merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah
kesehatan masyarakat, yang berpengaruh terhadap angka kesakitan, angka kematian,
status kesehatan masyarakat, angka harapan hidup, dan dampak sosial
ekonomilainnya.Besaran masalah Hepatitis Virus di Indonesia dapat diketahui dari
berbagai hasil studi, kajian, maupun kegiatan pengamatan penyakit.1,2

Prevalensi hepatitis B tertinggi di Wilayah Pasifik Barat dan Wilayah Afrika, di


mana masing-masing 6,2% dan 6,1% dari populasi orang dewasa terinfeksi. Di
Wilayah Mediterania Timur, Wilayah Asia Tenggara dan Wilayah Eropa, masing-
masing diperkirakan 3,3%, 2,0% dan 1,6 %% dari populasi umum terinfeksi. 0,7%
populasi di wilayah Amerika terinfeksi.3

Menurut Riskesdas tahun 2007, didapatkan hasil prevalensi HBsAg sebesar


9,4% sehingga apabila diestimasi secara kasar maka saat ini terdapat 28 juta orang
terinfeksi Hepatitis B. Dari jumlah tersebut 50% akan menjadi kronis (14 juta), dan
10% dari jumlah yang kronis tersebut berpotensi untuk menjadi sirosis hati dan
kanker hati primer (1,4juta). Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan
prevalensi Hepatitis tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 4,3%. Berdasarkan
kuintil indeks kepemilikan (yang menggambarkan status ekonomi), kelompok kuintil
indeks kepemilikan terbawah menempati prevalensi Hepatitis tertinggi dibandingkan
dengan kelompok lainnya.1,2

Dengan besaran masalah yang ada dan dampaknya bagi kesehatan masyarakat,
maka perlu dilakukan upaya yang terencana, fokus, dan meluas agar epidemi virus
Hepatitis ini dapat ditanggulangi.Untuk itu diperlukan payung hukum berupa
Peraturan Menteri Kesehatan yang dapat dijadikan acuan bagi pelaksanaan kegiatan

1
dalam melakukan penanggulangan Hepatitis, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia nomor 53 Tahun 2015.2

Istilah makrosomia digunakan untuk menggambarkan bayi baru lahir dengan


berat lahir berlebihan. Diagnosis makrosomia janin hanya dapat dilakukan dengan
mengukur berat lahir setelah melahirkan; oleh karena itu, kondisi ini dikonfirmasi
hanya secara retrospektif, yaitu, setelah melahirkan neonatus. Makrosomia janin telah
didefinisikan dalam beberapa cara berbeda, termasuk berat lahir lebih besar dari
4000-4500 g atau lebih besar dari 90% untuk usia kehamilan. Menurut Laporan
Statistik Vital Nasional untuk Kelahiran A.S. pada 2015, sekitar 7% bayi memiliki
berat lahir> 4.000 g, 1% memiliki berat lahir lebih dari 4.500 g, dan 0,1% memiliki
berat lahir lebih dari 5.000 g.8

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hepatitis B Dalam Kehamilan
2.1.1 Definisi
Hepatitis B adalah infeksi yang terjadi pada hati yang disebabkan oleh virus
Hepatitis B (VHB). Penyakit ini bisa menjadi akut atau kronis dan dapat pula
menyebabkan radang hati, gagal hati, serosis hati, kanker hati, dan kematian.1,2

2.1.2 Epidemiologi
Menurut Riskesdas tahun 2007, didapatkan hasil prevalensi HBsAg sebesar
9,4% sehingga apabila diestimasi secara kasar maka saat ini terdapat 28 juta orang
terinfeksi Hepatitis B. Dari jumlah tersebut 50% akan menjadi kronis (14 juta), dan
10% dari jumlah yang kronis tersebut berpotensi untuk menjadi sirosis hati dan
kanker hati primer (1,4juta). Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi dengan
prevalensi Hepatitis tertinggi pada tahun 2013 yaitu sebesar 4,3%. Berdasarkan
kuintil indeks kepemilikan (yang menggambarkan status ekonomi), kelompok kuintil
indeks kepemilikan terbawah menempati prevalensi Hepatitis tertinggi dibandingkan
dengan kelompok lainnya.1,2

2.1.3 Cara penularan4


Walaupun infeksi VHB dapat ditularakan dengan berbagai cara, tetapi pola
penularan infeksi VHB dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Pola penularan vertical ialah penularan VHB dari ibu dengan HBsAg

positif ke bayi yang dilahirkannya. 


2. Pola penularan horizontal ialah penularan VHB dari seorang pengidap

infeksi VHB kepada orang yang rentan disekitarnya. 


Penularan VHB Vertikal

3
Yang dimaksud dengan penularan VHB vertikal ialah penularan VHB dari ibu ke
bayinya yang biasa terjadi :

1. Sebelum persalinan yang disebut infeksi VHB in-utero.


2. Selama persalinan disebut infeksi VHB perinatal.
3. Setelah persalinan disebut infeksi post-natal.Laporan mengenai penularan.

Pengidap kronik VHB 80% terdapat di Asia dan daerah Pasifik bagian barat
dan 40% dari pengidap kronik VHB ini mendapatkan infeksi VHB secara perinatal.
Di Asia dan Afrika sekitar 20% wanitanya adalah pengidap VHB dan penularan
vertikal terjadi sebesar 50% sedangkan di Negara lain besarnya bervariasi yaitu ; 75%
di Jepang, 20% di Taiwan dan hanya 5% di USA. Bayi yang tertular secara vertikal
dapat merupakan sumber penularan horizontal, dan kalau bayi tersebut wanita akan
menularkan lagi pada generasi berikutnya. Karena itu maka penularan vertikal
berperan sangat penting terhadap besarnya prevalensi pengidap kronik infeksi VHB
yang berakibat akan terjadinya KHP dan SH. Diperkirakan 25-30% dari pengidap
VHB kronik yang mempunyai harapan hidup 30 tahun atau lebih mulai terjadinya
infeksi akan meninggal karena SH atau KHP.Secara umum faktor yang
mempengaruhi efektivitas penularan ialah konsentrasi VHB (viral load), volume
inokulum, lamanya paparan dan cara masuk VHB ke dalam tubuh. Sedangkan faktor
yang berpengaruh terhadap besarnya penularan VHB vertical ialah:

1. Konsentrasi VHB; konsentrasi VHB dapat ditunjukkan secara serologik


dengan tingginya titer HBsAg, atau positif-negatifnya HBeAg dan DNA-
VHB. HBeAg merupakan indicator yang paling praktis dan paling baik untuk
menunjukkan kosentrasi VHB. PositifnyaHBeAg dalam darah ibu dapat
dipakai sebagai petunjuk akan terjadinya infeksi vertikal, disamping sebagai
petunjuk kuat adanya partikel Dane dalam darah ibu.
2. Infeksi akut VHB pada trimester III kehamilan akan menyebabkan terjadinya
infeksi vertikal sebesar 75%, sedangkan jika terjadi pada kehamilan trimester

4
I lebih besar kemungkinan akan terjadi abortus atau persalinan premature.


3. Lama persalinan diduga ikut berperan terhadap terjadinya penularan vertikal,


karena persalinan yang lebih lama dari 9 jam berhubungan dengan

meningkatnya penularan VHB ke bayi.


4. Adanya VHB pada bayi baru lahir yang bias ditunjukkan dengan positifnya
pemeriksaan PCR hari ke-0, dapat dipakai untuk menunjukkan dengan cepat
adanya penularan VHB dari ibu ke bayi disamping mempelajari kemungkinan

transmisi VHB yang mengalami mutasi.


5. Faktor genetik kemungkian mempengaruhi besarnya kejadian penularan VHB


vertikal, karena beberapa penulis melaporkan bahwa faktor genetik ada
hubungan terhadap kemungkinan terjadinya pengidap VHB kronik. Dan
besarnya pengidap VHB kronik di masyarakat, sudah tentu akan memperbesar
kemungkinan terjadinya penularan VHB vertikal, jika pencegahan secara
efektif tidak dilakukan. untuk sembuh total dengan kekebalan protektif.
6. Penularan vertikal lebih kecil kemungkinan terjadi pada bayi wanita
dibandingkan dengan bayi laki .

Penularan VHB in-utero

Yang dimaksud dengan penularan VHB in-utero ialah penularan atau tramsmisi
VHB dari ibu ke bayi di dalam rahim ibu, yang kemudian menyebabkan bayi
mengalami infeksi VHB.Sebagai bukti yang pasti bahwa terjadinya infeksi in-utero
ialah jika bayi yang baru lahir di dalam hatinya sudah terdapat. Secara klinis karena
masa inkubasi VHB adalah 6 minggu sampai 6 bulan, maka bayi dikatakan
mengalami infeksi VHB in-utero, jika bayi berumur 1 bulan sudah menunjukkan
HBsAg positif. Tetapi HBsAg positif pada bayi baru lahir, belum pasti menunjukkan
adanya penularan VHB in-utero.

5
Beberapa faktor yang diduga berperan untuk terjadinya infeksi in-utero ini, pada
dasarnya sama dengan faktor berperan pada penularan VHB vertikal secara umum
yaitu :

1. Positifnya HBsAg pada darah tali pusat.


2. Ada beberapa petunjuk bahwa bayi yang lahir akan tertular VHB dan menjadi
pengidap kronik, antara lain; jika saudara kandung yang lebih tua menjadi
pengidap kronik VHB dan HBsAg pada darah tali pusat bayi yang baru lahir
ini positif.
3. Dikatakan juga bahwa bila HBsAg dalam darah tali pusat positif maka respon
bayi terhadap vaksin rendah dan akan menyebabkan penularan VHB vertikal
dan keadaan ini kemungkinan disebabkan karena sudah terjadi infeksi in-
utero, pemberian HBIG secara awal dapat mencegah bayi dari viremia, tetapi
karena VHB sudah menginfeksi lekosit, sel hati dan sel yang lain maka akan
terjadi reaktifasi dan kemungkina yang lain karena bayi secara genetik sudah
mempunyai kemampuan membentuk kekebalan yang rendah (low responder-
hubungan dengan gen pada HLA DR.
4. Titer HBsAg tinggi biasanya juga menunjukkan HBsAg dan DNA-VHB
positif di samping adanya anti-HBe negatif.
5. Beberapa keadaan nampaknya memberikan peluang terjadinya infeksi VHB
in-utero lebih besar yaitu infeksi akut VHB pada ibu hamil trimester III akan
lebih mudah menyebabkan penularan VHB pada bayi yang dilahirkan.
Keadaan ini disebabkan karena anti- HBs lebih mudah dan cepat menembus
plasenta dibandingkan dengan HbsAg. Kalau infeksi akut VHB terjadi pada
trimester III maka sebelum anti HBs ibu terbentuk dalam jumlah cukup bayi
telah lahir sehingga VHB yang masuk ke tubuh bayi tidak dapat dinetralisasi.
Sedangkan kalau terjadi pada trimester I atau II meskipun VHB dapat masuk

6
ke tubuh bayi, tetapi memerlukan waktu 6 minggu sampai 6 bulan untuk
terjadinya infeksi sedangkan anti-HBs telebih dahulu masuk ke tubuh bayi,
sehingga VHB dapat dinetralisasi oleh anti-HBs dari ibu.
6. Anti-HBc ibu yang masuk ke darah bayi dapat menekan ekspresi dan replikasi
VHB sampai anti-HBc ibu pada bayi hilang. Dan dapat dihubungkan antara
titer anti-HBc pada ibu dengan HBeAg positif yang ada pada peredaran darah
bayi, dengan kemungkinan terjadinya pengidap VHB kronik pada bayi. Makin
kecil titer anti-HBc ibu yang masuk ke peredaran darah janin, makin besar
kemungkinan bayi akan menjadi pengidap VHB kronik. Keadaan inilah yang
menyebabkan mengapa meskipun terjadinya infeksi in-utero manifestasi
infeksi tidak segera atau tidak selalu terjadi. Imunisasi yang diberikan setelah
lahir menyebabkan infeksi tidak terjadi dalam waktu beberapa tahun tetapi
bayi yang lahir ini masih tetap mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya
KHP.
7. Lamanya persalinan dikatakan juga dapat menyebabkan penularan VHB in-
utero.Kemungkinan lainnya adalah karena bayi dalam kandungan menelan air
ketuban yang mengandung partikel Dane, tetapi cara penularan seperti ini
kemungkinan sangat kecil karena memerlukan jumlah VHB yang sangat besar
untuk dapat menyebabkan infeksi VHB .

2.1.4 Diagnosis
Berdasarkan alasan klinis, adalah tidak mungkin untuk membedakan hepatitis B
dari hepatitis yang disebabkan oleh agen virus lain dan oleh karena itu, konfirmasi
laboratorium untuk diagnosis sangat penting. Sejumlah tes darah tersedia untuk
mendiagnosis dan memantau orang dengan hepatitis B. Mereka dapat digunakan
untuk membedakan infeksi akut dan kronis. Diagnosis laboratorium infeksi hepatitis
B berfokus pada pendeteksian antigen permukaan hepatitis B HBsAg. WHO
merekomendasikan bahwa semua sumbangan darah diuji untuk hepatitis B untuk

7
memastikan keamanan darah dan menghindari penularan yang tidak disengaja kepada
orang-orang yang menerima transfusi darah.3
Uji serologis hepatitis b melibatkan pengukuran beberapa antigen dan antibodi
spesifik virus hepatitis b (vbh). "penanda" atau kombinasi serologis berbeda dari
pembuat digunakan untuk mengidentifikasi fase infeksi HBV yang berbeda dan untuk
menentukan apakah pasien memiliki infeksi HBV akut atau kronis, kebal terhadap
HBV sebagai akibat dari infeksi atau vaksinasi sebelumnya, atau dapat diduga
terinfeksi.4,5

HbsAg Negatif Suspek


Anti-HBc Negatif
Anti-HBs Negatif
HbsAg Negatif kebal akibat infeksi alami
Anti-HBc Positif
Anti-HBs Positif
HbsAg Negatif kebal karena vaksinasi
hepatitis b
Anti-HBc Negatif
Anti-HBs Positif
HbsAg Positif Infeksi akut
Anti-HBc Positif
IgM anti-HBc Positif
Anti-HBs Negatif
HbsAg Positif Infeksi kronik
Anti-HBc Positif
IgM anti-HBc Negatif
Anti-HBs Negatif
HbsAg Negatif interpretasi tidak jelas,
empat kemungkinan :
Anti-HBc Positif
1. infeksi

8
Anti-HBs Negatif terselesaikan
(paling umum)
2. positif anti-HBc-
palsu, sehingga
dapat ditebak
3. infeksi kronis
"tingkat rendah"
4. menyelesaikan
infeksi akut

 Antigen permukaan hepatitis b (HbsAg)


Sebuah protein pada permukaan virus hepatitis b, dapat dideteksi dalam
kadar serum yang tinggi selama infeksi virus hepatitis b akut atau kronis.
Kehadiran HbsAg menunjukkan bahwa orang tersebut menular. tubuh secara
normal menghasilkan antibodi terhadap HbsAg sebagai bagian dari respon
imun normal terhadap infeksi. HbsAg adalah antigen yang digunakan untuk
membuat vaksin hepatitis b.
 Antibodi permukaan hepatitis b (anti-Hbs)
Kehadiran anti-Hbs umumnya diartikan sebagai indikasi pemulihan dan
kekebalan dari infeksi virus hepatitis b. anti-Hbs juga berkembang pada
seseorang yang telah berhasil divaksinasi terhadap hepatitis b.
 Total antibodi inti hepatitis b (anti-hbc)
Muncul pada awal gejala hepatitis B akut dan bertahan seumur hidup.
kehadiran anti-hbc menunjukkan infeksi sebelumnya atau yang berkelanjutan
dengan virus hepatitis b dalam jangka waktu yang tidak ditentukan.
 Antibodi Igm terhadap antigen inti hepatitis b (Igm anti-HBC)
Positif menunjukkan infeksi baru-baru ini dengan virus hepatitis b (<6
mos) kehadirannya menunjukkan infeksi akut.4,5

2.1.5 Pengaruh infeksi VHB pada kehamilan6

9
Dalam kebanyakan kasus, infeksi HBV akut atau kronis dalam kehamilan
mirip dengan yang terjadi pada populasi orang dewasa secara umum: infeksi HBV
tidak meningkatkan angka kematian dan tidak menghasilkan efek teratogenik.
Namun, insiden yang lebih tinggi dari berat badan lahir rendah dan prematur telah
dilaporkan selama infeksi akut daripada pada populasi umum, sedangkan diabetes
mellitus kehamilan, pendarahan antepartum dan kelahiran prematur lebih sering
terjadi pada infeksi HBV ibu kronis daripada pada populasi umum. Infeksi akut harus
dibedakan dari penyakit hati akut lain yang terjadi selama kehamilan seperti
kolestasis intrahepatik.
Secara berbeda, penatalaksanaan penyakit yang lebih lanjut seperti sirosis
mungkin menyusahkan. Pasien dengan sirosis lanjut biasanya amenore dan infertil
karena disfungsi hipotalamus-hipofisis, tetapi kehamilan yang sukses dapat
diselesaikan pada mereka dengan penyakit kompensasi. Dalam kasus ini, peningkatan
masalah ibu dan janin dapat diperkirakan pada sekitar 50% kasus, dengan
peningkatan kehilangan janin. Risiko utama bagi ibu adalah pecahnya varises
esofagus dan pendarahan akibatnya (20% -25%) terutama selama trimester kedua
atau selama persalinan. Risiko lain termasuk dekompensasi hati, ikterus, dan ruptur
aneurisma lien. Dengan adanya varises esofagus yang diketahui, wanita yang
merencanakan kehamilan harus dipertimbangkan untuk terapi endoskopi, operasi
shunt, atau bahkan transplantasi hati sebelum kehamilan. Bahkan jika varises tidak
ada sebelum kehamilan, semua pasien harus menjalani endoskopi atas untuk penilaian
varises pada trimester kedua dan, jika varians besar hadir, terapi beta blocker harus
diberikan meskipun sesekali terjadi efek janin. Perdarahan varises akut dikelola
secara endoskopi, seperti pada pengaturan yang tidak hamil, meskipun vasopresin
dikontraindikasikan. Asites dan ensefalopati hepatik diobati dengan cara yang biasa
(yaitu, penggunaan diuretik, rifaximin, laktulosa, dll.). Kecuali pada pasien dengan
varises besar yang diketahui, persalinan pervaginam lebih disukai untuk menghindari
operasi perut.

10
2.1.6 Pengaruh kehamilan pada infeksi VHB6
Selama kehamilan terjadi beberapa perubahan pada sistem imun ibu, seperti
pergeseran pada keseimbangan Th1-Th2 ke respon Th2, peningkatan jumlah dari
regulator sel T, dll, yang berkontribusi terhadap penurunan respon imun terhadap
HBV. Tujuan dari perubahan ini adalah untuk mencegah terjadinya penolakan
terhadap fetus yang sebagian bersifat alogenik terhadap sistem imun ibu.Perubahan
inimenyebabkan peningkatan DNA HBV dan penurunan level aminotransferase.
Setelah persalinan terjadi perbaikan kembali sistem imun yang menyebabkan hal
yang sebaliknya. Terjadi peningkatan alanine aminotransferase (ALT) yang
signifikan dan penurunan DNA HBV pada saat itu.

2.1.7 Penanganan infeksi VHB saat kehamilan6


Penanganan infeksi VHB pada kehamilan harus mempertimbangan semua
resiko dan keuntungan pada ibu dan fetus. Masalah utama pada fetus adalah
mengenai bahaya teratogenik dari obat saat embryogenesis. Tujuh obat yang telah
disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan hepatitis B
adalah PEG-interferon alpha 2a, Interferon alpha 2b, lamivudine, adefovir, entecavir,
telbivudine dan tenofovir. Interferon kontraindikasi diberikan saat hamil, dapat
digunakan pada wanita usia subur karena biasanya diberikan pada periode tertentu
(48-96 minggu). Pemberian interferon direkomendasikan diberikan bersama
penggunaan kontrasepsi selama pengobatan.Agen antivirus oral seperti nukleosida
atau anolog nukleosida bekerja dengan menginhibisi polymerase virus, biasanya
digunakan dalam jangka waktu yang lama.Obat ini dapat mempengaruhi replikasi
DNA mitokondria sehingga berpotensi untuk menyebabkan toksisitas pada
mitokondria yang berpengaruh terhadap perkembangan fetus.
Pemilihan terapi anti-HBV pada wanita hamil sangat sulit. Terdapat beberapa

11
parameter yang biasanya digunakan untuk menentukan terapi pada hepatitis B (usia,
stadium penyakit, komobiditas, jumlah virus, genotype, kekuatan dari agen, barrier
genetik, dll), pemilihan obat pada wanita usia subur dipertimbangkan juga keamanan
obat selama kehamilan, menyusui dan lamanya terapi. Pada kasus dimana perempuan
yang tidak mendapat pengobatan HBV dan berencana untuk hamil, maka terapi dapat
ditunda setelah persalinan. Contohnya, jika perempuan tersebut berada pada fase
imuntoleransi saat infeksi (tingginya kadar DNA HBV dengan ALT normal dan
biopsi hepar inaktif) terapi dapat ditunda setelah persalinan. Namun, perempuan
dengan HBeAg positif dan viral load yang tinggi maka profilaksis harus diberikan
pada trisemester ketiga untuk mengurangi transmisi.

2.1.8 Penanganan anak dan ibu dengan HBsAg (+)


Semua wanita HBsAg-positif harus diuji untuk HBeAg dan anti-HBe, tingkat
DNA HBV, untuk mengidentifikasi kehamilan yang berisiko lebih tinggi mengalami
kegagalan profilaksis pascapajanan. Wanita juga harus memiliki penilaian fungsi hati
(Kelas A).Wanita dengan viral load yang tinggi pada trimester ketiga (> 200.000IU /
ml) harus ditawarkan terapi antivirus selama akhir kehamilan untuk mengurangi viral
load sebelum melahirkan, dan risiko penularan dari ibu ke anak.Hepatitis B. Pada
wanita yang merupakan kandidat untuk terapi antivirus, Tenofovir direkomendasikan
sebagai agen lini pertama yang cocok. Ada bukti yang baik yang mendukung
penggunaan Tenofovir untuk mengurangi penularan Hepatits B perinatal pada ibu
hamil dengan viral load yang tinggi. Jika belum dikaitkan dengan Layanan Klinis
Hepatitis Kronis, kehamilan adalah kesempatan yang tepat untuk melakukannya, baik
untuk membantu pengambilan keputusan segera mengenai terapi antivirus pada
kehamilan jika perlu, dan untuk memfasilitasi tindak lanjut jangka panjang dari
pasien +/- anggota keluarga yang terkena lainnya.7
Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg-positif harus diberikan HBIG dan
satu dosis vaksin hepatitis B monovalen pada hari kelahiran, secara bersamaan tetapi
pada paha yang terpisah.Dosis HBIG adalah 100 IU, diberikan dengan injeksi

12
intramuskular. Lebih baik untuk memberikan HBIG segera setelah lahir (lebih baik
dalam 12 jam kelahiran dan tentunya dalam 48 jam) karena kemanjurannya menurun
secara nyata jika diberikan lebih dari 48 jam setelah kelahiran. Dosis vaksin hepatitis
B monovalen harus diberikan kepada bayi lebih disukai dalam waktu 24 jam setelah
kelahiran, dan tentunya dalam 7 hari. Rejimen ini menghasilkan tingkat serokonversi
lebih dari 90% pada neonatus, bahkan dengan pemberian HBIG bersamaan.
Vaksinasi tidak boleh ditunda lebih dari 7 hari setelah kelahiran, karena vaksinasi saja
telah terbukti cukup efektif dalam mencegah infeksi, asalkan diberikan lebih awal.
Tiga dosis selanjutnya dari vaksin yang mengandung hepatitis B harus diberikan,
pada 2, 4 dan usia 6 bulan, sehingga bayi menerima total 4 dosis vaksin yang
mengandung hepatitis B. Antibodi anti-HBs dan kadar HBsAg harus diukur pada bayi
yang lahir dari ibu dengan infeksi hepatitis B kronis 3 hingga 12 bulan setelah
menyelesaikan kursus vaksin primer.7

2.2 Makrosomia
2.2.1 Definisi
Istilah makrosomia digunakan untuk menggambarkan bayi baru lahir
dengan berat lahir berlebihan. Diagnosis makrosomia janin hanya dapat dilakukan
dengan mengukur berat lahir setelah melahirkan; oleh karena itu, kondisi ini
dikonfirmasi hanya secara retrospektif, yaitu, setelah melahirkan neonatus.
Makrosomia janin telah didefinisikan dalam beberapa cara berbeda, termasuk berat
lahir lebih besar dari 4000-4500 g atau lebih besar dari 90% untuk usia kehamilan.
Menurut Laporan Statistik Vital Nasional untuk Kelahiran A.S. pada 2015, sekitar
7% bayi memiliki berat lahir> 4.000 g, 1% memiliki berat lahir lebih dari 4.500 g,
dan 0,1% memiliki berat lahir lebih dari 5.000 g.8

2.2.2 Faktor Resiko7,8,9


Berbagai faktor mempengaruhi bayi baru lahir makrosomia,termasuk
penyakit diabetes pada ibu yang sudah ada sebelumnya, diabetes gestasional, ibu

13
obesitas sebelum hamil, pertambahan berat badan berlebihan selama kehamilan,
riwayat makrosomia sebelumnya, kehamilan postterm, dan status ibu yang merokok.
Faktor-faktor risiko ini saling mempengaruhi kompleks dan bervariasi oleh indeks
massa tubuh, ras, dan etnis.
Sebuah penelitian melaporkan bahwa 6% wanita dengan diabetes
gestasional batas yang tidak diobati melahirkan untuk bayi yang melebihi 4.500 g,
dibandingkan dengan hanya 2% dari wanita dengan toleransi glukosa darah normal.
Jika diabetes gestasional tidak diobati, risikonya makrosomia mungkin setinggi 19%.
Terlepas dari berat lahir, bayi perempuan dengan diabetes memiliki risiko yang
meningkat distosia bahu, fraktur klavikular, dan cedera pleksus brakialis. Kontribusi
relatif diabetes ibu danobesitas terhadap makrosomia janin tetap kontroversial. Satu
studi melaporkan bahwa risiko makrosomia janin terkait berlanjut dengan diabetes
gestasional yang tidak diakui. Ada sedikit keraguan bahwa berat lahir, secara umum,
meningkat dengan indeks massa tubuh ibu. Meskipun wanita gemuk lebih cenderung
daripada wanita berat badan normal untuk memiliki bayi besar, beberapa masalah
mengacaukan pengamatan ini. Pertama, obesitas wanita lebih cenderung menderita
diabetes mellitus. Kedua, penambahan berat badan berlebih selama kehamilan itu
sendiri. Faktor risiko untuk pertumbuhan janin yang berlebihan, dan risiko
makrosomia bayi baru lahir terkait dengan berlebihan pertambahan berat badan ibu
lebih besar untuk obesitas daripada wanita tidak gemuk. Usia kehamilan
memengaruhi berat lahir dan risiko makrosomia.
Sejumlah faktor dan kebiasaan bersejarah ibujuga mempengaruhi berat lahir
bayi. Seorang wanita yang sebelumnya sering telah melahirkan bayi dengan berat
lebih dari4.000 g kemungkinan 5-10 kali lebih besar untuk melahirkan bayi beratnya
lebih dari 4.500 g daripada wanita tanpa itu sebuah sejarah. Untuk tingkat tertentu,
berat lahir ibu dapat memprediksi berat badan bayi baru lahir. Wanita yang
kelahirannya sendiri berat melebihi 8 lbs (sekitar 3.600 g) dua kali lebih mungkin
untuk melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4.000 g dibandingkan dengan wanita
yang berat lahirnya antara 6 lb dan 7,9 lb (sekitar 2.700-3.500 g). Faktor genetik, ras,

14
dan etnis juga memengaruhi kelahiran berat badan dan risiko makrosomia. Bayi laki-
laki biasanya beratnya lebih dari bayi perempuan pada usia kehamilan berapa pundan.
Karenanya, merupakan proporsi bayi yang lebih besar dengan berat lahir melebihi
4.500 g. Risiko makrosomia bervariasi dengan ras dan etnis juga.

2.2.3 DIAGNOSIS MAKROSOMIA


Diagnosis makrosomia prenatal dari pengukuran ketinggian rahim, dan
manuver Leopold, untuk memperkirakan dimensi dan presentasi janin, dapat
dipengaruhi oleh tinggi ibu, cairan ketuban, pengisian kandung kemih, tumor panggul
(kista, fibroma), dan posisi janin. Investigasi ultrasonografi dua dimensi adalah
metode yang paling umum untuk pemeriksaan wanita hamil. Diagnosis makrosomia
janin harus dikaitkan dengan situasi klinis, menggunakan kurva pertumbuhan
spesifik, indeks dan formula dengan berbagai tingkat sensitivitas dan spesifisitas.
Sayangnya, kesalahan meningkat dengan berat janin. Jika setelah dua kali pemindaian
berturut-turut pada 3-4 minggu, perkiraan berat janin (EFV), atau lingkar perut (AC)
lebih besar dari 90% untuk usia kehamilan, berguna untuk mulai memantau wanita
hamil. Pemantauan cairan ketuban dan pertumbuhan janin dianjurkan setiap empat
minggu mulai dari 20 minggu kehamilan, dan setiap dua minggu setelah 28 minggu,
pada diabetes sebelum kehamilan, atau diabetes gestasional. Polihidramnion dapat
mengindikasikan kontrol glikemik yang buruk. Pengukuran lingkar perut 2 minggu
sebelum kelahiran sensitif, spesifik dan prediktif pada sekitar 90% kasus. Dalam
sekitar 10% dari kasus, kesalahan dapat terjadi karena obesitas pada ibu,
oligohidramnion, alat ukur yang tidak bekerja, atau karena kurangnya pengalaman
pemeriksa.10

2.2.4 PENATALAKSANAAN 8
 KONSULTASI

15
Pada pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol menghasilkan
makrosomia, konsultasi dengan spesialis kedokteran janin ibu untuk mendapatkan
kontrol yang lebih baik mungkin berguna. Dalam kasus makrosomia yang
signifikan (perkiraan berat janin> persentil ke-99), evaluasi yang cermat terhadap
tanggal dan evaluasi sonografi anatomi janin dapat membantu untuk menyelidiki
kemungkinan penyebab makrosomia. Usia kehamilan yang salah sering dijumpai
dan dapat menghasilkan estimasi berat janin yang lebih besar dari persentil ke-90
tetapi biasanya tidak menghasilkan estimasi lebih dari 4000 atau 4.500 gram.
Massa intra-abdominal dan intrakranial dapat menghasilkan ukuran perut dan
kepala yang lebih besar yang menghasilkan estimasi berat janin yang besar.
Penyebab tersebut harus didiagnosis sebelum persalinan jika memungkinkan.
 DIET
Obesitas pra-kehamilan dan penambahan berat badan gestasional yang
berlebihan dalam kehamilan adalah dua prediktor terkuat makrosomia saat lahir;
Oleh karena itu, intervensi yang mungkin untuk mencegah makrosomia mungkin
adalah pendidikan gizi dan program olahraga. Secara intuitif, jenis intervensi ini,
jika berhasil, dapat mengurangi risiko makrosomia pada wanita yang mengalami
obesitas sebelum kehamilan atau yang mungkin mengalami kenaikan berat badan
berlebihan dalam kehamilan. Pada pasien diabetes, diet ibu saja, tanpa
menggunakan insulin, tidak mengubah tingkat makrosomia. Pertambahan berat
badan ibu yang berlebihan dapat menggandakan risiko makrosomia; dengan
demikian, saran yang masuk akal adalah pengendalian berat badan untuk wanita
yang melebihi kenaikan berat badan yang disarankan pada kehamilan. Edukasi
pedoman diet dan penambahan berat badan harus disediakan untuk pasien
obesitas pada pasien yang mengalami penambahan berat badan gestasional
berlebihan karena ini berhubungan dengan makrosomia, diabetes gestasional,
persalinan sesar, dan preeklampsia. Intervensi semacam itu berpotensi

16
mengurangi risiko ibu dan bayi baru lahir. Pada saat ini, uji klinis kurang
mendukung efektivitas intervensi tersebut.

 INTERVENSI MAKROSOMIA
Strategi manajemen untuk makrosomia janin yang dicurigai meliputi seksio
sesarea elektif dan induksi persalinan dini.
1. SEKSIO CESAREA ELEKTIF
Seksio sesarea elektif untuk dugaan makrosomia telah diusulkan sebagai
cara untuk membebaskan ibu melahirkan dari persalinan tidak produktif dan
untuk mencegah trauma kelahiran. Sayangnya, kesulitan dalam
memprediksi makrosomia dan hasil yang menguntungkan bagi sebagian
besar wanita yang menjalani uji coba persalinan menyiratkan bahwa besar
jumlah seksio sesarea yang tidak perlu harus dilakukan untuk mencegah
hasil buruk tunggal pada kehamilan yang dipersulit oleh dugaan
makrosomia janin. Sebuah analisis keputusan baru-baru ini memperkirakan
bahwa untuk mencegah satu kasus cedera pleksus brakialis permanen, 3.700
wanita dengan perkiraan berat janin 4,500 g perlu memiliki seksio sesarea
yang efektif untuk makrosomia yang dicurigai dengan biaya 8,7 juta per
kasus yang dicegah. Dengan demikian, seksio sesarea elektif untuk dugaan
makrosomia saja sulit untuk didukung.
2. INDUKSI DINI
Mengingat bahwa janin terus bertambah sekitar 230 g per minggu setelah
minggu ke-37, induksi persalinan elektif sebelum atau dalam waktu dekat
telah disarankan untuk mencegah makrosomia dan komplikasinya. Namun,
penelitian observasional 24-27 menyarankan bahwa induksi secara aktual
meningkatkan tingkat operasi caesar tanpa mengubah hasil perinatal.

17
2.2.5 KOMPLIKASI10
 Janin
Morbiditas dan mortalitas terkait dengan makrosomia janin dapat dibagi
menjadi: maternal, fetal dan neonatal. Sebuah studi baru-baru ini tentang efek
makrosomia terhadap kematian janin menunjukkan bahwa tingkat kematian
janin yang lebih tinggi dikaitkan dengan berat lahir lebih tinggi dari 4250g
untuk bayi baru lahir dari ibu nondiabetes, dan 4000g untuk ibu diabetes.
 Maternal
Makrosomia dikaitkan dengan insiden ganda kelahiran sesar. Dalam kasus
persalinan pervaginam, laserasi perineum dapat terjadi. Ketika berat bayi baru
lahir lebih dari 4500g, insidensi perdarahan postpartum menjadi dua kali lipat.
Frekuensi transfusi darah lima kai lebih tinggi ketika bayi lebih dari 4500g,
dibandingkan dengan bayi ukuran normal
 Neonatal
Makrosomia janin meningkatkan jumlah persalinan dan komplikasi saat
lahir. Insiden cedera neonatal jauh lebih tinggi untuk persalinan pervaginam.
Makrosomia asimetris (kehamilan diabetik), dengan visceromegali, massa otot
berlebih, lemak perut dan skapular, bahu besar, cenderung menjadi distosia
humerus, dibandingkan dengan bayi makrosomik dari ibu nondiabetes. Distosia
humerus muncul pada sekitar 0,2% bayi baru lahir berukuran sedang; antara
4000-4500g, risikonya meningkat hingga 5%; dan lebih dari 4500g, sekitar 30%.
Fraktur klavikular dan fraktur humerus dapat muncul pada sekitar 10% kasus
distosia bahu, tetapi penyembuhannya akan tanpa konsekuensi ; Brachial palsy
(karena kerusakan C5-C8-T1, lebih sering di sisi kanan), terjadi pada 4% hingga
40% kasus, untungnya hanya pada 10% kasus penyembuhan tidak terjadi. selesai.
Hipoksia, sindrom gangguan pernapasan, dan iskemia serebral dapat terjadi pada
0,5-23% kasus distosia humerus. Interval pengiriman antara kepala dan tubuh
sangat penting, risikonya meningkat selama 5 menit. Perdarahan intraserebral

18
mungkin muncul, dan 0,4% bayi baru lahir meninggal. Jika manuver membuka
kunci gagal, bayi baru lahir makrosomik memiliki kebutuhan tinggi akan oksigen,
yang mengarah ke erythropoiesis dan polisitemia yang tinggi. Setelah
penghancuran sel-sel ini, terjadi hiperbilirubinemia dan ikterus neonatal.
Komplikasi metabolik dan hipoglikemia juga dapat terjadi. Kebutuhan akan
layanan perawatan intensif lebih besar ketika berat bayi baru lahir melebihi
4.500g.
 Fetal
Lebih sering, janin dari ibu diabetik mengembangkan kelainan metabolisme
(metabolisme anaerob, dengan akumulasi asam laktat) yang menyebabkan lahir
mati. Tingkat kelahiran mati hampir dua kali lipat pada bayi makrosomik. Pada
kehamilan diabetes, kematian terjadi pada sekitar 8/1000 dari kasus. Antara
4500g dan 5000g, angka kematian kurang dari 2/1000; dan antara 5000g dan
5500g, angka ini adalah 5 hingga 18 kematian per 1000 persalinan pada
kehamilan non-diabetes dan sekitar 40 kematian per 1000 persalinan pada
kehamilan diabetik.

2.2.6 PROGNOSIS
Ada beberapa bukti yang menghubungkan antara makrosomia dan masalah
kesehatan jangka panjang yang berkembang di kemudian hari, seperti resistensi
insulin, hipertensi, dan obesitas. Sebuah studi tentang tikus makrosomik menemukan
bahwa pejantan dengan makrosomia telah meningkatkan kemungkinan berat badan
yang lebih berat, resistensi insulin, dan gangguan toleransi glukosa dibandingkan
dengan pejantan yang bukan makrosomia. Pada wanita, ada hubungan dengan
makrosomia dan tekanan darah yang lebih tinggi, daripada tubuh masalah berat badan
atau kontrol glikemik.8

19
DAFTAR PUSTAKA

1. KEMENKES. Pedoman Penanggulangan Hepatitis Virus. Dalam: Berita


Negara Republik Indonesia, No. 1126. Kementrian Kesehatan RI, Jakarta.
2015: 9.
2. KEMENKES. Situasi Penyakit Hepatitis B di Indonesia. Dalam : Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Kementrian Kesehatan RI, Jakarta.
2017: 2.
3. World Health Organization. Hepatitis B. WHO, Geneva. 2018.
4. Surya I, Mulyana R, dkk. VHB dan Penularannya. Dalam: Kehamilan dengan
Hepatitis B, Edisi 1. Sagung Seto, Jakarta. 2016: 9-18, 71-2.
5. Odom JD, Tita A, et al. Hepatitis B in Pregnancy Screening, Treatment, and
Prevention of Vertical Transmition. In: Society for Materlnal-Fetal Medicine,
Series 38. America Journal of Obstetrics& Gynecology, Washington DC.
2016: 7-8.
6. Bourgia G, Carleo MA, et al. Hepatitis B in Pregnancy. In: World Journal of
Gastroenterology, Volume 18. Baishideng, Naples. 2012: 4678.
7. Troung A, Walker S. Management of Hepatitis B in Pregnancy. The Royal
Australian and New Zealand College of Obstetricians and Gynaecologists,
Melbourne. 2016: 2,6.
8. Bour AR, Springel EH. Macrosomia. In: Obstetrics & Gyneclogy. Medscape,
Virginia. 2017.
9. Barth WH. Fetal Macrosomia. In: Practice Bulletin, Number 173. The
America College of Obstetricians and Gynecologists, Washington DC. 2016:
2-4.

20
10. Glodean DM, Miclea D, et al. Macrosomia. A Systematic Review of Recent
Literature. In: Roumanian Journal of Diabetics Nutrition & Metabolic
Disease, Volume 25, Chapter 2. Ilex Publishing House, Bucharest. 2018: 189-
191.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Status Ibu Hamil


ANAMNESA PRIBADI
Nama : Ny. K
Umur : 27 tahun
Suku : Batak
Alamat : Medan
Agama : Protestan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SMA
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Masuk : 12 Maret 2019
Jam Masuk : 22.24 WIB

ANAMNESA PENYAKIT
Ny. K, 27 tahun, G1P1001, Batak, Protestan, SMA, Ibu Rumah Tangga. Istri dari Tn.
H, 30 tahun, Batak ,Protestan , S1, Wiraswasta. Datang dengan keluhan:
Keluhan Utama : Mules – mules mau melahirkan
Telaah : Hal ini dirasakan OS sejak ± 1 hari ini sebelum masuk
rumah sakit.Riwayat keluar lendir darah dijumpai,
Riwayat keluar air dari kemaluan tidak
dijumpai,Riwayat mual dan muntah tidak dijumpai,

21
penurunan nafsu makan dijumpai, BAK dan BAB
dalam batas normal.
RPT : Hepatitis B
RPO : Tidak jelas
Riwayat Pekerjaan, Sosioekonomi dan Psikososial yaitu
ibu rumah tangga, ekonomi menengah ke bawah dan
tidak ada riwayat gangguan psikososial.

RIWAYAT MENSTRUASI
Menarche : 14 Tahun
Lama : 7 Hari
Siklus : 28 Hari
Volume : ± 2 doek/hari
Nyeri : tidak ada
HPHT : 03Juni 2018
TTP : 10 Maret2019
ANC : Bidan4x, Sp.OG 2x

RIWAYAT MENIKAH
Pasien menikah pada usia 25 tahun

RIWAYAT PERSALINAN
1. Hamil ini

PEMERIKSAAN FISIK
VITAL SIGN
Sens : compos mentis Anemis :-
TD : 110/70 mmHg Ikterik :+
Nadi : 84 x/i Sianosis :-

22
Pernafasan : 20 x/i Dyspnoe :-
Suhu : 36,7oC Oedema :-
Tinggi Badan : 150cm
Berat Badan : 70 kg
STATUS GENERALISATA
Kepala : Dalambatas normal
Mata : Konjungtivaanemis (-/-), ikterik (+/+)
Leher : Pembesaran KGB (-/-)
Thorax
Inspeksi : Simetris fusiformis
Palpasi : SF kanan = kiri
Perkusi : Sonor di kedualapanganparu
Auskultasi : Vesikuler
Jantung : S1 (N), S2 (N), S3 (-), S4 (-) reguler, murmur (-)
Paru : SuaraPernafasan : Vesikuler
Suara Tambahan : Tidak Ada
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2 detik, Clubbing finger (-),
Oedem Pretibial (-/-)

STATUS OBSTETRI
Abdomen : Membesar asimetris
Tinggi Fundus Uteri : 38 cm
Teregang : kanan
Terbawah : kepala, 4/5, divergen
GerakJanin : (+)
Denyut Jantung Janin : (+) 146 x/i, reguler
HIS : 2x20”/10’
EFW : 4030 g

23
PEMERIKSAAN DALAM
Adekuasi panggul:
- Promontorium tidak teraba, konjugata diagonal 13 cm, konjugata vera 11,5
cm
- Linea innominate teraba 2/3 anterior
- Arcus pubis tumpul
- Spina ischiadica tidak menonjol
- Os sacrum cekung
- Os coccygeus mobile
Kesan: panggul adekuat

VT : cervix sacral. terbuka 2 cm, ef 100%, Hodge : I, UUK: ?, selaput


ketuban (+)
ST : Lendir darah (+), Air Ketuban (-)

PEMERIKSAAN USG TAS


Janin tunggal, Presentasi kepala, Anak hidup
Fetal movement (+), fetal heart rate (+) 136 kali/menit reguler
Biparietal diameter : 92,1mm
Head Circumference : 35,1 cm
Abdominal circumference : 347 mm
Amnotic Fluid Index : 6,1 cm
Femurlength : 78 mm
Estimated Fetal Weight : 4030 gr
Plasenta : fundal grade III

24
Kesimpulan : KDR (39-40) minggu + PK + AH

LABORATORIUM
12 Maret 2019
Test Result Unit References
Hemoglobin 11,2 g/dl 12-16
Eritrosit 4.09 106/µL 4.0-5.40
Leukosit 10.34 103/µL 4.0-11.0
Hematokrit 33.5 % 36.0-48.0
Platelet 330 103/µL 150-400
Ureum 14 mg/dl 10.0-50.0
Creatinin 0.71 mg/dl 0.6-1.2
Glukosa ad random 90.00 mg/dl <140
Natrium 144.10 mmol/L 136-155
Kalium 4.10 mmol/L 3.50-5.50
Klorida 114.00 mmol/L 95.00- 103.00
APTT 28.0 Detik 28.6- 42.7
PT 12.6 Detik 11.6-14.5
INR 0,92 Detik 1-1.3
Anti HIV Negatif Negatif
HbsAg kualitatif Reaktif Negatif

DIAGNOSA KERJA
Makrosomia + PG + KDR (39-40 minggu) + PK + AH + Hep B + inpartu

RENCANA TATALAKSANA

25
TERAPI MEDIKAMENTOSA
- IVFD RL 20 gtt/i
- Inj.ceftriaxone1gr/ 12 jam

RENCANA TINDAKAN
- SC Emergensi (Selasa, 12 Maret 2019)
- Konsul anestesi
- Konsul perinatology

LAPORAN SECTIO CAESARIA


WAKTU TINDAKAN
23.30 – 23.35 Pasien dibaringkan diatas meja operasi dengan posisi supine
dengan infus dan kateter terpasang baik.
Dilakukan anestesi spinal, ditunggu dan dipastikan pasien
23.35 – 23.45 teranestesi dengan memerintahkan pasien untuk menggerakkan
anggota gerak bagian bawah, anestesi berhasil ditandai dengan
pasien tidak mampu menggerakkan anggota gerak bawah.
Operator mencuci tangan degan cara fuerbringer dan memakai
23.45 – 23.55 alat pelindung diri seperti cap, masker, apron, sepatu boat, baju
steril dan sarung tangan steril.
Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada lapangan
23.55 – 00.01 operasi dengan povidon iodine dan alkohol 70% lalu ditutup
dengan doek steril kecuali lapangan operasi
00.01 Time out

Di bawah general anastesi dilakukan insisi pfannenstiel mulai


dari kutis, subkutis, sampai fascia sepanjang 10 cm.Dengan
menyisipkan pinset anatomi di bawahnya, fascia digunting ke
arah kiri dan ke kanan, otot disisihkan secara tumpul dari

26
lapisan peritoneum. Peritoneum visceralis dijepit dengan pinset
anatomis, diangkat lalu digunting ke atas dan ke
00.01 – 00.20 bawah.Tampak uterus gravidarum sesuai kehamilan.
Identifikasi Segmen Bawah Rahim (SBR). Dilakukan insisi
low concave di segmen bawah rahim (SBR) sampai lapisan
subendometrial. Endometrium ditembus dengan klem dan
dilebarkan secara tumpul sesuai arah sayatan. Selaput ketuban
dipecahkan, terlihat cairan amnion yang jernih. Lahir bayi
perempuan, dengan berat badan :4030 gram, panjang badan :
50 cm, apgar score : 8/9, anus : (+). Tali pusat diklem di dua
sisi dengan jarak ± 5 cm dari pusat bayi dan digunting
diantaranya
Dilakukan penjepitan tepi luka dengan menggunakan 4 oval
klem, dilakukan management aktif kala III dengan injeksi
oxytocin 10 IU secara IV. Kemudia plasenta dilahirkan dengan
00.20 – 00.22 metode peregangan tali pusat terkendali. Identifikasi plasenta,
Kesan : plasenta lahir lengkap.kemudian diberikan injeksi
metilergometrin 0,2 mg secara IV. Cavum Uterus dibersihkan
dengan kassa steril. Kesan : bersih
00.22– 00.30 Dilakukan penjahitan ± 1cm dari ujung luka insisi uterus
dengan benang vicryl No.2. dilakukan penjahitan continous
dengan menembus bagian myometrium sampai endometrium.
Kemudian diteruskan sampai ujung luka.
Identifikasi tuba fallopi dan Ovarium, kesan : dalam batas
normal. Rongga abdomen dibersihkan dari darah dan stoll sel.
Kesan : bersih.
Evaluasi perdarahan, kesan : perdarahan terkontrol.
Evaluasi kontraksi uterus, kesan : kontraksi adekuat.

27
Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis sebagai berikut
:peritoneum dijahit secara continuous suture dengan benang
plain catgut 2.0. Otot dijahit secara simple interupred suture
00.30 – 00.40 dengan benang plain catgut 2.0. Fascia dijahit secara
continuous dengan benang vicryl 2.0. Subkutis dijahit secara
simple interupred suture dengan benang chromic catgut 2.0.
Kutis dijahit dengan benang vicryl 2.0
00.40 – 00.45 Penjahitan selesai, luka pada dinding perut selesai dijahit dan
ditutup dengan supratule, kassa dan hypafix. Vagina
dibersihkan dari sisa darah dan membersihkan stoll sel dengan
kain kasa.
Operasi selesai, keadaan umum ibu post operasi :
Sensorium : compos mentis
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
00.45 Nadi : 74 x/i
Pernafasan : 20 x/i
Suhu : 36,5oC
Kontraksi : (+)

Pemantauan Kala IV
Waktu 00.45 01.00 01.15 01.30 01.45 02.15 02.45
Tekanan darah 130/ 120/ 120/ 110/ 120/ 120/ 110/
(mmHg) 70 80 70 70 70 70 60
Nadi (menit) 74x/i 82x/i 80x/i 74x/i 74x/i 80x/i 89x/i
Pernapasan 20 x/i 21 x/i 20 x/i 20 x/i 20 x/i 20 x/i 20 x/i
(menit)
Suhu 36.5oC 36.3oC 36.2oC 36.5oC 36.4oC 36.3oC 36.0C
Perdarahan Min Min Min min Min Min Min

28
Kontraksi uterus + + + + + + +

RENCANA TATALAKSANA POST SC


Terapi Medikamentosa
- Bed Rest
- IVFD RL 30 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 6 jam
- Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam

RencanaTindakan
- Awasi vital sign, kontraksi uterus, dan perdarahan.
- Cek DL 2 jam pasca operasi.
Hasil Laboratorium 2 Jam Post SC
Hemoglobin : 10,2 g/dL
Hematokrit : 32,1 %
Leukosit : 11.180 /mm3
Trombosit : 255 /m

29
FOLLOW UP PASIEN
Follow Up Pasien
Tanggal Follow up
12 Maret 2019 S : Post operasi sectio caesaria
O :
SP : Sens : CM
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/ menit
Pernafasan: 21 x/menit
Suhu : 36,7oC
SL : Abdomen : soepel, peristaltik (+)
TFU : 2 jari di bawah pusat, kontraksi kuat
L/O : Tertutup perban, kering
P/V : (-) Lochia, (+) rubra
BAK : (+) via kateter urine 50 cc/jam. Kuning
jernih
BAB : (-), Flatus (-)
A: Post SC a/i makrosomia +Hepatitis B + NH0
P :IVFD RL + oksitosin 10 iu 20 gtt/menit
Inj.Ceftriaxone 1gr/ 12 jam
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam
R/ Pantau perdarahan pervaginam, kontraksi uterus,
vital sign, uop.
R/ cek DR post 2 jam post operasi

30
13 Maret 2019 S :Nyeri Luka Operasi
O :
Sens: CM
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 84 x/ menit
Pernafasan : 21 x/menit
Suhu: 36,6oC
SL: Abdomen : Soepel, peristaltik (+) N
TFU : 2 jari di bawah pusat, kontraksi kuat
L/O : Tertutup perban, kering
P/V : (-) Lochia, (+) rubra
BAK : (+) Via kateter urine 50 cc/jam, kuning
jernih.
BAB : (-), Flatus (+)
A : Post sc a/i makrosomia + Hepatitis B + NH1
P : IVFD RL 20 gtt/menit
Inj. Ketorolac 30 mg/ 8 jam
Inj. ceftriaxone 1gr/ 12 jam
R/ - Aff kateter
- Konsul interna
- Mobilisasi
14 Maret 2019 S : Nyeri luka bekas operasi
O : SP :Sens : CM
TD : 120/70 mmHg
Nadi : 86 x/ menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu : 36,2oC
SL : Abdomen : Soepel, peristaltik (+) Normal

31
TFU : 2 jari di bawah pusat
P/V : (-) Lochia (+) rubra
BAK : (+) via kateter 5cc/jam, warna kuning jernih.
BAB : (+) Normal, flatus (+)
A : Post SC a/i makrosomia + Hepatitis B + NH2
P :Cefadrosil tab 3x500 mg
Asam mefenamat 3x500mg
B.comp 2x1
R/ PBJ hari ini
Kontrol poli PIH

32
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus ini seorang perempuan berusia 27 tahun, G1P0A1, Batak, Protestan,
S1, Ibu Rumah Tangga. Istri dari Tn. H, 30 tahun, Batak, Protestan, S1, Wiraswasta.
Datang dengan keluhan mules – mules mau melahirkan, hal ini dirasakan os sejak ± 1
hari ini sebelum masuk rumah sakit, riwayat keluar lendir darah dijumpai, riwayat
keluar air- air dari kemaluan tidak dijumpai, mual muntah tidak dijumpai, penurunan
nafsu makan dijumpain,BAK dan BAB dalam batas normal.Pasien ini merupakan
pasien yang didiagnosa dengan ”Makrosomia + PG + KDR (39-40 minggu) + PK +
AH + Hep B + inpartu” Diagnosa ditegakkan berdasakan hasil anamnesa,
pemeriksaan fisik,dan pemeriksaan penunjang laboratorium.
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjukkan risiko, tanda, dan
gejala klinis infeksi hepatitis B, diagnosis infeksi hepatitis B membutuhkan
pemeriksaan darah pasien untuk melihat HbsAg (Hepatitis B surface antibody),
(HBsAb), dan Hepatitis B core antibody (HbcAb). Jika adanya HBsAg
mengindikasikan bahwa seseorang dalam keadaan infeksius, maka HBsAb
mengindikasikan adanya proses penyembuhan dan imunitas dari infeksi HBV atau
berhasilnya proses imunisasi melawan infeksi HBV. HbcAb muncul pada infeksi
Hepatitis B akut pada onset awal penyakit, tetapi juga mengindikasikan infeksi HBV
kronik.
Pada kasus ini, selama kehamilannya pasien tidak mengetahui bahwa dirinya
infeksi Hepatitis B, dan baru mengetahui saat dilakukan pemeriksaan laboratorium
berupa pemeriksaan darah yang dilakukan sebelum tindakan section cesaria, dimana
dijumpai HbsAg nya reaktif, hal ini merupakan resiko terhadap janin dan penolong
persalinan. Resiko terhadap penolong dikarenakan jika tidak ada indikasi untuk

33
section cesaria maka pemeriksaan darah tidak akan dilakukan dan infeksi Hepatitis B
pasien tidak akan diketahui, sehingga alat proteksi diri tidak di persiapkan. Resiko
terhadap janin dikarenakan tidak adanya persiapan HBIg untuk diberikan kepada bayi
disaat bayi lahir.
Pada kasus ini seorang perempuan berusia 27 tahun, G1P0A1 dari periksaan
dijumpai tinggi fundus uteri 38 cm. Pasien ini merupakan pasien yang didiagnosa
dengan ”Makrosomia + PG + KDR (39-40 minggu) + PK + AH + Hep B + inpartu”
Diagnosa ditegakkan berdasakan pemeriksaan fisik obstertri, dan pemeriksaan
penunjang berupa USG transabdominal.
Pada kasus diatas kami mediagnosis pasien tersebut dengan makrosomia karena
dari pemriksaan obstetri Pengukuran ketinggian rahim, dan manuver Leopold, untuk
memperkirakan dimensi dan presentasi janin. Investigasi ultrasonografi dua dimensi
adalah metode yang paling umum untuk menyelidiki wanita hamil.

BAB V
PERMASALAHAN

1. Ibu Lose of Control terhadap penyakit Hepatitis B nya, sehingga tidak


mengetahui bahwa dirinya terinfeksi Hepatitis B.
2. Ketidaktahuan pasien terhadap infeksi Hepatitis B pada dirinya selama
kehamilan, dapat beresiko terhadap janin dan penolong persalinan. Dimana
tidak adanya HBIg (Hepatitis B Imunoglobulin) untuk bayi saat lahir dan
persiapan (APD) alat proteksi diri untuk penolong persalinan.
3. Sampai dimana tindakan yang kita berikan kepada pasien ini dengan kapasitas
kita sebagai dokter umum?

34
35

Anda mungkin juga menyukai