Anda di halaman 1dari 62

HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN AKTIVITAS

FISIK ANAK SEKOLAH DENGAN STATUS GIZI LEBIH DI


DAERAH PERKOTAAN DAN PERDESAAN BOGOR

PRATIWI RAHMA AYU

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Pola
Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik Anak Sekolah dengan Status Gizi Lebih di
Daerah Perkotaan dan Perdesaan Bogor adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Pratiwi Rahma Ayu


NIM I14114023

__________________________
*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak
luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait
ABSTRAK
PRATIWI RAHMA AYU. Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik
Anak Sekolah Dasar dengan Status Gizi Lebih di Daerah Perkotaan dan Perdesaan
Bogor. Dibimbing oleh FAIZAL ANWAR dan SRI ANNA MARLIYATI.

Prevalensi obesitas terus meningkat termasuk pada masa anak-anak, tidak


hanya di perkotaan (10.4%) tetapi juga di perdesaan (8.1%). Tujuan penelitian ini
adalah menganalisis hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik
anak sekolah dasar dengan status gizi lebih di daerah perkotaan dan perdesaan
Bogor. Desain studi yang digunakan adalah cross sectional. Contoh merupakan 60
anak kelas 4 dan 5 di SDN Polisi 5 dan SDN Babakan Dramaga 4 yang
mempunyai status gizi overweight dan obes, serta dalam keadaan sehat. Data yang
diambil antara lain karakteristik anak dan keluarga, pola konsumsi serta aktivitas
fisik. Rata-rata z-score (IMT/U), asupan energi, protein dan lemak di perkotaan
lebih tinggi dibandingkan di perdesaan, sedangkan asupan karbohidrat di
perkotaan lebih kecil dibandingkan perdesaan. Sebagian besar aktivitas fisik di
perkotaan dan perdesaan dalam kategori ringan. Pendapatan keluarga, umur orang
tua serta besar uang saku anak di perkotaan lebih tinggi secara nyata dibandingkan
di perdesaan (p<0.05). Terdapat hubungan signifikan antara status gizi ibu
(p=0.040, r=0.266), asupan energi (p=0.000, r=0.505), protein (p=0.003, r=0.381),
dan lemak (p=0.001, r=0.426) dengan status gizi lebih pada anak.
Kata kunci: pola konsumsi, aktivitas fisik, status gizi lebih.

ABSTRACT
PRATIWI RAHMA AYU. Pattern of Food Consumption and Physical Activity of
Overweight and Obese Elementary School children in Urban and Rural Areas of
Bogor. Supervised by FAIZAL ANWAR and SRI ANNA MARLIYATI.

The prevalence of obesity continues to increase, including in childhood,


not only in urban areas (10.4%) but also in rural areas (8.1%). The purpose of this
research was to analyze the relationship between the pattern of food consumption
and physical activity of elementary school children with overweight and obese
status in urban and rural areas of Bogor. The research was conducted by applying
a cross sectional study design. Subjects consist of 60 elementary school children
of 4th and 5th graders in SDN Polisi 5 and SDN Babakan Dramaga 4, that had
overweight and obese status, and in good health. Data was collected include child
and family characteristics, patterns of consumption and physical activity. The
average z-score (BMI/A), energy intake, protein intake and fat intake was higher
in urban areas than in rural areas, whereas intake of carbohydrates was lower in
urban than rural. The majority of physical activity in urban areas and rural were in
the mild category. Family income, age of parents and children allowance of urban
area were higher significantly (p<0.05) than rural area. There were a significant
correlation between maternal nutritional status (p=0.040, r=0.266), energy intake
(p=0.000, r=0.505), protein intake (p=0.003, r=0.381), and fat intake (p=0.001,
r=0.426) with overweight and obese status of children.
Key word : consumption patterns, physical activity, overweight and obese
RINGKASAN

PRATIWI RAHMA AYU. Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas


Fisik Anak Sekolah dengan Status Gizi Lebih di Daerah Perkotaan dan Perdesaan
Bogor. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Faizal Anwar, MS dan Dr. Ir. Sri Anna
Marliyati, MS

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis hubungan pola konsumsi


pangan dan aktivitas fisik anak sekolah dengan status gizi lebih di daerah
perkotaan dan perdesaan Bogor. Tujuan khusus yaitu (1) Mengidentifikasi
karakteristik keluarga dan anak sekolah dasar di perkotaan dan perdesaan Bogor,
(2) Mengkaji kebiasaan makan, kebiasaan sarapan, konsumsi pangan dan
aktivitas fisik anak sekolah dasar di perkotaan dan perdesaan Bogor, dan (3)
Menganalisis hubungan karakteristik anak sekolah dasar, keluarga, kebiasaan
makan, kebiasaan sarapan, konsumsi pangan dan aktivitas fisik anak sekolah
dengan status gizi lebih.
Desain studi yang akan digunakan pada penelitian ini adalah desain cross
sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2013 bertempat di SDN
Polisi 5 untuk perwakilan daerah perkotaan dan SDN Babakan Dramga 4 untuk
daerah perdesaan. Contoh dalam penelitian ini yiatu anak kelas 4 dan 5 yang
memenuhi kriteria inklusi yaitu anak usia 8-12 tahun, memiliki status gizi
overweight dan obes (indeks z-score>+1), dalam keadaan sehat, bersedia
mengikuti penelitian. Jumlah sampel yaitu 60 anak yang terdiri dari 30 anak dari
perkotaan dan 30 anak dari perdesaan.
Rata-rata umur anak di perkotaan 10.7 tahun dan anak di perdesaan 10.8
tahun. Sebagian besar anak berumur 11 tahun dengan persentase 66.6% di
perkotaan dan 43.3% di perdesaan. Jumlah anak perkotaan yang berjenis kelamin
laki-laki sebesar 50% dan perempuan 50%, sedangkan di perdesaan jumlah laki-
laki 46.7% dan perempuan 53.3%. Rata-rata uang saku anak di perkotaan lebih
tinggi dibandingkan perdesaan yaitu Rp. 12.800 dan Rp. 7.100. Tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara umur anak di perkotaan dan perdesaan (p>0.05),
tetapi terdapat perbedaan yang signifikan antara besar uang saku anak di
perkotaan dan perdesaan (p<0.05).
Rata-rata umur ayah dan ibu di perkotaan yaitu 45.8 dan 42 tahun
sedangkan di perdesaan yaitu 40.6 dan 37.2 tahun. Tidak terdapat perbedaan
antara umur ayah dan ibu di perkotaan dan perdesaan (p>0.05). Sebagian besar
pendidikan ayah dan ibu di perkotaan yaitu tamat perguruan tinggi, sedangkan di
perdesaan yaitu tamat SMA. Sebagian besar pekerjaan ayah di perkotaan sebagai
pegawai swasta (43.3%), sedangkan di perdesaan sebagai wiraswasta (40%). Baik
di perkotaan dan perdesaan ibu tidak bekerja. Pendapatan keluarga perkotaan
lebih besar dibandingkan perdesaan. Rata-rata pendapatan keluarga di perkotaan
yaitu Rp. 5.094.000 dan di perdesaan yaitu Rp. 3.251.300. Terdapat perbedaan
signifikan antara pendapatan orang tua anak di perkotaan dan perdesaan (0<0.05).
Sebagian besar status gizi ayah di perkotaan masuk dalam kategori kegemukan
(50%), sedangkan di perdesaan normal (56.7%). Status gizi ibu di perkotaan dan
perdesaan sama-sama masuk dalam kategori normal yaitu 46.7% dan 48.3%.
Tidak ada perbedaan antara IMT orang tua contoh di perkotaan dan perdesaan
(p>0.05).
Sebagian besar di perkotaan dan perdesaan makan 3 kali dalam sehari yaitu
sama-sama 70%. Baik di perkotaan dan perdesaan sebagian besar contoh selalu
sarapan yaitu 60% di perkotaan dan 66.7% di perdesaan. Terdapat 20% anak tidak
terbiasa sarapan baik di perkotaan maupun perdesaan. Nasi merupakan jenis
makanan pokok yang paling banyak dikonsumsi oleh anak di kedua SD. Pangan
hewani yang paling banyak dikonsumsi yaitu daging ayam, telur dan ikan segar,
sedangkan pangan nabati yang paling sering dikonsumsi yaitu tahu dan tempe.
Sayur yang paling sering dikonsumsi oleh anak di perdesaan dan perkotaan yaitu
bayam dan kangkung. Buah yang paling sering dikonsumsi pada kedua SD yaitu
jeruk dan pisang. Frekuensi konsumsi susu sebagian besar yaitu <3 kali/minggu.
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara frekuensi konsumsi pangan di
daerah perkotaan dan perdesaan (p>0.05).
Asupan rata-rata energi contoh di perkotaan yaitu 2016±395 kkal/kap/hari
sedangkan di perdesaan lebih kecil (1904±352 kkal/kap/hari). Asupan rata-rata
protein protein perkotaan yaitu 55.2±14.1 g/kap/hari dan di perdesaan 51.0±13.2
g/kap/hari. Untuk asupan lemak di perkotaan sebesar 72.2±16.2 g/kap/hari dan
perdesaan sebesar 67.2±19.3 g/kap/hari. Rata-rata asupan karbohidrat di perkotaan
lebih kecil dibandingkan dengan perdesaan yaitu berturut-turut 339.0±128.0
g/kap/hari dan 358.0±169.6 g/kap/hari. Tidak ada perbedaan yang signifikan
antara asupan energi, protein, lemak dan karbohidrat di perkotaan dan perdesaan
(p>0.05).
Rata-rata nilai PAL anak yaitu 1.41±0.15 dengan kisaran antara 1.21 sampai
1.81. Di perkotaan rata-rata nilai PAL yaitu 1.42±0.16, dengan nilai PAL tertinggi
1.80 dan terendah 1.21. Rata-rata nilai PAL di perdesaan lebih rendah
dibandingkan dengan perkotaan yaitu 1.40±0.14, dengan kisaran nilai PAL antara
1.26 sampai 1.81. Aktivitas fisik contoh diukur berdasarkan PAL. Sebagian besar
PAL contoh masuk dalam kategori ringan, yaitu 86.7% di perkotaan dan 96.7% di
perdesaan. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara aktivitas fisik anak
SD di daerah perkotaan dan perdesaan (p>0.05).
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang
signifikan (p<0.05) antara besar uang saku anak dengan status gizi lebih. Hasil uji
korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05)
antara pendapatan keluarga dan status gizi ayah dengan status gizi lebih, tetapi
terdapat hubungan yang signifikan (p<0.05) antara status gizi ibu dengan status
gizi lebih pada anak.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan (p>0.05)
yang signifikan antara frekuensi makan dan kebiasaan sarapan dengan status gizi
lebih. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan
(p<0.05) antara asupan energi, protein dan lemak dengan status gizi lebih pada
anak, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan antara asupan karbohidrat
dengan status gizi lebih. Berdasarkan uji korelasi Spearman tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p>0.05) antara aktivitas fisik dengan status gizi lebih.
HUBUNGAN POLA KONSUMSI PANGAN DAN AKTIVITAS
FISIK ANAK SEKOLAH DENGAN STATUS GIZI LEBIH DI
DAERAH PERKOTAAN DAN PERDESAAN BOGOR

PRATIWI RAHMA AYU

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
Judul Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik Anak Sekolah
dengan Status Gizi Lebih di Daerah Perkotaan dan Perdesaan Bogor
Nama Pratiwi Rahma Ayu
NRP 114114023

Disetujui oleh

Prof.Dr.Ir. Faizal Anwar, MS Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS

Pembimbing I Pembimbing II

Tanggal Lulus: o 7 OCT 2013


Judul : Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas Fisik Anak Sekolah
dengan Status Gizi Lebih di Daerah Perkotaan dan Perdesaan Bogor
Nama : Pratiwi Rahma Ayu
NIM : I14114023

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Faizal Anwar, MS Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS
Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bangsa Indonesia menghadapi masalah gizi terutama gizi kurang pada


anak-anak, tetapi di sisi lain dihadapkan dengan adanya masalah gizi lebih yang
terjadi pada masyarakat termasuk pada anak usia sekolah. Berbagai data
menunjukan kecenderungan prevalensi obes yang terus meningkat setiap tahunnya
baik di negara maju maupun negara berkembang (Akhmadi 2009).
Obesitas adalah keadaan dimana terdapat penimbunan kelebihan lemak di
tubuh yang berlebihan pada seseorang. Obesitas disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara jumlah energi yang masuk dengan yang dibutuhkan
oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis (Jahari 2004). Obesitas pada masa anak
dapat meningkatkan kejadian diabetes mellitus (DM) tipe 2. Selain itu juga
berisiko untuk menjadi obesitas pada saat dewasa dan berpotensi mengakibatkan
gangguan metabolisme glukosa serta penyakit degeneratif seperti penyakit
jantung, penyumbatan pembuluh darah dan lain-lain. Obesitas pada anak usia 6-7
tahun juga dapat menurunkan tingkat kecerdasan karena aktivitas dan kreativitas
anak menjadi menurun dan cenderung malas akibat kelebihan berat badan (Sjarif
2004).
Berdasarkan data hasil laporan World Health Organization (WHO)
prevalensi kelebihan berat badan dan obes tahun 1980 sampai 2005 di kalangan
anak-anak usia sekolah telah mengalami peningkatan hampir disetiap negara
(Wang 2006). Prevalensi berat badan lebih dan obes anak di dunia pada tahun
1990 yaitu sebesar 4.2% meningkat menjadi 6.7% pada tahun 2010. Di Afrika
prevalensi berat badan lebih dan obes pada anak tahun 2010 yaitu 8.5% (Onis et
al. 2010). Penelitian di Cina, kurang lebih 10% anak sekolah mengalami obesitas,
sedangkan di Jepang prevalensi obes pada anak umur 6-14 tahun berkisar antara 5
sampai 11% (Rosita et al. 2011).
Prevalensi berat badan lebih di Indonesia pada anak laki-laki usia 6-14
tahun sebesar 9.5% dan perempuan 6.4% (Riskesdas 2007). Hasil RISKESDAS
tahun 2010 menunjukan prevalensi overweight dan obesitas pada anak sekolah
(6-12 tahun) sebesar 9.2%. Sejak tahun 1970 hingga 2010, kejadian obesitas
meningkat dua kali lipat pada anak usia 2-5 tahun dan usia 12-19 tahun, bahkan
meningkat tiga kali lipat pada usia 6-11 tahun (Mexitalia et al. 2005).
Dewasa ini obesitas mengalami pergeseran, awalnya obesitas cenderung
dikaitkan dengan masyarakat perkotaan namun sekarang obesitas juga dialami
oleh masyarakat perdesaan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2007
prevalensi berat badan lebih anak perempuan diperkotaan lebih tinggi (10.6%)
dibandingkan daerah perdesaan (8.8%), begitu pula untuk anak laki-laki di daerah
perkotaan lebih tinggi (7.1%) dibandingkan daerah perdesaan (6.0%). Pada data
RISKESDAS 2010 prevalensi berat badan lebih di daerah perkotaan juga masih
lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan yaitu 10.4% dan 8.1%. Hasil
yang sama ditunjukan pada survey di 36 negara berkembang menyebutkan
obesitas banyak terjadi di daerah urban (51%) daripada di daerah rural (38%)
(Mendez et al. 2005).
2

Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa pola konsumsi pangan


berpengaruh pada kejadian obes. Aktivitas fisik yang kurang juga terbukti berbeda
signifikan antara anak obesitas dan anak tidak obesitas (Suryaputra dan Nadhiroh
2012). Dengan berbagai pertimbangan yang telah diuraikan, maka peneliti tertarik
untuk meneliti hubungan pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik pada anak
sekolah dengan status gizi lebih di daerah perkotaan dan perdesaan Bogor.

Tujuan

Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola
konsumsi pangan dan aktivitas fisik anak sekolah dengan status gizi lebih di
daerah perkotaan dan perdesaan Bogor.

Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik keluarga dan anak sekolah dengan status gizi
lebih di daerah perkotaan dan perdesaan Bogor
2. Mengkaji frekuensi makan dan kebiasaan sarapan anak sekolah dengan status
gizi lebih di daerah perkotaan dan perdesaan Bogor
3. Mengkaji konsumsi pangan anak sekolah dengan status gizi lebih di daerah
perkotaan dan perdesaan Bogor
4. Mengkaji aktifitas fisik anak sekolah dengan status gizi lebih di daerah
perkotaan dan perdesaan Bogor
5. Menganalisis hubungan antara frekuensi makan, kebiasaan sarapan,
konsumsi pangan dan aktivitas fisik anak sekolah dengan status gizi lebih di
daerah perkotaan dan perdesaan Bogor

Manfaat Penelitian

Kegunaan penelitian “Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas


Fisik Anak Sekolah dengan Status Gizi Lebih di Daerah Perkotaan dan Perdesaan
Bogor” yaitu diharapkan dapat menyediakan masukan bagi institusi pendidikan
yang bersangkutan terutama siswa, guru dan orang tua mengenai keterkaitan
antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik pada anak sekolah dengan
kejadian obesitas. Dengan demikian dapat dijadikan pertimbangan bagi orang tua,
pendidik serta pengambil kebijakan dalam upaya membimbing dan meningkatkan
keberhasilan belajar siswa Sekolah Dasar.
3

KERANGKA PEMIKIRAN

Obesitas kini dinyatakan oleh World Health Organization (WHO) sebagai


epidemik global, serta menjadi suatu masalah kesehatan yang harus ditangani
karena prevalensi yang terus meningkat setiap tahun baik di perkotaan maupun
perdesaan. Penelitian membuktikan bahwa pola konsumsi pangan berpengaruh
terhadap kejadian obesitas (Suryaputra dan Nadhiroh 2012). Kegemukan atau
obesitas dapat terjadi karena adanya keseimbangan energi yang positif.
Keseimbangan energi positif ini disebabkan oleh pemasukan energi melalui
konsumsi pangan yang lebih besar dibandingkan pengguanaan energi untuk
aktivitas fisik. Pola konsumsi pangan meliputi frekuensi makan, kebiasaan
sarapan dan konsumsi pangan dapat mempengaruhi asupan energi yang masuk.
Sehingga jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik maka dapat menyebabkan
penumpukan energi yang kemungkinan terjadi kegemukan (Suryaalamsyah 2009).
Asupan energi dan zat gizi lain dipengaruhi oleh karakteristik anak itu sendiri
antara lain umur, jenis kelamin dan besar uang saku. Selain karakteristik anak,
karakteristik orang tua misalnya umur, pendidikan, pekerjaan, pendapatan juga
dapat mempengaruhi jumlah konsumsi pangan pada anak. Karakteristik orang tua
atau keluarga juga dapat mempengaruhi pada karakteristik anak.
Aktivitas fisik merupakan salah satu penentu penting dalam peningkatan
berat badan, karena kondisi yang inaktif dapat menimbulkan kejadian gizi lebih.
Obesitas lebih berpotensi pada orang dengan aktivitas fisik ringan (Saraswati
2012). Faktor keturunan berpengaruh terhadap gangguan keseimbangan energi.
Bila kedua orang tua tidak gemuk, maka kemungkinan anak menjadi gemuk
adalah 9%. Bila salah satu orang tua gemuk, maka kemungkinan anak menjadi
gemuk adalah 41-51%, sedangkan apabila kedua orang tua gemuk, maka
kemungkinan anak menjadi gemuk sebesar 66-80%.

Karakteristik anak: Karakteristik keluarga:


‐ Umur ‐ Umur orang tua
‐ Jenis kelamin ‐ Pekerjaan orang tua
‐ Besar uang saku ‐ Pendapatan keluarga
‐ Pendidikan orang tua
‐ BB dan TB

Pola konsumsi pangan

Status gizi lebih


Aktivitas fisik (overweight dan obesitas) Genetik

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik anak
sekolah dengan status gizi lebih di perkotaan dan perdesaan Bogor
4

METODE PENELITIAN

Desain, Waktu dan Tempat

Desain penelitian ini yaitu cross sectional. Penelitian dilakukan di satu


Sekolah Dasar (SD) daerah perkotaan dan satu Sekolah Dasar (SD) daerah
perdesaan, yaitu SDN Polisi 5 untuk mewakili perkotaan Bogor dan SDN
Babakan Dramaga 4 mewakili perdesaan Bogor. Pemilihan SD dilakukan secara
purposive dengan pertimbangan peluang untuk memperoleh anak obes cukup
banyak dengan melakukan survey terhadap beberapa SD sebelum menentukan
tempat penelitian. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai Juni 2013.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Contoh adalah siswa kelas 4 dan 5 di SDN Polisi 5 dan SDN Babakan
Dramaga 4 yang memenuhi kriteria inklusi. Pemilihan anak kelas 4 dan 5
dilakukan dengan pertimbangan bahwa anak kelas 4 dan 5 sudah dapat diajak
berkomunikasi dengan baik, mengerti tentang pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan dalam kuesioner, relatif lancar membaca dan menulis sehingga pengisian
food record tidak bermasalah. Sementara kelas 6 tidak diijinkan mengikuti
penelitian karena sedang dalam persiapan ujian nasional. Kriteria inklusi contoh
yaitu: 1) Usia 8-12 tahun, 2) memiliki status gizi overweight (z-score +1 SD
sampai +2 SD) dan obes (z-score ≥+2 SD) berdasarkan indikator IMT/U , 3)
dalam keadaan sehat, 4) bersedia mengikuti penelitian.
Penentuan jumlah contoh minimal yang diambil berdasarkan perhitungan
rumus cross sectional (estimasi proporsi) menurut Dahlan (2010) yaitu :

Keterangan : n = jumlah sampel


/ = tingkat kepercayaan 95% (1.96)
p = prevalensi berat lebih Jawa Barat 8.5% (Riskesdas 2010)
q = 1-p
d = toleransi estimasi 10%

Berdasarkan perhitungan didapatkan hasil jumlah minimal contoh adalah


sebesar 29.8 dan dibulatkan menjadi 30. Proses penarikan contoh di kedua SD
dapat dilihat pada Gambar 2.
5

Perkotaan Perdesaan
(SDN Polisi 5) (SDN Babakan Dramaga 4)

Kelas 4 & 5 Kelas 4 & 5


(N =101) (N =204)

Screening

Overweight dan Obes Overweight dan Obes


(N= 40) (N= 44)
Kriteria inklusi

38 contoh 35 contoh
Data tidak lengkap

30 contoh 33 anak

Acak

30 contoh 30 contoh

Gambar 2 Proses penarikan contoh

Sebelum penarikan contoh, peneliti melakukan screening terlebih dahulu


pada seluruh anak kelas 4 dan 5 di kedua SD. Didapatkan 40 anak dari 101 anak
(39.6%) yang mempunyai status gizi lebih (overweight dan obes) pada SDN Polisi
5. Di SDN Babakan Dramaga 4 jumlah kelas 4 dan 5 adalah sebanyak 204 anak
dan ditemukan 44 anak (21.5%) yang mempunyai status gizi lebih. Dari anak
yang mempunyai status gizi lebih tersebut diambil anak yang memenuhi kriteria
inklusi yaitu 38 contoh dari SDN Polisi 5 dan 35 contoh dari SDN Babakan
Dramaga 4. Setelah dilakukan penelitian, terdapat 8 contoh dari SDN Polisi 5 dan
2 contoh dari SDN Babakan Dramaga 4 yang mempunyai data tidak lengkap (data
karakteristik orang tua dan food record). Pada SDN Polisi 5 lebih banyak contoh
yang memiliki data tidak lengkap dikarenakan pada saat penelitian bertepatan
dengan class meeting sehingga terdapat beberapa anak yang tidak masuk. Untuk
menyamakan jumlah contoh di kedua SD maka contoh yang diambil yaitu
sebanyak 30 contoh di SDN Polisi 5 dan 30 contoh.

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.
Data primer meliputi data karakteristik contoh (umur, jenis kelamin, besar uang
saku), data karakteristik keluarga (umur orang tua, status gizi orang tua,
pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, pekerjaan orang tua), data status gizi,
pola konsumsi pangan (frekuensi makan, kebiasaan sarapan, konsumsi pangan),
dan aktivitas fisik contoh. Adapun data sekunder meliputi gambaran umum
sekolah, jumlah kelas, jumlah siswa, jumlah guru dan fasilitas sekolah.
6

Pengumpulan data karakteristik contoh meliputi umur, jenis kelamin dan


besar uang saku dilakukan dengan pengamatan langsung serta wawancara
menggunakan alat bantu kuesioner. Data berat badan diperoleh dari pengukuran
langsung dibantu dengan alat timbangan injak (bukan digital) kapasitas 130 kg
dengan ketelitian 0.5 kg dan tinggi badan menggunakan alat microtoise kapasitas
200 cm ketelitian 0.1 cm. Data karakteristik keluarga diperoleh dari pengisian
kuesioner oleh ibu atau orang tua contoh yang dikirim melalui contoh setelah
mendapatkan penjelasan dari peneliti. Data status gizi contoh diukur berdasarkan
Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) yang ditentukan dengan
perbandingan berat badan (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (m2)
berdasarkan umur masing-masing contoh menggunakan software WHO
Anthroplus 2007. Data pola konsumsi pangan meliputi frekuensi makan,
kebiasaan sarapan dan frekuensi pangan diperoleh dengan wawancara langsung
oleh peneliti menggunakan kuesioner dan Food Frequencies Questionaires
(FFQ). Data asupan pangan diperoleh dengan pengisian kuesioner food record
2x24 jam pada hari sekolah dan hari libur yang diisi oleh contoh setelah
mendapat penjelasan dari peneliti. Data aktivitas fisik diperoleh menggunakan
kuesioner recall 2x24jam pada hari sekolah dan hari libur dengan wawancara
menggunakan kuesioner yang diisi langsung oleh peneliti. Kuesioner karakteristik
keluarga yang digunakan merujuk pada Pramudita (2011) dan dimodifikasi
dengan menambahkan beberapa variabel oleh peneliti. Keadaan umum sekolah
diperoleh dengan melihat laporan tahunan sekolah. Jenis variabel serta alat dan
cara pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Variabel, jenis data dan alat serta cara pengumpulan data
No Variabel Jenis Data Alat dan Cara pengumpulan data
1 Karakteristik contoh
- Umur, jenis kelamin, - Kuesioner dengan cara wawancara
jumlah uang saku - timbangan injak dengan pengukuran
Data primer
- Berat badan langsung
- microtoise dengan pengukuran
- Tinggi badan langsung
2 Karakteristik keluarga
- Umur orang tua
- Pekerjaan orang tua Kuesioner dengan cara pengisian
Data primer
- Pendidikan orang tua langsung oleh orang tua contoh
- Pendapatan keluarga
- Status gizi orang tua
3 Pola konsumsi pangan
- Kebiasaan makan - Kuesioner dengan wawancara
- Kebiasaan sarapan Data primer - FFQ dengan wawancara
- Konsumsi pangan - Food Record dengan pengisian
langsung oleh contoh
4 Aktivitas fisik Data primer Recall dengan wawancara langsung
5 Keadaan umum sekolah Data Laporan taunan sekolah dengan
sekunder wawancara pada pihak sekolah
7

Pengolahan dan Analisis Data

Proses pengolahan meliputi editing, coding, entry, cleaning dan analisis.


Proses editing adalah pemeriksaan seluruh kuesioner setelah data terkumpul.
Proses coding yaitu pemberian angka atau kode sehingga memudahkan dalam
memasukan data ke komputer. Entry adalah memasukan data jawaban kuesioner
sesuai kode yang telah ditentukan untuk masing-masing variabel sehingga
menjadi satu data dasar. Cleaning adalah melakukan pengecekan kembali
terhadap isian data.
Data tinggi badan dan berat badan orang tua digunakan untuk mengetahui
status gizi orang tua berdasarkan IMT. Hasil yang diperoleh kemudian
dikategorikan berdasarkan Depkes (2004) menjadi underweight (IMT≤18,50),
normal (IMT: 18.5-24.9), overweight (IMT: 25-29.9), obes (IMT>30). Pendidikan
orang tua dikelompokan berdasarkan pendidikan terakhir orang tua meliputi tidak
sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, tamat Perguruan
Tinggi. Pendapatan keluarga yaitu besarnya penghasilan keluarga baik dari ayah,
ibu maupun anggota keluarga lainnya yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga dan dikelompokkan menjadi rendah, cukup, tinggi dan sangat
tinggi. Data status gizi contoh diperoleh dengan menggunakan indeks massa
tubuh berdasarkan umur (IMT/U) dengan menggunakan software WHO
Anthroplus 2007. Pengkategorian variable dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis Variabel, kategori dan sumber pengolahan data penelitian


No Variabel Kategori Acuan
1. Laki-laki
1. Jenis kelamin
2. Perempuan
1. Rendah : < Rp 4.500
Uang saku
2.
(Rupiah/hari)
2. Sedang : Rp 4.600 – Rp 14.900
3. Tinggi : > Rp 15.000
1. ≤ 29 tahun
3 Umur Orang Tua 2. 30-49 tahun WNPG 2004
3. ≥50 tahun
1. Tidak tamat SD/Sederajat
Pendidikan orang tua 2. Tamat SD/Sederajat
3 - Ayah 3. Tamat SMP/Sederajat Depkes 2010
- Ibu 4. Tamat SMA/Sederajat
5. Tamat Perguruan Tinggi/Sederajat
1. Tidak bekerja
2. PNS
Pekerjaan orang tua 3. ABRI/POLRI
4 - Ayah 4. Pegawai Swasta Depkes 2010
- Ibu 5. Wiraswasta
6. Petani/ nelayan/ Buruh
7. Lainnya, ….
1. Rendah : < 1.000.000
Penghasilan keluarga 2. Cukup : 1.000.000 - 2.499.000
5 BPS 2010
(Rupiah/bulan) 3. Tinggi : 2.500.000 - 4.000.000
4. Sangat tinggi : > 4.000.000
8

Tabel 2 Jenis Variabel, kategori dan sumber pengolahan data penelitian


No Variabel Kategori Acuan
1. Underweight (IMT ≤ 18,50)
Status Gizi orang tua 2. Normal (IMT: 18.5-24.9)
6 Depkes 2004
(IMT) 3. Overweight (IMT: 25-29.9)
4. Obes (IMT >30)
1. Sangat kurus : z-score < -3 SD
2. Kurus : -3 SD ≤ z -score≤ -2 SD
Status gizi anak Kemenkes
7 3. Normal : -2 SD < z-score < +1 SD
(IMT/U) 2011
4. Gemuk : +1 SD < z-score < +2 SD
5. Obes : z-score ≥ +2 SD
1. Tidak pernah
Darmayanti
8 Kebiasaan sarapan 2. Jarang : 1-3 kali/minggu
2010
3. Sering : 4-7 kali/minggu
1. Kurang (<45%)
Kontribusi Lemak
9
terhadap AKE
2. Normal (45-65%) IOM 2005
3. Lebih (>65%)
Kontribusi 1. Kurang (<25%)
10 Karbohidrat terhadap 2. Normal (25-35%) IOM 2005
AKE 3. Lebih (>35%)
1. Defisit tingkat berat : <70% AKE
Tingkat kecukupan 2. Defisit tingkat sedang : 70-79% AKE
11 energi 3. Kurang : 80-89%AKE Depkes 1996
4. Cukup : 90-119% AKE
5. Lebih : ≥120% AKE
1. Defisit tingkat berat : <70% AKP
Tingkat Kecukupan 2. Defisit tingkat sedang : 70-79% AKP
12 Protein 3. Kurang : 80-89%AKP Depkes 1996
4. Cukup : 90-119% AKP
5. Lebih : ≥120% AKP
1. Ringan : 1.40-1.69
Aktivitas fisik
13
(Nilai PAL)
2. Sedang : 1.70-1.99 FAO 2001
3. Berat : 2.00-2.40
1. Rendah : 0- 33.3
Frekuensi konsumsi Marliyati et al.
14
kelompok pangan
2. Sedang : 33.4 – 66.6
2008
3. Tinggi : 66.7 -100

Data kebiasaan konsumsi pangan diperoleh dari frekuensi konsumsi


pangan yang dihitung dengan cara memberikan skor menurut metode Mely G.
Tan (1970) diacu dalam Marliyati et al. (2008) yaitu skor 0=tidak pernah
mengkonsumsi, skor 1=konsumsi kurang dari 1 kali/minggu (jarang), skor
10=konsumsi kurang dari 3 kali/minggu (1-2 kali/minggu), skor 15=konsumsi 3
kali/minggu, skor 25=konsumsi 1 kali sehari (4-6 kali/minggu), dan skor
50=konsumsi lebih dari satu kali setiap hari. Kemudian hasil pemberian skor
dikonversikan ke dalam bentuk (0-100) dengan menggunakan rumus :
9

X Skor Minimum
Y x 100%
Skor Maksimum Skor Minimum
Keterangan :
Y : Persentase skor frekuensi konsumsi tiap kelompok pangan contoh
X : Skor frekuensi konsumsi tiap kelompok pangan yang di peroleh contoh
Menurut Slamet (1993), diacu dalam Marliyati et al. (2008) untuk
memperoleh gambaran yang lebih baik tentang skor frekuensi konsumsi pangan,
maka total skor yang diperoleh dibagi menjadi tiga kelompok (rendah, sedang,
dan tinggi). Semakin sering dikonsumsi maka semakin tinggi skor yang diberikan.
Data konsumsi pangan berupa jenis dan berat makanan dalam gram/URT
dikonversi ke dalam nilai gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan
Makanan (DKBM) sehingga dapat diketahui kandungan gizi masing-masing
bahan makanan. Kemudian dilakukan perhitungan tingkat kecukupan gizi untuk
energi dan protein. Adapun rumus yang digunkanan untuk mengetahui kandungan
zat gizi makanan yang dikomsumsi adalah :
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)
Keterangan:
KGij = penjumlahan zat gizi I dari setiap bahan makanan/pangan yang
dikonsumsi
Bj = Berat bahan makanan j (gram)
Gij = kandungan zat gizi I dari bahan makanan j
BDDj = % bahan makanan j yang dapat dimakan
Pengukuran tingkat kecukupan energi dan protein merupakan tahap
lanjutan dari perhitungan konsumsi pangan. Tingkat kecukupan konsumsi didapat
dari persentase konsumsi aktual anak terhadap Angka Kecukupan Gizi (AKG)
yang dianjurkan berdasarkan WNPG tahun 2004. Secara umum tingkat kecukupan
zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut :
TKGi = (Ki/AKGi) x 100%
Keterangan:
TKGi = Tingkat kecukupan zat gizi i
AKGi = Kecukupan zat gizi I yang dianjurkan
Ki = konsumsi zat gizi
Pengukuran aktivitas fisik dilakukan terhadap jenis aktivitas yang
dilakukan contoh dan lama waktu melakukan aktivitas fisik dalam sehari. FAO
(2001) menyatakan bahwa aktivitas fisik adalah variabel utama setelah angka
metabolisme basal dalam penghitungan pengeluaran energi. Berdasarkan FAO
(2001), besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam
dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik. PAL
merupakan besarnya energi yang dikeluarkan (kkal/kap/hari) per kilogram berat
badan dalam 24 jam. PAL ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
PAR x alokasi waktu tiap aktivitas
PAL
24 jam
Keterangan : PAL : Physical Activity Level (tingkat aktivitas fisik)
PAR : Physical Activity Ratio (jumlah energi yang dikeluarkan
untuk jenis aktivitas per satuan waktu tertentu)
10

Tabel 3 Physical Activity Ratio (PAR) berbagai aktivitas fisik


Physical Activity
Aktivitas
Ratio/satuan waktu
Tidur(Siang Dan Malam) 1
Tidur-Tiduran, Duduk Diam, Membaca 1.2
Duduk Sambil Menonton TV 1.72
Mandi Dan Berpakaian 2.3
Berdiri Diam, Beribadah, Menunggu (Berdiri), Berhias 1.5
Berkendaraan Di Mobil/Bus/Angkutan 1.2
Makan Minum 1.6
Jalan Santai 2.5
Berbelanja (Membawa Beban) 5
Mengendarai Kendaraan 2.4
Menjaga Anak 2.5
Melakukan Perkerjaan RT 2.75
Setrika Pakaian ( Duduk) 1.7
Kegiatan Berkebun 2.7
Office Worker (Duduk didepanmeja, Menulis, mengetik) 1.3
Office Worker (Berjalan, Membawa Arsip) 1.6
Olahraga (Badminton) 4.85
Olahraga (Jogging, Lari Jarak Jauh) 6.5
Olahraga (Bersepeda) 3.6
Olahraga (Aerobic, Berenang, Sepak Bola, dll) 7.5
Kegiatan Dilakukan Dengan Duduk 1.5
Kegiatan Ringan 1.4
Memasak 2.1
Sumber: FAO/WHO/UNU. Human Energy Requirements. WHO Technical Report
Series, no. 724. Geneva: World Helath Organization; 2001.3

Tabel 4 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL


Kategori Nilai PAL
Ringan 1.40-1.69
Sedang 1.70-1.99
Berat 2.00-2.40
Sumber: FAO/WHO/UNU. Human Energy Requirements. WHO Technical Report
Series, no. 724. Geneva: World Helath Organization; 2001.3

Untuk pengolahan dan analisis data, digunakan program Microsoft Excell


dan Statistical Package for Sosial Science (SPSS) versi 18.0 for Windows.
Analisis statistik deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran mengenai
karakteristik anak SD (umur, jenis kelamin dan uang saku) dan karakteristik
keluarga ( umur orang tua, pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan
keluarga, status gizi orang tua). Analisis statistik inferensia menggunakan uji
Kolmogorov smirnov, independent sample t-test, uji Mann-Whitney, uji korelasi
Pearson, dan uji korelasi Spearman. Uji normalitas data menggunakan
kolmogorov smirnov, uji beda variabel antar kelompok contoh menggunakan uji
independent sample t-test dan uji Mann-Whitney. Uji korelasi Pearson dan
Spearman digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik keluarga,
karakteristik anak, pola konsumsi pangan, dan aktivitas fisik dengan status gizi
lebih pada anak.
11

Definisi Operasional

Anak Sekolah adalah anak yang menjalani pendidikan sekolah yang terdaftar di
Dinas Pendidikan Kota Bogor yang berusia 8-12 tahun.
Contoh adalah siswa sekolah dasar kelas 4 dan 5 yang memiliki status gizi
overweight dan obes di SDN Polisi 5 dan SDN Babakan Dramaga 4 pada
tahun ajaran 2013 yang diukur berdasarkan indikator IMT/U.
Karakteristik contoh adalah data yang berisi tentang jenis kelamin, umur, besar
uang saku contoh yang diambil melalui teknik wawancara dibantu dengan
formulir kuesioner.
Karakteristik keluarga adalah kondisi keluarga contoh yang meliputi umur
orang tua, status gizi orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga
dan pekerjaan orang tua contoh, diambil dengan pengisian kuesioner oleh
orang tua yang dititipkan melalui contoh.
Status gizi contoh adalah keadaan tubuh contoh diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan yang diukur langsung
secara antropometri menggunakan indikator Indeks Massa Tubuh/ Umur
(IMT/U).
Status gizi keluarga contoh adalah keadaan tubuh contoh diakibatkan oleh
konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan berdasarkan
antropometri menggunakan indikator Indeks Massa Tubuh (IMT)
diperoleh dari pengisian kuesioner.
Pekerjaan Orang Tua adalah jenis kegiatan yang dimiliki orang tua sebagai
tumpuan untuk mendapatkan uang dikategorikan menjadi Tidak bekerja,
PNS, ABRI/POLRI, Pegawai Swasta, Wiraswasta, Petani/ nelayan/ Buruh
dan Lainnya, diperoleh dari pengisian kuesioner.
Pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan tertinggi yang pernah ditempuh
dari ayah dan ibu contoh dikategotikan menjadi tidak tamat SD, tamat SD,
tamat SMP, tamat SMA, tamat Perguruan Tinggi diperoleh dari pengisian
kuesioner.
Pendapatan keluarga adalah besarnya penghasilan keluarga yang diperoleh baik
dari ayah, ibu maupun anggota keluarga lain yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga dan dikategorikan menjadi rendah, cukup,
tinggi dan sangat tinggi.
Frekuensi makan adalah jumlah makan besar yang dilakukan oleh contoh.
Dibagi menjad 3 kelompok yaitu 2 kali/hari, 3 kali/hari, dan lebih dari 3
kali/hari.
Kebiasaan sarapan adalah kegiatan sarapan atau makan pagi mulai dari bagun
tidur sampai pukul 10.00 yang dilakukan rutin meliputi frekuensi diambil
dengan menggunakan pengisian kuesioner.
Konsumsi pangan adalah total konsumsi makanan contoh yang mencangkup
energi, karbohidrat, lemak dan protein diukur dengan pengisian kuesioner
food record dan dikategorikan menjadi kurang, normal dan lebih.
Aktivitas fisik adalah adalah setiap pergerakan tubuh yang mengakibatkan
pengeluaran energi. Diukur dengan menggunakan kuesioner aktivitas fisik,
yang meliputi jenis dan lama kegiatan sekarang selama 24 jam
dikategorikan menjadi ringan, sedang dan berat.
12

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sekolah

SDN Polisi 5
Sekolah Dasar Negeri Polisi 5 merupakan perwakilan SD dari daerah
perkotaan. SD ini mempunyai status akreditasi A dan terletak di jalan Polisi 1 no
7 Kelurahan Paledang, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor. Bangunan sekolah
terbagi menjadi tiga lantai, dan terdiri dari ruang kepala sekolah, ruang
perpustakaan, ruang komputer, sembilan ruang kelas, ruang guru, ruang kesenian,
ruang tata usaha, UKS (Usaha Kesehatan Sekolah), ruang IPA, mushola, WC guru
dan WC siswa. SDN Polisi 5 juga memiliki satu kantin yang menjual berbagai
jenis makanan mulai dari makanan ringan, makanan kemasan, gorengan dan
minuman berkemasan. Di sekitar sekolah terdapat beberapa penjual kaki lima
yang menjual berbagai makanan.
Tenaga pengajar di SDN Polisi 5 terdiri dari guru tetap dan tenaga honorer
sekolah yang berjumlah 25 orang, guru dengan pendidikan S2 sebanyak 2 orang,
S1 sebanyak 15 orang, D2 sebanyak 4 orang, pegawai tata usaha dengan
pendidikan SMA sebanyak 3 orang dan Sekolah Dasar sebanyak 1 orang sebagai
penjaga sekolah. Pada tahun ajaran 2012/2013 SDN Polis 5 memiliki 602 siswa
yang terdiri dari 81 siswa kelas 1, 109 siswa kelas 2, 83 siswa kelas 3, 111 siswa
kelas 4, 99 siswa kelas 5 dan 119 siswa kelas 6. Jumlah siswa dalam masing-
masing tingkat kelas dibagi menjadi 3 kelas yaitu kelas A, B dan C. Kegiatan
mengajar dilakukan pada hari senin sampai sabtu.

SDN Babakan Dramaga 4


SD dari daerah perdesaan diwakili oleh SDN Babakan Dramaga 4 yang
merupakan sekolah negeri dengan status akreditasi A. SD ini terletak di Jalan
Raya Sawah Baru no 121 Desa Babakan, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor.
Bangunan sekolah terdiri dari ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang
perpustakaan, sembilan ruang kelas, mushola, UKS (Usaha Kesehatan Sekolah),
lapangan olah raga, WC, kebun dan kantin yang menjual berbagai makanan dan
minuman. SDN Babakan Dramaga 4 juga dikelilingi oleh pedagang kaki lima
yang menjual berbagai makanan serta minuman.
Tenaga pengajar di SDN Babakan Dramaga 4 terdiri dari guru tetap dan
tenaga honorer sekolah yang berjumlah 24 orang, sebanyak 14 orang guru
berpendidikan S1, D2 sebanyak 5 orang sedangkan pegawai tata usaha dengan
pendidikan SMA sebanyak 3 orang, SMP sebanyak 1 orang dan Sekolah Dasar
sebanyak 1 orang sebagai penjaga sekolah. Jumlah keseluruhan siswa sebanyak
625 anak yang terdiri dari 105 siswa kelas 1, 113 siswa kelas 2, 108 siswa kelas 3,
94 siswa kelas 4, 98 siswa kelas 5 dan 103 siswa kelas 6. Setiap tingkat kelas
dibagi menjadi 3 kelas yaitu A, B dan C.
13

Karakteristik Keluarga

Umur Orang Tua


Umur orang tua berkisar antara 26-61 tahun. Baik rata-rata umur ayah
maupun ibu di perkotaan lebih tua dibandingkan perdesaan. Umur ayah di
perkotaan berkisar antara 34–61 tahun dengan rata-rata 45.8±7.0 tahun. Kisaran
umur ayah di perdesaan yaitu 29-53 tahun dengan rata-rata 40.6±6.0 tahun. Umur
ibu di perkotaan berkisar antara 33-54 tahun dengan rata-rata 42±4.7 tahun,
sedangkan kisaran umur ibu di perdesaan yaitu antara 26-53 tahun dengan rata-
rata umur ibu 37.2±6.3 tahun. Baik umur ayah maupun ibu di perkotaan lebih tua
secara signifikan (p<0.05) dibandingkan dengan umur ayah dan ibu di perdesaan.
Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 3.
Sebagian besar umur ayah di perkotaan maupun perdesaan berkisar antara
30-49 tahun yaitu 73.3% dan 93.3%. Sama halnya dengan umur ayah, sebagian
besar umur ibu di kedua SD juga berkisar antara 30-49 tahun dengan jumlah
berturut-turut 93.3% dan 90%. Sebaran orang tua menurut umur dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran orang tua berdasarkan umur
Perkotaan Perdesaan Total p-value

Umur Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu


Ayah Ibu
n % n % n % n % n % n %
<29 tahun 0 0 0 0 1 3.3 2 6.7 1 1.7 2 3.3
91.
30-49 tahun 22 73.3 28 93.3 28 93.3 27 90 50 83.3 55
7
>50tahun 8 26.7 2 6.7 1 3.3 1 3.3 9 15 3 5
Total 30 100 30 100 30 100 30 100 60 100 60 100
Rata-rata±SD 45.8±7.0 42.0±4.7 40.6±6.0 37.2±6.3 43.2±7.0 39.6±6.0 0.003 0.001

Pendidikan Orang Tua


Pada Tabel 6 terlihat bahwa persentase terbesar pendidikan ayah dan ibu
di perkotaan yaitu 70% dan 53.3% adalah tamat perguruan tinggi. Sementara di
perdesaan, persentase terbesar pendidikan ayah dan ibu yaitu 43.3% dan 40%
adalah tamat SMA. Pada daerah perdesaan terdapat ibu yang mempunyai
pendidikan tidak tamat SD dan tamat SD, tetapi pada daerah perkotaan tidak
ditemukan ibu maupun ayah yang berpendidikan tidak tamat SD maupun tamat
SD saja.
Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan terdapat perbedaan signifikan
antara pendidikan orang tua baik ayah maupun ibu di daerah perkotaan dan
perdesaan (p<0.05). Orang tua di perkotaan mempunyai pendidikan yang lebih
tinggi dibandingkan di perdesaan, pendidikan yang tinggi memungkinkan
seseorang untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga pendapatan
yang diperoleh juga akan lebih tinggi. Selain itu, orang yang mempunyai
pendidikan tinggi lebih mudah menerima informasi mengenai ilmu pengetahuan
termasuk ilmu gizi, untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang salah
satunya yaitu pola konsumsi pangan yang baik. Menurut Suhardjo (1996) tingkat
pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola
14

asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi.
Orang yang berpendidikan tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi
kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan
makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik. Hal
ini berlanjut dapat berdampak pada status gizi anak yang lebih baik.

Tabel 6 Sebaran orang tua berdasarkan pendidikan


Perkotaan Perdesaan Total
Pendidikan Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu
n % n % n % n % n % n %
Tidak tamat SD 0 0 0 0 0 0 2 6.7 0 0 2 3.3
Tamat SD 0 0 0 0 0 0 1 3.3 0 0 1 1.7
Tamat SMP 0 0 1 3.3 9 30 8 26.7 9 15 9 15
Tamat SMA 9 30 13 43.3 13 43.3 12 40 22 36.7 25 41.7
Tamat PT 21 70 16 53.3 8 26.7 7 23.3 29 48.3 23 38.3
Total 30 100 30 100 30 100 30 100 60 100 60 100

Pekerjaan Orang Tua


Jenis pekerjaan orang tua di perkotaan dan perdesaan cukup bervariasi.
Persentase terbesar pekerjaan ayah di perkotaan yaitu 43.3% sebagai pegawai
swasta, sedangkan di perdesaan persentase terbesar (40%) pekerjaan ayah yaitu
sebagai wiraswasta. Persentase terbesar pekerjaan ibu pada kedua SD adalah tidak
bekerja (ibu rumah tangga) yaitu sebesar 50% dan 73.3%.
Tingkat pendidikan akan berhubungan dengan jenis pekerjaan. Semakin
tinggi tingkat pendidikan, maka kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak semakin besar (Engel et al. 1994; Suryaalamsyah 2010). Selain itu, jenis
pekerjaan akan mempengaruhi pendapatan seseorang. Tingkat pendapatan
keluarga sangat berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Sebaran orang tua
berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran orang tua berdasarkan pekerjaan


Perkotaan Perdesaan Total
Pekerjaan Ayah Ibu Ayah Ibu Ayah Ibu
n % n % n % n % n % n %
Tidak bekerja 1 3.3 15 50 0 0 22 73.3 1 1.7 37 61.7
PNS 11 6.7 4 13.3 7 23.3 3 10 18 30 7 11.7
ABRI/POLRI 2 6.7 0 0 0 0 0 0 2 3.3 0 0
Pegawai swasta 13 43.3 7 23.3 8 26.7 1 3.3 21 35 8 13.3
Wiraswasta 3 10 4 13.3 12 40 2 6.7 15 25 6 10
Petani/buruh 0 0 0 0 2 6.7 0 0 2 3.3 0 0
Lainnya.. 0 0 0 0 1 3.3 2 6.7 1 1.7 2 3.3
Jumlah 30 100 30 100 30 100 30 100 60 100 60 100

Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga di perkotaan berkisar antara Rp 1.500.000 sampai Rp
10.500.000/bulan dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 5.094.000±2.174.925.
Pada perdesaan rata-rata pendapatan keluarga lebih kecil yaitu Rp
3.251.300±2.347.034 dengan kisaran pendapatan antara Rp 440.000 sampai Rp
13.000.000/bulan.
15

Pendapatan keluarga perkotaan sebagian besar (56.7%) masuk dalam


kategori sangat tinggi, sedangkan di perdesaan persentase terbesar (43.3%)
masuk dalam kategori tinggi. Pada perdesaan ditemukan keluarga dengan
pendapatan rendah yaitu sebesar 13.3%, pada perkotaan pendapatan terendah
masuk dalam kategori cukup yaitu 6.7% (Tabel 8). Hasil t-test menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan keluarga di perkotaan dan
perdesaan (p<0.05). Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tingkat pendapatan keluarga sangat berpengaruh terhadap konsumsi
energi keluarga. Pendapatan keluarga yang tinggi memperbesar peluang untuk
membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik dibandingkan
dengan keluarga yang mempunyai pendapatan lebih rendah (Madanijah 2004).

Tabel 8 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan


Kategori Perkotaan Perdesaan Total
p-value
Pendapatan n % n % n %
Rendah 0 0 4 13.3 4 6.7
Cukup 2 6.7 7 23.3 9 15
Tinggi 11 36.7 13 43.3 24 40
Sangat tinggi 17 56.7 6 20.0 23 38.3
Jumlah 30 100 30 100 60 100
Rata-rata±SD 5.094.000±2.174.925 3.251.300±2.347.034 2.172.333±2.428.020 0.003

Status Gizi Orang Tua


Status gizi orang tua dihitung untuk mengetahui faktor genetik atau
parental fatness dari anak. Rata-rata IMT ayah di perkotaan yaitu 25.0±3.1 kg/m2
dengan kisaran IMT antara 19.0-30.5 kg/m2, sedangkan rata-rata IMT ayah di
perdesaan yaitu 23.8±3.2 kg/m2 dengan kisaran antara 19.0-30.5 kg/m2. IMT ibu
di perkotaan berkisar antara 22-34 kg/m2 dengan rata-rata sebesar 26.2±3.4
kg/m2, sedangkan kisaran IMT ibu di perdesaan adalah 21-29 kg/m2 dengan rata-
rata sebesar 24.9±2.5 kg/m2. Sebaran orang tua berdasarkan status gizi dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Sebaran orang tua berdasarkan status gizi
Perkotaan Perdesaan Total P-
Status Gizi
n % n % n % Value
Kurus 0 0 0 0 0 0
IMT Normal 13 43.3 17 56.7 30 50
Ayah Overweight 15 50 12 40 27 45
Obes 2 6.7 1 3.3 3 5
Jumlah 30 100 30 100 60 100
Rata-rata±SD 25.0±3.1 23.8±3.2 24.4±3.0 0.079
Kurus 0 0 1 3.3 1 1.7
IMT Normal 14 46.7 15 50 29 48.3
Ibu Overweight 11 36.7 14 46.7 25 41.7
Obes 5 16.7 0 0 5 8.3
Jumlah 30 100 30 100 60 100
Rata-rata±SD 23.8±2.7 24.87±2.4 25.5±3.0 0.109
16

Sebagian besar ayah di perkotaan mempunyai status gizi overweight


(50%), sedangkan di perdesaan mempunyai status gizi normal (50%). Status gizi
ibu di perkotaan dan perdesaan sebagian besar masuk dalam kategori normal yaitu
47.7% dan 50%. Hasil t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara IMT orang tua di perkotaan dan perdesaan (p>0.05). Meskipun
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara status gizi orang tua di perkotaan
dan perdesaan, namun baik ayah maupun ibu di perkotaan yang mempunyai status
gizi obes lebih banyak dibandingkan di perdesaan. Status gizi obes ayah di
perkotaan sebesar 6.7% dan di perdesaan hanya 3.3%. Sedangkan di perkotaan ibu
yang mempunyai status gizi obes sebesar 16.7% dan di perdesaan tidak terdapat
ibu yang memiliki status gizi obes. Hasil ini diduga menjadi salah satu penyebab
lebih tingginya prevalensi obes di perkotaan dibandingkan di perdesaan.
Tingginya angka obesitas pada orang tua yang memiliki anak obes dipercaya
bahwa faktor genetik menjadi faktor yang cukup penting. Penelitian telah
menunjukan 60-70% remaja obes mempunyai salah satu atau kedua orang tua
yang juga obes. 40 remaja obes mempunyai saudara kandung yang obes juga
(Pipes et al. 1993).

Karakteristik Anak

Umur Anak
Anak SD pada penelitian ini berumur antara 8-12 tahun. Kisaran umur
anak di perkotaan yaitu 8-12 tahun, sedangkan di perdesaan antara 10-12 tahun.
Rata-rata umur anak di perkotaan yaitu 10.7±0.8 tahun dan di perdesaan 10.8±0.7
tahun. Anak yang berumur 11 tahun pada perkotaan yaitu sebanyak 66.6% dan di
perdesaan yaitu 443.3% (Tabel 10). Hasil uji Mann-Whitney tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan umur anak antar kedua SD (p>0.05). Hasil uji dapat
dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 10 Sebaran anak menurut umur


Perkotaan Perdesaan Total p-
Umur
n % n % n % value
8 tahun 1 3.3 0 0 1 1.6
9 tahun 1 3.3 0 0 1 1.6
10 tahun 5 6.6 10 33.3 15 25
11 tahun 20 66.6 13 43.3 33 55
12 tahun 3 10 7 23.3 10 16.6
Jumlah 30 100 30 100 60 100
Rata-rata±SD 10.7±0.8 10.8±0.7 10.8±0.7 0.799

Jenis Kelamin
Sebaran anak menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 11.
Persentase anak laki-laki dan perempuan pada perkotaan masing-masing adalah
50%, sedangkan di perdesaan persentase perempuan (53.3%), yakni lebih banyak
dibandingkan dengan laki-laki.
17

Tabel 11 Sebaran anak menurut jenis kelamin


Jenis Perkotaan Perdesaan Total
Kelamin n % n % n %
Laki-Laki 15 50 14 46.7 29 48.3
Perempuan 15 50 16 53.3 31 51.7
Jumlah 30 100 30 100 60 100

Uang Saku
Uang saku adalah bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga yang
diberikan kepada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan harian,
mingguan ataupun bulanan. Besar uang saku yang dimiliki seseorang akan
berpengaruh terhadap daya beli terhadap pangan (Napitu 1994). Besar uang saku
anak di perkotaan berkisar antara Rp 6.000- 30.000 dengan rata-rata Rp 12.800 ±
5.517 per hari. Pada perdesaan besar uang saku anak berkisar antara Rp 4.000 –
20.000 dengan rata-rata Rp 7.100 ± 3.245 per hari. Sebagian besar uang saku anak
di kedua SD masuk dalam kategori sedang yaitu 60% di perkotaan dan 93.3% di
perdesaan (Tabel 12). Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan rata-rata uang saku
anak di perkotaan lebih tinggi secara signifikan dibandingkan di perdesaan
(p<0.05). Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 2. Sebagaimana terlihat pada
Tabel 12 sebaran anak dengan uang saku lebih dari Rp 15.000,00 per hari di
perkotaan lebih banyak dibandingkan perdesaan yaitu masing-masing 40% dan
3.3%. Hasil ini diduga berkaitan dengan besarnya pendapatan keluarga di
perkotaan yang signifikan lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (Tabel 8).

Tabel 12 Sebaran anak menurut besar uang saku


Perkotaan Perdesaan Total
Kategori Uang Saku p-value
n % n % n %
Rendah ( < 4.400) 0 0 1 3.3 1 1.7
Sedang (4.500-14.900) 18 60 28 93.3 46 76.7
Tinggi ( > 15.000) 12 40 1 3.3 13 21.7
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata±SD 12.800 ± 5.517 7.100 ± 3.245 9.966±5.320 0.000

Status Gizi
Status gizi adalah tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan
antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang
dikonsumsi pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang
digunakan (Depkes 1996). Penilaian status gizi pada penelitian ini yaitu
menggunakan indikator IMT/U. Hasil penilaian status gizi di SD perkotaan dan
perdesaan menunjukkan sebesar 27.5% anak sekolah dalam kategori status gizi
lebih (overweight dan obes). Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang
dilakukan oleh Dwiriyani et al. (2010) pada 1030 anak di 10 SD Bogor yaitu
sebesar 22.3% anak mempunyai status gizi lebih. Pada SD perkotaan prevalensi
gizi lebih yaitu 39.6% dengan persentase anak yang overweight 35% dan anak
obes 65%. Prevalensi gizi lebih di daerah perdesaan lebih kecil dibandingkan
18

dengan perkotaan, yaitu 21.5% yang terdiri dari 48.8% overweight dan 51.2%
obes.
Nilai z-score anak di perkotaan berkisar antara 1.08 sampai 5.64 dengan
rata-rata 2.55±1.06, sedangkan pada perdesaan berkisar antara 1.44 sampai 3.05
dengan rata-rata 2.17±0.45. Meskipun rata-rata z-score kedua SD tidak berbeda
secara signifikan (p>0.05), tetapi nilai z-score tertinggi pada anak perkotaan jauh
lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan, selain itu prevalensi obes di
perkotaan (70%) cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan (66.3%).
Jumlah anak yang termasuk dalam status gizi overweight di kedua SD sebesar
33.3% dan sebesar 66.7% mempunyai status gizi obes. Hasil uji dapat dilihat pada
Lampiran 3.

Tabel 13 Sebaran anak menurut status gizi


Perkotaan Perdesaan Total
Status Gizi p-value
n % n % n %
Overweight 9 30 11 36.7 20 33.3
Obes 21 70 19 63.3 40 66.7
Jumlah 30 100 30 100 60 100
Rata-rata±SD 2.55±1.06 2.17±0.45 2.36±0.86 0.078

Pada Tabel 13 dapat diketahui bahwa anak dengan status gizi obes di
perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan. Sama halnya dengan
penelitian ini, hasil RISKESDAS 2010 juga menunjukkan bahwa anak dengan
status gizi obes di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perdesaan.
Obesitas atau kegemukan berkaitan erat dengan pola makan dan gaya hidup
seseorang. Anak-anak lebih menyukai makanan junk food, akan tetapi junk food
ini hanya memiliki tinggi energi dan rendah zat gizi lain. Aktivitas yang ringan
juga semakin memperkuat proses terjadinya kegemukan (Khomsan 2012).

Pola Konsumsi Pangan

Frekuensi Makan
Salah satu aspek penting dari kebiasaan makan adalah frekuensi makan per
hari, karena secara langsung akan mempengaruhi asupan zat gizi melalui
konsumsi pangan. Anak di kedua SD mempunyai frekuensi makan yang
bervariasi antara dua kali, tiga kali hingga lebih dari tiga kali. Sebagian besar
frekuensi makan anak di perkotaan dan perdesaan yaitu 3 kali sehari masing-
masing yaitu 70%. Akan tetapi di perkotaan terdapat 10% anak yang mempunyai
frekuensi makan lebih dari 3 kali per hari, dan di perdesaan tidak terdapat anak
yang mempunyai frekuensi makan lebih dari 3 kali per hari. Di perkotaan juga
ditemukan prevalensi anak obes yang cenderung lebih tinggi dibandingkan
perdesaan. Frekuensi makan lebih dari 3 kali per hari pada anak di perkotaan
diduga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan lebih tingginya prevalensi
obes di perkotaan. Pola makan dengan frekuensi terlalu sering akan membuat
seseorang mempunyai asupan yang berlebih dan akan berdampak pada
19

kegemukan (Misnadiarly 2007). Sebaran anak berdasarkan frekuensi makan


sehari dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran anak berdasarkan ferkuensi makan sehari


Perkotaan Perdesaan Total
Frekuensi Makan
n % n % n %
2 Kali 6 20 9 30 15 25
3 Kali 21 70 21 70 42 70
>3 Kali 3 10 0 0 3 5
Jumlah 30 100 30 100 60 100

Kebiasaan makan yang baik untuk menghindari kegemukan yaitu dengan


makan secara teratur dan hanya pada jam-jam tertentu saja, yakni 3 kali dalam
sehari. Jika diantara dua waktu makan merasa lapar, dianjurkan untuk makan
makanan rendah kalori tetapi mengenyangkan seperti buah-buahan (Purwanti et
al.2005; Suryaalamsyah 2010).

Kebiasaan Sarapan
Menurut Khomsan (2006) makan pagi atau sarapan merupakan salah satu
waktu makan yang sangat penting. Manfaat sarapan yaitu dapat menyediakan
karbohidrat untuk meningkatkan kadar gula darah yang berdampak positif pada
produktivitas dan konsentrasi belajar bagi anak sekolah. Selain itu sarapan dapat
memberikan kontribusi penting akan beberapa zat gizi yang diperlukan untuk
proses fisiologis dalam tubuh (seperti protein, lemak, vitamin dan mineral).
Berdasarkan Tabel 15 sebagian besar keseluruhan anak masuk dalam
kategori selalu/sering sarapan yaitu 63.3%, sedangkan sebanyak 20% anak
terbiasa tidak sarapan. Persentase anak tidak sarapan pada penelitian ini lebih
tinggi dibandingkan dengan studi yang dilakukan di Indonesia dimana sebanyak
16.8% terbiasa tidak sarapan (Hardinsyah 2012). Kebiasaan anak yang selalu
sarapan di perkotaan dan perdesaan yaitu 60% dan 66.7%. Sebanyak 20% anak di
kedua SD terbiasa tidak mengonsumsi sarapan. Alasan anak yang tidak terbiasa
sarapan dikarenakan tidak sempat atau terburu-buru.
Pada daerah perkotaan, anak yang memiliki kebiasaan sarapan setiap hari
cenderung lebih sedikit (60%) dibandingkan di perdesaan (66.7%). Hal ini diduga
menjadi salah satu penyebab lebih tingginya prevalensi obes di perkotaan
dibandingkan dengan perdesaan (Tabel 8). Penelitian oleh Hasz dan Lamport
(2012) menyebutkan bahwa anak yang melewatkan sarapan setiap harinya
mempunyai kecenderungan beresiko untuk mengalami kegemukan lebih tinggi.
Makan pagi secara rutin dapat mengendalikan nafsu makan lebih baik sepanjang
hari. Hal inilah yang mencegah dari makan berlebihan saat makan siang ataupun
makan malam.
Menurut Albiner (2003) sarapan mempunyai pengaruh terhadap pola dan
siklus waktu makan. Orang yang tidak sarapan akan merasa lapar pada siang dan
malam hari dibandingkan orang yang sarapan, sehingga mereka akan
mengonsumsi lebih banyak makanan pada siang dan malam hari. Selain itu,
sarapan bersifat lebih mengenyangkan dibanding makan pada siang atau malam
hari. Sehingga sarapan dapat mengurangi rasa lapar pada siang dan malam hari.
Sebaran anak berdasarkan kebiasaan sarapan dapat dilihat pada Tabel 15.
20

Tabel 15 Sebaran anak berdasarkan kebiasaan sarapan


Perkotaan Perdesaan Total
Kebiasaan Sarapan
n % n % n %
Tidak pernah 6 20 6 20 12 20
Kadang-Kadang (1-3 kali/hari) 6 20 4 13.3 10 16.7
Selalu/sering (4-7 kali/hari) 18 60 20 66.7 38 63.3
Total 30 100 30 100 60 100

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat


Karbohidrat memegang peranan penting karena merupakan sumber energi
utama bagi manusia. Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di
negara-negara sedang berkembang kurang lebih 80% energi makanan berasal dari
karbohidrat. Sedangkan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa
Barat angka ini lebih rendah yaitu 50%. Sumber karbohidrat yaitu padi-padian
atau serealia, umbi-umbian dan gula. Hasil olahannya antara lain bihun, mie, roti,
tepung-tepungan, selai dan lain-lain (Atmatsier 2001).
Tabel 16 menunjukkan bahwa seluruh anak mengonsumsi beras/nasi setiap
hari sebagai sumber karbohidrat baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Meskipun frekuensi pangan mie instan di kedua daerah sebagian besar 88.3%)
anak dalam kategori jarang (<3 kali/minggu), namun mie instan lebih banyak
dikonsumsi oleh anak di perdesaan dibandingkan daerah perkotaan dengan
frekuensi makan sedang (4-6 kali/minggu) hingga sering (≥1 kali/hari) dengan
prevalensi 6.7% di perkotaan dan 16.7% di perdesaan. Sedangkan untuk pangan
roti putih sebagian besar (53.3%) anak di kedua daerah juga jarang mengonsumsi,
tetapi anak di perkotaan lebih banyak (46.7%) mengonsumsi dibandingkan
dengan anak di perdesaan (26.7%) dengan frekuensi yang sama yaitu sering dan
sedang. Hal ini diduga berkaitan dengan pendapatan keluarga di perkotaan yang
secara signifikan berbeda lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (Tabel 8),
dimana pangan mie instan relatif mempunyai harga lebih terjangkau daripada
harga roti putih. Hasil ini sejalan dengan penelitian Dwiningsih dan Pramono
(2008) pada judul perbedaan asupan energi, protein, lemak, karbohidrat dan status
gizi pada remaja di daerah perkotaan dan perdesaan di kawasan Semarang dengan
hasil bahwa di daerah perkotaan pangan sumber karbohidrat selain nasi yang
sering dikonsumsi yaitu roti putih, sedangkan di daerah perdesaan pangan sumber
karbohidrat yang sering dikonsumsi selain nasi/beras adalah mie instan. Frekuensi
konsumsi kentang baik di perkotaan dan perdesaan mempunyai nilai yang sama
yaitu 90% dan masuk dalam kategori jarang. Untuk pangan singkong atau ubi,
seluruh anak di perkotaan jarang mengkonsumsi, begitu pula dengan anak di
perdesaan, tetapi terdapat 3.3% anak di perdesaan yang sering mengkonsumsi
singkong atau ubi. Sebaran anak berdasarkan konsumsi pangan sumber
karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 16.
21

Tabel 16 Sebaran anak berdasarkan konsumsi pangan sumber karbohidrat


Perkotaan Perdesaan Total
Frekuensi Konsumsi Pangan
n % n % n %
Beras/Nasi
Jarang (≤3 kali/minggu) 0 0 0 0 0 0
Sedang (4-6 kali/minggu) 0 0 0 0 0 0
Sering (≥1 kali/hari) 30 100 30 100 60 100
Mie
Jarang (≤3 kali/minggu) 28 93.3 25 83.3 53 88.3
Sedang (4-6 kali/minggu) 0 0 4 13.3 4 6.7
Sering (≥1 kali/hari) 2 6.7 1 3.3 3 5
Kentang
Jarang (≤3 kali/minggu) 27 90 27 6.7 54 90
Sedang (4-6 kali/minggu) 1 3.3 1 3.3 2 3.3
Sering (≥1 kali/hari) 2 6.7 2 6.7 4 6.7
Singkong/ Ubi
Jarang (≤3 kali/minggu) 30 100 28 93.3 58 96.7
Sedang (4-6 kali/minggu) 0 0 1 3.3 1 1.7
Sering (≥1 kali/hari) 0 0 1 3.3 1 1.7
Roti Putih
Jarang (≤3 kali/minggu) 16 53.3 16 53.3 32 53.3
Sedang (4-6 kali/minggu) 8 26.7 2 6.7 10 16.7
Sering (≥1 kali/hari) 6 20 6 20 12 20

Kisaran skor frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat di perkotaan


yaitu antara 20.8 sampai 70 dengan rata-rata skor yaitu 43.4±12.1, sedangkan
kisaran skor pada perdesaan antara 12.3 sampai 60 dengan skor rata-rata lebih
rendah daripada perkotaan yaitu 34.5±9.6. Pada daerah perkotaan sebagian besar
anak masuk dalam kategori skor sedang (76.7%), sedangkan di perdesaan skor
rendah dan sedang masing-masing 50%. Semakin tinggi konsumsi pangan sumber
karbohidrat maka dapat meningkatkan resiko menjadi berat badan lebih pada
anak. Di perdesaan tidak ditemukan anak yang mempunyai skor tinggi, sedangkan
di perkotaan terdapat 6.7% anak dengan skor tinggi. Pada perkotaan anak yang
mempunyai status gizi obes juga cenderung lebih tinggi dibandingkan perdesaan,
hal ini diduga berkaitan dengan skor frekuensi konsumsi pangan sumber
karbohidrat yang lebih tinggi secara signifikan di daerah perkotaan (p<0.05).
Contoh perhitungan skor frekuensi konsumsi pangan disajikan pada Lampiran 2.
Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 17 Sebaran anak berdasarkan kategori skor frekuensi konsumsi pangan


sumber karbohidrat
Perkotaan Perdesaan Total p-value
kategori n % n % n %
Rendah 5 16.7 15 50 20 33.3
Sedang 23 76.7 15 50 38 63.3
Tinggi 2 6.7 0 0 2 3.3
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata±SD 43.4±12.1 34.5±9.6 38.9±11.7 0.003
22

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani


Pangan yang termasuk dalam sumber protein hewani antara lain yaitu
daging sapi, ayam, telur, dan ikan-ikanan. Tabel 18 menunjukkan rata-rata
konsumsi daging sapi dan daging ayam di perkotaan lebih banyak dibandingkan
di perdesaan dengan frekuensi sedang dan jarang. Sedangkan pangan hewani yang
sering dikonsumsi anak di perdesaan yaitu telur dan ikan segar. Hasil ini sejalan
dengan penelitian Egger et al. (1991) yang menyatakan bahwa sumber protein
hewani di perdesaan banyak di peroleh dari pangan ikan segar, sedangkan di
perkotaan yaitu berasal dari daging-dagingan seperti daging sapi dan ayam. Hal
tersebut berkaitan dengan status ekonomi pada keluarga di perkotaan yang lebih
baik dibandingkan di perdesaan.

Tabel 18 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi pangan hewani


Perkotaan Perdesaan Total
Frekuensi Konsumsi Pangan
n % n % n %
Daging sapi
Jarang (≤3 kali/minggu) 27 90 29 96.7 56 93.3
Sedang (4-6 kali/minggu) 1 3.3 0 0 1 1.7
Sering (≥1 kali/hari) 2 6.7 1 3.3 3 5
Daging ayam
Jarang (≤3 kali/minggu) 17 56.7 18 60 35 58.3
Sedang (4-6 kali/minggu) 8 26.7 8 26.7 16 26.7
Sering (≥1 kali/hari) 5 16.7 4 13.3 9 15
Telur ayam
Jarang (≤3 kali/minggu) 16 53.3 14 46.7 30 50
Sedang (4-6 kali/minggu) 6 20 7 23.3 13 21.7
Sering (≥1 kali/hari) 8 26.7 9 30 17 28.3
Ikan segar
Jarang (≤3 kali/minggu) 26 86.7 17 56.7 43 71.1
Sedang (4-6 kali/minggu) 2 6.7 7 23.3 9 15
Sering (≥1 kali/hari) 2 6.7 6 20 8 13.3
Ikan asin
Jarang (≤3 kali/minggu) 29 96.7 29 96.7 58 96.7
Sedang (4-6 kali/minggu) 0 0 1 3.3 1 1.7
Sering (≥1 kali/hari) 1 3.3 0 0 1 1.7
Ikan laut
Jarang (≤3 kali/minggu) 27 90 28 93.3 55 91.7
Sedang (4-6 kali/minggu) 2 6.7 1 3.3 3 5
Sering (≥1 kali/hari) 1 3.3 1 3.3 2 3.3

Rata-rata skor frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani di


perkotaan adalah 28.0±11.6 dengan kisaran antara 8.6 sampai 50, sedangkan di
perdesaan rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani yaitu
23.5±13.8 dengan kisaran skor 6.6 sampai 65.2. Tabel 19 menunjukkan bahwa
sebagian besar anak di perkotaan dan perdesaan masuk dalam kategori skor
rendah yaitu 56.7% dan 83.3%. Hasil t-test menunjukkan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara skor frekuensi konsumsi pangan sumber protein
hewani di perkotaan dan perdesaan (p>0.05). Meskipun tidak terdapat perbedaan
yang signifikan di kedua SD, tetapi rata-rata skor di perkotaan lebih tinggi
23

dibandingkan perdesaan. Begitu juga pada anak yang mempunyai skor sedang
jauh lebih banyak di perkotaan (43.3%) daripada di perdesaan (16.7%). Hasil ini
sejalan dengan Ariani (2008) yang menyebutkan bahwa frekuensi konsumsi
pangan hewani di perkotaan lebih tinggi dibandingan di perdesaan berdasarkan
hasil analisis data SUSENAS tahun 1999 sampai 2005. Selain mengandung
protein, pangan hewani ini juga mengandung tinggi lemak. Kelebihan konsumsi
pangan sumber lemak dapat menyebabkan peningkatan berat badan atau obesitas
(Almatsier 2001).

Tabel 19 Sebaran anak berdasarkan kategori skor frekuensi konsumsi pangan


sumber protein hewani
Kategori Perkotaan Perdesaan Total
p-value
n % n % n %
Rendah 17 56.7 25 83.3 42 70
Sedang 13 43.3 5 16.7 18 30
Tinggi 0 0 0 0 0 0
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata ±SD 28.0±11.6 23.5±13.8 25.8±12.8 0.178

Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein Nabati


Tahu dan tempe merupakan pangan sumber protein nabati yang paling
sering dikonsumsi oleh anak. Pangan yang jarang di konsumsi oleh kedua SD
yaitu kacang hijau dan kacang kedelai. Anak yang sering mengkonsumsi tahu (≥1
kali/hari) di perdesaan lebih banyak dibandingkan perkotaan, sedangkan konsumsi
tempe di perkotaan lebih banyak di bandingkan perdesaan. Hasil ini tidak berbeda
jauh antara kedua SD. Hal ini diduga karena tahu dan tempe merupakan sumber
pangan nabati yang mudah didapat dan murah. Sebaran anak berdasarkan
frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi pangan sumber protein


nabati
Perkotaan Perdesaan Total
Frekuensi Konsumsi Pangan
n % n % n %
Kacang Hijau
Jarang (≤3 kali/minggu) 29 96.7 26 86.7 55 91.7
Sedang (4-6 kali/minggu) 0 0 4 13.3 4 6.7
Sering (≥1 kali/hari) 1 3.3 0 0 1 1.7
Kacang Tanah
Jarang (≤3 kali/minggu) 30 100 27 90 57 95
Sedang (4-6 kali/minggu) 0 0 1 3.3 1 1.7
Sering (≥1 kali/hari) 0 0 2 6.7 2 3.3
Tahu
Jarang (≤3 kali/minggu) 18 60 15 50 33 55
Sedang (4-6 kali/minggu) 6 20 7 23.3 13 21.7
Sering (≥1 kali/hari) 6 20 8 26.7 14 23.3
Tempe
Jarang (≤3 kali/minggu) 18 60 14 46.7 32 53.3
Sedang (4-6 kali/minggu) 6 20 11 36.7 17 28.3
Sering (≥1 kali/hari) 6 20 5 16.7 11 18.3
24

Kisaran skor frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati di


perkotaan yaitu 2 sampai 76 dengan rata-rata skor yaitu 31.7±19.6, sedangkan di
perdesaan kisaran skor yaitu 0 sampai 90 dengan nilai rata-rata lebih rendah
dibandingkan perkotaan yaitu 28.9±20.4. Sebagian besar anak di perkotaan dan
perdesaan masuk dalam kategori skor rendah masing-masing adalah 66.7%,
namun di perkotaan terdapat 10% anak masuk dalam kategori tinggi dan di
perdesaan hanya 3.3%. Hasil ini sejalan dengan penelitian Campos et al. (1991)
yang menunjukkan bahwa frekuensi pangan sumber protein di perkotaan lebih
tinggi dibandingkan perdesaan. Hasil t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara skor frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati
antara anak di perkotaan maupun perdesaan (p>0.05). Hasil uji dapat dilihat pada
Lampiran 3.

Tabel 21 Sebaran anak berdasarkan kategori skor frekuensi konsumsi pangan


sumber protein nabati

Kategori Perkotaan Perdesaan Total p-value


n % n % n %
Rendah 20 10 20 66.7 40 66.7
Sedang 7 80 9 30 16 26.7
Tinggi 3 10 1 3.3 4 6.7
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata±SD 31.7±19.6 28.9±20.4 30.3±20.0 0.559

Frekuensi Konsumsi Sayur


Sayur yang banyak di konsumsi oleh anak di kedua SD antara lain yaitu
bayam, kangkung, kacang panjang, kol dan buncis. Sebagian besar anak baik di
perkotaan dan perdesaan mengonsumsi semua jenis sayur dalam kategori jarang
(≤3 kali/minggu). Tetapi jumlah anak yang mengonsumsi semua jenis sayur pada
frekuensi sedang dan sering di perkotaan lebih sedikit dibandingkan di perdesaan.
Frekuensi konsumsi bayam di anak perkotaan yaitu 86.7% masuk dalam kategori
jarang, sedangkan di perdesaan hanya 70%. Untuk sayur kangkung, sebagian
besar contoh di pekotaan masuk dalam kategori jarang pula dengan persentase
sebesar 93.3% dan di perdesaan 80%. Kacang panjang di perkotaan di konsumsi
sebagian besar anak dalam kategori jarang dengan nilai 96.7% dan di perdesaan
tidak berbeda jauh yaitu 93.3%. begitu juga pada sayur kol dan buncis, baik di
perdesaan maupun di perkotaan sebagian besar anak juga mengkonsumsi sayur
tersebut dalam kategori jarang dengan nilai berturut-turut di pekotaan 96.7% dan
93.3%, sedangkan di perdesaan nilai berturut-turut untuk sayur kol dan buncis
adalah 83.3% dan 96.7%. Hasil ini sejalan dengan Ariani (2008) yang menyatakan
bahwa frekuensi konsumsi sayur dan buah di perdesaan lebih sering dibandingkan
di perkotaan. Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi sayur dapat dilihat
pada Tabel 22.
25

Tabel 22 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi sayur

Frekuensi Konsumsi Pangan Perkotaan Perdesaan Total


n % n % n %
Bayam
Jarang (≤3 kali/minggu) 26 86.7 21 70 47 78.3
Sedang (4-6 kali/minggu) 2 6.7 7 23.3 4 6.7
Sering (≥1 kali/hari) 2 6.7 7 23.3 9 15
Kangkung
Jarang (≤3 kali/minggu) 28 93.3 24 80 52 86.7
Sedang (4-6 kali/minggu) 1 3.3 1 3.3 2 3.3
Sering (≥1 kali/hari) 1 3.3 5 16.7 6 10
Kacang Panjang
Jarang (≤3 kali/minggu) 29 96.7 28 93.3 57 95
Sedang (4-6 kali/minggu) 0 0 0 0 0 0
Sering (≥1 kali/hari) 1 3.3 2 6.7 3 5
Kol
Jarang (≤3 kali/minggu) 29 96.7 25 83.3 54 90
Sedang (4-6 kali/minggu) 0 0 3 10 3 5
Sering (≥1 kali/hari) 1 3.3 2 6.7 3 5
Buncis
Jarang (≤3 kali/minggu) 28 93.3 29 96.7 57 95
Sedang (4-6 kali/minggu) 2 6.7 1 3.3 3 5
Sering (≥1 kali/hari) 0 0 0 0 0 0

Rata-rata skor frekuensi konsumsi sayur anak di perkotaan yaitu 23.8±17.6


dengan kisaran skor yaitu 0 sampai 52. Pada daerah perdesaan rata-rata skor anak
tidak berbeda jauh yaitu 24.7±14.1 dengan kisaran skor 1.6 sampai 50. Baik di
perkotaan maupun perdesaan, sebagian besar anak masuk dalam kategori skor
rendah yaitu 70% di perkotaan dan 66.7% di perdesaan. Tetapi anak yang masuk
dalam kategori skor sedang di perkotaan cenderung lebih sedikit dibandingkan di
perdesaan yaitu 30% dan 33.3%. Semakin sedikit konsumsi sayur pada anak maka
resiko untuk kegemukan menjadi lebih besar. Hasil ini dibuktikan bahwa anak di
perdesaan mempunyai prevalensi obes yang lebih rendah dibandingkan di
perkotaan. Sayur dapat mencegah kejadian obesitas karena dapat mengurangi rasa
lapar namun tidak menimbulkan kelebihan lemak, kolesterol, dan sebagainya.
Sayur umumnya juga mengandung serat kasar yang dapat membantu melancarkan
pencernaan dan mencegah konstipasi. Namun banyak anak yang kurang menyukai
sayur dalam menu makanan dengan alasan karena rasanya yang kurang enak
(Almatsier 2001). Hasil t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara skor frekuensi konsumsi sayur di perkotaan dan perdesaan
(p>0.05). Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 23 Sebaran anak berdasarkan kategori skor frekuensi konsumsi sayur
Perkotaan Perdesaan Total
Kategori p-value
n % n % n %
Rendah 21 70 20 66.7 41 68.3
Sedang 9 30 10 33.3 19 31.7
Tinggi 0 0 0 0 0 0
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata±SD 23.8±17.6 24.7±14.1 24.5±15.8 0.935
26

Frekuensi Konsumsi Buah


Buah yang sering dikonsumsi anak baik di perkotaan dan perdesaan yaitu
jeruk, papaya, apel, pisang dan alpukat. Sama halnya dengan konsumsi sayur,
konsumsi buah di perkotaan juga lebih sedikit dibandingkan di perdesaan.
Sebagian besar anak mengonsumsi semua jenis sayur pada frekuesni jarang (≤3
kali/minggu) baik di perkotaan dan perdesaan. Hasil analisis Susenas tahun 1999-2005
juga menunjukkan bahwa frekunsi konsumsi sayur di perkotaan lebih rendah
dibandingkan di perdesaan (Ariani 2007). Sebaran anak berdasarkan frekuensi
konsumsi buah dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi buah

Frekuensi Konsumsi Pangan Perkotaan Perdesaan Total


n % n % n %
Jeruk
Jarang (≤3 kali/minggu) 26 86.7 22 73.3 48 80
Sedang (4-6 kali/minggu) 1 3.3 5 16.7 6 10
Sering (≥1 kali/hari) 3 10.0 3 10.0 6 10
Pepaya
Jarang (≤3 kali/minggu) 25 83.3 21 70 46 76.7
Sedang (4-6 kali/minggu) 3 10 7 23.3 10 16.7
Sering (≥1 kali/hari) 2 6.7 2 6.7 4 6.7
Apel
Jarang (≤3 kali/minggu) 27 90 24 80 50 83.3
Sedang (4-6 kali/minggu) 1 3.3 4 13.3 5 8.3
Sering (≥1 kali/hari) 3 10.0 2 6.7 5 8.3
Pisang
Jarang (≤3 kali/minggu) 27 90 22 73.3 49 81.7
Sedang (4-6 kali/minggu) 2 6.7 5 16.7 7 11.7
Sering (≥1 kali/hari) 1 3.3 3 10.0 4 6.7
Alpukat
Jarang (≤3 kali/minggu) 29 96.7 26 86.7 55 91.7
Sedang (4-6 kali/minggu) 0 0 4 13.3 4 6.7
Sering (≥1 kali/hari) 1 3 0 0 1 1.7

Skor frekuensi konsumsi buah di perkotaan berkisar antara 0.8 sampai 88


dan di perdesaan yaitu berkisar antara 0.8 sampai 86. Rata-rata skor frekuensi
konsumsi buah di perkotaan (24.6±18) lebih tinggi dibandingkan di (30.2±22).
Tabel 25 menunjukkan sebagian besar anak di perkotaan dan perdesaan masuk
dalam kategori rendah yaitu 76.6% di perkotaan dan 63.3% di perdesaan. Tetapi
anak di perkotaan yang masuk dalam kategori sedang lebih rendah (20%)
dibandingkan di perdesaan (30%). Semakin tinggi skor konsumsi buah, maka
dapat mengurangi resiko untuk menjadi obesitas. Hal yang sama di jelaskan pada
frekuensi konsumsi sayur, buah merupakan pangan yang mempunyai tinggi serat.
Serat yang cukup dapat mengurangi kejadian berat badan lebih. Hasil t-test
menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara skor frekuensi
konsumsi buah di daerah perkotaan dan perdesaan (p>0.05). Hasil uji dapat dilihat
pada Lampiran 3.
27

Tabel 25 Sebaran anak berdasarkan kategori skor frekuensi konsumsi buah


Kategori Perdesaan Perkotaan Total
p-value
n % n % n %
Rendah 23 76.7 19 63.3 42 70
Sedang 6 20 9 30 15 25
Tinggi 1 3.3 2 6.7 3 5
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata±SD 24.6±18 30.2±22 27.4±20.3 0.295

Frekuensi Konsumsi Susu dan Olahannya


Frekuensi konsumsi susu pada sebagian besar anak yaitu jarang (≤3
kali/minggu) baik di perkotaan (53.3%) dan perdesaan (76.3%), namun di
perkotaan terdapat 30% anak yang mengkonsumsi susu setiap hari sedangkan di
perdesaan tidak ada. Olahan susu menjadi yoghurt jarang dikonsumsi anak baik di
perkotaan dan perdesaan. Untuk keju dan es krim dikonsumsi sebagian besar anak
antara frekuensi sedang dan sering, jumlah anak yang mengonsumsi keju dan es
krim di perkotaan lebih banyak dibandingkan di perdesaan. Hal ini mungkin
karena anak kecil suka mengkonsumsi es krim dan keju yang rasanya enak.
Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi susu dan olahannya dapat dilihat
pada Tabel 26.

Tabel 26 Sebaran anak berdasarkan frekuensi konsumsi susu dan olahannya


Perkotaan Perdesaan Total
Frekuensi Konsumsi Pangan
n % n % n %
Susu
Jarang (≤3 kali/minggu) 16 53.3 23 76.3 39 65
Sedang (4-6 kali/minggu) 5 16.6 7 23.7 12 20
Sering (≥1 kali/hari) 9 30 0 0 9 15
Yoghurt
Jarang (≤3 kali/minggu) 28 93.3 27 90 55 91.6
Sedang (4-6 kali/minggu) 2 6.6 1 3.3 3 5
Sering (≥1 kali/hari) 0 0.0 2 6.7 2 3.3
Keju
Jarang (≤3 kali/minggu) 19 63.3 19 63.3 38 63.3
Sedang (4-6 kali/minggu) 5 16.6 3 10 8 13.3
Sering (≥1 kali/hari) 6 20 8 26.7 14 23.3
Es krim
Jarang (≤3 kali/minggu) 17 56.6 23 76.7 40 66.6
Sedang (4-6 kali/minggu) 7 23.3 2 6.7 9 15
Sering (≥1 kali/hari) 6 20 5 16.7 11 18.3

Rata-rata skor konsumsi susu dan hasil olahannya di perkotaan yaitu


29.1±21 dengan kisaran skor antara 1 sampai 77.9, sedangkan di perdesaan rata-
rata skor konsumsi susu lebih rendah dibandingkan dengan perkotaan yaitu
22.2±18.9 dengan kisaran 0 sampai 82.5. Di perkotaan dan perdesaan, sebagian
besar anak masuk dalam kategori skor rendah yaitu 63.3% di perkotaan dan
76.7% di perdesaan. Tetapi anak dengan skor tinggi di perkotaan lebih banyak
28

(10%) dibandingkan di perdesaan (3.3%). Susu dan olahannya merupakan sumber


protein yang mempunyai lemak tinggi. Skor tinggi dapat menyebabkan resiko
kegemukan menjadi naik. Dibuktikan dengan prevalensi obes di perkotaan yang
cenderung lebih tinggi dibandingkan perdesaan. Hasil t-test menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara skor frekuensi konsumsi susu dan hasil
olahannya (p>0.05). Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tabel 27 Sebaran anak berdasarkan kategori skor frekuensi konsumsi susu dan
hasil olahannya

Kategori Perkotaan Perdesaan Total


n % n % n %
Rendah 19 63.3 23 76.7 42 70
Sedang 8 26.7 6 20 14 23.3
Tinggi 3 10 1 3.3 4 6.7
Total 30 100 30 100 60 100
Rata-rata±SD 29.1±21 22.2±18.9

Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah pangan yang
dimakan atau dikonsumsi seseorang maupun kelompok orang pada waktu tertentu.
Definisi ini menunjukan bahwa konsumsi pangan dapat diketahui dari aspek jenis
pangan yang dikonsumsi seseorang dan jumlah pangan yang dikonsumsi, kedua
informasi ini sangat penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang dikonsumsi
oleh seseorang (Kusharto dan Sa’adiyah 2012).
Kebutuhan zat gizi menggambarkan banyaknya zat gizi minimal yang
diperlukan seseorang agar dapat hidup sehat. Kebutuhan zat gizi antar individu
sangat bervariasi dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, ukuran tubuh (berat badan
dan tinggi badan), keadaan psikologis, aktivitas fisik dan metabolisme tubuh
(Hardinsyah dan Briawan 1994). Rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan
energi serta zat gizi pada masing-masing anak dengan status gizi overweight dan
obes dapat dilihat pada Tabel 29.

Tabel 28 Rata-rata asupan serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada anak
overweight dan obes di perkotaan dan perdesaan
Energi dan Zat Perkotaan Perdesaan Total
Gizi Overweight Obes Overweight Obes Overweight Obes
a b c d a b
Energi
- Asupan 1.756±201 2.127±408 1.881±333 1.918±371 1.824±282 2.028±400
- TKE 97.1 95.1 91.9 98.5 94.8 96.9
a b c d c d
Protein
- Asupan 46.8±12.2 58.7±13.5 53.7±17.8 49.5±9.8 50.6±15.5 54.4±12.7
- TKP 104.8 101.4 102.1 114.5 103.6 108.3
a b c d a b
Lemak
- Asupan 58.2±13.7 78.1±13.3 65.4±18.3 68.8±20.3 62.2±16.4 73.5±17.5
- % kontribusi 28.9 30.1 31.6 32.1 30.1 31.1
a b c d c d
Karbohidrat
- Asupan 309.7±132.6 351.6±127.2 373.0±186.7 349.3±182.0 344.5±163.7 350.5±143.6
- % kontribusi 70.9 70.8 65.3 66.2 68.4 68.4
a,b
p<0.05, independent t-test
c,d
p>0.05, independent t-test
29

Asupan energi anak overweigh di kedua SD berkisar antara 1.348


kkal/kap/hari sampai 2.748 kkal/kap/hari dengan rata-rata asupan yaitu 1.824±282
kkal/kap/hari. Asupan energi anak obes lebih tinggi dibandingkan anak
overweight, dengan rata-rata asupan 2.028±400 kkal/kap/hari dan kisaran antara
1.075 kkal/kap/hari sampai 2.894 kkal/kap/hari. Pada daerah perkotaan, asupan
energi anak overweight berkisar antara 1.348 kkal/kap/hari sampai 1.983
kkal/kap/hari, dengan rata-rata asupan yaitu 1.756±201 kkal/kap/hari. Sama
halnya dengan anak di kedua SD, anak obes di perkotaan mempunyai asupan
energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak overweight. Rata-rata asupan
energi anak obes di perkotaan adalah 2.127±408 kkal/kap/hari dengan kisaran
antara 1.350 kkal/kap/hari sampai 2.894 kkal/kap/hari. Hasil t-test menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan energi anak overweight dan
obes di kedua SD dan di perkotaan (p<0.05). Hasil ini sejalan dengan penelitian
Suryaalamsyah (2009) yang menyatakan bahwa anak obes memiliki asupan energi
yang lebih banyak dibandingkan dengan anak yang lain. Asupan energi yang
berlebih dapat menyebabkan penumpukan lemak di tubuh yang mengakibatkan
kegemukan.
Berbeda dengan asupan energi di kedua SD dan perkotaan, asupan energi
di perdesaan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara anak
overweight dan anak obes (p>0.05). Asupan energi anak di perdesaan yang
mempunyai status gizi overweight berkisar antara 1.589 kkal/kap/hari sampai
2.748 kkal/kap/hari dengan rata-rata asupan yaitu 1.881±333 kkal/kap/hari. Anak
obes mempunyai rata-rata asupan energi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
anak overweight, yaitu 1.918±371 kkal/kap/hari dengan kisaran asupan 1.075
kkal/kap/hari sampai 2.786 kkal/kap/hari.
Rata-rata asupan protein anak overweight di kedua SD yaitu 50.6±15.5
g/kap/hari, berkisar antara 29.7 g/kap/hari sampai 99.9 g/kap/hari. Sedangkan
kisaran asupan protein anak obes yaitu 31 g/kap/hari sampai 87 g/kap/hari dengan
rata-rata yaitu 54.4±12.7 g/kap/hari. Hasil ini menunjukkan bahwa asupan protein
anak obes lebih tinggi dibandingkan dengan anak overweight. Hasil yang sama
juga ditunjukkan pada asupan protein anak di daerah perdesaan bahwa anak
overweight mempunyai asupan yang lebih tinggi dibandingkan anak obes. Akan
tetapi hasil t-test tidak menemukan perbedaan signifikan antara asupan protein
anak overweight dan anak obes di kedua SD dan di perdesaan (p>0.05). Kisaran
asupan protein anak overweight antara 38.8 g/kap/hari sampai 99.9 g/kap/hari dan
anak obes berkisar antara 31.4 g/kap/hari sampai 64.4 g/kap/hari. Berbeda dengan
perkotaan, rata-rata asupan protein di perdesaan lebih tinggi pada anak overweight
dibandingkan dengan anak obes, dengan jumlah berturut-turut 53.7 g/kap/hari dan
49.5 g/kap/hari.
Asupan protein pada anak overweight lebih rendah dibandingkan dengan
anak obes di daerah perkotaan, rata-rata asupan anak overweight yaitu 46.84±12.2
g/kap/hari, sedangkan anak obes 58.75±13.5 g/kap/hari. Kisaran asupan protein
anak overweight yaitu antara 29.7 g/kap/hari sampai 70.8 g/kap/hari, sedangkan
anak obes yaitu 34.8 g/kap/hari samapi 86.7 g/kap/hari. Hasil t-test menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan signifikan antara asupan protein anak overweight
dengan anak obes di daerah perkotaan (p<0.05).
Asupan lemak anak overweight di kedua SD yaitu berkisar antara 36.7-
110.3 g/kap/hari dengan rata-rata asupan yaitu 62.2±16.4 g/kap/hari, sedangkan
30

pada anak obes kisaran asupan lemak yaitu antara 35-115 g/kap/hari dengan rata-
rata asupan sebesar 73.5±17.5 g/kap/hari. Hasil ini menunjukan bahwa asupan
lemak anak obes jauh lebih tinggi dibandingkan dengan asupan lemak anak
overweight di kedua SD. Pada daerah perkotaan, rata-rata asupan lemak juga lebih
tinggi pada anak obes dibandingkan anak overweight dengan hasil berturut-turut
yaitu 58.2±13.7 g/kap/hari dan 78.1±13.4 g/kap/hari. Kisaran asupan lemak pada
anak overweight antara 36.7 g/kap/hari sampai 76.9 g/kap/hari, sedangkan pada
anak obes yaitu 51.5 g/kap/hari sampai 104.3 g/kap/hari. Terdapat perbedaan yang
signifikan berdasarkan hasil t-test antara asupan lemak anak overweight dengan
anak obes di kedua SD dan di perkotaan (p<0.05). Hasil yang sama diperoleh
pada penelitian Musadat (2010) yang menunjukkan proporsi anak obes
mengonsumsi makanan belemak lebih banyak. Lemak berkontribusi terhadap
penambahan berat badan seseorang, makanan berlemak yang dikonsumsi secara
berlebihan dengan tidak diimbangi aktivitas fisik yang cukup dapat menyebabkan
berat badan naik atau terjadi kegemukan.
Hasil yang sama ditunjukan pada asupan lemak di perdesaan, pada anak
obes rata-rata asupan lemak lebih tinggi (68.3±20.3 g/kap/hari) dibandingkan
dengan anak overweight (65.4±18.3 g/kap/hari). Asupan lemak anak overweight
berkisar antara 47.3 g/kap/hari sampai 110.3 g/kap/hari, sedangkan pada anak
obesitas berkisar antara 35.1 g/kap/hari sampai 115.0 g/kap/hari. Akan tetapi hasil
t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara asupan lemak pada
anak overweight dan anak obes (p>0.05).
Kisaran asupan karbohidrat anak overweight di kedua SD yaitu 217.4
g/kap/hari sampai 744.6 g/kap/hari, dengan rata-rata asupan yaitu 344.5±163.7
g/kap/hari, sedangkan pada anak obes rata-rata asupan karbohidrat yaitu
350.5±143.6 g/kap/hari dengan kisaran 150 g/kap/hari sampai 805 g/kap/hari.
Berbeda dengan kedua SD, asupan karbohidrat anak overweight di perdesaan
lebih tinggi dibandingkan anak obes. Asupan karbohidrat anak overweight yaitu
berkisar antara 234.0 g/kap/hari sampai 744.6 g/kap/hari dengan rata-rata asupan
373.0 g/kap/hari, sedangkan rata-rata asupan karbohidrat anak obes yaitu
349.3±182.1 g/kap/hari dan berkisar antara 149.8 g/kap/hari sampai 805.3
g/kap/hari. Hasil t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antara
asupan karbohidrat anak overweight dan anak obes (p>0.05) baik di kedua SD
maupun di perdesaan. Pada perkotaan, asupan karbohidrat anak overweight
berkisar antara 217.4 g/kap/hari sampai 650 g/kap/hari dengan rata-rata asupan
sebesar 309.7±132.6 g/kap/hari. Pada anak obes, asupan karbohidrat lebih tinggi
dibandingkan anak overweight berkisar antara 187.4 g/kap/hari sampai 587
g/kap/hari dan mempunyai rata-rata 351.6±127.2 g/kap/hari. Hasil t-test
menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan karbohidrat pada
anak overweight dan anak obes di daerah perkotaan (p<0.05). Anak di perkotaan
mempunyai status gizi obes yang lebih banyak dibandingkan anak overweight.
Bila konsumsi karbohidrat berlebih maka asupan energi akan meningkat dan
kelebihannya disimpan dalam jaringan lemak yang dapat mengakibatkan
kegemukan. Tiap gram karbohidrat mengandung 4 kilokalori. Batasan karbohidrat
adalah 50-60% dari total kebutuhan energi (Almatsier 2001). Secara keseluruhan
rata-rata asupan anak di perkotaan dan perdesaan serta tingkat kecukupan dan
kontribusi terhadap energi dapat dilihat pada Tabel 29.
31

Tabel 29 Rata-rata asupan energi dan zat gizi serta tingkat kecukupan dan
kontribusi terhadap energi total
Energi dan Zat Gizi Perkotaan Perdesaan Total p-value
Energi
- Asupan 2016±395 1904±353 1960±375 0.255
- AKE 2033±63 2050±0 2042±45
- TKE 99.4 92.9 96.2
Protein
- Asupan 55.2±14.1 51.0±13.9 53.1±13.7 0.243
- AKP 49.67±1.27 50±0 49.82±0.91
- TKP 111.4 102.1 106.7
Lemak  
- Asupan 72.2±16.2 67.2±19.3 69.7±17.8 0.289
- % kontribusi* 32.1 29.5 30.8
Karbohidrat
- Asupan 339.03±128.01 357.96±169.57 348.5±149.26 0.894
- % kontribusi* 66.9 69.85 68.35
*Terhadap Angka Kecukupan Energi

Asupan energi anak di perkotaan berkisar antara 1348-2894 kkal/kap/hari,


sedangkan asupan energi di perdesaan berkisar antara 1075-2786 kkal/kap/hari.
Berdasarkan Tabel 29 dapat dilihat bahwa rata-rata asupan energi anak yaitu
1960±375 kkal/kap/hari. Rata-rata asupan energi anak di perkotaan lebih tinggi
dibandingkan dengan rata-rata asupan energi anak di perdesaan. Rata-rata asupan
anak perkotaan yaitu 2016±395 kkal/kap/hari dan perdesaan sebesar 1904±353
kkal/kap/hari. Hasil t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara asupan energi di perkotaan dan perdesaan (p>0.05). Hasil uji dapat dilihat
pada Lampiran 3.
Tingkat asupan energi diperoleh dengan membandingkan asupan energi
aktual anak dengan angka kecukupan energi yang dianjurkan per orang per hari
sesuai Widyakarya Pangan Nasional Pangan dan Gizi (2004) dengan
mempertimbangkan faktor umur dan jenis kelamin. Faktor berat badan tidak
diperhitungkan untuk menentukan tingkat kecukupan energi dikarenakan faktor
koreksi berat badan digunakan apabila status gizi seseorang dalam kategori baik
(Hardinsyah et al. 2010). Berdasarkan hasil tersebut didapatkan rata-rata tingkat
kecukupan energi di perkotaan yaitu 99.4% dengan kisaran 65.7% sampai
160.8%, sedangkan rata-rata tingkat kecukupan energi di perdesaan yaitu 92.9%
dan berkisar antara 52.4% sampai 135.9%.
Asupan protein anak di perkotaan berkisar antara 29.67-86.7 g/kap/hari,
sedangkan asupan protein di perdesaan berkisar antara 31.45-99.9 g/kap/hari.
Rata-rata asupan protein di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan perdesaan
yaitu berturut-turut 55.2±14.1 dan 51.0±13.2 g/kap/hari. Hasil t-test menunjukkan
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan protein di perkotaan dan
perdesaan. Kisaran tingkat kecukupan protein di perkotaan yaitu 59.3% sampai
186.7%, sedangkan pada perdesaan yaitu 62.9% sampai 199.9%. Rata-rata tingkat
kecukupan protein anak di perkotaan lebih tinggi yaitu 111.4% dibandingkan di
perdesaan yaitu sebesar 102.1%. Bayi dan anak-anak yang berada pada masa
32

pertumbuhan dan perkembangan pesat membutuhkan protein lebih banyak


perkilogram berat badannya dibanding orang dewasa (IOM 2005).
Asupan lemak anak berkisar antara 35.1-115.0 g/kap/hari. Pada perkotaan
kisaran asupan lemak yaitu 36.7-104.3 g/kap/hari, sedangkan pada perdesaan
asupan lemak berkisar antara 35.1-115.0 g/kap/hari. Sama halnya dengan asupan
rata-rata energi dan protein, rata-rata asupan lemak di perkotaan juga lebih tinggi
dibandingkan di perdesaan dengan nilai berturut-turut yaitu 72.2±16.2 g/kap/hari
dan 67.2±19.3 g/kap/hari. Hasil t-test menunjukkan tidak ada perbedaan yang
signifikan antara rata-rata asupan lemak di perkotaan dan perdesaan. Kontribusi
lemak terhadap energi total dihitung berdasarkan asupan lemak aktual anak yang
dibandingkan dengan angka kecukupan energi menurut umur dan jenis kelamin.
Menurut WHO (2010) kontribusi energi dari lemak yang baik yaitu sebesar 30%
untuk usia 4-18 tahun. Tabel 29 menunjukan rata-rata kontribusi lemak anak di
perkotaan yaitu sebesar 32.1% lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata
kontribusi lemak di perdesaan yang hanya 29.5%. Kisaran kontribusi lemak di
daerah perkotaan yaitu 16.1% sampai 50.9% dan pada daerah perdesaan yaitu
antara 15.4% sampai 50.5%. Perbaikan menu dengan komposisi energi dari lemak
sangat penting agar upaya pencegahan penyakit kronik degeneratif sedini
mungkin dapat tercapai (Bredbenner et al. 2009 ; Hardinsyah et al. 2010).
Kisaran asupan karbohidrat anak yaitu 149.77-805.27 g/kap/hari dengan
rata-rata 348.5±149.26 g/kap/hari. Pada perkotaan asupan karbohidrat anak
berkisar antara 187.43-650.70 g/kap/hari, sedangkan di perdesaan yaitu 149.77-
805.27 g/kap/hari. Berbeda dengan rata-rata asupan energi, protein dan lemak,
rata-rata asupan karbohidrat di perkotaan lebih kecil dibandingkan dengan
perdesaan, dengan nilai yaitu 339.03±128.0g/kap/hari dan 357.96±169.57
g/kap/hari. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan antara
asupan karbohidrat di perkotaan dan perdesaan. Hasil uji dapat dilihat pada
Lampiran 2. Kontribusi energi dari karbohidrat sebaiknya sekitar 55% dari angka
kecukupan energi. Kontribusi karbohidrat terhadap energi total dihitung
berdasarkan asupan karbohidrat aktual yang dibandingkan dengan angka
kecukupan energi (WHO 2000). Kontribusi karbohidrat di perkotaan berkisar
antara 36.57-126.97% dan perdesaan yaitu 29.22-157.13%. Rata-rata kontribusi
karbohidrat di perkotaan lebih kecil dibandingkan dengan perdesaan yaitu 66.9%
dan 69.58%. Bila asupan karbohidrat berlebih maka asupan energi akan
meningkat dan kelebihannya disimpan dalam jaringan lemak yang dapat
mengakibatkan kegemukan. Tiap gram karbohidrat mengandung 4 kilokalori
energi. Asupan karbohidrat yang melebihi batas maka mengakibatkan kebutuhan
vitamin, mineral serta protein akan sulit terpenuhi (Depkes 1996).
Tabel 30 menunjukan bahwa sebagian besar anak di kedua SD masuk
dalam kategori normal yaitu 46.7% di perkotaan dan 43.3% di perdesaan. Pada
perkotaan terdapat 20% anak yang masuk dalam kategori lebih, namun di
perdesaan hanya terdapat 6.7% saja. Persentase tingkat kecukupan energi dalam
kategori lebih di perkotaan lebih tinggi, hal ini disebabkan oleh konsumsi pangan
di perkotaan juga lebih banyak dibandingkan di perdesaan dan dibuktikan oleh
hasil frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat, protein hewani dan nabati
serta susu yang lebih tinggi juga di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan.
Tingkat kecukupan energi lebih dapat mengakibatkan anak mengalami obesitas,
karena energi yang berlebih akan disimpan dalam bentuk lemak didalam tubuh.
33

Hal ini dibuktikan pada prevalensi anak obes di perkotaan juga lebih banyak
dibandingkan di perdesaan. Pada masing-masing SD terdapat anak sebanyak 6.7%
dan 3% yang masih dalam kategori defisit berat (Tabel 30). Anak yang
mempunyai defisit berat dikarenakan mereka sudah merasa mempunyai berat
badan lebih seghingga mulai mengurangi konsumsi pangannya.
Sama halnya dengan tingkat kecukupan energi. Tingkat kecukupan protein
sebagian besar (50%) anak di perkotaan masuk dalam kategori normal, begitu
pula pada perdesaan (40%). Tetapi tingkat kecukupan protein yang masuk dalam
kategori lebih (30%) di perkotaan lebih banyak dibandingkan di perdesaan (20%).
Hasil ini juga dibuktikan oleh frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani
dan nabati yang lebih banyak di perkotaan dibandingkan di perdesaan. Konsumsi
pangan sumber protein hewani yang berlebih dapat menyebabkan kegemukan, hal
ini dikarenakan apabila asupan protein melebihi kebutuhan akan disimpan dalam
bentuk lemak di tubuh.

Tabel 30 Sebaran anak berdasar kategori tingkat kecukupan energi dan protein
Perkotaan Perdesaan Total
Tingkat Kecukupan
n % n % n %
Defisit Berat 2 6.7 1 3.3 3 5
Defisit Sedang 2 6.7 5 16.7 7 11.7
Energi Defisit Ringan 6 20 9 30 15 25
Normal 14 46.7 13 43.3 27 45
Lebih 6 20 2 6.7 8 13.3
Total 30 100 30 100 60 100
Defisit Berat 3 10 1 3.3 4 6.7
Defisit Sedang 0 0 5 16.7 5 8.3
Protein Defisit Ringan 3 10 6 20 9 15
Normal 15 50 12 40 27 45
Lebih 9 30 6 20 15 25
Total 30 100 30 100 60 100

Tingkat kontribusi lemak pada anak-anak di perkotaan dan perdesaan


terbanyak terdapat pada kategori baik yaitu 50% dan 43.3%. Terdapat 30% anak
yang mempunyai kontribusi lemak dalam kategori lebih di perkotaan, sedangkan
di perdesaan hanya 20% (Tabel 31). Diet harian yang seharusnya dipilih adalah
diet yang mengandung tidak lebih dari 30% energi yang berasal dari lemak, dan
kurang dari 10% energi yang berasal dari lemak jenuh. Jika seseorang
mengkonsumsi lemak/minyak secara berlebih akan menurunkan konsumsi
makanan lain dan berakibat pada kegemukan (Toiano et al. 2000). Hasil ini juga
dibuktikan pada prevalensi anak obes di perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan
di perdesaan.
Tabel 31 Sebaran anak berdasarkan klasifikasi kontribusi lemak
Perkotaan Perdesaan Total
Kontibusi Lemak
n % n % n %
Kurang 6 20 14 36.7 17 28.3
Baik 15 50 11 43.3 28 46.7
Lebih 9 30 5 20 15 25
Total 30 100 30 100 60 100
34

Berdasarkan Tabel 32, dapat diketahui bahwa anak di perkotaan yang


masuk dalam kategori baik dan lebih yaitu sama-sama 40%, sedangkan di
perdesaan kontribusi konsumsi karbohidrat terbanyak pada kategori baik yaitu
53.3%. Kontribusi karbohidrat dalam kategori lebih di perkotaan lebih banyak
dibandingkan di perdesaan, hal ini sesuai dengan skor frekuensi konsumsi pangan
sumber karbohidrat di perkotaan yang lebih tinggi juga dibandingkan di
perdesaan. Asupan karbohidrat yang berlebih dapat menyebabkan penumukan
lemak, karena kelebihan asupan akan disimpan dalam bentuk lemak di dalam
tubuh dan mengakibatkan kegemukan (Almatsier 2001).

Tabel 32 Sebaran anak berdasarkan klasifikasi kontribusi karbohidrat


Kontibusi Perkotaan Perdesaan Total
Karbohidrat n % n % n %
Kurang 6 20 3 10.0 9 15.0
Baik 12 40 16 53.3 28 46.7
Lebih 12 40 11 36.7 23 38.3
Total 30 100 30 100 60 100

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot-otot rangka
sebagai suatu pengeluaran tenaga, yang meliputi pekerjaan, waktu senggang dan
aktivitas sehari-hari. Aktivitas fisik tersebut memerlukan usaha ringan, sedang
atau berat yang dapat menyebabkan perbaikan kesehatan bila dilakukan secara
teratur (Adisapoetra 2005).
Pengukuran aktivitas fisik dilakukan terhadap jenis aktivitas yang
dilakukan subyek dan lama waktu melakukan aktivitas dalam sehari. FAO (2001)
menyatakan bahwa aktivitas fisik adalah variabel utama setelah angka
metabolisme basal dalam penghitungan pengeluaran energi. Berdasarkan FAO
(2001), besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam
dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik. PAL
merupakan besarnya energi yang dikeluarkan per kilogram berat badan dalam 24
jam.
Rata-rata nilai PAL di perkotaan, perdesaan dan kedua SD antara anak
overweigt dan anak obes tidak berbeda secara signifikan (p>0.05), akan tetapi
nilai PAL pada anak obes lebih kecil dibandingkan anak overweight. Hal ini
berarti bahwa aktivitas anak obes lebih ringan dibandingkan dengan anak
overweight. Baik di perkotaan maupun perdesaan, prevalensi obes lebih banyak
dibandingkan overeweight. Hal ini kemungkinan disebabkan pada anak obes
mempunyai aktivitas yang kurang dibuktikan oleh nilai PAL anak overweight
lebih besar dibandingkan anak obes. Selain itu, pada anak obes secara signifikan
berbeda lebih tinggi asupan energinya dibandingkan anak overweight.
35

Tabel 33 Rata-rata PAL (Physical Activity Level) anak overweight dan obes
Perkotaan Perdesaan Total
PAL
Overweight Obes Overweight Obes Overweight Obes
Rata-rata 1.45±0.18a 1.40±0.16b 1.43±0.08 a 1.35±0.1b 1.42±0.16 a 1.40±0.1b
Minimal 1.28 1.21 1.27 1.26 1.21 1.26
Maksimal 1.75 1.80 1.81 1.52 1.81 1.80
a,b
p>0.05, independent t-test

Rata-rata nilai PAL anak yaitu 1.41±0.15 dengan kisaran antara 1.21
sampai 1.81. Di perkotaan rata-rata nilai PAL yaitu 1.42±0.16, dengan nilai PAL
tertinggi yaitu 1.80 dan nilai terendah 1.21. Rata-rata nilai PAL di perdesaan lebih
rendah dibandingkan dengan perkotaan yaitu 1.40±0.14, dengan kisaran nilai
PAL antara 1.26 sampai 1.81. Rata-rata PAL (Physical Activity Level) anak dapat
dilihat pada Tabel 34.

Tabel 34 Rata-rata PAL (Physical Activity Level) anak


PAL Perkotaan Perdesaan Total p-value
Rata-rata 1.42±0.16 1.40±0.14 1.41±0.15
Minimal 1.21 1.26 1.21 0.594
Maksimal 1.80 1.81 1.81

Menurut Miller et al. (2004) bahwa telah terjadi perubahan gaya hidup di
seluruh dunia khususnya pada anak-anak. Hal ini ditandai dengan menurunnya
aktivitas fisik dan peningkatan konsumsi energi. Anak-anak lebih menggunakan
kendaraan atau alat-alat yang otomatis (lift dan escalator) dibandingkan dengan
menaiki tangga atau berjalan kaki dari suatu tempat ke tempat lain. Hal ini sejalan
dengan hasil RISKESDAS (2007) yang menyebutkan bahwa kurang aktivitas fisik
paling tinggi berdasarkan umur, salah satunya berada pada anak-anak kelompok
umur 10-14 tahun (66.9%).
Menurut FAO (2001) aktivitas fisik berdasarkan PAL (Physical Activity
Level) dikategorikan menjadi tiga yaitu ringan (1.40-1.69), sedang (1.70-1.99),
dan berat (2.00-2.40). Sebagian besar kategori aktivitas anak di kedua SD yaitu
termasuk dalam kategori ringan sebanyak 91.7%. Pada perkotaan anak dengan
kategori aktivitas fisik ringan sebanyak 86.7%, sedangkan di perdesaan sebanyak
96.7% masuk dalam kategori ringan. Anak yang masuk dalam kategori aktivitas
sedang di perkotaan lebih banyak dibandingkan dengan perdesaan yaitu berturut-
turut 18.3% dan 3.3%. Hasil uji Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan
signifikan antara aktivitas fisik anak pada perkotaan dan perdesaan (Lampiran 2).
Hasil serupa disebutkan oleh Bathrellou et al. (2007) yang menyebutkan tidak
terdapat perbedaan aktivitas fisik anak-anak yang berada di daerah Cyprus baik di
perkotaan maupun di perdesaan. Sebaran anak berdasarkan aktivitas fisik dapat
dilihat pada Tabel 35.
36

Tabel 35 Sebaran anak berdasarkan aktivitas fisik


Perkotaan Perdesaan Total
Kategori
n % n % n %
Ringan 26 86.7 29 96.7 55 91.7
Sedang 4 18.3 1 3.3 5 8.3
Berat 0 0 0 0 0 0
Total 30 100 30 100 60 100

Seorang yang kurang aktivitas fisik menyebabkan tubuh kurang


menggunakan energi yang tersimpan didalam tubuh. Oleh karena itu, jika
konsumsi energi berlebih tanpa diimbangi dengan aktivitas fisik yang sesuai maka
secara berkelanjutan dapat mengakibatkan obesitas. Cara yang paling mudah dan
umum untuk meningkatkan pengeluaran energi adalah dengan melakukan latihan
fisik atau gerak badan (Rahmawati 2009).

Hubungan antar Variabel dengan Status Gizi Lebih pada Anak

Faktor yang berhubungan dengan status gizi lebih pada anak terdiri dari
faktor langsung dan tidak langsung. Variabel yang diteliti pada penelitian ini
meliputi karakteristik keluarga (pendapatan dan status gizi), karakteristik anak
(besar uang saku), pola konsumsi (frekuensi makan, kebiasaan sarapan dan asupan
energi, asupan protein, asupan lemak, asupan karbohidrat), serta aktifitas fisik.
Variabel tersebut diuji dengan menggunakan korelasi Pearson dan Spearman.

Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Status Gizi Lebih


Hasil uji korelasi antara karakteristik keluarga terdiri dari pendapatan dan
status gizi dengan status gizi lebih pada anak dapat dilihat pada Tabel 36.

Tabel 36 Hubungan karakteristik keluarga anak dengan status gizi lebih


Status Gizi Lebih
Variabel
r p
Pendapatan Keluarga 0.127 0.332
Status Gizi Ayah 0.079 0.551
Status Gizi Ibu** 0.266 0.040
**. Berhubungan signifikana pada p<0.05

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapt hubungan yang


signifikan antara pendapatan keluarga dengan status gizi lebih pada anak
(r=0.127, p=0.332). Pada uji korelasi pearson menunjukan tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara status gizi ayah dengan status gizi lebih pada
anak (r=0.079, p=0.551), namun uji korelasi pearson menunjukkan terdapat
hubungan yang positif dan signifikan antara status gizi ibu dengan status gizi lebih
pada anak (r=0.266, p=0.040). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi status gizi ibu
maka kecenderungan anak untuk memiliki status gizi lebih akan semakin besar.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Haryanto (2012) yang menunjukan
terdapat hubungan yang signifikan antara IMT ibu dengan kejadian obesitas. Hasil
37

uji dapat dilihat pada Lampiran 4. Menurut Satoto (1993) bahwa faktor genetik
berperan sebagai penyebab dasar atau faktor pencetus bagi timbulnya obesitas.
Dari beberapa peneliti mengungkapkan bahwa faktor genetika mempunyai
pengaruh yang penting pada terjadinya kegemukan walaupun mekanismenya
belum diketahui. Dijumpai bahwa bapak dan ibunya menderita obesitas
kemungkinan anak menjadi gemuk adalah 70-8-%. Sedangkan bila salah satu dari
orang tua menderita obesitas 40-50% anaknya akan menderita obesitas.

Hubungan Karakteristik Anak dengan Status Gizi Lebih


Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara besar uang saku dengan status gizi lebih pada anak
(r=0.123, p=0.350). Hasil uji dapat dilihat pada Lampiran 5.

Hubungan Pola Konsumsi Pangan dengan Status Gizi Lebih


Hasil uji korelasi antara pola konsumsi pangan yang terdiri dari frekuensi
makan, kebiasaan sarapan, asupan energi, asupan protein, asupan lemak, asupan
karbohidrat dengan status gizi lebih dapat dilihat pada Tabel 36.

Tabel 36 Hubungan pola konsumsi pangan dengan status gizi lebih


Status Gizi Lebih
Variabel
r p
Frekuensi makan 0.046 0.729
Kebiasaan Sarapan 0.080 0.542
Asupan energi** 0.505 0.000
Asupan protein** 0.381 0.003
Asupan lemak** 0.426 0.001
Asupan karbohidrat 0.144 0.272
** Berhubungan signifikan pada p<0.05

Hasil uji korelasi Spearman pada Tabel 36 menunjukkan bahwa tidak


terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi makan dan kebiasaan sarapan
dengan status gizi lebih pada anak (r=0.46, p=0.729). Hasil uji dapat dilihat pada
Lampiran 5.
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak. Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara asupan energi dengan status gizi lebih pada anak (r=505,
p=0.000), hal ini berarti bahwa semakin banyak asupan energi maka semakin
besar pula kecenderungan anak untuk mengalami status gizi lebih. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Sartika (2011) yang menunjukkan bahwa asupan energi
berhubungan secara nyata dengan kejadian obesitas pada anak usia 5-15 tahun.
Fungsi dari energi yaitu sumber tenaga metabolisme, pengaturan suhu tubuh,
pertumbuhan dan kegiatan fisik. Kelebihan energi disimpan untuk cadangan
energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan jangka pendek dan dalam bentuk
lemak sebagai cadangan dalam jangka panjang (Hardinsyah & Tambunan 2004).
Kelebihan konsumsi makanan dapat menimbulkan obesitas khususnya bahan
makanan sumber energi, dimana jumlah makanan yang dimakan jauh melebihi
energi yang dilepaskan atau dibakar melalui proses metabolisme dalam tubuh
(Wahyu 2000).
38

Berdasarkan Tabel 36 dapat dilihat bahwa hasil uji korelasi Pearson


menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara asupan protein
dengan status gizi lebih pada anak (r=0.381, p=0.003). Semakin tinggi asupan
protein maka kecenderungan anak mengalami status gizi lebih juga semakin
besar. Penelitian Sartika (2011) juga menunjukkan bahwa asupan protein
berhubungan secara nyata dengan kejadian obesitas pada anak usia 5-15 tahun.
Sebagai sumber energi, protein ekuivalen dengan karbohidrat karena
menghasilkan 4 kilokalori per gram protein. Dalam keadaan berlebih, protein
mengalami deaminase. Nitrogen yang dikeluarkan tubuh dan sisa-sisa ikatan
karbon akan diubah menjadi lemak dan disimpan didalam tubuh. Dengan
demikian maka protein yang berlebihan dapat menyebabkan kegemukan. Selain
itu, makanan yang tinggi protein biasanya tinggi lemak sehingga dapat
menyebabkan kegemukan atau obesitas (Almatsier 2001).
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan yang positif
dan signifikan antara asupan lemak dengan status gizi lebih pada anak (r=0.426,
r=0.001). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi asupan lemak yang dikonsumsi
maka semakin tinggi pula kecenderungan anak mengalami status gizi lebih. Hasil
ini sejalan dengan penelitian Vasques et al. (2006) yang menunjukkan terdapat
hubungan kuat antara asupan lemak berlebih dengan kejadian obesitas yang
dilakukan pada 252 anak di Chili. Selain itu penelitian di Amerika dan Firlandia
menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan tinggi lemak mempunyai risiko
peningkatan berat badan 12 kali, selain itu peningkatan konsumsi daging akan
meningkatkan risiko obesitas sebesar 1,46 kali. Keadaan ini disebabkan karena
makanan berlemak mempunyai kandungan energi lebih besar dan mempunyai
efek pembakaran dalam tubuh yang lebih kecil dibandingkan makanan yang
banyak mengandung protein dan karbohidrat. Dijelaskan lebih lanjut, makanan
berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera
makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Bila cadangan lemak
tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dan
karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak
mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak
tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan
disimpan dalam jaringan lemak (Hidayati, Irawan, Hidayat 2009).
Berbeda dengan asupan energi, protein dan lemak, hasil uji korelasi
Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
asupan karbohidrat (r=0.205, p=0.117) dengan status gizi lebih pada anak.

Hubungan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Lebih


Aktivitas fisik merupakan perilaku utama yang dapat mencegah
peningkatan berat badan dan secara signifikan meningkatkan kehilangan berat
badan jangka panjang dan menurunkan resiko kesehatan yang berhubungan
dengan banyak kondisi kesehatan kronik (Jakicic dan Otto 2005). Hasil uji korelsi
Spearman menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
aktivitas fisik anak dengan status gizi lebih (r= 0.90, p=0.492). Uji statistik
disajikan pada Lampiran 6. Hasil ini sejalan dengan Hadi et al (2005) yang tidak
menemukan hubungan bermakna antara aktivitas fisik dengan obesitas.
Kemungkinan hal ini disebabkan karena anak dengan aktivitas fisik sedang
mengkonsumsi makanan melebihi kebutuhan sehingga walaupun aktivitas fisik
39

cukup tetapi apabila tidak diimbangi dengan konsumsi makanan yang seimbang
maka akan menyebabkan timbulnya keseimbangan energi positif yang akhirnya
menimbulkan penimbunan lemak yang diakibatkan kelebihan energi di dalam
tubuh. Menurut Gutin et al. (2005) pada 421 anak menunjukan rendahnya persen
lemak tubuh berhubungan dengan aktivitas fisik berat tetapi tidak berhubungan
dengan aktivitas fisik sedang maupun ringan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Rata-rata umur orang tua anak lebih tua di perkotaan dibandingkan


perdesaan. Sebagian besar pendidikan ayah dan ibu di perkotaan yaitu tamat
perguruan tinggi, sedangkan di perdesaan yaitu tamat SMA. Pekerjaan ayah di
perkotaan sebagian besar menjadi pegawai swasta, sedangkan di perdesaan
sebagai wiraswasta. Baik di perkotaan dan perdesaan pekerjaan ibu anak sebagai
ibu rumah tangga. Pendapatan keluarga perkotaan lebih besar dibandingkan
perdesaan. Sebagian besar status gizi ayah di perkotaan masuk dalam kategori
overweight, dan di perdesaan memiliki status gizi normal. Status gizi ibu baik di
perkotaan maupun perdesaan sebagian besar dalam kategori normal.
Rentang usia anak di perkotaan yaitu antara 8-12 tahun dan di perdesaan
9-12 tahun. Proporsi jenis kelamin laki-laki dan perempuan di perkotaan sama, di
perdesaan jenis kelamin perempuan lebih banyak. Rata-rata uang saku anak di
perkotaan lebih tinggi dibandingkan perdesaan.
Sebagian besar anak di perkotaan dan perdesaan makan 3 kali dalam
sehari. Baik di perkotaan dan perdesaan sebagian besar anak selalu sarapan,
terdapat 20% anak di perkotaan dan perdesaan yang tidak pernah sarapan.
Frekuensi pangan yang sering dikonsumsi yaitu nasi, telur, ayam, ikan segar, tahu,
tempe, bayam, kangkung, jeruk, pisang, keju dan es krim. Asupan rata-rata energi,
protein dan lemak anak di perkotaan lebih kecil dibandingkan di perdesaan.
Asupan rata-rata karbohidrat di perkotaan lebih kecil dibandingkan dengan
perdesaan. Aktivitas fisik anak diukur berdasarkan PAL. Sebagian besar PAL
anak masuk dalam kategori ringan baik di perkotaan maupun perdesaan.
Status gizi lebih mempunyai hubungan yang nyata dengan staus gizi ibu,
tetepi tidak berhubungan nyata dengan status gizi ayah dan pendapatan keluarga.
Besar uang saku anak tidak mempunyai hubungan nyata dengan status gizi. Pola
konsumsi pangan yang meliputi frekuensi makan, kebiasaan sarapan dan asupan
karbohidrat tidak berhubungan nyata dengan status gizi lebih pada anak, namun
asupan energi, protein dan lemak mempunyai hubungan yang signifikan dengan
status gizi lebih pada anak.
40

Saran

Banyaknya anak dengan aktivitas fisik kurang diharapkan menjadi


perhatian bagi orang tua dan sekolah untuk dapat meningkatkan aktivitas fisik
pada anak, misalnya dengan menerapkan kebiasaan olah raga. Mengarahkan anak-
anak untuk memilih makanan sehat dengan mengkonsumsi makanan sesuai
dengan anjuran kecukupan gizi. Membatasi makanan tinggi energi, tinggi protein
dan tinggi lemak, serta meningkatkan asupan serat yang terdapat pada sayur dan
buah.

DAFTAR PUSTAKA

Adisapoetra. 2005. Hubungan Antara Aktivitas Fisik dengan Status Kegemukan


pada Kohort Anak Tahun 2001 di Kota Bogor [tesis]. Jakarta (ID):
Universitas Indonesia.
Akhmadi. 2009. Pengalaman Keluarga Merawat Anak Usia Sekolah dengan
Obesitas yang bersekolah di Sekolah Dasar Kota Yogyakarta: Studi
Fenomenologi [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka
Utama.
Ariani M. 2007. Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia Analisis Data Susenas
1999-2005. Gizi Indo. 30(1): 47-56.
Bathrellou E, Lazarou C, Panagiotakos DB, Sidossis LS. 2007. Physical Activity
Patterns and Sedentaru Behaviors of Children From Urban and Rural
Areas of Cyprus. Cent Eur J Public Health. 15(2):66-70.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Perkembangan Beberapa Indikator Pertama
Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta (ID): BPS Statistik Indonesia.
Campos H, Willett WC, Peterson RM, Siles X, Bailey SM, Wilson PW, Posner
BM, Ordovas JM, Schaefer EJ.1991. Nutrient Intake Comparisons
between Framingham and Rural and Urban Puriscal, Costa Rica. American
Heart Association. 11:1089-1099.
Chunming C. 2000. Fat intake and nutrition status of children in China. Am J Clin
Nutr. 72:1368S-1372S.
Dahlan MS. 2010. Besar Sampel dan Cara Penarikan Sampel dalam Penelitian
Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta (ID): Salemba Medika.
Darmayanti C. 2010. Kebiasaan Sarapan Remaja Siswa Menengah Pertama dan
Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1996. Pedoman Praktis
Pemantauan Gizi Orang Dewasa. Jakarta (ID): Depkes RI.
[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas.
2007. Jakarta (ID): Balitbangkes-Depkes RI.
Egger RJ, Hofhuis EH, Sukonthanyakorn B, Van der Ven EM, Scriboonlue P,
Wedel M, Saowakontha S, Schreurs WH. 1991. Food Intake and
Socioeconomic Status in Children in Northeast Thailand. Europe PubMed
Central. 43(1-2):42-50.
41

Gutin B, Yin Z, Humphries MC and Barbeau P. 2005. Relationship of Moderate


and Vigorous Physical Activity to fitness and fatness in Adolances. Am J
Clin Nutr. 8(1):746-750.
Dwiningsih, Pramono. 2013. Perbedaan Asupan Energi, Protein, Lemak,
Karbohidrat dan Status Gizi pada Remaja yang Tinggal di Wilayah
Perkotaan dan Perdesaan. Journal of Nutrition College. 2(2): 232-241.
Hadi MS, Sulistyowati, Mifbakhudin. 2005. Hubungan Pendapatan Perkapita,
Pengetahuan Gizi Ibu dan Aktivitas Fisik Dengan Obesitas Pada Anak
Kelas 4 dan 5 Di SD Isriati Baiturahman Kota Semarang. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2(1).
Hasz LA and Lamport MA. 2012. Breakfast and Adolescent Academic
Performance: An Analytical Review of Recent Research. European
Journal of Business and Social Sciences. 1(3):61-79.
Hardinsyah. 2012. Breakfast in Indonesia. Jakarta: Symposium Healthy Breakfast.
Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hardinsyah, Riyadi H, Napitupulu V. 2010. Kecukupan Energi, Protein, Lemak
dan Karbohidrat. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Hardinsyah, Tumbunan V. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, dan Serat
Makanan dalam Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.
Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi.
Jakarta.
Hidayati SN, Irawan R, Hidayat B. 2009. Obesitas Pada Anak. Surabaya (ID):
Universitas Airlangga.
[IOM] Institute of Medicine. 2005. Dietary Reference Intake for Energy,
Carbohydrate, Fiber, Fat, Fatty Acids, Cholesterol, Protein, and Amino
Acids. A Report of the Panel on Macronutrients, Subcommittees on Upper
Reference Levels of Nutrients and Interpretation and Uses of Dietary
Reference Intakes, and the Standing Committee on the Scientific
Evaluation of Dietary Reference Intakes. National Academies Press,
Washington, DC (US).
Jahari A. 2004. Penilaian Status Gizi berdasarkan Antropometri. Bogor (ID):
Puslitbang Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan Indonesia.
Jakicic JM, Otto AD. 2005. Physical Activity considerations for the treatment and
prevention of obesity. Am J Clin Nutr. 82:226S-9S.
[Kemenkes] Kementrian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas.
2010. Jakarta (ID): Balitbangkes-Depkes RI.
[Kemenkes] Kementrian Kesehatan RI. 2011. Standar Antropometri Penilaian
Status Gizi Anak. Jakarta (ID): Kemenkes RI-Direktorat Jendral Bina Gizi
dan Kesehatan Ibu dan Anak-Direktorat Bina Gizi.
Khomsan A. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk kualitas Hidup. Jakarta (ID):
Gramedia Widiasarana Indonesia.
_________. 2006. Solusi Makanan Sehat. Jakarta (ID): PT Raja Grafindi Persada.
_________. 2012. Meraih SDM Berkualitas: Gizi Pangan, Sosial & Pendidikan.
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kusharto CM, Sa’diyyah NY. 2012. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan
Departemen Gizi Masyarakat. Bogor (ID): Instutut Pertanian Bogor.
42

Hasz LA, Lamport MA. 2012. Breakfast and Adolescent Academic Performance:
An Analytical Review of Recent Research. European Journal of Business
and Social Sciences. 1(3):61-79.
Madanijah S. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi: Pola Konsumsi Pangan. Jakarta
(ID): Penebar Swadaya.
Masti SE. 2009. Keragaan Status Gizi, Aktivitas Fisik, Konsumsi Pangan serta
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Anak Sekolah Dasar di Kota
Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mexitalia M, Susanto JC, Faizah Z, Hardian. 2005. Hubungan Pola makan dan
Aktivitas Fisik Pada Anak Dengan Obesitas Usia 6-7 tahun di Semarang.
Jurnal Kedokteran Media Medika Indonesia FK Undip. 40(2).
Mendez MA, Monteiro CA, Popkin BM. 2005. Overweight exceeds underweight
among women in most developing countries. Am J Clin Nutr. 81:714-21.
Midbakhudin. 2003. Hubungan Beberapa Karakteristik Anak Dengan Obesitas.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Indonesia. 1(1).
Miller J, Arlan R, Janet S. 2004. Childhood Obesity. J Clin End & Metab.
89:4211-4218.
Misnadiarly. 2007. Obesitas sebagai Faktor Resiko Beberapa Penyakit. Jakarta
(ID): Pustaka Obor Populer.
Muhilal, Jalal F, Hardinsyah. 1998. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan
dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI, LIPI, Jakarta.
Musadat A. 2010. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Kegemukan pada Anak
Usia 6-14 Tahun di Provinsi Sumatra Selatan [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Napitu N. 1994. Perilaku Jajan di Kalangan siswa SMA di Kota dan Pinggiran
Kota Jakarta [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Onis M, Blossner M, Borghi E. 2010. Global prevalence and trends of overweight
and obesity among preschool children. Am J Clin Nutr. 92:1257-64.
Pipes, Peggy L, Trahms, Cristine M. 1993. Nutrition in Infancy anf Childhood,
US; Mosby.
Pramudita RA. 2011. Faktor Resiko Obesitas Pada Anak Sekolah Dasar di Kota
Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Puspitasari M.2006. Pola Konsumsi Pangan Pria Dewasa di Perdesaan dan
Perkotaan Bogor Kaitannya dengan Faktor Resiko Penyakit Jantung
Koroner [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahmawati N. 2009. Aktifitas Fisik, Konsumsi Makanan Cepat Saji (Fastfood),
dan Keterpaparan Media Serta Faktor-Faktor Lain yang Berhubungan
Dengan Kejadian Obesitas pada Siwsa SD Islami Al-Azhar 1 Jakarta
Selatan [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.
Rosita I, Marhaeni D, Mutyara K. 2011. Konseling Gizi Transtheoritical Model
Dalam Mengubah Perilaku Makan dan Aktivitas Fisik Pada Remaja
Overweight dan Obesitas. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran.
Saraswati I, Dieny FF. 2012. Perbedaan Karakteristik usia, konsumsi makanan,
aktivitas fisik, tingkat sosial ekonomi dan pengetahuan gizi pada wanita
dewasa dengan kelebihan berat badan antara di desa dan kota. Semarang.
Journal of Nutrition College. 1(1):280-291.
Sartika. 2011. Faktor Resiko Obesitas Pada Anak 5-15 Tahun di Indonesia. Jurnal
Makara Kesehatan. 15(1):37-43.
43

Satoto. 1993. Kie Gizi Lebih sebagai Bagian dan Kie Gizi Ganda dalam
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi V. Ketahanan Pangan dan Gizi di
Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta.
Sjarif D. 2004. Anak gemuk, apakah sehat? Jakarta: Devisi anak dan penyakit
metabolik. FKUI.
Suhardjo. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta (ID): Bumi Aksara.
Suryaalamsyah II. 2009. Konsumsi Fast Food dan Faktor-Faktor Yang
Berhubungan dengan Kegemukan Anak Sekolah di SD Bina Insani Bogor
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Suryaputra K, Nadhiroh SR. 2012. Perbedaan Pola Makan dan Aktivitas Fisik
Antara Remaja Obesitas dengan Non Obesitas. Jurnal Makara Kesehatan.
16(1):45-50.
Troiano RPRR, Briefel MD, Carroll and Bialostosky. 2000. Energi and Fat
Intakes of children and adolencent in the United States: data from the
National Health and Nutrition Examination Survey. Am J Clin Nutr.
72:1343S-1353S.
Vasquez F, Salazar G, Andrade M, Vasques L, Diaz E. 2006. Energy Balance and
Physical Activity in obese children attending day care centres. Europ J
Clin Nutr. 60:1115-1121.
Wahyu GG. 2000. Obesitas Pada Anak. Jakarta (ID): PT Mizan Publika.
Wang Y. 2006. Worldwide Trends in Childhood Overweight and Obesity.
International Journal of Pediatric Obesity. 1(1):11-25.
[FAO] Food and Nutrition Technical Report Series. 2001. Human Energy
Requirements. Rome: FAO/WHO/UNU.
Winarno FG. 1991. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka
Utama.
[WNPG] Widyakarya Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di
Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID).
44

Lampiran 1 Contoh perhitungan skor frekuensi konsumsi roti putih contoh

No Responden Skor No Responden Skor No Responden Skor


01 10 11 25 21 50
02 10 12 10 22 50
03 15 13 1 23 0
04 10 14 1 24 10
05 0 15 0 25 0
06 1 16 25 26 15
07 10 17 10 27 10
08 10 18 25 28 0
09 0 19 10 29 10
10 10 20 25 30 10

Rumus :
X Skor Minimum
Y x 100
Skor Maksimum Skor Minimum

Keterangan :
Y : Persentase skor frekuensi konsumsi tiap kelompok pangan contoh
X : Skor frekuensi konsumsi tiap kelompok pangan yang di peroleh contoh

Diketahui :
Skor minimal : 0
Skor maksimal : 50
X : 10
Skor Frekuensi konsumsi roti putih responden 01 :

10 0
Y x 100
50 0

Y = 20 %

Lampiran 2 Hasil Uji Beda Mann-Whitney

Uji Statistik a
Uang Konsumsi Pendidikan Pendidikan
Umur Saku Karbohidrat Aktivitas ayah ibu
Mann-Whitney U 434.500 127.500 441.000 414.000 214.500 248.000
Wilcoxon W 899.500 592.500 906.000 879.000 679.500 713.000
Z -0.253 -4.872 -0.133 -0.533 -3.811 -3.205
Asymp. Sig. (2-tailed) 0.799 0.000 0.894 0.594 0.000 0.001
a.Pengelompokan Variabel : Asal Sekolah
45

Lampiran 3 Hasil Independent Samples Test

t df sig (2- Perbedaan Perbedaan


tailed) rata-rata kesalahan std
Umur ayah Ragam yang -3.064 58 0.003 -5.167 1.687
sama
Ragam berbeda -3.064 56.522 0.003 -5.167 1.687
Umur Ibu Ragam yang -3.361 58 0.001 -4.800 1.428
sama
Ragam berbeda -3.361 53.727 0.001 -4.800 1.428

Pendapatan Ragam yang -3.153 58 0.003 -1842000 584205


Keluarga sama
Ragam berbeda -3.153 57.667 0.003 -1842000 584305

Status gizi Ragam yang -1.788 58 0.079 -1.367 0.765


ayah sama
Ragam berbeda -1.788 56.886 0.079 -1.367 0.765
Status gizi Ragam yang -1.627 58 0.109 -1.233 0.758
ibu sama
Ragam berbeda -1.627 53.023 0.110 -1.233 0.758

Status gizi Ragam yang -1.793 58 0.078 -37600 0.20966


sama
Ragam berbeda -1.793 39.354 0.081 -37600 0.20966
Konsumsi Ragam yang -1.150 58 0.255 -111.167 96.672
energi sama
Ragam berbeda -1.150 57.265 0.255 -111.167 96.672
Konsumsi Ragam yang -1.179 58 0.243 -4.14967 3.52042
protein sama
Ragam berbeda -1.179 57.762 0.243 -4.14967 3.52042
Konsumsi Ragam yang -1.069 58 0.289 -4.91867 4.60029
lemak sama
Ragam berbeda -1.069 56.251 0.290 -4.91867 4.60029
Skor FFQ Ragam yang -3.143 58 0.003 -8.87778 2.83445
karbohidrat sama
Ragam berbeda -3.143 55.166 0.003 -8.87778 2.83445
Skor FFQ Ragam yang -1.364 58 0.178 -4.48333 3.28594
protein sama
hewani Ragam berbeda -1.364 56.309 0.178 -4.48333 3.28594

Skor FFQ Ragam yang -0.529 58 0.599 -2.74031 5.17594


protein sama
nabati Ragam berbeda -0.529 57.905 0.599 -2.74031 5.17594
Skor FFQ Ragam yang 0.082 58 0.935 0.33778 4.12780
sayur sama
Ragam berbeda 0.082 55.306 0.935 0.33778 4.12780
Skor FFQ Ragam yang 1.058 58 0.295 5.54222 5.24073
Buah sama
46

Ragam berbeda 1.058 56.264 0.295 5.24073 5.24073


Skor FFQ Ragam yang -1.301 58 0.198 -6.88333 5.28946
susu sama
Ragam berbeda -1.301 56.811 0.198 -6.88333 5.28946
Konsumsi Ragam yang -2.58 28 0.015 -371.47 143.973
energi di sama
kota Ragam berbeda -3.33 27.23 0.002 -371.476 111.482
Konsumsi Ragam yang -2.273 28 0.031 -11.909 5.23992
protein di sama
kota Ragam berbeda -2.375 16.836 0.030 -11.909 5.01538
Konsumsi Ragam yang -3.710 28 0.001 -19.915 5.36833
lemak di sama
kota Ragam berbeda -3.672 14.866 0.002 -19.915 5.42391

Konsumsi Ragam yang -0.817 28 0.421 -41.922 51.296


karbohidrat sama
di kota Ragam berbeda -0.803 14.640 0.435 -41.922 52.1935
Konsumsi Ragam yang -0.276 28 0.785 -37.445 135.775
energi di sama
desa Ragam berbeda -0.284 22.956 0.779 -37.445 131.772
Konsumsi Ragam yang 0.838 28 0.409 4.20933 5.02309
protein di sama
desa Ragam berbeda 0.722 13.628 0.482 4.20933 5.82646
Konsumsi Ragam yang -0.396 28 0.695 -2.94144 7.43008
lemak di sama
desa Ragam berbeda -0.407 22.885 0.687 -2.94144 7.21992
Konsumsi Ragam yang 0.364 28 0.719 23.71885 65.22832
karbohidrat sama
di desa Ragam berbeda 0.350 18.793 0.730 23.71885 67.65357
Konsumsi Ragam yang -2.030 58 0.047 -203.425 100.199
energi ov sama
dan ob Ragam berbeda -2.276 51.228 0.028 -203.425 89.370
Konsumsi Ragam yang -0.998 58 0.322 -3.73925 3.74640
protein ov sama
dan ob Ragam berbeda -0.932 32.002 0.358 -3.73925 4.01113
Konsumsi Ragam yang -2.409 58 0.019 -11.31575 4.69782
lemak ov sama
dan ob Ragam berbeda -2.463 40.458 0.018 -11.31575 4.59373
Konsumsi Ragam yang -0.145 58 0.885 -5.99500 41.22099
karbohidrat sama
ov dan ob Ragam berbeda -0.139 33.992 0.890 -5.99500 43.08019
47

Lampiran 4 Hasil uji statistik Korelasi Pearson

Variabel Status Gizi Lebih


Pendapatan keluarga Koefisien korelasi 0.127
Taraf nyata (0.05) 0.332
N 60
Status gizi ayah Koefisien korelasi 0.079
Taraf nyata (0.05) 0.040
N 60
Status gizi ibu Koefisien korelasi 0.266**
Taraf nyata (0.05) 0.040
N 60
Konsumsi Energi Koefisien korelasi 0.505**
Taraf nyata (0.05) 0.000
N 60
Konsumsi Protein Koefisien korelasi 0.381**
Taraf nyata (0.05) 0.003
N 60
Konsumsi Lemak Koefisien korelasi 0.426**
Taraf nyata (0.05) 0.001
N 60

Lampiran 5 Hasil uji statistik Korelasi Spearman

Variabel Status Gizi Lebih


Uang Saku Koefisien korelasi 0.123
Taraf nyata (0.05) 0.350
N 60
Kebiasaan makan Koefisien korelasi -0.089
Taraf nyata (0.05) 0.546
N 60
Kebiasaan sarapan Koefisien korelasi 0.080
Taraf nyata (0.05) 0.452
N 60
Konsumsi Karbohidrat Koefisien korelasi 0.144
Taraf nyata (0.05) 0.272
N 60
Aktivitas fisik Koefisien korelasi 0.090
Taraf nyata (0.05) 0.492
N 60
48

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah pada Tanggal 15 Mei


1989 dari pasangan Agus Sutikno dan Rahayu. Penulis merupakan anak ke dua
dari empat bersaudara. Pendidikan menengah atas di tempuh selama tiga tahun di
SMA Negeri 1 Purwareja Klampok dan lulus pada tahun 2007, kemudian
melanjutkan pendidikan di Poltekkes Kemenkes Semarang. Setelah lulus
menempuh pendidikan diploma, penulis melanjutkan pendidikan di Institus
Pertanian Bogor melalui seleksi program alih jenis di Fakultas Ekologi Manusia
Departemen Gizi Masyarakat IPB.
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan
Aktivitas Fisik Anak Sekolah dengan Status Gizi Lebih di Daerah Perkotaan dan
Perdesaan Bogor” ini dapat diselesaikan.
Penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada Prof. Dr. Ir.
Faizal Anwar, MS selaku dosen pembimbing I, Dr. Ir. Sri Anna Marliyati, MS
selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan serta
saran selama penyusunan skripsi ini, serta kepada Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MSi
selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang telah banyak memberi saran.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Sekolah SDN Polisi 5 dan
SDN Babakan Dramaga 4 yang telah memberikan izin penelitian, serta kepada
adik-adik kelas 4 dan 5 di kedua SD yang telah bersedia dijadikan contoh dalam
skripsi ini.
Terima kasih yang tulus ikhlas terutama kepada Bapak, Ibu, Mas Randi,
Niken dan Tata atas segala doa, kasih sayang, dukungan dan semangat yang selalu
diberikan. Serta terima kasih kepada seluruh keluarga (Mbah uti, Tante Anna, Om
Roby, Tante Tati, Om Gosin dan semua saudara yang tidak bisa disebutkan satu
persatu) yang selalu memberikan semangat kepada penulis. Terima kasih pula
kepada teman-teman alih jenis angkatan 5 (silmi, mba sofy, fitria, erna, nia, imas,
tiwi, mba lely, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu per
satu) yang telah memberikan semangat dan membantu selama pengumpulan data
sampai terselesaikannya karya ilmiah ini.
Terima kasih banyak kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
per satu atas bantuan, doa dan dukungannya yang diberikan selama
menyelesaikan studi di IPB. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2013

Pratiwi Rahma Ayu


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Manfaat Penelitian 2
Kerangka Pemikiran 3
METODE PENELITIAN 4
Desain, Waktu dan Tempat 4
Jumlah dan Cara Penarikan contoh 4
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5
Pengolahan dan Analisis Data 7
Definisi Operasional 11
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Gambaran Umum Sekolah 12
Karakteristik Keluarga 13
Karakteristik Anak 16
Pola Konsumsi Pangan 19
Aktivitas Fisik 34
Hubungan Antar Variabel dengan Kadar Asam Urat 36
SIMPULAN DAN SARAN 39
Simpulan 39
Saran 40
DAFTAR PUSTAKA 40
LAMPIRAN 44
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 48
DAFTAR TABEL
1 Variabel, jenis data dan alat serta cara pengumpulan data 6
2 Jenis variabel, kategori dan sumber pengolahan data penelitian 7
3 Physical Activity Ratio (PAR) berbagai aktivitas fisik 10
4 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL 10
5 Sebaran orang tua berdasarkan umur 13
6 Sebaran orang tua berdasarkan pendidikan 14
7 Sebaran orang tua berdasarkan pekerjaan 14
8 Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan 15
9 Sebaran orang tua berdasarkan status gizi 16
10 Sebaran anak menurut umur 17
11 Sebaran anak menurut jenis kelamin 17
12 Sebaran anak menurut besar uang saku 18
13 Sebaran anak menurut status gizi 18
14 Sebaran anak berdasarkan frekuensi makan sehari 19
15 Sebaran anak berdasarkan kebiasaan sarapan 20
16 Sebaran anak berdasarkan konsumsi pangan sumber karbohidrat 21
17 Sebaran anak berdasarkan skor frekuensi konsumsi sumber karbohidrat 21
18 Sebaran anak berdasarkan konsumsi pangan sumber protein hewani 22
19 Sebaran anak berdasarkan skor frekuensi konsumsi sumber protein
hewani 23
20 Sebaran anak berdasarkan konsumsi pangan sumber protein nabati 23
21 Sebaran anak berdasarkan skor frekuensi konsumsi sumber protein
nabati 24
22 Sebaran anak berdasarkan konsumsi sayur 25
23 Sebaran anak berdasarkan skor frekuensi konsumsi sayur 25
24 Sebaran anak berdasarkan konsumsi buah 26
25 Sebaran anak berdasarkan skor frekuensi konsumsi buah 27
26 Sebaran anak berdasarkan konsumsi susu dan olahannya 27
27 Sebaran anak berdasarkan skor frekuensi konsumsi susu dan olahannya 28
28 Rata-rata asupan serta TKE dan zat gizi anak overweight dan obes 28
29 Rata-rata asupan energi dan zat gizi serta tingkat kecukupan dan
kontribusi terhadap energi total 31
30 Sebaran anak berdasarkan kategori tingkat kecukupan energi dan
protein 33
31 Sebaran anak berdasarkan klasifikasi kontribusi lemak 33
32 Sebaran anak berdasarkan klasifikasi kontribusi karbohidrat 34
33 Rata-rata PAL anak overweight dan obes 35
34 Rata-rata PAL anak 35
35 Sebaran anak berdasarkan kategori aktivitas fisik 36
36 Hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi lebih 36
37 Hubungan pola konsumsi pangan dengan status gizi lebih 37
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran Hubungan Pola Konsumsi Pangan dan Aktivitas
Fisik Anak Sekolah dengan Status Gizi Lebih di Daerah Perkotaan dan
Perdesaan Bogor 4
2 Proses penarikan contoh 5

DAFTAR LAMPIRAN
1 Contoh perhitungan skor frekuensi pangan 44
2 Hasil Uji Mann-Whitney 44
3 Hasil Uji Independent Sampel Test 45
4 Hasil Uji Korelasi Pearson 47
5 Hasil Uji Korelasi Spearman 47

Anda mungkin juga menyukai