Pendahuluan
Sebagai mata pelajaran, sains memuat dua aspek yang tidak terpisahkan, yaitu yang kita kenal
sebagai produk dan proses. Sebagai produk, sains merupakan seperangkat pengetahuan yang
terangkai menjadi suatu badan pengetahuan (body of knowledge) yang telah dibangun para
ilmuwan dalam rangka menjelaskan fenomena alam sehari-hari, baik yang terjadi secara alami
maupun yang terjadi atas campur tangan atau rekayasa manusia. Di pihak lain, sebagai proses,
sains merupakan seperangkat praktik (amalan) yang biasa dilakukan para ilmuwan untuk
merumuskan baru, menyempurnakan pengetahuan yang sudah dibangun, dan merangkai
pengetahuan-pengetahuan yang telah dirumuskan menjadi badan pengetahuan yang semakin
koheren dan lengkap. Implikasi dari pandangan tersebut adalah bahwa pelajaran sains di sekolah
tidak cukup hanya untuk membantu siswa menguasai pengetahuan sains semata, melainkan juga
untuk memfasilitasi siswa mengalami sendiri membangun pengetahuan sains melalui
serangkaian proses seperti yang dilakukan para ilmuwan.
Pembelajaran untuk memfasilitasi siswa menguasai produk sains tidak serumit pembelajaran
untuk memfasilitasi siswa menguasai proses sains. Produk-produk sains yang perlu dikuasai
siswa sudah terumuskan dengan cukup baik dalam berbagai buku ajar, atau dalam standar isi
kurikulum sains. Di pihak lain, proses sains belum berhasil dirumuskan secara komprehensif
sehingga bisa disepakati oleh para pemangku kepentingan pendidikan sains. Sebagaimana telah
disebutkan, proses sains merupakan seperangkat praktik (amalan) yang biasa dilakukan para
ilmuwan dalam mengembangkan body of knowledge sains. Meskipun sepintas cukup jelas,
ungkapan tersebut sesungguhnya sulit dioperasionalkan mengingat tidak ada satu pun rangkaian
proses atau metode ilmiah tertentu yang disepakati dan harus ditaati ilmuwan dalam
mengembangkan pengetahuan sains.
Dalam sejarah perkembangan pendidikan sains, deskripsi operasional tentang aspek proses sains
telah mengalami beberapa kali penyempurnaan. Pada awalnya, proses sains dituangkan sebagai
“metode ilmiah”, yaitu serangkaian tahapan heuristic yang terdiri atas tahapan merumuskan
masalah merumuskan penjelasan sementara (hipotesis) merancang dan melakukan
eksperimen secara terkontrol untuk menguji hipotesis secara empirikmenilai keterterimaan
hipotesis dan (jika perlu) menyempurnakan hipotesis menggunakan hipotesis yang sudah teruji
untuk membuat prediksi-prediksimerancang dan melaksanakan ekperimen untuk menguji
ketepatan prediksi yang dirumuskan berdasarkan hipotesis dst sampai diperoleh penjelasan
yang kokoh (teori). Berdasarkan “deskripsi operasional” proses sains tersebut, para pendidik
sains menjabarkan berbagai kecakapan yang diperlukan agar siswa dapat menerapkan metode
ilmiah tersebut. Hasilnya berupa daftar keterampilan yang perlu dikuasai siswa yang disebut
dengan keterampilan proses sains (scientific process skills). Namun demikian, belakangan
disadari bahwa apa yang disebut dengan “metode ilmiah” tersebut sesungguhnya lebih bersifat
idealisasi, dalam arti bahwa praktik tersebut sesungguhnya jarang diamalkan para ilmuwan.
Pekerjaan sehari-hari ilmuwan tidaklah sesederhana itu, atau pada ekstrim yang lain, tidaklah
seketat yang dirumuskan dalam “metode ilmiah” tersebut. Berbagi ide dan eksperimen
merupakan aktivitas yang justru menyita sebagian besar waktu dan pikiran para ilmuwan.
1
Sejarah perkembangan sains juga menunjukkan bahwa lompatan-lompatan besar dalam
perkembangan sains seringkali tidak lahir dari penerapan “metode ilmiah” tersebut. Gagasan
sesaat (momentarily insight) untuk memecahkan kebuntuan, intuisi, dan keberuntungan (luck)
juga memainkan peran penting dalam perkembangan sains. Sebagai contoh, gagasan sesaat
Einstein yang mempostulatkan bahwa laju cahaya sama untuk semua pengamat lahir dari
kebuntuan upaya ilmuwan saat itu dalam menentukan kerangka acuan yang harus digunakan
untuk menentukan kecepatan cahaya di ruang hampa, yang oleh Maxwell diprediksikan sebesar
300 juta meter per sekon (saat itu diusulkan zat hipotetik yang dinamai ether, namun tidak ada
eksperimen yang berhasil mebuktikan keberadaannya). Seperti yang kita ketahui, ide cemerlang
Einstein tersebut telah melahirkan teori relativitas khusus, yang merupakan salah satu pilar fisika
modern. Lahirnya fisika kuantum, pilar lain fisika modern, juga berkat gagasan sesaat Einstein
untuk menggabungkan dua sifat yang dimiliki cahaya, yaitu sebagai partikel (foton) dan
gelombang; dua sifat yang saat itu dipikirkan tidak mungkin dapat dimiliki sekaligus oleh suatu
entitas fisik. Saat itu terjadi perdebatan di kalangan ilmuwan tentang hakekat cahaya: sebagai
partikel atau kah sebagai gelombang. Mengingat dua watak itu sama-sama ditunjukkan oleh
cahaya, meskipun dalam konteks yang berbeda, maka Einstein mengusulkan agar kedua watak
tersebut dipikirkan untuk dimiliki sekaligus oleh cahaya. Pemikiran Einstein tersebut memicu
intuisi de Broglie untuk mengusulkan sebaliknya: kalau cahaya yang semula diyakini sebagai
gelombang ternyata juga dapat berwatak sebagai partikel, maka objek-objek fisik yang selama
ini kita kenali sebagai partikel (misalnya electron) seharusnya juga bisa berwatak sebagai
gelombang jika situasinya memungkinkan. Terobosan berpikir Einstein dan de Broglie tersebut
telah menghantarkan lahirnya fisika kuantum sekaligus menandai era baru perkembangan fisika
yang dalam sejarah sains dikenal sebagai era fisika modern.
Pokok penting dari ilustrasi di atas adalah bahwa apa yang dilakukan para ilmuwan
sesungguhnya sangatlah kompleks dan cair, tidak serigid dan seketat sebagaimana dirumuskan
dalam “metode ilmiah” yang terlalu diidealisasikan tersebut. Oleh karena itu, pembelajaran
proses sains yang merujuk pada “metode ilmiah” tersebut saat ini tidak lagi direkomendasikan
oleh pemangku kepentingan pendidikan sains. Seiring dengan perubahan paradigm tersebut,
pembelajaran sains dengan pendekatan keterampilan proses sains (scientific process skill
approach) di mana siswa diarahkan untuk menguasai serangkaian keterampilan yang diperlukan
untuk menerapkan “metode ilmiah” juga mengalami penyesuaian. Istilah baru yang
direkomendasikan adalah pembelajaran berbasis inkuiri (inquiry approach, atau inquiry based
learning). National Science Education Standards (NRC, 1996) mendeskripsikan pembelajaran
berbasis inkuiri sebagai berikut.
Inquiry also refers to the activities of students in which they develop knowledge and
understanding of scientific ideas, as well as an understanding of how scientists study the
natural world. Inquiry is a multifaceted activity that involves making observations; posing
questions; examining books and other sources of information to see what is already known;
planning investigations; reviewing what is already known in light of experimental evidence;
using tools to gather, analyze, and interpret data; proposing answers, explanations, and
predictions; and communicating the results. … Students will engage in selected aspects of
inquiry as they learn the scientific way of knowing the natural world, but they also should
develop the capacity to conduct complete inquiries. (NRC, 1996, p. 23).
2
Atribut keterampilan (skill) juga direkomendasikan untuk diganti karena kata “keterampilan”
cenderung dimaknai sebagai kecakapan fisik yang bersifat otomatis. Etkina et al. (2006)
mengusulkan istilah kecakapan (ability) dengan alasan sebagai berikut:
We use the term “scientific abilities” to describe some of the most important procedures,
processes, and methods that scientists use when constructing knowledge and when solving
experimental problems. We use the term scientific abilities instead of science-process skills
to underscore that these are not automatic skills, but are instead processes that students
need to use reflectively and critically (Etkina et al., 2006, p:1).
National Research Council (2012) mempromosikan penggunaan istilah praktik (practice) dengan
argumen sebagai berikut: “We use the term ‘practice’ instead of a term such as ‘skill’ to
emphasize that engaging in scientific investigation requires not only skill but also knowledge
that is specific to each practice” (NCR, 2012, p:30).
Standar baru pendidikan sains Amerika Serikat (Next Generation Science Sandards) menetapkan
8 praktik sains yang harus dikuasai siswa setelah belajar sains sampai lulus SMA (NRC, 2012;
2013) sebagai berikut. 1) Asking questions, 2) Developing and using models, 3) Planning and
carrying out investigations, 4) Analyzing and interpreting data, 5) Using mathematics and
computational thinking, 6) Constructing explanations, 7) Engaging in argument from evidence,
dan 8) Obtaining, evaluating, and communicating information.
Dalam rangka membantu para guru sains (khususnya fisika) menerapkan pembelajaran berbasis
inkuiri, Dr. Carl J. Wenning merumuskan sekeuensi pembelajaran inkuiri yang terdiri atas 6
tahap yang tersusun secara hirarkis sebagai berikut: Discovery Learning, Interactive
Demonstration, Inquiry Lesson, Inquiry Lab, Real-world Application, dan Hypothetical
Inquiry. Bersamaan itu, beliau juga merumuskan sejumlah daftar kecakapan yang perlu dikuasai
siswa melalui pembelajaran sains berbasis inkuiri. Sekumpulan kecapakan tersebut dinamai
Scientific Practices and Intellectual Skills. Sesuai dengan jumlah tahapan pembelajaran yang
diusulkan, sejumlah kecakapan sains tersebut dikelompokkan menjadi 6 tingkatan sebagai
berikut.
1. Kecakapan elementer (Rudimentary intellectual skills)
2. Kecakapan dasar (Basic intellectual skills)
3. Kecakapan tingkat menengah (Intermediate intellectual skills)
4. Kecakapan terintegrasi (Integrated intellectual skills)
5. Kecakapan puncak (Culminating intellectual skills)
6. Kecakapan tingkat majud (Advanced intellectual skills)
3
Tabel 1. Asosiasi antara level kecakapan sains dan tahapan pembelajaran di mana kecakapan
tersebut dikembangkan
Berikut dipaparkan lebih terperinci tentang berbagai kecakapan pada setiap tingkat. Paparan
berikut merupakan saduran bebas dari naskah Dr. Carl J. Wenning yang berjudul Scientific
Practices and Intellectual Skills yang ditulis pada 9 Februari 2017. Perlu dicatat bahwa artikel
tersebut masih berupa draft sehingga masih terbuka untuk dimodifikasi: “(it is) draft – Please do
not cite, quote, or disseminate without written permission of the author” . Selain itu, perlu digaris
bawahi bahwa frase Scientific Practices and Intellectual Skills perlu dipandang sebagai satu
kesatuan, tidak perlu diurai menjadi dua frase, misalnya Scientific Practices di satu pihak dengan
Intellectual Skills di pihak lain.
4
5. Mengurutkan – menata sekumpulan objek dalam urutan tertentu berdasarkan kriteria
tertentu. Misalnya, mengatur objek berdasarkan beberapa sifat yang dapat berubah secara
progresif, seperti massa atau volume.
6. Menggeneralisasikan - Membangun prinsip (pernyataan umum) tentang hubungan
kualitatif antar besaran/variable berdasarkan kesimpulan yang didapat dari kasus-kasus
tertentu. Misal, semua benda yang dicelupkan ke dalam fluida akan mendapatkan gaya ke
atas.
7. Mempermasalahkan - Mengidentifikasi masalah (baik berupa pertanyaan, kebutuhan,
ketidakpastian, atau keinginan) yang membutuhkan pemecahan. Misalnya, setelah
mempelajari hukum kekekalan momentum pada tubrukan, mengajukan pertanyaan “apa
yang terjadi saat sebuah mobil dan truk dengan massa dan kecepatan yang berbeda
bertabrakan?”
5
cara yang berbeda. Misalnya, informasi dari pengalaman sebelumnya tentang sebuah
fenomena digunakan untuk mengembangkan eksperimen.
2. Menjelaskan Hubungan- Mengidentifikasi dan merumuskan hubungan (berupa
pernyataan jika-maka, hukum, dll). Misalnya, jika kecepatan rata-rata suatu benda
meningkat selama interval tertentu, waktu yang dibutuhkan benda tersebut untuk
menempuh jarak tertentu akan berkurang.
3. Memaknai data kuantitatif - Meneliti data untuk mengidentifikasi kecenderungan
hubungan fisik atau matematika antar variable, misalnya menggunakan pendekatan
seperti grafik atau korelasi. Sebagai contoh, melalui percobaan membuat bayangan
menggunakan dua cermin datar, siswa mungkin menghitung jumlah gambar yang
terbentuk sambil memvariasikan sudut di antara dua cermin. Siswa dapat menemukan
bahwa jumlah bayangan setara dengan 360 derajat dibagi dengan sudut antara kedua
cermin.
4. Menggunakan pemikiran kombinatorial – Memikirkan dan mengidentifikasi berbagai
kemungkinan cara di mana besaran-besaran (variable) dalam suatu sistem saling
berinteraksi.
5. Menggunakan pemikiran korelasional – Tidak serta-merta menyatakan hubungan
antara dua peristiwa sebagai hubungan sebab-akibat meskipun kehadirannya bersamaan
(karena bisa jadi hal itu hanya suatu kebetulan). Sebagai contoh, dalam kasus perambatan
gelombang terdapat hubungan matematis antara panjang gelombang, frekuensi, dan cepat
rambat gelombang sebagai 𝜆𝑓 = 𝑣. Meskipun kecepatan gelombang tampak memiliki
hubungan proporsional dengan frekuensi dan panjang gelombang, bukan berarti bahwa
kecepatan gelombang bergantung pada keduanya. Kecepatan gelombang hanya
bergantungn pada tipe medium, bukan pada panjang gelombang atau frekuensi.
6
mempersiapkan grafik dengan benar, melakukan analisis regresi, menafsirkan tren,
membangun hubungan, dan melakukan perhitungan berdasarkan data yang tersedia.
5. Menggunakan logika untuk menafsirkan hukum yang telah dirumuskan –
Menggunakan representasi matematika atau garis tren, menganalisis konsekuensi dari
perubahan variabel independen terhadap variabel dependen. Sebagai contoh, dalam
menemukan Hukum Hooke untuk pegas, siswa perlu menyadari bahwa setiap pegas
memiliki konstanta tertentu (ditentukan dengan menghitung rasio F / Δ x); dan hubungan
antara gaya yang dikenakan pada setiap pegas terhadap pertambahan panjangnya
mengikuti persamaan umum yang sama, yaitu F = k Δ x. Persamaan yang baru ini dapat
ditafsirkan sebagai “meningkatkan gaya pada pegas akan meningkatkan panjang pegas
secara proporsional.”
7
2. Menghasilkan prediksi melalui proses deduksi – Menggunakan hukum, prinsip, atau
hipotetis yang dianggap benar untuk meramalkan apa yang terjadi akibat dilakukan
perubahan variabel. Misalnya dengan diberi rumus lensa tipis, siswa memprediksikan
jarak objek ke lensa jika diketahui panjang fokus lensa dan jarak bayangan ke lensa.
3. Membuat dan mengevaluasi analogi – Membuat analogi suatu sistem dengan system
lain yang sudah dikenal kemudian menentukan kesesuaian berbagai fitur komparatif
antara sistem target dengan system yang dipikirkan sebagai acuan analogi. Misalnya, jika
system listrik statis dianalogikan dengan system gravitasi Bumi, maka kekuatan gaya
listrik dianalogikan dengan gaya gravitasi, kekuatan medan listrik dianalogikan dengan
kekuatan medan gravitasi, dan energy potensial listrik dianalogikan dengan energy
potensial gravitasi.
4. Berpikir analogis – Menggunakan penalaran berdasarkan gagasan bahwa dua fenomena
yang memiliki kesamaan di banyak hal (jika tidak mencakup semua hal) dapat digunakan
untuk menjelaskan peristiwa di dalam satu domain berdasarkan yang terjadi ke domain
yanglain. Misalnya, bagaimana energi diangkut dalam rangkaian listrik dijelaskan dengan
menggunakan analogi bagaimana air panas mengalir di pipa dengan selubung dan sirip
radiator.
5. Mengembangkan struktur pengetahuan menjadi lebih koheren – ini adalah jenis
pemikiran yang terjadi pada diri siswa ketika mereka berusaha untuk memahami ide-ide
atau hasil pengamatan baru dan menghubungkan atau memadukannya dengan
pengetahuan yang sudah mereka miliki. Hasil proses berpikir ini adalah berupa struktur
pengetahuan yang lebih koheren dan komprehensip.
Daftar Rujukan
Etkina, E., Van Heuvelen, A., White-Brahmia, S., Brookes, D. T., Gentile, M., Murthy, S.,
Rosengrant,, D., & Warren, A. (2006). Scientific abilities and their assessment. Physical
Review special topics-physics education research, 2(2), 020103.
National Research Council. (1996). National Science Education Standards. Washington, DC:
The National Academy Press
National Research Council. (2012). A Framework for K-12 Science Education: Practices,
CrosscuttingConcepts, and Core Ideas. Committee on a Conceptual Framework for New
K-12 Science Education Standards. Washington, DC: The National Academies Press.
Wenning, C.J. (2010). Levels of inquiry: Using inquiry spectrum learning sequences to teach
science. Journal of Physics Teacher Education Online, 5(3):11-20