Anda di halaman 1dari 18

PRE PLANNING KEGIATAN DESIMINASI ILMU PENYAKIT DIFTERI

PANTI SOSIAL TERSNA WERDHA PROVINSI JAMBI


TAHUN 2019

Disusun Oleh :

KELOMPOK RUFAIDAH

1. Andri Setiawan
2. Eva Lamtiurma
3. Eva Sari
4. Ghea Primasiwi
5. Ingga Hafacenta
6. Maria Sialagan
7. Teti Isfrueni
8. Rika Safitri
9. Winda Kalpataria

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
HARAPAN IBU JAMBI
TAHUN 2018/2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit difteri merupakan infeksi bakteri pada hidung dan


tenggorokan. Meski tidak selalu menimbulkan gejala, penyakit ini biasanya
ditandai oleh munculnya selaput abu-abu yang melapisi tenggorokan dan
amandel. Bila tidak ditangani, bakteri difteri bisa mengeluarkan racun yang
dapat merusak sejumlah organ, seperti jantung, ginjal atau otak. Difteri
tregolong penyakit menular yang dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi
adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalanseseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit tertentu, sehingga bila suatu saat
terpapardengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit
ringan. Beberapa penyakit menular yang termasuk ke dalam penyakit yang
dapat dicegah dengan imunisasi antara lain TBC, difteri, tetanus, hepatitis B,
pertusis, campak, polio, radang selaputotak, dan radang paru-paru.
Jumlah kejadian difteri berdasarkan data WHO (2013) tercatat
sebanyak 4.680 kasus yang tersebar luas dan sebagian besar terkonsentrasi di
benua Asia. (5)Pada tahun 2014, tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217
kasus diantaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO South
East Asian Region(SEAR).(1)Jumlah kasus difteri didunia tahun 2016 adalah
sebanyak 7097 kasus dimanasebagian besar berada di negara bagian Asia dan
Afrika. Berdasarkan data WHO 2016, India menduduki peringkat pertama
jumlah kasus difteri sebanyak 3380 kasus, Madagaskar diperingkat kedua
dengan 2865 kasus dan Indonesia diperingkat ketiga dengan 342 kasus.
Pada tahun 2013 jumlah kasus difteri di Indonesia dilaporkan
sebanyak 775 kasus (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus
menurun menjadi 430 kasus pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR).
Diantara beberapa negara ASEAN, Indonesia menduduki posisi tertinggi
jumlah kasus difteri. Pada tahun 2016Indonesia menduduki posisi pertama
dengan 342 kasus, Myanmar di posisi kedua dengan 136 kasus dan Philipina
di posisi ketiga dengan 42 kasus. Jumlah kasus difteri di Indonesia sedikit

2
meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan tahun 2015 (252 kasus pada
tahun 2015 dan 415 pada tahun 2016) dengan CFR difteri yaitu sebesar 5,8
%. Pada tahun 2016 diantara 33 provinsi di Indonesia sebanyak 20 provinsi
melaporkan terdapat kasus difteri diwilayahnya. Dari jumlah tersebut, kasus
tertinggi terjadi di Jawa Timur dengan 209 kasus dan Jawa Barat yaitu 133
kasus. Dari seluruh kasus difteri, sebesar 51% diantaranya tidak mendapatkan
vaksinasi. Jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota
pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/Kota dan pada tahun
2016 menjadi 100 Kabupaten/Kota. (Kemenkes, 2016)
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Jambi tahun (2018) sudah
ada 8 provinsi yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Riau, Bengkulu,
Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara yang
melaporkan Kejadian Luar Biasa (KLB) akibat difteri yakni sebanyak 32
korban meninggal akibat difteri, tersebar (di berbagai daerah) dari Januari
sampai November. Angka terbanyak di provinsi jambi sendiri sebanyak 15
orang, Sarolangun sebanyak 9 orang dan kabupaten Bungo sebanyak 4 orang.
(Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, 2018)
KLB difteri pada saat ini memiliki gambaran yang berbeda daripada
KLB sebelumnya yang pada umumnya menyerang anak balita. KLB kali ini
ditemukan pada kelompok umur 1-40 tahun dimana 47% menyerang anak
usia sekolah (1-14 tahun) dan 34% menyerang umur diatas 14 tahun. Data
tersebut menunjukkan proporsi usia sekolah dan dewasa rentan terhadap
difteri cukup tinggi.
Terjadinya penularan difteri terjadi ketika seseorang menghirup udara
yang mengandung percikan air liur pengidap saat bersin atau batuk, kontak
langsung dengan luka borok pada kulit pengidap penyakit, melalui barang
yang terkontaminasi oleh bakteri, seperti handuk, alat makan dan lain-lain.
Bakteri penyebab difteri menghasilkan racun yang bisa merusak
jaringan di hidung dan tenggorokan, hingga menyumbat saluran pernapasan.
Racun tersebut juga bisa menyebar melalui aliran darah dan menyerang
berbagai organ. Pada jantung, kerusakan jaringan akibat racun dapat

3
menimbulkan radang otot jantung (miokarditis). Pada ginjal, menyebabkan
gagal ginjal. Dan pada saraf, menyebabkan kelumpuhan. Oleh karena itu,
penanganan yang tepat sangat penting dilakukan untuk mencegah dan mengurangi
keparahan dampak dari difteri.

Menurut Damayanti (2012) tanda klinis yang terjadi pada penderita difteri
adalah sakit tenggorokan, suara serak, batuk, pilek yang awalnya cair, tapi dapat
sampai bercampur darah, demam, menggigil dan lemas, muncul benjolan dileher
akibat pembengkakan kelenjar getah bening, bicara melantur, tanda-tanda syok
seperti kulit yang pucat dan dingin, berkeringat dan jantung berdebar-debar.
Penyakit difteri dapat menyerang siapapun dan diusia berapa pun dapat
terkena difteri cenderung banyak ditemui dinegara-negara berkembang yang angka
vaksinasinya masih rendah seperti di Indonesia, penyakit difteri adalah penyakit
yang mudah menyebar pada anak-anak dan orang dewasa yang tidak diimunisasi.
Seseorang lebih mungkin terjangkit infeksi ini jika tidak mendapatkan atau tidak
melengkapi imunisasi sewaktu kecil dulu.
Menurut Widyoni (2011) ada beberapa faktor yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadi difteri yakni belum pernah mendapat vaksinasi difteri, tidak
mendapatkan vaksinasi difteri lanjutan, vaksin difteri biasanya diberikan lewat
imunisasi DPT (Difteri, pertusis, tetanus), sebanyak 5 kali semenjak bayi 2 bulan.
Setelah itu imunisasi ulangan dilakukan setiap 10 tahun, termasuk orang dewasa.
Apabila status imunisasi belum lengkap, segera dilakukan imunisasi di fasilitas
kesehatan terdekat. Selain menggunakan vaksin pencegahan difteri juga harus
dilakukan dengan selalu menjaga kebersihan lingkungan, jaga keluarga anda dari
faktor resiko terpapar penyakit difteri dengan selalu memastikan kondisi kebersihan
rumah dan lingkungan sekitar.
Pengobatan farmakologis yang dapat dilakukan yakni injeksi antitoksin.
Injeksi antitoksin ini akan melawan toksin yang dihasilkan bakteri didalam tubuh,
antibiotic yang dapat diberikan seperti penisilin dan eritromisin untuk membantu
memberantas infeksi bakteri yang terjadi didalam tubuh. Sedangkan perawatan
pasien difteri yang harus diperhatikan adalah tenaga kesehatan yang
memeriksa/merawat penderira difteri harus lengkap memiliki imunisasi lengkap,
apabila kontak langsung dengan penderita (jarak <1 meter), gunakan masker bedah,
pelindung mata, sarung tangan.

4
Berdasarkan data tingginya angka kejadian difteri kelompok tertarik
ingin membahas kejadian difteri sebagai materi desiminasi ilmu kepada para
perawat dan pegawai di Panti Sosial Tresna Werdha.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis mengambil
rumusan masalah tentang desiminasi ilmu tentang penyakit difteri.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan dan memberikan materi
pengetahuan kepada para perawat dan pegawai tentang difteri.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu menjelaskan penyakit difteri
b. Mahasiswa mampu menjelaskan penyebab difteri.
c. Mahasiswa mampu menjelaskan tanda gejala difteri
d. Mahasiswa mampu menjelaskan cara penularan difteri
e. Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan difteri
D. Manfaat
1. Bagi Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jambi
Manfaat dari penulisan ini dapat dijadikan masukan dan bahan
pengetahuan bagi perawat dan pegawai di Panti Sosial Tresna Werdha.
2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan
Sebagai masukan pembelajaran dan melaksanakan tindakan
keperawatan bagi institusi keperawatan Stikes Harapan Ibu Jambi.
3. Bagi Mahasiswa
Sebagai bahan acuan bagi mahasiswa Profesi Ners Stikes
Harapan Ibu Jambi khususnya dalam pemberian proses pembelajaran
dan sebagai tambahan referensi dalam melakukan asuhan keperawatan
pada dengan kasus difteri

5
BAB II

TARGET DAN LUARAN YANG DICAPAI


1. Target
a. Evaluasi Struktur
1) 90% dari peserta dapat hadir dan mengikuti kegiatan
2) Tempat dan alat sesuai rencana
3) Peran tugas mahasiswa sesuai perencanaan
b. Evaluasi Proses
1) Pelaksanaan kegiatan sesuai dengan waktu yang direncanakan
2) Klien hadir mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
3) Peserta mampu mempraktekkan teknik relaksasi otot progresif
c. Evaluasi Hasil
1) 90% warga mengetahui pengertian difteri
2) 90% warga mengetahui penyebab difteri
3) 90% warga mengetahui tanda-dan gejala difteri
4) 90% warga mengetahui cara penularan difteri
5) 90% warga mengetahui penatalaksaan difteri

6
BAB III
METODE PELAKSANAAN KEGIATAN
a. Topik
Kegiatan desiminasi ilmu tentang difteri.
b. Sasaran/Target
Sasaran : Pegawai di Panti Sosial Tresna Werdha.
Target : Semua pegawai di Panti Sosial Tresna Werdha.
c. Metode
Metode yang digunakan dalam kegiatan desiminasi ilmu ini adalah:
1) Diskusi
2) Ceramah
3) Tanya jawab
d. Media dan Alat
1) Laptop + Proyektor + kabel
2) Leaflet
3) Mikrofon+ speaker
4) Absensi
e. Rencana Pelaksanaan
Hari/tanggal : Kamis, 1 Agustus 2019
Waktu : 10.20 wib s/d 11.15 wib
Tempat : Panti Sosial Tresna Werdha
f. Pengorganisasian :
Setting tempat pemaparan materi

Setting tempat Desiminasi ilmu

7
Keterangan:
:Kursi/Peserta : Dosen/Pembimbing
a. : Layar : Fasilitator
: Moderator : Pemateri
: Meja LCD : Laptop
: Observer

g. Strategi Pelaksanaan
No. Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Audiens Waktu
1. Persiapan 5 menit
a. Mengucapkan Salam a. Menjawab salam
b. Memperkenalkan diri dan b. Memperhatikan
anggota kelompok dan tim dan
pembimbing. mendengarkan
c. Menjelaskan tema, waktu, c. Memperhatikan
tujuan dan manfaat kegiatan dan
desiminasi ilmu. mendengarkan
d. Memvalidasi kesehatan klien d. Menjawab
2. Pelaksanaan : 20 menit
a. Melakukan presentasi desiminasi a. Mengikuti kegiatan
ilmu difteri
1. Menggali pengetahuan 1. Memberikan respon
klien tentang difteri dan menjawab
2. Menjelaskan pengertian pertanyaan
difteri 2. Mendengarkan dan
3. Menjelaskan penyebab memperhatikan

8
difteri 3. Mendengarkan dan
4. Menjelaskan tanda dan memperhatikan
gejala difteri 4. Mendengarkan dan
5. Menjelaskan cara memperhatikan
penularan difteri 5. Mendengarkan dan
6. Menjelaskan memperhatikan
penatalaksanaan difteri 6. Mendengarkan dan
memperhatikan

3. Penutup 5 menit
a. Memberikan jawaban
a. Mengevaluasi kemampuan
pemahaman audiens
b. Memberi reinforsemen
b. Mendengar dan
positif
memperhatikan
c. Kesimpulan
c. Mendengarkan dan
memperhatikan
d. Menutup pertemuan
d. Mendengarkan dan
memperhatikan
e. Mengucapkan salam
e. Menjawab salam
h. URAIAN TUGAS
1) Moderator : Maria Siallagan
Tugas : 1. Membuka acara
2. Menjelaskan tujuan pelaksanaan kegiatan
3. Memimpin jalannya pemeriksaan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan
4. Menutup acara
2) Presenter : Teti Isfrueni
Tugas : Menyampaikan materi kegiatan terapi teknik
relaksasi otot progresif
3) Fasilitator :1. Eva Sari
2. Eva Lamtiurma

9
3. Ingga Hafacenta
4. Rika Safitri
5. Ghea Primasiwi
6. Winda Kalpataria
Tugas :1.Membantu presenter dalam menyampaikan
materi
2.Memotivasi peserta unttuk berperan aktif selama
berjalan nya kegiatan.
3.Memfasilitasi peserta untuk berperan aktif selama
pertemuan.
4) Observer : 1. Andri Setiawan
Tugas : mengamati jalannya seluruh kegiatan

10
MATERI DESIMINASI ILMU

DIFTERI

A. PENGERTIAN
Difteri merupakan penyakit bakteri akut yang menyerang faring, laring,
tonsil, hidung, terkadang menyerang selaput lendir dan merupakan salah satu
penyakit toksik yang berbahaya dan menular (Sudoyo, 2011).
Difteri merupakan penyakit yang terjadi secara lokal pada mukosa saluran
pernafasan atau kulit, yang disebabkan oleh hasil gram positif yang ditandai
oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membrane pada tempat infeksi.
(Bulecheck, 2016)

B. ETIOLOGI
Kelompok risiko tinggi penyakit difteri terutama adalah anak-anak
(golongan umur 1-5 tahun) dan lanjut usia. Dewasa ini di era vaksinasi terjadi
perubahan epidemiologi dimana penyakit difteri juga dapat terjadi pada orang
dewasa. Kejadian epidemi atau peningkatan kasus difteri dapat terjadi pada
suatu daerah yang sebelumnya sudah dinyatakan terbebas dari difteri.
Faktor resiko yang dapat menyebabkan hal tersebut terjadi adalah sebagai
berikut: adanya penderita difteri atau carier yang datang dari daerah endemik
difteri, terjadinya penurunan cakupan imunisasi, dan terdapat perubahan
virulensi bakteri.
1. Cara Penularan
Manusia sebagai reservoir infeksi, transmisi terutama terjadi karena
kontak dekat dengan kasus atau carier. Penularan dari manusia ke
manusia secara langsung umumnya terjadi melalui droplet (batuk, bersin,
berbicara) atau yang kurang umum melalui kontak dengan discharge dari
lesi kulit. Sedangkan secara tidak langsung melalui debu, baju, buku dan
barang-barang yang terkontaminasi karena bakteri cukup resisten terhadap
udara panas, suhu dingin dan kering (Bulecheck, 2016).
a. Periode Inkubasi: Masa inkubasi 2-5 hari (range 1-10 hari)
b. Periode Penularan

11
- Seseorang masih dapat menularkan penyakit sampai di atas hari
ke-empat setelah terapi dengan antibiotik yang efektif dimulai.
- Seseorang yang tidak diterapi, penularan melalui saluran nafas
dan lesi kulit masih dapat terjadi sampai 2-4 minggu setelah
terinfeksi.
- Carier kronik jarang terjadi, dan dapat bersifat menularkan sampai
enam bulan lebih setelah terinfeksi.

C. TANDA DAN GEJALA


Manifestasi utama difteri menurut (Bulecheck, 2016) yaitu pada saluran
nafas atas biasanya disertai gejala sakit tenggorok, disfagia, limfadenitis,
demam yang tidak tinggi, malaise dan sakit kepala. Penyakit difteri juga dapat
membentuk membran adheren pada nasofaring yang pada akhirnya bisa
menyebabkan obstruksi saluran nafas. Efek sistermik berat yang ditimbulkan
oleh eksotoksin dari difteri dapat menyebabkan miokarditis, neuritis, dan
kerusakan ginjal.
Gambaran klinis difteri secara umum terbagi 3 tahap yaitu :
Early - Terdapat pseudomembran
- Sakit tenggorokan (difteri faringotonsilar)
- Hoarseness (difteri faringeal)
- Stridor (difteri faringeal)
- Blood-stained cervical lymph nodes
Severe - Swelling dan eodema leher (bull neck) – petekie
haemoragik submucosa atau kulit
- Kolaps toksik sirkulasi
- Insufiensi renal akut
Late - Miokarditis
- Paralysis soft palatum
- Blurred vision
- Paralisis bibir
- Paralisis diagfragma

12
D. PENATALAKSANAAN MEDIS
Pemeriksaan bakteriologi berlangsung beberapa hari. Jika diduga kuat
difteri maka terapi spesifik dengan antitoksin dan antibiotik harus segera
diberikan tanpa menunggu hasil laboratorium, terutama pemberian antitoksin
difteri secepatnya. Terapi antimikroba diperlukan untuk menghentikan
produksi toksin, dengan mengeradikasi mikroorganisme penyebab sehingga
dapat mencegah penyebaran lebih lanjut. Pasien dengan suspek difteri, harus
dilakukan tindakan pencegahan paling sedikit dengan pemberian antibiotik
selama 4 hari atau sampai diagnosis difteri dapat disingkirkan.
1. Antitoksin Difteri
Merupakan hiperimun serum yang diperoleh dari kuda. Antitoksin
hanya menetralisir toksin yang berada dalam sirkulasi sebelum terikat
dengan jaringan. Pemberian yang terlambat dapat meningkatkan resiko
miokarditis dan neuritis. Tes sensitivitas dapat dilakukan sebelum
pemberian antitoksin difteri.
Bila membran hanya terbatas pada nasal atau permukaan saja maka
Anti Difteri Serum (ADS) dapat diberikan 20.000 unit intramuskular, bila
sedang maka ADS dapat diberikan sebesar 60.000 unit intramuskular,
sedangkan pada membran yang telah meluas maka dapat diberikan ADS
sebanyak 100.000-120.000 unit intramuskular.
2. Antibiotik
Antibiotik pilihan adalah Eritromisin atau Penisilin. Rekomendasi
pemberian adalah sebagai berikut:
- Penisilin prokain G 25000-50000 unit/kg/dosis (pada anak-anak), 1,2
juta unit/dosis (pada orang dewasa). Pemberian intramuskular.
- Eritromisin 40-50 mg/kg/dosis, maksimum dosis 2 g/dosis, terbagi 4
dosis. Pemberian peroral dan parenteral
- Penisilin G 125-250 mg, 4 kali sehari intramuskular dan intravena
- Terapi antibiotik diberikan selama 14 hari

13
E. STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN KLB DIFTERI
1. Penguatan imunisasi rutin Difteri sesuai dengan program imunisasi
nasional.
2. Penemuan dan penatalaksanaan dini kasus Difteri.
3. Semua kasus Difteri harus dilakukan penyelidikan epidemiologi.
4. Semua kasus Difteri dirujuk ke Rumah Sakit dan dirawat di ruang isolasi.
5. Pengambilan spesimen dari kasus dan kasus kontak erat kemudian dikirim
ke laboratorium rujukan Difteri untuk dilakukan pemeriksaan kultur atau
PCR.
6. Menghentikan transmisi Difteri dengan pemberian prophilaksis terhadap
kontak dan karier.
7. Melakukan Outbreak Response Immunization (ORI) di daerah KLB
Difteri.
(Kemenkes RI, 2017).

F. PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI DALAM


PERAWATAN PENDERITA DIFTERI.
Cara penularan Difteri adalah melalui droplet dan kontak. Dalam
memeriksa/ merawat penderita difteri klinik`, direkomendasikan Kemenkes
RI (2017) sebagai berikut:
1. Tenaga kesehatan yang memeriksa/ merawat Penderita Difteri harus
sudah memiliki imunisasi lengkap.
2. Bila penderita dirawat, tempatkan dalam ruang isolasi (single room/
kohorting), tidak perlu ruangan dengan tekanan negatif.
3. Lakukan prinsip kewaspadaan standar, gunakan Alat Pelindung Diri
(APD) sebagai kewaspadaan isolasi berupa penularan melalui droplet
sebagai berikut:
- Pada saat memeriksa tenggorok penderita baru gunakan masker
bedah, pelindung mata, dan topi.

14
- Apabila dalam kontak erat dengan penderita (jarak <1 meter),
menggunakan masker bedah juga harus menggunakan sarung tangan,
gaun, dan pelindung mata (seperti : google, face shield).
- Pada saat pengambilan specimen menggunakan masker bedah,
pelindung mata, topi, baju pelindung, dan sarung tangan.
- Apabila melakukan tindakan yang menimbulkan aerosolisasi (misal
:saat intubasi, bronkoskopi,dll) dianjurkan untuk menggunakan
masker N95.
4. Pembersihan permukaan lingkungan dengan desinfektan (chlorine,
quaternary, ammonium compound, dll).
5. Terapkan etika batuk, baik pada tenaga kesehatan maupun masyarakat.
6. Apabila terdapat tanda dan gejala infeksi respiratori atas untuk
menggunakan masker, termasuk ditempat-tempat umum.
7. Bagi penderita yang harus didampingi keluarga, maka penunggu penderita
harus menggunakan APD (masker bedah dan gaun) serta melakukan
kebersihan tangan.

G. IMUNISASI
Menurut Kemenkes RI (2017) penyakit difteri dapat dicegah dengan
Imunisasi Lengkap, dengan jadwal pemberian sesuai usia. Saat ini vaksin
untuk imunisasi rutin dan imunisasi lanjutan yang diberikan guna mencegah
penyakit Difteri ada 3 macam, yaitu:
1. DPT-HB-Hib (vaksin kombinasi mencegah Difteri, Pertusis, Tetanus,
Hepatitis B dan Meningitis serta Pneumonia yang disebabkan oleh
Haemophylus infuenzae tipe B).
2. DT (vaksin kombinasi Difteri Tetanus).
3. Td (vaksin kombinasi Tetanus Difteri).
Imunisasi tersebut diberikan dengan jadwal:
1. Imunisasi dasar: Bayi usia 2, 3 dan 4 bulan diberikan vaksin DPT-HB-
Hib dengan interval 1 bulan.
2. Imunisasi Lanjutan:
a. Anak usia 18 bulan diberikan vaksin DPT-HB-Hib 1 kali.

15
b. Anak Sekolah Dasar kelas 1 diberikan vaksin DT pada Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
c. Anak Sekolah Dasar kelas 2 dan 5 diberikan vaksin Td pada Bulan
Imunisasi Anak Sekolah (BIAS).
d. Wanita Usia Subur (termasuk wanita hamil) diberikan vaksin Td.

Perlindungan optimal terhadap difteri pada masyarakat dapat


dicapai dengan cakupan imunisasi rutin, baik dasar maupun lanjutan, yang
tinggi dan merata. Cakupan harus mencapai minimal 95%, merata di setiap
kabupaten/kota, dan tetap dipertahankan. Selain cakupan yang harus
diperhatikan adalah menjaga kualitas vaksin sejak pengiriman,
penyimpanan sampai ke sasaran. Vaksin difteri merupakan vaksin yang
sensitif terhadap suhu beku sehingga dalam pengiriman maupun
penyimpanan harus tetap berada pada suhu 2 - 8° C.

H. IDENTIFIKASI DAN TATALAKSANA KONTAK DAN KARIER


1. Identifikasi Sumber Infeksi
Mencari carier dari kultur hidung dan tenggorok pada orang yang
kontak dekat dengan penderita difteri atau dari penyebab yang lain. Perlu
ditanyakan adanya potensi sumber infeksi pada 10 hari terakhir sebelum
onset terjadi, termasuk hal-hal di bawah ini:
- Perjalanan ke luar negeri, terutama dari daerah endemi difteri
- Kontak dengan orang yang berasal dari negara endemi difteri
- Pekerja atau sukarelawan tenaga kesehatan
2. Identifikasi Kontak Dekat
a. Siapapun yang kontak erat dengan kasus, dalam 7 hari terakhir
dianggap berisiko tertular.
b. Kontak erat penderita dan karier meliputi :
- Anggota keluarga serumah
- Teman, kerabat, pengasuh yang secara teratur mengunjungi
rumah
- Kontak cium / seksual
- Teman di sekolah, teman les, teman mengaji, teman sekerja

16
- Petugas kesehatan di lapangan dan di RS
c. Semua kontak erat harus diperiksa adanya gejala difteri serta diawasi
setiap hari selama 7 hari dari tanggal terakhir kontak dengan kasus.
d. Status imunisasi kontak ditanyakan dan dicatat.
e. Profilaksis dilakukan dengan antibiotika Erytromisin (etyl suksinat)
dengan dosis 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama
7 hari.
f. Tunjuk pengawas minum obat (PMO) selama periode pemberian
tersebut (orang tua, kader, bidan, tokoh masyarakat)
g. Bila kontak yang positif (karier) dan setelah diberikan prophilaksis
selama 7 hari kemudian diperiksa laboratorium kembali ternyata
masih positip maka pemberian prophilaksis dilanjutkan kembali
selama 7 hari. Jika masih positif maka dilakukan test resistensi dengan
mengganti jenis antibiotika yang sensitif.

3. Tatalaksana pada Karier


Menurut Kemenkes RI (2017) Langkah-langkah berikut harus dilakukan,
yaitu:
a. Karier harus menghindari kontak dekat dengan orang yang tidak
mendapat imunisasi/ imunisasi tidak lengkap, menghindari penularan
droplet dengan menggunakan masker bedah.
b. Catat kontak dekat dari karier dan beri penyuluhan cara mencegah
penularan. Pengobatan pencegahan bagi orang kontak dengan karier
dapat dilakukan namun dengan prioritas lebih rendah daripada untuk
yang kontak dengan penderita
c. Pemeriksaan dengan kultur diulangi setelah 1 minggu selesai
pemberian Erytromisin 40-50 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10
hari maks 1 gram/hari. Bila orang tersebut tetap positive setelah
pengobatan selama 1 minggu maka harus dilakukan tambahan
pengobatan ulang selama 1 minggu lagi dan seterusnya diambil swab
untuk kultur ulang.

17
DAFTAR PUSTAKA

Alfiansyah Gamasiano. (2015). Penyelidikan Epidemiologi Kejadian Luar Biasa


(KLB) Difteri di Kabupaten Blitar Tahun 2015. Fakultas Ilmu
Kesehatan Institut Ilmu Kesehatan Bhakti Wiyata Kediri. Diakses
tanggal 15 Juli 2019.

Begg N. (2012). The Expanded Programme on Immunization in the European


Region of WHO – Manual for the Management and Control of
Diphtheria in the European Region. Copenhagen

Bulecheck. (2016). Nursing Of Difteri Diagnosis. Jakarta : Mocomedia

Dinas Kesehatan Provinsi Jambi. (2018). Profil Kesehatan Provinsi Jambi

Damayanti. (2012). Asuhan Keperawatan Penyakit Menular. Refika Adiutama :


Bandung

Kementerian Kesehatan RI. (2017). Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian


Difteri. Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Direktorat
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit : Jakarta

World Health Organization. (2013). Global Difteri Report Health Observatory


Data

18

Anda mungkin juga menyukai