Hukum Islam Pertemuan Terakhir
Hukum Islam Pertemuan Terakhir
C. Isu-isu Terorisme
Teror berasal dari bahasa latin, terrere artinya menimbulkan rasa gemetar dan cemas.
Terorise berarti menakut-nakuti. Kata ini secara umum digunakan dalam pengertian politik,
sebagai suatu serangan terhadap tatanan sipil, semasa Pemerintah Teror Revolusi Perancis akhir
abad ke-18. Oleh karena itu, repon publik terhadap kekerasan rasa cemas yang diakibatkan oleh
terorisme merupakan bagian dari pengertian tersebut.
Menurut bahasa terorisme adalah melakukan sesuatu yang menyebabkan orang menjadi
panik, takut, gelisah, tidak aman dan menimbulkan gangguan dalam bidang kehidupan dan
interaksi manusia.
Sedangkan menurut syari’ah terorisme adalah segala sesuatu yang menyebabkan
goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau pelampauan batas dengan
berbagai bentuknya, dari berbagai catatan sejarah, kejadian yang melanda umat saat ini.
Definisi dan kriteria teroris harus disepakati semua pihak, Marty Nata Legawa direktur
Organisasi Internasional Deparemen luar negeri berpendapat, terorisme yang dipahami bersama
adalah tindakan untuk mencapai cita-cita politik yang dibungkus dalam kekerasan guna
menciptakan teror dan memakan korban rakyat sipil tidak berdosa.
Kusnoto Anggoro dari Center for Strategic and Internastional Studies, terorisme
merupakan kegiatan untuk menciptakan kekhawatiran dengan tujuan pokok mengubah kebijakan
dengan tindak kekerasan sebagai instrumen di Indonesia, menurut Kusnanto kelompok laskt
jihad bukan berarti terorisme. Gerakan komando jihad juga sulit dianggap teroris karena tidak
memiliki ideologi dan tujuan yang jelas serta merupakan teror, karena menciptakan kekhawatiran
luar biasa.
Dalam kelompok barat paling tidak, ada dua kelompok besar. Pertama adalah merka
yang selalu mengait-ngaitkan setiap peristiwa teror dengan agama Islam, penembakan yang baru-
baru ini memakan korban belasan siswa sekolah di negara bagian Amerika Serikat. Stigmatisasi
semacam itu adalah trauma sejarah yang luas, bagi kelompok ini agamalah penyebab terorisme.
Bahkan ada di antara mereka yang pindah agama atau anti agama sama sekali.
Kelompok kedua lebih berpikir jernih dan arif, mereka berpendapat bahwa teror bisa
terjadi dimana-mana dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Mereka bahkan mulai tertarik untuk
mengetahui apa itu agama. Gejala semaraknya kajian–kajian agama dan peradaban semakin
mendapat tempat di kalangan ini.
Dalam kenyataan sejarah, agama bisa dijadikan alat pembenar terorisme ketika
penghayatan agama seseorang atau kelompok tertentu rentan, sementara ada faktor lain politik
atau ekonomi yang begitu kuat dansering akumulatif, maka keberagaman pada saat itu
terkalahkan oleh faktor-faktor yang lebih kuat sehingga yang muncul kemudian adalah nafsu
pemaksaan dan kekerasan.
Meski isu-isu terorisme yang transnasional itu masih terombang-ambing dalam dugaan
dan kenyataan usaha sinergisuntuk mewaspadai dan menghadapi ancaman terorisme sangatlah
penting karena dampaknya begitu besar bagi stabilitas nasional.
D. Isu-isu HAM
Di era globalisasi saat ini, HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu isu yang sangat
menyedot perhatian dan menjadi agenda yang paling penting, terutama di dunia ketiga, termasuk
dunia Islam. Isu HAM bahkan menjadi faktor pertimbangan kebijakan luar negeri setiap negara.
Lebih dariitu, keharusan adanya penghormatan terhadap HAM ini menjadi pra-syarat dalam
hubungan Internasional. Suatu negara yang dinilai dan diketahui mengabaikan HAM, dapat
dipastikan ia akan menjadi sasaran kritik dan diisolir dari pergaulan antar bangsa. HAM disini
dimaksudkan sebagai hak-hak tertent yang melekat secara eksistensial dalam identitas
kemanusiaan tanpa melihat kebangsaan, agama, jenis kelamin, status sosial, pekerjaan, kekayaan
atau karakteristik etnik, budaya dan perbedaan sosial lainnya.
Secara historis, ide tentang HAM berasal dari gagasan tentang hak-hak alami. Oleh
karenanya HAM dianggap sebagai bagian dari hakekat kemanusiaan yang paling fundamental.
Di dunia barat ide tentang HAM merupakan hasil perjuangan kelas sosial yang menuntut
tegaknya nilai-nilai dasar kebebasan dan kebersamaan.
Perjuangan kelas tersebut secara kronologis tercermin dengan lahirnya Magna Charta
(Piagam Jakarta) pada 15 juni 1215 di Inggris, sebagai bagian pemberontakan para baronInggris
terhadap raja Jhon. Disusul dengan Bill of Right pada 1689 yang juga di Inggris berisi penegasan
pembatasan kekuasaan raja.
Berbicara tentang HAM di Indonesia tidak terlepas dari pembicaraan tentang sejarah
perumusan konstitusi dasar negara RI, UUD 1945. UUD Negara RI sudah lahir sejak bulan
Agustus 1945 sedangkan UDHR baru dideklarasikan pada 10 Desember 1948, jadi tiga bulan
lebih tua karena negara-negara lain sudah memiliki 30 pasal tentang HAM.
Mengenai dicantumkannya elemen-elemen HAM ke dalam UUD 1945 telah terjadi perdebatan
yang alot karena terdapatnya pandangan yang berbeda oleh para pendiri negara.
Prof. Soepomo, menganggap bahwa negara merupakan pengejawantahan dari rakyat
Indonesia secara totalitas tubuh manusia yang terdiri dari bagian-bagian yang bersatu dalam satu
kesatuan. Persatuan dalam persepsi Soepomo mengacu kepada corak dua negara di masa itu,
yaitu Jerman dan Jepang.
Berbeda dengan pandangan serta sikap Soepomo, Hatta dan Yamin berpandangan
bahwa HAM yang berasal dari barat yang terkesan liberal itu tidak perlu dipersoalkan tapi yang
harus diwaspadai justru negara.
Sikapnya yang di tahun 1945 menolak HAM itu, di tahun 1949 dan 1950 berubah
menjadi menerima. Perubahan sikap tersebut, menurut Buyung, dipengaruhi oleh pengalamannya
dalam memimpin delegasi Indonesia ke beberapa kota di luar negeri, seperti Belanda, London
dan Amerika.
Salah satu simbol dari sistem demokrasi dalam sebuah negara ditandai dengan
diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu) dengan siklus tertentu. Di Indonesia pemilu
diselenggarakan sekali dalam lima tahun khususnya sejak era orde baru, sehingga melekatlah
istilah “pesta demokrasi” bagi even lima tahunan itu. Adanya sistem pemisahan kekuasaan
berdasarkan fungsi-fungsi yang berbeda antara tiga lembaga kekuasaan: eksekutif, legislatif,
yudikatif.
Pada akhir dasawarsa delapan puluhan proses gejala demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat mulai terlihat meskipun masih banyak kendala yang dihadapinya. Diantara faktor
yang mendorong ialah:
1. Pertama, terjadinya pergesekan-pergesekan pada elit negara yang berdampak pada munculnya
realiansi sebagian faksi-faksinya.
2. Kedua, terjadinya perubahan pada level global yang menghasilkan maraknya gelombang
demokratisasi pada beberapa negara blok timur, yang mendorong lahirnya apa yang disebut
dengan civil society (masyarakat madani).
3. Ketiga, munculnya kesadaran kelompok-kelompok maasyarakat bahwa perubahan itu harus
dimulai dari bawah dan dilakukan olehmasyarakat sendiri, bukan oleh negara atau pemerintah
semata.
Indonesia sebagai salah satu negara yang bergabung dalam keanggotaan PBB dan telah
resmi menjadi anggota Komisi HAM yang berpusat di Jenewa sejak januari 1991, segera
menyambut deklarasi Wina tersebut.
Pada tahun 1993, melalui KEPRES RI No. 50/1993, dibentuklah Komnas HAM. Adapun tugas
dan fungsi Komnas HAM di Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan Baharuddilopa, yaitu:
1. Menjelaskan kepada mayarakat tentang HAM meliputi hak-hak dan kewajibannya, maka
masyarakat tidak mudah lagi diperdaya oleh oknum-oknum pejabat tertentu yang beritikad
kurang baik.
2. Menerima dan menangani pengaduan. Dalam hubungan ini Komnas HAM akan berusaha
mencegah pelanggaran HAM melalui petunjuk kepada badan-badan pemerintah.
3. Menelaah semua Konvensil Internasional mengenai HAM untuk segera diratifikasi secara
bertahap.
Terbentuknya Komnas HAM ini telah memberikan secercah harapan bagi perlindungan
hak-hak civil dan hak-hak asasi warga negara Indonesia.
Persoalan-persoalan krusial dalam penegakan hukum HAM semakin hari semakin
berkembang di negara ini. Seperti fenomenal yang terlihat akhir-akhir ini, terutama pasca tragedi
WTC di New York City, peta perpolitikan dunia seakan-akan mengalami perubahan secara
drastis, terutama menyangkut isu penegakan HAM.
Amerika yang selama ini sangat getol mengampayekan penegakan HAM dimana-mana, isu
tersebut kini seakan-akan tenggelam dengan munculnya isu baru, yakni “perang melawan
terorisme”.
Hal ini memang terbukti dengan tindakannya yang biadab meluluh lantahkan negara
Afghanistan atas dugaan bahwa disana menyimpan seorang yang diduga sebagai otak peledakan
menara WTC yang bernama Usmah bin Laden.
Isu tersebut berhasil meyakinkan bukan saja sekutu-sekutunya seperti Inggris dan
Australia tapi juga negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.
Suatu hal yang sangat memprihatinkan bahwa dengan adanya isu terorisme tersebut, ini
mulai terlihat kecenderungan kembalinya otoriterianisme pemerintah terhadap orang-orang.
1. Dinamika masyarakat periode kontemporer
Masyarakat memang tidak berkembang seperti yang digambarkan oleh August Comte
melalui teori La loi des trois etat yang diciptakannya. Menurut teori ini, masyarakat berkembang
secara linear dari tahap teologis, metafisik sampai kepada tahap terakhir, positivistik. Pada dua
tahap yang disebutkan pertama, agama masih dianggap mempunyai pengaruh dominan dalam
struktur masyarakat sehingga jika terjadi peristiwa apa saja, semuanya dikembalikan dan
direkonsiliasikan kepada agama. Dalam tahapan demikian pola pemikiran masyarakat masih
sangat sederhana.
Agama kemudian dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat, setelah
masyarakat mengalami kemajuan di bidang pemikiran sebagai buah dari paham rasionalisme,
yang ditandai dengan kemajuan di bidang keilmuan dan tekhnologi. Dilihat dari perspektif
filsafat sejarah kontemplatif, konsep Effat al-Shaqawi dalam kitab Falsafah al-Hadharah al-
Islamiyah (1980), proses perkembangan masyarakat seperti yang digambarkan Comte
merupakan proses gerak maju ke depan.
Dalam hubungannya dengan era kontemporer, konsekwensi logis dinamika masyarakat, telah
memunculkan apa yang sering di istilahkan dengan era globalisasi. Secara sederhana globalisasi
diartikan sebagai satu titik perhatian; meskipun ia terdiri dari beberapa negara yang terpisah dan
dihuni oleh kelompok manusia yang berbeda bangsa, bahasa dan agama. Menyatunya titik
pandang itu karena sudah begitu lancarnya komunikasi dan transportasi hingga jarak tidak lagi
berarti dan lancarnya arus informasi sehingga sekat wilayah dan budaya menjadi kabur
disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Globalisasi ini menyebabkan terjadinya
perubahan dan pergolakan yang besar dalam seluruh segi kehidupan.
Meskipun pada saat ini yang dirasakan paling besar adalah pengaruh dalam bidang ekonomi,
tetapi tetap berpengaruh pada bidang kehidupan yang lainnya. Pengaruh ini bisa dalam bentuk
positif (manfaat) dengan arti menguntungkan kehidupan manusia dan ada pula dalam bentuk
negatif (mudharat) dengan arti merugikan.
Kita tidak mungkin lari dari arus globalisasi , walaupun takut akan terkena mudharat yang
ditimbulkannya. Sikap yang harus dimiliki oleh ummat Islam adalah meraih sebanyak mungkin
manfaat dari globnalisasi dan dalam jangka waktu yang bersamaan mampu menghindari segala
kemungkinan mudharat
Dalam diri manusia ada dua kemungkinan untuk menghadapi arus globalisasi itu, yaitu;
pertama, memiliki kemampuan dan sisi kekuatan serta keterampilan untuk memanfaatkan sisi
positif globalisasi. Kedua, terdapat titik lemah yang menyebabkan manusia tidak mampu
menghadapi dampak negatif tersebut, sehingga globalisasi menjadi sumber malapetaka.
Tindakan yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan kemampuan yang ada untuk meraih
sebanyak mungkin kesempatan dan peluang yang terbuka untuk memperoleh unsur positif yang
ada pada globalisasi itu. Di samping itu manusia harus berusaha mneghilangkan titik lemah yang
ada pada dirinya untuk memanimalisir sekecil mungkin dampak negatif globalisasi.