Anda di halaman 1dari 9

ISLAM KONTEMPORER

A. Pengertian Islam Kontemporer


Kontemporer artinya dari masa atau waktu ke waktu. Sejarah Islam kontemporer yaitu
suatu ilmu yang mempelajari kebudayaan Islam pada masa lampau dari waktu ke waktu yang
dimulai dari masa Rasulullah. Menurut bahasa (etimologi), Islam kontemporer adalah agama
yang diajarkan Nabi Muhammad SAWpada masa lampau dan berkembang hingga sekarang.
Menurut istilah (terminologi), Islam kontemporer adalah untuk mengkaji Islam sebagai
nilai altenatif baik dalam perspektif interpretasi, tekstual maupun kajian kontekstual mengenai
kemampuan Islam memberikan solusi baru kepada temuan-temuan di semua dimensi kehidupan
dari masa lampau hingga sekarang.
Setiap pemeluk agama yang taat memilih sikap menjauhi fanitesme buta dan
membangun ketaatannya berdasarkan pengetahuan yang benar terhadap agama-agama yang di
peluk. Selain itu, ia pun harus memiliki kesadaran yang utuh akan aspek-aspek universal yang
terkandung dalam setiap agama.
Cara untuk mengubah pola pikir yang berorientasi pada kemajuan perkembangan zaman
yang dilandasi dengan nilai-nilai Islam:
1. Memberikan pandagan dan pengetahuan umat Islam yang memiliki keterkaitan kepada salah
satu mazhab untuk kembali pada sumber hukum asli, yakni Al-Qur’an dan Hadis.
2. Memberikan pandangan dan pengetahuan bahwa ajaran Islam menekan pada keseimbangan
antar persoalan duniawi dan ukhrowi.
3. Memberikan pandangan bahwa untuk memahami prinsip ajaran sosial kemasyarakatan, bukan
pada pilihan antara Islam harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman atau perkembangan
zaman yang harus menyesuaikan Islam. Tetapi pilihan yang paling tepat terletak pada suatu
keyakinan bahwa Islam tidak meletakkan prinsip ajarannya sesuai dengan semangat
perkembangan umat manusia.
4. Menyesuaikan fiqih Islam terhadap kebutuhan masyarakat.
5. Memberikan pandangan bahwa fiqih hasil kajian ulama masa lampau, ada yang tidak relevan
lagi dengan kehidupan masa kini, atau belum diadakan kajian pada waktu itu.
6. Memperhatikan dalam bidang pendidikan.
7. Pendidikan harus mampu berperan aktif menuju ke arah pembinaan SDM.
8. Umat Islam harus dibekali rasa ukhuwah islamiyah agar tidak saling baku hantam.
B. Isu-isu Pluralisme
Secara sederhana pluralisme berasal dari kata plural yang bermakna banyak atau lebih
dari satu. Dalam kajian fisiologis, pluralisme diberi makna sebagai doktrin, bahwa substansi
hakiki itu tidaklah satu, tidak pula dua, melainkan banyak. Istilah pluralisme merupakan salah
satu konsep fundamental yang belakangan muncul sejalan dengan berbagai kebutuhan
masyarakat modern.
Berbagai bangsa melihat pluralisme sebagai suatu sistem bagi kehidupan manusia yang
didasarkan kepada prinsip-prinsip bersama, yang menjalin dihormatinya berbagai realitas yang
plural dan diakuinya keragaman orientasi yang dianut warga negara.
Pengertian dari pluralisme agama yang pernah diajarkan dan dipraktikkan oleh
Rasulullah SAW pluralisme agama yang berarti hidup bersosial kemasyarakatan secara baik,
rukun dan damai dengan penganut agama lain bukan pluralisme agama dalam arti membenarkan
semua agama mampu menghantarkan manusia pada kemuliaan dan keselamatan sejati dan abadi
yang merupakan konsekuensi dari pembenaran esensi setiap agama. Dan tentu saja, semua yang
dilakukan oleh Rasul SAW tidak akan pernah bertentangan dengan Al-Qur’an dan bahkan
menjadi argumen bagi segenap kaum muslim di dunia.

C. Isu-isu Terorisme
Teror berasal dari bahasa latin, terrere artinya menimbulkan rasa gemetar dan cemas.
Terorise berarti menakut-nakuti. Kata ini secara umum digunakan dalam pengertian politik,
sebagai suatu serangan terhadap tatanan sipil, semasa Pemerintah Teror Revolusi Perancis akhir
abad ke-18. Oleh karena itu, repon publik terhadap kekerasan rasa cemas yang diakibatkan oleh
terorisme merupakan bagian dari pengertian tersebut.
Menurut bahasa terorisme adalah melakukan sesuatu yang menyebabkan orang menjadi
panik, takut, gelisah, tidak aman dan menimbulkan gangguan dalam bidang kehidupan dan
interaksi manusia.
Sedangkan menurut syari’ah terorisme adalah segala sesuatu yang menyebabkan
goncangan keamanan, pertumpahan darah, kerusakan harta atau pelampauan batas dengan
berbagai bentuknya, dari berbagai catatan sejarah, kejadian yang melanda umat saat ini.
Definisi dan kriteria teroris harus disepakati semua pihak, Marty Nata Legawa direktur
Organisasi Internasional Deparemen luar negeri berpendapat, terorisme yang dipahami bersama
adalah tindakan untuk mencapai cita-cita politik yang dibungkus dalam kekerasan guna
menciptakan teror dan memakan korban rakyat sipil tidak berdosa.
Kusnoto Anggoro dari Center for Strategic and Internastional Studies, terorisme
merupakan kegiatan untuk menciptakan kekhawatiran dengan tujuan pokok mengubah kebijakan
dengan tindak kekerasan sebagai instrumen di Indonesia, menurut Kusnanto kelompok laskt
jihad bukan berarti terorisme. Gerakan komando jihad juga sulit dianggap teroris karena tidak
memiliki ideologi dan tujuan yang jelas serta merupakan teror, karena menciptakan kekhawatiran
luar biasa.
Dalam kelompok barat paling tidak, ada dua kelompok besar. Pertama adalah merka
yang selalu mengait-ngaitkan setiap peristiwa teror dengan agama Islam, penembakan yang baru-
baru ini memakan korban belasan siswa sekolah di negara bagian Amerika Serikat. Stigmatisasi
semacam itu adalah trauma sejarah yang luas, bagi kelompok ini agamalah penyebab terorisme.
Bahkan ada di antara mereka yang pindah agama atau anti agama sama sekali.
Kelompok kedua lebih berpikir jernih dan arif, mereka berpendapat bahwa teror bisa
terjadi dimana-mana dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Mereka bahkan mulai tertarik untuk
mengetahui apa itu agama. Gejala semaraknya kajian–kajian agama dan peradaban semakin
mendapat tempat di kalangan ini.
Dalam kenyataan sejarah, agama bisa dijadikan alat pembenar terorisme ketika
penghayatan agama seseorang atau kelompok tertentu rentan, sementara ada faktor lain politik
atau ekonomi yang begitu kuat dansering akumulatif, maka keberagaman pada saat itu
terkalahkan oleh faktor-faktor yang lebih kuat sehingga yang muncul kemudian adalah nafsu
pemaksaan dan kekerasan.
Meski isu-isu terorisme yang transnasional itu masih terombang-ambing dalam dugaan
dan kenyataan usaha sinergisuntuk mewaspadai dan menghadapi ancaman terorisme sangatlah
penting karena dampaknya begitu besar bagi stabilitas nasional.

D. Isu-isu HAM
Di era globalisasi saat ini, HAM (Hak Asasi Manusia) merupakan suatu isu yang sangat
menyedot perhatian dan menjadi agenda yang paling penting, terutama di dunia ketiga, termasuk
dunia Islam. Isu HAM bahkan menjadi faktor pertimbangan kebijakan luar negeri setiap negara.
Lebih dariitu, keharusan adanya penghormatan terhadap HAM ini menjadi pra-syarat dalam
hubungan Internasional. Suatu negara yang dinilai dan diketahui mengabaikan HAM, dapat
dipastikan ia akan menjadi sasaran kritik dan diisolir dari pergaulan antar bangsa. HAM disini
dimaksudkan sebagai hak-hak tertent yang melekat secara eksistensial dalam identitas
kemanusiaan tanpa melihat kebangsaan, agama, jenis kelamin, status sosial, pekerjaan, kekayaan
atau karakteristik etnik, budaya dan perbedaan sosial lainnya.
Secara historis, ide tentang HAM berasal dari gagasan tentang hak-hak alami. Oleh
karenanya HAM dianggap sebagai bagian dari hakekat kemanusiaan yang paling fundamental.
Di dunia barat ide tentang HAM merupakan hasil perjuangan kelas sosial yang menuntut
tegaknya nilai-nilai dasar kebebasan dan kebersamaan.
Perjuangan kelas tersebut secara kronologis tercermin dengan lahirnya Magna Charta
(Piagam Jakarta) pada 15 juni 1215 di Inggris, sebagai bagian pemberontakan para baronInggris
terhadap raja Jhon. Disusul dengan Bill of Right pada 1689 yang juga di Inggris berisi penegasan
pembatasan kekuasaan raja.
Berbicara tentang HAM di Indonesia tidak terlepas dari pembicaraan tentang sejarah
perumusan konstitusi dasar negara RI, UUD 1945. UUD Negara RI sudah lahir sejak bulan
Agustus 1945 sedangkan UDHR baru dideklarasikan pada 10 Desember 1948, jadi tiga bulan
lebih tua karena negara-negara lain sudah memiliki 30 pasal tentang HAM.
Mengenai dicantumkannya elemen-elemen HAM ke dalam UUD 1945 telah terjadi perdebatan
yang alot karena terdapatnya pandangan yang berbeda oleh para pendiri negara.
Prof. Soepomo, menganggap bahwa negara merupakan pengejawantahan dari rakyat
Indonesia secara totalitas tubuh manusia yang terdiri dari bagian-bagian yang bersatu dalam satu
kesatuan. Persatuan dalam persepsi Soepomo mengacu kepada corak dua negara di masa itu,
yaitu Jerman dan Jepang.
Berbeda dengan pandangan serta sikap Soepomo, Hatta dan Yamin berpandangan
bahwa HAM yang berasal dari barat yang terkesan liberal itu tidak perlu dipersoalkan tapi yang
harus diwaspadai justru negara.
Sikapnya yang di tahun 1945 menolak HAM itu, di tahun 1949 dan 1950 berubah
menjadi menerima. Perubahan sikap tersebut, menurut Buyung, dipengaruhi oleh pengalamannya
dalam memimpin delegasi Indonesia ke beberapa kota di luar negeri, seperti Belanda, London
dan Amerika.
Salah satu simbol dari sistem demokrasi dalam sebuah negara ditandai dengan
diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu) dengan siklus tertentu. Di Indonesia pemilu
diselenggarakan sekali dalam lima tahun khususnya sejak era orde baru, sehingga melekatlah
istilah “pesta demokrasi” bagi even lima tahunan itu. Adanya sistem pemisahan kekuasaan
berdasarkan fungsi-fungsi yang berbeda antara tiga lembaga kekuasaan: eksekutif, legislatif,
yudikatif.
Pada akhir dasawarsa delapan puluhan proses gejala demokratisasi dan pemberdayaan
masyarakat mulai terlihat meskipun masih banyak kendala yang dihadapinya. Diantara faktor
yang mendorong ialah:
1. Pertama, terjadinya pergesekan-pergesekan pada elit negara yang berdampak pada munculnya
realiansi sebagian faksi-faksinya.
2. Kedua, terjadinya perubahan pada level global yang menghasilkan maraknya gelombang
demokratisasi pada beberapa negara blok timur, yang mendorong lahirnya apa yang disebut
dengan civil society (masyarakat madani).
3. Ketiga, munculnya kesadaran kelompok-kelompok maasyarakat bahwa perubahan itu harus
dimulai dari bawah dan dilakukan olehmasyarakat sendiri, bukan oleh negara atau pemerintah
semata.
Indonesia sebagai salah satu negara yang bergabung dalam keanggotaan PBB dan telah
resmi menjadi anggota Komisi HAM yang berpusat di Jenewa sejak januari 1991, segera
menyambut deklarasi Wina tersebut.
Pada tahun 1993, melalui KEPRES RI No. 50/1993, dibentuklah Komnas HAM. Adapun tugas
dan fungsi Komnas HAM di Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan Baharuddilopa, yaitu:
1. Menjelaskan kepada mayarakat tentang HAM meliputi hak-hak dan kewajibannya, maka
masyarakat tidak mudah lagi diperdaya oleh oknum-oknum pejabat tertentu yang beritikad
kurang baik.
2. Menerima dan menangani pengaduan. Dalam hubungan ini Komnas HAM akan berusaha
mencegah pelanggaran HAM melalui petunjuk kepada badan-badan pemerintah.
3. Menelaah semua Konvensil Internasional mengenai HAM untuk segera diratifikasi secara
bertahap.
Terbentuknya Komnas HAM ini telah memberikan secercah harapan bagi perlindungan
hak-hak civil dan hak-hak asasi warga negara Indonesia.
Persoalan-persoalan krusial dalam penegakan hukum HAM semakin hari semakin
berkembang di negara ini. Seperti fenomenal yang terlihat akhir-akhir ini, terutama pasca tragedi
WTC di New York City, peta perpolitikan dunia seakan-akan mengalami perubahan secara
drastis, terutama menyangkut isu penegakan HAM.
Amerika yang selama ini sangat getol mengampayekan penegakan HAM dimana-mana, isu
tersebut kini seakan-akan tenggelam dengan munculnya isu baru, yakni “perang melawan
terorisme”.
Hal ini memang terbukti dengan tindakannya yang biadab meluluh lantahkan negara
Afghanistan atas dugaan bahwa disana menyimpan seorang yang diduga sebagai otak peledakan
menara WTC yang bernama Usmah bin Laden.
Isu tersebut berhasil meyakinkan bukan saja sekutu-sekutunya seperti Inggris dan
Australia tapi juga negara-negara lainnya, termasuk Indonesia.
Suatu hal yang sangat memprihatinkan bahwa dengan adanya isu terorisme tersebut, ini
mulai terlihat kecenderungan kembalinya otoriterianisme pemerintah terhadap orang-orang.
1. Dinamika masyarakat periode kontemporer
Masyarakat memang tidak berkembang seperti yang digambarkan oleh August Comte
melalui teori La loi des trois etat yang diciptakannya. Menurut teori ini, masyarakat berkembang
secara linear dari tahap teologis, metafisik sampai kepada tahap terakhir, positivistik. Pada dua
tahap yang disebutkan pertama, agama masih dianggap mempunyai pengaruh dominan dalam
struktur masyarakat sehingga jika terjadi peristiwa apa saja, semuanya dikembalikan dan
direkonsiliasikan kepada agama. Dalam tahapan demikian pola pemikiran masyarakat masih
sangat sederhana.
Agama kemudian dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat, setelah
masyarakat mengalami kemajuan di bidang pemikiran sebagai buah dari paham rasionalisme,
yang ditandai dengan kemajuan di bidang keilmuan dan tekhnologi. Dilihat dari perspektif
filsafat sejarah kontemplatif, konsep Effat al-Shaqawi dalam kitab Falsafah al-Hadharah al-
Islamiyah (1980), proses perkembangan masyarakat seperti yang digambarkan Comte
merupakan proses gerak maju ke depan.
Dalam hubungannya dengan era kontemporer, konsekwensi logis dinamika masyarakat, telah
memunculkan apa yang sering di istilahkan dengan era globalisasi. Secara sederhana globalisasi
diartikan sebagai satu titik perhatian; meskipun ia terdiri dari beberapa negara yang terpisah dan
dihuni oleh kelompok manusia yang berbeda bangsa, bahasa dan agama. Menyatunya titik
pandang itu karena sudah begitu lancarnya komunikasi dan transportasi hingga jarak tidak lagi
berarti dan lancarnya arus informasi sehingga sekat wilayah dan budaya menjadi kabur
disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Globalisasi ini menyebabkan terjadinya
perubahan dan pergolakan yang besar dalam seluruh segi kehidupan.
Meskipun pada saat ini yang dirasakan paling besar adalah pengaruh dalam bidang ekonomi,
tetapi tetap berpengaruh pada bidang kehidupan yang lainnya. Pengaruh ini bisa dalam bentuk
positif (manfaat) dengan arti menguntungkan kehidupan manusia dan ada pula dalam bentuk
negatif (mudharat) dengan arti merugikan.
Kita tidak mungkin lari dari arus globalisasi , walaupun takut akan terkena mudharat yang
ditimbulkannya. Sikap yang harus dimiliki oleh ummat Islam adalah meraih sebanyak mungkin
manfaat dari globnalisasi dan dalam jangka waktu yang bersamaan mampu menghindari segala
kemungkinan mudharat
Dalam diri manusia ada dua kemungkinan untuk menghadapi arus globalisasi itu, yaitu;
pertama, memiliki kemampuan dan sisi kekuatan serta keterampilan untuk memanfaatkan sisi
positif globalisasi. Kedua, terdapat titik lemah yang menyebabkan manusia tidak mampu
menghadapi dampak negatif tersebut, sehingga globalisasi menjadi sumber malapetaka.
Tindakan yang perlu dilakukan adalah memaksimalkan kemampuan yang ada untuk meraih
sebanyak mungkin kesempatan dan peluang yang terbuka untuk memperoleh unsur positif yang
ada pada globalisasi itu. Di samping itu manusia harus berusaha mneghilangkan titik lemah yang
ada pada dirinya untuk memanimalisir sekecil mungkin dampak negatif globalisasi.

2. Pemikiran-Pemikiran Yang Terjadi Di Era Kontemporer


Sehingga dengan berkembangnya sistem informasi yang terjadi di masyarakat berkembang
pula masalah-masalah yang membutuhkan jawaban hukum agama, dalam pemikiran-pemikiran
yang berkembang di dalam masyarakatpun ikut berkembang sehimgga menimbulkan berbagai
kelompok aliran-aliran ideologis yang beraneka ragam, karena dalam era kontemporer ini
kebebasan berfikir berkembang di masyarakat luas.
2.1 Di antara golongan atau aliran-aliran ideologis ialah.
a). Fundamentalis
Suatu aliran pemikiran fundamental yang model pemikiran sepenuhnya percaya pada
doktrin Islam sebagai satu-satunya alternatif bagi kebangkitan Islam dan manusia. Mereka
biasanya dikenal sangat commited pada aspek kehidupan sehingga tidak memerlukan segala teori
dan metode dari luar, apalagi Barat. Garapan utamanya adalah menghidupkan kembali Islam
sebagai agama, budaya sekaligus peradaban, dengan menyerukan untuk kembali pada sumber
asli (al-Qur’an dan Sunnah) dan mempraktekkan ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan
Rasul dan Khulafa’ al-Rasyidin. Tradisi dan Sunnah Rasul harus dihidupkan kembali dalam
kehidupan modern sebagai bentuk kebangkitan Islam.
b). Tradisionalis (salaf)
Suatu aliran Islam yang berusaha berpegang teguh pada tradisi-tradisi yang telah ada dan
mapan. Dalam hal ini, segala persoalan umat telah diselesaikan secara tuntas oleh para ulama
terdahulu. Berbeda dengan Fundamentalis yang membatasi tradisi yang diterima hanya sampai
pada khulafa’ al-rasyidin, sedangkan tradisionalis melebarkan ajarannya sampai pada salaf al-
shalih, sehingga mereka bisa menerima kitab-kitab klasik sebagai bahan ajarannya. Hasan Hanafi
pernah mengkritik model pemikiran ini. Yaitu, bahwa tradisionalis akan menggiring pada
ekslusifisme, subjektivisme dan diterminisme.
c). Reformis
Dalam aliran reformis ini dimana aliran tersebut berusaha merekonstruksi ulang warisan
budaya Islam dengan cara memberi tafsiran baru. Menurut aliran tersebut, Islam telah
mempunyai tradisi yang bagus dan mapan. Akan tetapi, tradisi ini tidak dapat langsung
diaplikasikan melainkan harus dibangun kembali secara baru dengan kerangka berpikir yang
lebih modern dan prasyarat rasional, sehingga bisa survive dan diterima dalam kehidupan
modern. Oleh karena itu, mereka berbeda dengan tradisionalis yang menjaga dan menerima
tradisi seperti apa adanya.
d). Postradisionalis
Aliran tersebut berusaha mendekonstruksikan warisan Islam berdasarkan standar modern.
Model ini sesungguhnya sama dengan reformis yang menerima tradisi dengan interprestasi baru.
Perbedaannya, postadisionalis ini mempersyaratkan dekonstruktif atas tradisi, bukan sekedar
rekonstruktif, sehingga yang absolut menjadi relatif dan yang ahistoris menjadi histories.
e). Moderinis
Suatu aliran yang hanya mengakui sifat rasional-ilmiah dan menolak kecenderungan
mistik. Karakter utama gerakannya adalah keharusan berpikir kritis dalam soal keagamaan dan
kemasyarakatan. Aliran ini biasanya banyak dipengaruhi cara pandang marxisme. Meski
demikian, aliran tersebut bukan sekuler. Sebaliknya, aliran ini mengkritik sekuler selain salaf.
Menurutnya, kaum sekuler telah bersalah karena berlaku eklektif terhadap Barat.

3. Faktor Yang Mendasari Perbedaan Pemikiran


Sebelumnya telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pemikiran hukum Islam adalah
“koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat,
tentunya ini bersumber dari pemahaman atas titah Allah yang mungkin mengalami
pengembangan dan perubahan.
Dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat, dikatakan bahwa dalam hukum Islam
terdapat wilayah yang tertutup yang tidak menerima perubahan dan dinamika, yakni hukum-
hukum yang telah pasti (qath’i). inilah yang menyebabkan terpeliharanya kesatuan pemikiran
dan perilaku umat. Sedangkan wilayah yang terbuka meliputi hukum-hukum yang tidak pasti
(zanny), baik dari segi sumbernya (qath’I ats-subut) maupun penunjukannya (qath’I al-dalalah),
yang merupakan bagian terbesar dari hukum-hukum fikhi. Wilayah inilah yang menjadi tempat
ijtihad, yang antara lain mengarahkan fikhi atau pemikiran hukum Islam ke dalam dinamika,
perkembangan dan pembaruan.
3.1 Adapun faktor penyebab elastisitas hukum Islam adalah :
Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for Granted segenap hal,
bahkan Dia membiarkan adanya suatu wilayah yang luas tanpa terikat dengan nash. Tujuannya
adalah untuk memberikan keleluasaan, kemudahan dan rahmat bagi makhlukNya.
Sebagian besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang
universal yang tidak mengemukakan berbagai rincian dan bagian-bagianya, kecuali di dalam
perkara yang tidak berubah karena perubahan tempat dan waktu seperti di dalam perkara-perkara
ibadah, pernikahan, thalak, warisan dan lain-lainya. Pada selain perkara-perkara di atas, syariat
Islam cukup menetapkannya secara global
Nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum yang parsial menghadirkan suatu
bentuk mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, baik secara
ketat maupun secara longgar; baik dengan menggunakan harfiah teks maupun memanfaatkan
substansi dan maknanya. Jarang sekali ditemukan teks-teks yang tidak menyebabkan variasi
pemahaman di kalangan para ulama di dalam penentuan makna-maknanya dan menggali hukum-
hukum dari teks-teks tersebut. Semua ini berpulang dari watak bahasa dan berbagai fungsinya.
Di dalam pemanfaatan wilayah-wilayah terbuka dalam penetapan atau penghapusan
hukum Islam terdapat kemungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana ynag beraneka ragam,
yang menyebabkan para mujtahid berbeda pendapat dalam penerimaan dan penentuan batas
penggunaaanya. Disinilah kemudian muncul peranan qiyas, istihsan, urf, istihshab dan lain-lain,
sebagai dalil bagi sesuatu yang tidak ditemukan nashnya.
Adanya prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta
berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau meringankannya.
Hal ini dimaksudkan untuk memudah-kan atau membantu manusia karena kelemahan mereka
dihadapkan berbagai keadaan darurat yang memaksa serta kondisi-kondisi yang yang menekan.
Dari berbagai faktor yang telah dijelaskan, dapat dipahami dengan mudah mengapa
hukum Islam dapat mengakomodir segala bentuk dinamika masyarakat.
Selain faktor diatas, dalam hukum Islam Ulama mengenal adanya kaidah Mulazamah.
Kaidah ini mengatakan, menurut para ulama, bahwa setiap hukum Islam, entah wajib, mustahab,
haram dan makruh, pastilah disebabkan pertimbangan atas suatu maslahat atau untuk menolak
suatu bahaya tertentu. Karena itu, hukum-hukum Islam punya karakteristik sangat bijaksana.
Hukum Islam tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak ada artinya. Ada hubungan yang sangat
erat antara hukum Islam dan akal-suatu hubungan yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain.
Selain itu para ulama juga mengenal kaidah al-ahamm (yang lebih penting) dan al-
Muhimm (yang penting).Artinya, jika seseorang menghadapi dua hukum agama dan tidak
mampu mengamalkan kedua hukum itu secara bersamaan, maka ia wajib memikirkan mana yang
lebih penting dari kedua hukum itu, serta kemudian ia mengorbankan hukum yang lebih sedikit
nilai pentingnya demi hukum yang lebih banyak nilai pentingnya. Perhitungan kaidah al-hamm
dan al-muhimm mengatakan kepada manusia., “lakukanlah shalat qashar dan janganlah engkau
berpuasa ketika kamu dalam perjalanan”. Al-Quran mengatakan: barang siapa di antara kamu
sakit atau sedang berada dalam perjalanan, maka hendaklah ia berpuasa pada hari-hari yang lain
sebanyak bilangan hari puasa yang ia tinggalkan (QS. 2:185). Jika ditanyakan hal ihwal mengapa
demikian, maka ayat tersebut juga berbicara tentang sebabnya itu: Allah menginginkan
kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan bagimu (QS. 2: 185).
Demikianlah hukum Islam menyesuaikan dirinya dengan berbagai macam keadaan.
Hukum Islam karena daya lentur yang terdapat padanya, mampu mengakomodasi perubahan
zaman dan dinamika masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai