Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Sinar-X

a. Pengertian Sinar-X

Sinar-X merupakan salah satu jenis dari gelombang

elektromagnetik yang memiliki panjang gelombang sangat pendek

yaitu hanya 1/10.000 panjang gelombang cahaya yang kelihatan.

Karena panjang gelombangnya yang sangat pendek tersebut,

maka sinar-X dapat menembus benda-benda. Gelombang

elektromagnetik terdiri atas listrik, radio, inframerah, cahaya,

ultraviolet, sinar-X, sinar gamma, dan sinar kosmik (Rasad, 2015).

b. Sifat – sifat Sinar-X

Sinar-X memiliki beberapa sifat fisik, yaitu daya tembus,

pertebaran, penyerapan, efek fotografik, pendar fluor (fluorosensi),

ionisasi, dan efek biologik.

1) Daya tembus

Sinar – X memiliiki kemampuan untuk menembus suatu

bahan dengan daya tembus yang sangat besar, sehingga

sinar – X dimanfaatkan di bidang medik untuk keperluan

diagnosa. Semakin tinggi tegangan tabung yang digunakan,

maka daya tembusnya semakin besar. Semakin

7
8

rendah berat atom atau kepadatan suatu benda, maka

semakin besar daya tembus sinarnya (Rasad, 2015).

2) Pertebaran / hamburan

Apabila berkas sinar – X melalui suatu bahan atau zat,

maka berkas tersebut akan mengalami hamburan ke segala

arah yang dapat menimbulkan radiasi sekunder (radiasi

hambur) pada bahan atau zat yang dilaluinya (Rasad, 2015).

3) Penyerapan

Sinar-X dalam radiografi diserap oleh bahan atau zat

sesuai dengan berat atom atau kepadatan bahan/zat tersebut.

Semakin tinggi kepadatan atau berat atom bahan, maka

semakin besar penyerapannya (Rasad, 2015).

4) Efek fotografik

Sinar-X dapat menghitamkan emulsi film (emulsi perak-

bromida) setelah diproses secara kimiawi (dibangkitkan) di

kamar gelap (Rasad, 2015).

5) Fluorosensi

Sinar-X yang mengenai bahan-bahan tertentu seperti

kalsium-tungstat atau Zink-sulfid mampu membuat bahan

tersebut mengalami pemendaran cahaya, peristiwa ini disebut

dengan luminisensi (Rasad, 2015).


9

6) Ionisasi

Efek primer sinar-X apabila mengenai suatu bahan atau

zat, maka dapat menimbulkan terjadinya ionisasi pada partikel-

partikel suatu bahan atau zat yang dikenainya (Rasad, 2015).

7) Efek biologik

Sinar-X dapat menimbulkan perubahan-perubahan biologik

pada jaringan. Efek biologik ini dipergunakan dalam

pengobatan radioterapi (Rasad, 2015).

c. Terbentuknya Sinar-X

Sinar-X diproduksi dalam tabung hampa udara yang di dalamnya

terdapat filamen sebagai katoda dan target sebagai anoda.

Filamen dipanaskan (lebih dari 20000 C) sampai menyala dengan

mengalirkan listrik yang berasal dari transformator. Karena panas

tersebut, elektron-elektron dari filamen terlepas. Sewaktu

dihubungkan dengan transformator tegangan tinggi, elektron-

elektron dipercepat gerakannya menuju anoda dan dipusatkan ke

alat pemusat (focusing cup). Filamen dibuat relatif negatif terhadap

sasaran (target) dengan memilih potensial tinggi. Awan-awan

elektron mendadak dihentikan pada sasaran (target) sehingga

terbentuk 99% panas dan 1% sinar-X. Pelindung (perisai) timah

akan menceegah keluarnya sinar- X dari tabung, sehingga sinar-X

yang terbentuk hanya dapat keluar melalui jendela. Panas yang


10

tinggi pada target akibat benturan elektron ditiadakan oleh radiator

pendingin (Rasad, 2015).

2. Efek Biologi dari Radiasi Pengion

a. Interaksi Radiasi dengan Materi Biologi

Gangguan kesehatan dalam bentuk apapun yang

merupakan akibat paparan radiasi bermula dari interaksi antara

radiasi pengion dengan sel maupun jaringan tubuh manusia.

Karena interaksi tersebut, maka sel-sel dapat mengalami

perubahan struktur dari struktur normal. Namun sel yang telah

mengalami perubahan struktur tersebut mempunyai kemampuan

untuk melakukan proses perbaikan. Sewaktu proses perbaikan sel

berlangsung, adakalanya seluruh pembawa informasi perbaikan

sel mengalami kerusakan. Jika hal ini terjadi, maka perubahan

struktur gen akan mengakibatkan perubahan karakteristik sel

dalam fungsi kesatuannya sebagai suatu jaringan. Hal inilah yang

kemudian mengakibatkan perubahan fungsi jaringan yang pada

akhirnya dapat muncul dalam bentuk gangguan kesehatan

terhadap tubuh (Akhadi, 2000).

Menurut Akhadi (2000), interaksi antara radiasi dengan

bahan biologi merupakan proses yang berlangsung secara

bertahap. Ada empat tahapan interaksi, yaitu :


11

1) Tahap fisik

Tahap fisik berupa absorbsi energi radiasi pengion yang

menyebabkan terjadinya eksitasi dan ionisasi pada molekul

atau atom penyusun bahan biologi. Proses ini berlangsung

sangat singkat dalam orde 10-16 detik. Karena sel sebagian

besar (70%) tersusun atas air, maka ionisasi awal yang terjadi

di dalam sel adalah terurainya molekul air menjadi ion positif

H2O+ dan e- sebagai ion negatif. Proses ionisasi itu dapat

ditulis dengan :

H2O + radiasi pengion H2O+ + e-

2) Tahap fisikokimia

Atom atau molekul yang tereksitasi atau terionisasi

mengalami reaksi-reaksi sehingga terbentuk radikal bebas

yang tidak stabil. Ion-ion yang terbentuk pada tahap pertama

interaksi akan berinteraksi dengan molekul air lainnya

sehingga menghasilkan beberapa macam produk, diantaranya

radikal bebas yang sangat reaktif dan toksik melalui radiolisis

air. Reaksi kimia yang terjadi dalam tahap kedua interaksi ini,

yaitu :

H2O+ H+ + OH*

H2O + e- H2O-

H2O- OH- + H*
12

Radikal bebas OH* dapat membentuk peroksida (H2O2)

yang bersifat oksidator kuat melalui reaksi sebagai berikut:

OH* + OH* H2O2

3) Tahap Kimia dan Biologi

Pada tahap ini terjadi reaksi antara radikal bebas dan

peroksida dengan molekul organik sel serta inti sel yang terdiri

atas kromosom-kromosom. Reaksi ini akan menyebabkan

terjadinya kerusakan terhadap molekul-molekul dalam sel.

Jenis kerusaknnya bergantung pada jenis molekul yang

bereaksi. Jika reaksi itu terjadi dengan molekul protein, ikatan

rantai panjang molekul akan putus sehingga protein rusak.

Molekul yang putus ini menjadi terbuka dan dapat melakukan

reaksi lainnya. Radikal bebas dan peroksida juga dapat

merusak struktur biokimia molekul enzim sehingga fungsi

enzim terganggu. Kromosom dan molekul DNA di dalamnya

juga dapat dipengaruhi oleh radikal bebas dan peroksida

sehingga terjadi mutasi genetik.

4) Tahap biologis

Ditandai dengan terjadinya tanggapan biologis yang

bervariasi tergantung pada molekul penting mana yang

bereaksi dengan radikal bebas dan peroksida yang terjadi

pada tahap ketiga. Proses ini berlangsung dalam orde

beberapa puluh menit hingga beberapa puluh tahun,


13

bergantung pada tingkat kerusakan sel yang terjadi. Beberapa

akibat dapat muncul karena kerusakan sel, seperti kematian

sel secara langsung, pembelahan sel terhambat atau tertunda

serta terjadinya perubahan permanen pada sel anak setelah

induknya membelah.

b. Efek Stokastik

Menurut Akhadi (2000), efek stokastik berkaitan dengan

paparan radiasi dosis rendah yang dapat muncul pada tubuh

manusia dalam bentuk kanker (kerusakan somatik) atau cacat

pada keturunan (kerusakan genetik). Dalam efek stokastik tidak

dikenal adanya dosis ambang, jadi sekecil apapun dosis radiasi

yang diterima tubuh ada kemungkinan menimbulkan kerusakan sel

somatik maupun sel genetik. Yang dimaksud dosis radiasi rendah

di sini adalah dosis radiasi dari 0,25 µSv sampai 1.000 µSv. Efek

stokastik ini akan muncul pada beberapa anggota kelompok

tersebut secara acak. Tinggi rendahnya dosis yang diterima

kelompok tidak mempengaruhi keparahan efek stokastik yang

muncul baik stokastik maupun genetik, melainkan hanya

berpengaruh pada frekuensi kejadian efek tertentu dalam suatu

kelompok yang terkena penyinaran.

Terdapat empat ciri khas dari efek stokastik, yaitu tidak

mengenal dosis ambang, timbulnya efek setelah melalui masa

tunda yang lama, keparahannya tidak bergantung pada dosis


14

radiasi, dan tidak ada penyembuhaan spontan. Frekuensi

kebolehjadian timbulnya efek stokastik dapat dikurangi dengan

menurunkan penerimaan dosis, tetapi efek stokastik tidak dapat

dihindari sepenuhnya karena diasumsikan efek ini dapat terjadi

pada setiap nilai dosis radiasi sekalipun sangat rendah.

c. Efek Deterministik

Menurut Akhadi (2000), efek deterministik berkaitan

dengan paparan radiasi dosis tinggi yang kemunculannya dapat

langsung dilihat atau dirasakan oleh individu yang terkena radiasi.

Efek tersebut dapat muncul seketika hingga beberapa minggu

setelah penyinaran. Efek ini mengenal adanya dosis ambang. Jadi

hanya radiasi dengan dosis tertentu yang dapat menimbulkan efek

deterministik, radiasi dengan dosis di bawah dosis ambang tidak

akan menimbulkan efek deterministik tertentu. Contoh dari efek

deterministik ini adalah erythema atau kulit memerah karena

terkena paparan radiasi sebesar 3.000-6.000 mSv. Efek

deterministik ini dicirikan oleh hubungan sebab akibat yang bersifat

pasti antara dosis yang diterima (sebab) dengan efek yang

timbulkannya (akibat). Untuk jenis efek tertentu dan untuk individu

tertentu serta pada kondisi penyinaran tertentu, ada harga dosis

ambang tertentu. Efek deterministik termasuk ke dalam kelompok

efek segera dengan masa tunggu pemunculannya bergantung

pada dosis yang diberikan pada suatu sistem biologi


15

bersangkutan. Empat ciri efek deterministik, yaitu memiliki dosis

ambang, umumnya timbul beberapa saat setelah penerimaan

dosis radiasi, dapat dilakukan penyembuhan spontan bergantung

pada tingkat keparahannya, serta keparahan efek deterministik

bergantung pada dosis radiasi yang diterima.

Kemunculan efek deterministik juga ditandai dengan

munculnya keluhan baik umum maupun lokal, namun sulit

dibedakan dengan penyakit-penyakit lainnya. Keluhan umum bisa

berupa nafsu makan berkurang, mual, lesu, lemah, demam,

keringat berlebihan hingga menyebabkan terjadinya shock.

Beberapa saat kemudian muncul timbul keluhan yang lebih

khusus, yaitu nyeri perut, rambut rontok, shock bahkan kematian.

Sedangkan keluhan lokal yang biasanya muncul adalah erythema

atau kulit memerah, pedih, gatal,bengkak, melepuh, memborok,

dan kerontokan rambut kulit. Jumlah limfosit dalam darah segera

berkurang pada jam-jam pertama setelah terjadinya pemaparan

radiasi dosis tinggi. Oleh sebab itu, penurunan jumlah sel darah

putih jenis limfosit ini dapat dipakai sebagai parameter untuk

mengetahui tinggi rendahnya dosis radiasi yang diterima tubuh.

3. Proteksi Radiasi

a. Definisi Proteksi Radiasi

Proteksi radiasi adalah tindakan yang dilakukan untuk

mengurangi pengaruh radiasi yang merusak akibat paparan


16

radiasi. Keselamatan radiasi pengion di bidang medik atau

keselamatan radiasi merupakan tindakan yang dilakukan untuk

melindungi pasien, pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan

hidup dari bahaya radiasi (Indrati dkk, 2017).

b. Tujuan Proteksi Radiasi

Tujuan dari proteksi atau keselamatan radiasi adalah untuk

mencegah terjadinya efek non stokastik (deterministik) yang

membahayakan dan membatasi peluang terjadinya efek stokastik

sampai pada suatu nilai yang dapat diterima oleh masyarakat.

Selain itu, proteksi radiasi bertujuan untuk meyakinkan bahwa

pekerjaan atau kegiatan yang berkaitan dengan penyinaran radiasi

dapat dibenarkan (Indrati dkk, 2017).

c. Prinsip Proteksi Radiasi

Menurut PERKA BAPETEN No 8 tahun 2011, persyaratan

proteksi radiasi meliputi tiga prinsip proteksi radiasi, yaitu

justifikasi, limitasi, dan penerapan optimisasi dan keselamatan

radiasi. Persyaratan proteksi radiasi tersebut harus diterapkan

pada tahap perencanaan, desain, dan penggunaan fasilitas di

instalasi untuk radiologi diagnostik dan intervensional (Indrati dkk,

2017).

1) Justifikasi atau Pembenaran

Justifikasi penggunaan pesawat sinar-X sebagaimana

dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) harus didasarkan pada


17

pertimbangan bahwa manfaat yang diperoleh jauh lebih besar

daripada resiko bahaya yang ditimbulkan. Justifikasi

pemeberian paparan radiasi kepada pasien untuk kperluan

diagnostik intervensional harus diberikan oleh dokter atau

dokter gigi dalam bentuk surat rujukan atau konsultasi (Indrati

dkk, 2017).

2) Limitasi

Prinsip ini menghendaki agar dosis radiasi yang diterima

oleh seseorang dalam menjalankan suatu kegiatan pelayanan

radiologi diagnostik dan intervensional tidak boleh melebihi

nilai batas dosis (NBD) yang ditetapkan oleh instansi

berwenang. Yang dimaksud NBD disini adalah dosis radiasi

yang diterima penyinaran radiasi eksterna dan interna selama

satu tahun tidak tergantung pada laju dosis. Penetapan NBD

ini tidak memperhitungkan penerimaan dosis untuk tujuan

medik dan yang berasal dari radiasi alam (Indrati dkk, 2017).

3) Optimisasi

Penerapan optimisasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) dilaksanakan melalui prinsip optimisasi

proteksi dan keselamatan radiasi yang meliputi, pembatas

dosis untuk pekerja radiasi dan anggota masyarakat, dan

tingkat panduan paparan medik untuk pasien.


18

Optimisasi proteksi mencakup beberapa kegiatan, yaitu

penentuan kondisi radiologi sebelum memulai suatu pekerjaan

yang dapat mengakibatkan paparan radiasi, perencanaan agar

dosis individu maupun kolektif serendah mungkin, dan

mengikuti prosedur baik peralatan maupun prosedur kerja

yang telah disusun dan ditetapkan.

Menurut Akhadi (2000), paparan radiasi yang berasal dari

suatu kegiatan harus ditekan serendah mungkin dengan

mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial. Asas ini juga

disebut dengan ALARA (As Low As Reasonably Acvhieveble).

d. Prinsip Dasar Proteksi Radiasi

Menurut Akhadi (2000), sumber-sumber radiasi yang

berpotensi sebagai sumber radiasi eksternal adalah sumber

pemancar sinar-β, pesawat sinar-X, sumber pemancar sinar-γ,

dan sumber pemancar neutron. Bahaya radiasi dari sumber-

sumber eksternal radiasi ini dapat dikendalikan dengan

mempergunakan tiga prinsip dasar proteksi radiasi, yaitu

pengaturan waktu, pengaturan jarak, dan penggunaan perisai

radiasi.

1) Pengaturan Waktu

Seorang pekerja radiasi yang berada di dalam medan

radiasi akan menerima dosis radiasi yang besarnya sebanding

dengan lamanya pekerja tersebut berada di dalam medan


19

radiasi yang diterimanya, demikian pula sebaliknya. Meskipun

efek biologi bergantung pada laju dosis yang diterima tubuh,

namun untuk tujuan proteksi radiasi jenis pekerjaan dalam

medan radiasi tinggi, waktu penyinaran merupakan faktor

penting dalam membatasi jumlah dosis akumulasi yang

diterima oleh pekerja radiasi (Akhadi, 2000).

2) Pengaturan Jarak

Faktor jarak berkaitan erat dengan fluks (ϕ) radiasi. Fluks

radiasi pada suatu titik akan berkurang berbanding terbalik

dengan kuadrat jarak antara titik tersebut dengan sumber

radiasi. Apabila jarak dijadikan dua kali lebih besar, maka laju

dosisnya berkurang menjadi (1/2)2 atau 1/4 kali semula,

demikian pula jika jaraknya diubah menjadi 3 dan 4 kali

semula, maka laju dosis radiasinya berkurang menjadi (1/3)2

dan (1/4)2 atau 1/16 kali semula. Sebaliknya, jika jarak antara

titik dengan sumber radiasi diperpendek menjadi 1/2 kali

semula, maka laju dosisnya akan bertambah menjadi 4 kali

semula. Demikian pula jika jaraknya diubah menjadi 1/3 dan

1/4 kali semula, maka laju dosisnya bertambah menjadi 9 dan

16 kali semula.

Apabila jarak antara sumber dengan suatu titik sedemikian

dekatnya, misal titik tersebut menempel pada sumber, maka

laju dosis pada titik tersebut sangat besar. Oleh sebab itu,
20

sekecil apapun sumber radiasi, setiap pekerja dilarang

memegang sumber radiasi tersebut secara langsung (Akhadi,

2000).

3) Penggunaan Perisai Radiasi

Seringkali pengaturan waktu dan jarak kerja tidak mampu

menekan penerimaan dosis oleh pekerja dibawah nilai batas

dosis yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, dalam

penanganan sumber-sumber beraktivitas tinggi ini juga

diperlukan perisai radiasi. Sifat dari bahan perisai radiasi ini

harus mampu menyerap energi radiasi (untuk sinar-β atau

melemahkan intensitas radiasi (untuk sinar-X dan sinar-γ)

(Akhadi, 2000).

Menurut Rasad (2015), terdapat dua jenis perisai, yaitu

perisai primer dan sekunder. Perisai primer merupakan perisai

yang memberi proteksi terhadap proteksi radiasi primer

(berkas sinar guna). Tempat tabung sinar-X dan kaca timbal

pada tabir fluoroscopy merupakan perisai primer. Sedangkan

perisai sekunder yaitu perisai yang memberikan proteksi

terhadap radiasi sekunder (sinar bocor dan hambur). Tabir

sarat timbal pada tabir fluoroscopy, pakaian proteksi, kursi

fluoroscopy, dan perisai yang dapat dipindah – pindahkan

merupakan perisai sekunder.


21

4. Alat Pelindung Diri Radiasi

Menurut Rachman (2013), Alat Pelindung Diri (APD) yaitu alat

yang digunakan untuk mencegah cedera dengan melindungi pekerja

mulai dari paparan yang disadari hingga bahaya yang potensial

biasanya digunakan pada tempat-tempat yang berisiko besar dengan

kecelakaan dan gangguan untuk kesehatan pekerjanya (Nisaulilmi,

2017).

Menurut PERKA BAPETEN nomor 8 tahun 2011, perlengkapan

proteksi radiasi yang harus digunakan oleh setiap pekerja radiasi yaitu

peralatan pemantau dosis perorangan dan peralatan protektif radiasi

yang meliputi pelindung ovarium atau pelindung gonad, pelindung

thyroid Pb, sarung tangan Pb, Kacamata Pb, tabir yang dilapisi Pb dan

dilengkapi kaca Pb, dan apron.

a. Pelindung gonad (gonad shield)

Gonad shield adalah alat proteksi diri yang digunakan

untuk melindungi gonad dari paparan radiasi. Alat proteksi ini

harus memiliki bentuk dan ukuran yang sesuai untuk mencegah

paparan radiasi terhadap gonad. Ketebalan pelindung gonad

yang setara dengan 0,2 mm Pb, atau 0,25 mm Pb untuk

penggunaan pesawat sinar-X radiologi diagnostik. Sedangkan

untuk pesawat sinar-X radiologi intervensional ketebalan pelindung

gonad setara dengan 0,35 mm atau 0,5 mm Pb. Tebal kesetaraan


22

Pb harus diberi tanda secara permanen dan jelas pada apron

tersebut. Proteksi ini harus dengan ukuran dan bentuk yang sesuai

untuk mencegah gonad secara keseluruhan dari paparan berkas

utama (PERKA BAPETEN, 2011).

Gambar 2.1. Gonad Shield


(Gammahealth, 2007)

b. Pelindung Thyroid (Thyroid shield)

Thyroid shield merupakan alat proteksi radiasi yang dilapisi

oleh timbal Pb digunakan untuk melindungi bagian sensitif dari

leher yaitu kelenjar thyroid dari paparan radiasi yang berlebih.

Pelindung thyroid yang terbuat dari bahan yang setara

dengan 1 mm Pb (PERKA BAPETEN, 2011).


23

Gambar 2.2. Thyroid shield


(Z&Z Medical, 2017)

c. Sarung Tangan Pb (Lead Gloves)

Sarung tangan Pb adalah alat proteksi diri yang digunakan

untuk melindungi jari dan pergelangan tangan. Sarung tangan

proteksi yang digunakan untuk fluoroscopy harus memberikan

kesetaraan atenuasi paling kurang 0,25 mm Pb pada 150 kV.

Proteksi ini harus dapat melindungi secara keseluruhan, mencakup

jari dan pergelangan (PERKA BAPETEN, 2011).

Gambar 2.3. Sarung tangan timbal (Lead gloves)


(Z&Z Medical, 2017)
24

d. Kacamata Timbal (Lead Glass)

Kacama timbal merupakan kacamata yang terbuat dari

bahan yang setara dengan 1 mm Pb (PERKA BAPETEN, 2011).

Gambar 2.4. Kacamata timbal (Lead glass)


(Z&Z Medical, 2017)
e. Lead Apron

Lead apron adalah baju pelindung yang digunakan oleh

pekerja radiasi. Lead apron digunakan sebagai pelindung atau

penghalang untuk radiasi sekunder secara individu. Ketebalan Pb

pada lead apron menentukan perlindungan yang diberikannya.

Diketahui bahwa 0,25 mm ketebalan Pb pada lead apron, dapat

mengatenuasi 66% radiasi sinar-X pada tegangan tabung 75 kV

dan 1 mm ketebalan Pb dapat mengatenuasi 99% radiasi sinar-X

pada tegangan tabung yang sama (Grover et al, 2002).

Lead apron yaitu suatu celemek timbal yang penting untuk

digunakan sebagai pelindung di ruangan sinar-X. Apron adalah

peralatan yang digunakan sebagai bahan pelindung terhadap

radiasi sinar-X (ICRP, 2011).


25

Menurut PERKA BAPETEN (2011), apron yang setara

dengan 0,2 mm Pb untuk penggunaan pesawat sinar-X radiologi

diagnostik, dan 0,35 mm Pb untuk pesawat sinar-X radiologi

intervensional. Tebal kesetaraan timah hitam harus diberi tanda

secara permanen dan jelas pada apron tersebut.

Gambar 2.5. Lead apron


(Z&Z Medical, 2017)

5. Perawatan dan Pengujian Lead Apron

a. Perawatan Lead Apron

Perawatan terhadap lead apron yaitu dengan tidak melakukan

lipatan dan tidak menggantung ketika menyimpan, menjaga

kebersihan pada lead apron dengan cara menyeka noda sesegera

mungkin menggunakan air dingin dan deterjen ringan atau produk

yang dirancang khusus untuk pembersihan apron

(www.coneinstrument.com).
26

Menurut Lloyd (2001), perawatan lead apron dilakukan dengan

cara membersihkannya selama satu minggu sekali atau jika

diperlukan. Penyimpanan lead apron juga tidak boleh dilipat

maupun ditumpuk dan jangan disimpan dengan sumber yang

panas.

Perawatan lead apron sangat penting dilakukan agar selalu

dalam kondisi yang baik. Kerusakan lead apron dapat terjadi akibat

terjatuhnya lead apron ke lantai, peletakan lead apron di atas

punggung kursi atau digantungkan pada hanger. Semua tindakan

tersebut dapat menyebabkan patahan internal pada timbal lead

apron dan mengurangi fungsinya sebagai pelindung dari paparan

radiasi sekunder. Peletakkan lead apron yang benar adalah

meletakanya pada rak khusus dengan posisi terlentang (Grover

S.B et al, 2002).

Lead apron harus disimpan pada rak apron yang dirancang

khusus. Tata cara peletakkannya adalah tidak boleh dilipat,

dilemparkan di lantai atau menutupi bagian tepi tajam, misalnya :

pintu atau meja pemeriksaan. Lead apron dapat dibersihkan

menggunakan diterjen tanpa pemutih dan direndam dalam air

untuk menghilangkan barium, media kontras, darah, dan betadine

yang menempel di permukaan lead apron (Peakmedical ct Zuliano,

A, 2015).
27

b. Pengujian Lead Apron

Pengujian lead apron dapat dilakukan dengan

menggunakan pesawat sinar-X dan phospor plate storage cassete

(imaging plate) yang berukuran 35 x 35 cm. Pengujian ini

dilakukan dengan meletakkan imaging plate di bawah lead apron,

tepatnya di bagian tengah. Lead apron dieksposi dengan

menggunakan faktor eksposi, yaitu tegangan pesawat sebesar 100

kV, kuat arus sebesar 320 mA, dan waktu 63 ms. Jarak antara

tabung sinar-X dengan lead apron adalah 110 cm. Pada daerah

pinggir imaging plate, diletakkan sebuah penggaris yang nantinya

akan digunakan untuk mengukur panjang retakan maupun

diameter lubang pada lead apron. Skala yang digunakan adalah

milimeter dan centimeter agar hasil pengukuran lebih aktual. Lead

apron yang dinyatakan rusak adalah lead apron yang mengalami

patahan atau retakan mencapai 4 mm atau berlubang dengan

diameter lubang mencapai 2 mm atau luas 3,14 mm2 (Oyar et al,

2012).

Lead apron dapat diuji dengan menggunakan unit fluoroscopy,

yaitu dengan merentangkan lead apron di atas meja pemeriksaan

kemudian difluoroscopy. Jika pada saat pengujian terlihat adanya

patahan atau lubang pada lead apron dengan luas mencapai 15

mm2 dimana patahan atau lubang tersebut terletak di daerah kritis

seperti gonad, maka lead apron tersebut tidak dapat digunakan


28

kembali. Lead apron juga tidak dapat digunakan kembali jika

patahan atau lubang terdapat pada daerah nonkritis dengan luas

mencapai 670 mm2 (Lambert et al, 2001).

1) Pengujian Lead Apron dengan Pesawat Konvensional Tanpa

Fluoroscopy

Menurut KMK nomor 1250 tahun 2009, pengujian alat

pelindung diri dapat dilakukan dengan menggunakan pesawat

sinar-X konvensional dengan frekuensi uji selama satu tahun

sekali ataupun saat diperlukan. Adapun langkah-langkah

pengujiannya adalah sebagai berikut :

a) Periksa secara teliti masing-masing peralatan proteksi

radiasi dari kekusutan dan ketidakrataan/kerusakan.

b) Ambil radiograf dari setiap peralatan proteksi radiasi pada

bagian yang dicurigai mengalami kerusakan.

c) Kemudian lakukan pencucian film dan tentukan bagian

lapisan Pb yang rusak, catat hasil yang di dapat.

2) Pengujian Lead Apron dengan Menggunakan Pesawat

Sinar – X Fluoroscopy

a) Persiapkan peralatan yang akan diuji di atas meja

pemeriksaan.

b) Lakukan uji dengan menggunakan pesawat fluoroscopy.

c) Catat hasil yang didapat.


29

c. Hasil Pengujian Lead Apron

1) Lead apron yang mengalami keretakan dapat mengakibatkan

penurunan kemampuan untuk melindungi dari paparan radiasi

berbahaya. Hasil pengujian lead apron dapat dilihat dari angka-

angka yang tertera dalam satuan cm. Pada gambar 2.6 terlihat

adanya retakan pada 2 titik dengan ukuran pada retakan

pertama sebesar 1 cm dan retakan kedua sebesar 1,2 cm

(Lambert et al, 2001).

Gambar 2.6. Radiograf dari lead apron dengan retakan


(Lambert et al, 2001)

2) Pada gambar 2.7, hasil radiograf menunjukan adanya

beberapa retakan pada lead apron. Ukuran dan skala retakan

lead apron tersebut tertera dalam satuan cm (Lambert et al,

2001).
30

Gambar 2.7. Radiograf dari lead apron dengan retakan multipel


(Lambert et al, 2001)

3) Pada gambar 2.8, hasil radiograf terlihat bahwa terlepasnya

lead di belakang panel apron. Sisi kiri merupakan gambaran

utuh dari lead apron. Area gelap di pojok kanan atas

menggambarkan tidak terdapatnya timbal pada sisi tersebut

dan area terang di sisi pojok kanan bawah menunjukan adanya

beberapa lipatan dari timbal lead apron (Lambert et al, 2001).

Gambar 2.8. Radiograf dari lead apron dengan lepasnya lead pada
bagian belakang panel apron (Lambert et al, 2001)

4) Gambar 2.9, hasil radiograf menunjukan adanya kerusakan

berupa robekan, retakan dan cacat pada lead apron yang diuji.
31

Pada bagian tengah terlihat lebih terang, ini menunjukan

banyaknya lipatan di daerah tersebut. Kemudian pada bagian

samping terdapat banyak retakan. Hal tersebut menunjukan

bahwa lead apron harus diganti (Oyar et al, 2012).

Gambar 2.8. Radiograf dari lead apron dengan retakan dan


kerusakan (Oyar et al, 2012)
32

B. Kerangka Teori

Radiasi sinar-X Efek biologi dari


radiasi pengion

Alat proteksi Keselamatan


radiasi radiasi

Gonad Thyroid Sarung Kacamata Lead


shield shield tangan Pb Pb apron

Tidak ada
kerusakan

Perawatan Pengujian lead apron


lead apron menggunakan sinar-X

Terdapat kerusakan
Layak atau (patahan, retakan,
tidak layak dan lubang)

Bagan 1. Kerangka Teori


33

C. Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana Kondisi fisik lead apron dan thyroid shield di RSUD Dr.

Moewardi?

2. Bagaimana cara penyimpanan lead apron dan thyroid shield di RSUD

Dr. Moewardi?

3. Bagaimana perawatan lead apron dan thyroid shield di RSUD Dr.

Moewardi?

Anda mungkin juga menyukai