Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/320799776

Pembentukan Karakter dan Pemberdayaan Keterampilan Proses Berpikir


Peserta Didik Melalui Penerapan Model Pembelajaran Inovatif

Conference Paper · April 2017

CITATIONS READS

0 550

2 authors:

Mr. Sajidan Afandi Afandi


Universitas Sebelas Maret Tanjungpura University
62 PUBLICATIONS   43 CITATIONS    14 PUBLICATIONS   4 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Developing High Order Thinking Stimulation Model for Pre-Service Teachers' Science Education View project

biology education View project

All content following this page was uploaded by Afandi Afandi on 02 November 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PEMBENTUKAN KARAKTER DAN PEMBERDAYAAN KETERAMPILAN PROSES
BERPIKIR PESERTA DIDIK MELALUI PENERAPAN
MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF

Sajidan1 dan Afandi2


1
Prodi Pendididkan Biologi, S2 Pendidikan Sains, dan S3 Pendidikan IPA
FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
2
Program Doktor S3 Ilmu Pendidikan FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
Email: 1sajidan@fkip.uns.ac.id ,2afandi@fkip.untan.ac.id

ABSTRAK
Dewasa ini, perhatian tentang pentingnya mengajarkan keterampilan berpikir tingkat tinggi
menjadi topik yang menarik bagi banyak kalangan pendidik, peneliti pendidikan dan pemerintah, sebagai
upaya dalam pembentukan karakter peserta didik guna menghadapi pesatnya perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, derasnya arus informasi, dan globalisasi. Keterampilan berpikir tingkat tinggi
mencakup berbagai proses berpikir, seperti: berpikir kritis, logis, kreatif, reflektif, metakognitif dan
pemecahan masalah dalam rangka pengambilan keputusan yang didasarkan pada kerangka pemikiran
rasional. Karakteristik aktivitas mental dari proses berpikir tingkat tinggi tersebut seringkali melibatkan
pemikiran yang kompleks, melibatkan kemandirian dalam proses berpikir dan mampu menghasilkan
berbagai solusi yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Keterampilan berpikir tingkat tinggi
dapat menjadi jembatan penghubung antara tuntutan kebutuhan tenaga kerja dengan lulusan yang
memiliki daya saing kerja dengan dinamika moral dan karakter yang diharapkan menguasai keahlian
berpikir, komunikasi yang kompleks serta pemecahan masalah. Model pembelajaran inovatif dalam mata
pelajaran sains (IPA) diharapkan dapat memberdayakan Higher Order Thinking skills (HOTs) peserta didik,
dan melakukan pembiasaan dalam pembentukan karakter peserta didik, sehingga dapat memilah dan
memilih informasi yang relevan, mampu menyikapi arus informasi dengan arif dan bijak, disiplin, mandiri,
cerdas,kreatif, dan mampu berperan sebagai problem solver.

Kata kunci: pembentukan karakter, HOTs, dan model pembelajaran inovatif.

A. Latar Belakang
Abad 21 yang ditandai dengan transformasi ekonomi global membawa masyarakat
berpengetahuan menuju era informasi dan ekonomi modern (Osman, Hamid & Hasan, 2009).
Proses transformasi ini memunculkan seperangkat indikator sosial dan ekonomi baru yang
menggambarkan perubahan transformasi struktural, perkembangan teknologi dan kompetisi di
pasar kerja (Soh, Arsad, & Osman, 2010). Arus perkembangan teknologi informasi yang semakin
deras misalnya, membawa perubahan orientasi massal pada berbagai sektor kehidupan manusia
seperti munculnya “ledakan informasi”, dimana dunia setiap harinya menghasilkan 2.5 Quntilliun
byte data dalam bentuk film, media cetak, maupun data digital (D’Aurio, 2013). Hal ini memberi
asumsi kuat bahwa setiap orang temasuk peserta didik perlu memilih informasi-informasi yang
relevan dan terpercaya, yang menurut Halpern (2003) menjadi dasar mengapa kemampuan untuk
mengetahui bagaimana cara belajar dan berpikir cerdas dalam memilih arus informasi yang masuk
secara cepat menjadi keterampilan intelektual yang sangat penting pada abad ke-21.
Di tengah ketatnya persaingan, ketidakpastian, peluang, dan tantangan yang dihadapi
peserta didik inilah yang menjadi kerangka mengapa reformasi sistem pendidikan yang mampu
mengakomodir tuntutan kemampuan intelektual peserta didik agar dapat berpikir secara cerdas
dan selektif dalam memilih informasi yang valid dan relevan (Halpern, 2003), dan kompetensi
lulusan yang menguasai keahlian berpikir, komunikasi yang kompleks serta pemecahan masalah
(Hart Research Associates, 2013) menjadi sangat penting sesuai dengan dinamika kebutuhan
global saat ini. Reformasi yang dimaksud bukanlah menyangkut perubahan konten kurikulum,

Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 1


melainkan perubahan pedagogi, yaitu perubahan dalam bertindak dari simple action ke arah
comprehensive action dan peralihan dominasi pengajaran tradisional yang bersifat non-algoritmik
dan menekankan keterampilan berpikir tingkat rendah (LOTs) menuju pembelajaran yang
menekankan keterampilan berpikir tingkat tinggi (HOTs) (Miri, Ben-Chaim, & Zoller, 2007).
Sejumlah laporan nasional di berbagai negara selama lebih dari 25 tahun terakhir
menunjukan bahwa kebutuhan desain pembelajaran untuk meningkatkan proses berpikir tingkat
tinggi, pemecahan masalah, dan menghasilkan solusi dari permasalahan dunia nyata yang
kompleks secara substantial meningkat setiap tahunnya (Halpern, 2003; Zohar, Degani & Vaaknin,
2001; Moseley, Baumfield, Elliott, Gregson, Higgins, Miller & Newton, 2005; Gokhale, 1995). Di
Indonesia, kesadaran pentingnya keterampilan berpikir tingkat tinggi pada hakikatnya termuat
dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 yaitu: berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia kritis, kreatif, dan mandiri. Hal ini berarti bahwa
Sistem Pendidikan Nasional Indonesia sejatinya bertujuan untuk menyediakan lingkungan belajar
yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik guna memperoleh pengetahuan dan
atribut berpikir tingkat tinggi menjadi inti dalam pembelajaran di kelas.
Namun secara faktual, tuntutan sistem pendidikan nasional Indonesia di atas sayangnya
bertolak belakang dengan hasil studi dari berbagai lembaga survai internasional yang melaporkan
bahwa pencapaian pendidikan di Indonesia masih kurang menggembirakan. Indeks kreatifitas
Indonesia hanya sebesar 0.20, atau berada pada urutan ke-115 dari 139 negara yang di survai
(Martin Prosperity Institute, 2015), dan menempatkan Indonesia pada kedudukan paling rendah
di Asia Tenggara (Florida, Mellander, & King, 2015: 30). Hal senada juga dikemukakan The
Learning Curve, sebuah lembaga survai yang bermarkas di London, melaporkan bahwa ‘Global
index of cognitive skills and educational attainment’ Indonesia berada pada posisi z = -1.84 atau
berada pada ranking terendah dari 40 negara yang berpartisipasi (The Learning Curve, 2014).
Interpretasi hasil studi dari berbagai lembaga riset internasional ini hanya satu, yakni diperlukan
penyesuaian terhadap kurikulum dan pengajaran di masa mendatang yang berorientasi pada
bagaimana memberdayakan HOTs bagi peserta didik.
Hasil studi The Program for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2000,
menunjukkan bahwa pada kemampuan literasi sains, posisi Indonesia ranking ke-38 dari 41
negara peserta, tahun 2003 Indonesia berada pada posisi ke-38 dari 40 negara, tahun 2006 posisi
Indonesia ranking ke-50 dari 57 negara, tahun 2009 Indonesia posisi ranking ke-60 dari 65 negara,
Tahun 2012 Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negara dan tahun 2015 menempati urutan
ke-69 dari 75 negara peserta.
Miri, Ben-Chaim, dan Zoller (2007), menyebutkan bahwa, mengarahkan berbagai ide
tentang reformasi pendidikan sains (IPA) yang dikaitkan dengan strategi yang mendukung proses
berpikir tingkat tinggi menempati porsi yang substansial untuk diajarkan di kelas. Hal ini
dikarenakan HOTs merupakan pondasi dalam pembelajaran IPA sesuai hakikatnya, yakni proses
(scientific process), produk (scientific products) dan sikap ilmiah (scientific attitudes). Sebagai
contoh, banyak rahasia alam semesta yang belum terungkap karena keterbatasan manusia. Untuk
dapat mengungkapnya, dibutuhkan rasa ingin tahu (curiousity) yang tinggi dan kemampuan
berpikir logis, kritis, analitis serta keterampilan pemecahan masalah yang keseluruhan
kemampuan tersebut merupakan bagian dari HOTs. Dengan demikian, sesuai hakikatnya,
pembelajaran IPA idealnya mengacu pada kegiatan pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik dapat memberdayakan potensi berpikir mereka secara maksimal.
Meskipun memberdayakan HOTs peserta didik dalam pembelajaran IPA di kelas bukanlah
hal yang mudah, sebab membawa implikasi terhadap penyusunan dan pengimplementasian
rancangan pembelajarannya. Namun demikian, dengan mencermati bagaimana keterkaitan yang
erat antara hakikat pembelajaran IPA dengan sejumlah teori mengenai HOTs, maka dapat ditarik
sebuah benang merah bahwa perlu digagas sebuah model pembelajaran IPA yang mampu
memberdayakan HOTs peserta didik. Hal ini sejalan dengan pendapat King, Goodson, & Rohani
(2006), yang menyebutkan bahwa prasyarat utama yang perlu diperhatikan dalam

Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 2


mengembangkan HOTs terletak pada upaya mengintegrasikan konten materi pembelajaran dan
konteks peserta didik melaui Technological Pedagogical Content Knowledge (TPACK). Oleh karena
itu, dalam mengembangkan model pembelajaran IPA ini akan ditekankan pada integrasi antara
konten materi pembelajaran IPA dengan konteks peserta didik di kelas yang ditunjang oleh basis
teori mengenai HOTs.
B. Hakikat Pembelajaran Sains
Secara sederhana, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) merupakan bagian dari sains yang
mempelajari tentang alam (natural science), sedangkan sains sendiri pada hakekatnya adalah
pencerminan dari metode ilmiah yang merupakan gabungan antara cara berpikir rasional serta
cara berpikir empiris yang membatasi penelaahan keilmuannya pada lingkup yang bersifat
epistemologis keilmuan yang menyaratkan adanya verifikasi secara empiris dalam proses
penemuan atau penyusunan pernyataan yang bersifat benar secara ilmiah (Suriasumantri, 2005).
Terkait dengan proses belajar dan pembelajaran, sesuai dengan hakikatnya, IPA dapat
dipandang sebagai sebuah proses, produk, dan sikap (Carin & Sund, 1989). Pembelajaran IPA
dipandang sebagai proses, artinya keterampilan proses sains pada pembelajaran IPA sebagai cara
untuk memperoleh pengetahuan melalui inkuiri. Produk pembelajaran IPA dapat berupa ilmu
pengetahuan seperti: fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan rumus, sedangkan produk
pembelajaran IPA berupa sikap misalnya berupa nilai-nilai sikap yang terbentuk selama
melakukan proses sains.
Idealnya, pembelajaran IPA mengacu pada proses yang memfasilitasi peserta didik untuk
mempelajari pengetahuan deklaratif berbasis keterampilan berpikir (minds on) dan mempelajari
pengetahuan prosedural dalam mengumpulkan informasi melalui kegiatan ilmiah (hands on)
berbasis keterampilan proses sains sebagaimana para ilmuwan bekerja. Selanjutnya melalui
metode ilmiah diharapkan dapat dikembangkan sikap ilmiah (hearts on) seperti: jujur, teliti, sabar,
dan menghargai pendapat orang lain. Pada akhirnya, pembelajaran IPA hendakya diarahkan pada
metode ilmiah sebagaimana ilmuwan bekerja yaitu menggunakan kegiatan ilmiah (hands on
activity).
Implikasi terpenting dari belajar sains menurut pandangan tersebut adalah belajar sains
bukan hanya mengingat, tetapi lebih luas dari itu yaitu mengalami melaui mengamati, menanya,
mengumpulkan data, menalar dan mengomunikasikan. Menurut National Research Council (
1996) bahwa belajar IPA yang semula berfokus pada pemerolehan informasi, saat ini telah
berubah menjadi berfokus pada pemahaman peserta didik dan penggunaan pengetahuan sains,
pemikiran sains dan proses inkuiri. National Science Teaching Association (2003), lebih lanjut
menyatakan bahwa pembelajaran IPA di kelas mengutamakan pemberian pengalaman langsung
untuk mengembangkan kompetensi agar para peserta didik mampu menjelajahi dan memahami
alam sekitar secara ilmiah. Pembelajaran IPA memfasilitasi pengalaman belajar peserta didik
untuk dapat menggunakan pengetahuan yang sudah dipelajari untuk memahami gejala alam dan
perubahan alam yang terjadi di sekitarnya, merencanakan dan melaksanakan penyelidikan ilmiah,
dan mampu mengembangkan kemampuan bernalar (Nuryani Rustaman, 2008).
Abruscato (1982) mengingatkan bahwa “pemahaman yang berbeda tentang hakikat sains
dapat menyebabkan penekanan aspek-aspek pembelajaran sains di kelas, apakah produk atau
proses dan pemilihan aktivitas pembelajaran”. Aktivitas pembelajaran sains seharusnya
ditekankan kepada “how children learn and not just what the students learn”. Oleh karena itu,
sesuai pandangan konstruktivisme, bahwa inti kegiatan pembelajaran sains adalah memulai
pelajaran dari ”apa yang diketahui peserta didik". Pengajar tidak dapat mengindoktrinasi gagasan
saintifik agar peserta didik mengganti dan memodifikasi gagasannya yang non-saintifik menjadi
pengetahuan saintifik.

C. Konsep Dasar Berpikir Tingkat Tinggi


Tantangan utama dalam mendefinisikan kemampuan berpikir, penalaran, pemikiran kritis,
dan pemecahan masalah yang sering dihadapi oleh peneliti dan praktisi menurut Cuban seringkali

Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 3


berada pada ”rawa konseptual” (Lewis & Smith, 1993) dan wilayah ”taksonomi” atau ”tipologi”
(Haladyna dalam King, Goodson & Rohani, 2006). Beberapa diantaranya menyatakan bahwa
keterampilan berpikir tingkat tinggi sama halnya dengan berpikir kritis (Brierton, 2011), dan yang
lainnya menyatakan bahwa berpikir kritis hanyalah sub keterampilan berpikir tingkat tinggi (Zoller
& Pushkin, 2007).
Meskipun tantangan yang berkaitan dengan mendefinisikan berpikir tingkat tinggi masih
relatif suram, konsepsi yang mendasari berpikir tingkat tinggi sebetulnya telah dijelaskan secara
sistematis oleh Dewey (1933), yang menggambarkannya sebagai rantai urutan peristiwa. Menurut
Dewey, berpikir merupakan proses aktif, persisten, dan penuh kehati-hatian dalam
mempertimbangkan apa yang harus dipercayai dan menekankan pada kesimpulan yang paling
jelas. Proses berpikir produktif ini bergerak dari refleksi ke penyelidikan, kemudian ke proses
berpikir kritis yang pada gilirannya, mendorong pembuktian kesimpulan dengan melibatkan
keyakinan pribadi. Keyakinan pemikiran dapat meluruskan keterlibatan, kejelasan dari
ketidakjelasan, mengatasi kebingungan, menyatukan perbedaan, menjawab pertanyaan,
menentukan masalah, memecahkan masalah, mencapai tujuan, memandu kesimpulan,
mempertajam prediksi, menilai bentuk, mendukung keputusan, dan mengakhiri kontroversi.
Dewey (1933), lebih lanjut menyatakan bahwa proses berpikir bergerak dari refleksi ke
penyelidikan, kemudian ke proses berpikir kritis yang pada gilirannya, mendorong pembuktian
kesimpulan. Pikiran dapat meluruskan keterlibatan, kejelasan dari ketidakjelasan, mengatasi
kebingungan, menyatukan perbedaan, menjawab pertanyaan, menentukan masalah,
memecahkan masalah, mencapai tujuan, memandu kesimpulan, mempertajam prediksi, menilai
bentuk, mendukung keputusan, dan mengakhiri kontroversi. Filsafat instrumentalisme Dewey ini
dibangun berdasarkan asumsi bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman yang bergerak
dan kembali menuju pengalaman. Penyampaian materi dengan praktek langsung di sekolah
menurut Dewey lebih mudah dipahami oleh pebelajar dan sejalan dengan yang dikatakannya
yaitu “Education is life itself”.
Dalam menerapkan konsep pendidikannya, Dewey (dalam McGregor, 2007) menggunakan
5 langkah utama yaitu: (1) proses berpikir untuk mengenali adanya situasi masalah yang tidak
biasa dan sulit dipecahkan (recognize or felt difficulty/problem), (2) mengelompokkan dan
mendefinisikan masalah (location and definition of the problem) melalui proses berfikir kritis,
mencermati permasalahan dan timbul upaya mempertajam masalah sampai pada penetuan
faktor-faktor yang diduga sebagai penyebab timbulnya masalah, (3) mengajukan beberapa
alternatif solusi/pemecahan masalah (suggestion of posible solution); (4) mengembangkan ide
baru dalam pemecahan masalah melalui mengumpulkan data yang rasional (rational elaboration
of an idea); dan (5) melakukan uji dari solusi/ pemecahan masalah dan menggunakannya dalam
menyusun kesimpulan (test and formation of conclusion).
Dari langkah di atas, Dewey berusaha menyusun suatu teori yang logis dan tepat
berdasarkan konsep, pertimbangan, penyimpulan dalam bentuknya yang beraneka ragam, dalam
arti alternatif. Jadi menurut Dewey, kesimpulan penelitian yang dihasilkan haruslah berlaku secara
umum tidak hanya untuk kasus tertentu saja. Kegiatan berpikir tidak terjadi secara spontan tetapi
harus dibangkitkan dengan masalah dan pertanyaan dan beberapa kebingungan, keraguan.
Masalah dan pertanyaan yang muncul membimbing peserta didik melakukan pengamatan dan
memperoleh data untuk menghasilkan sebuah solusi yang secara alami bermuara pada pemikiran
reflektif dan akhirnya mengontrol proses berpikir. Konseptualisasi Dewey ini sejalan dengan
sejumlah hasil diskusi dan penelitian tentang pemecahan masalah dan strategi metakognitif serta
pentingnya mengajar siswa untuk berpikir tentang proses berpikir mereka sendiri (Kauchak &
Eggen, 1998).
Mengacu pada gagasan yang dikemukakan oleh Dewey tentang berpikir reflektif,
Marzano, dkk kemudian menyusun kerangka yang memperlihatkan keterkaitan erat antara
dimensi-dimensi berpikir dan dimensi-dimensi belajar (Marzano, Brandt, Hughes, Jones,
Presseisen, Rankin, & Suhor, 1988; Marzano & Pickering, 1997). Marzano, et al (1998)

Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 4


menyebutkan terdapat 8 proses berpikir, yakni: formasi konsep, formasi prinsip, pemahaman,
pemecahan masalah, membuat keputusan, penelitian, komposisi, dan oral discourse. Lebih lanjut,
Marzano, et al (1998), juga menguraikan inti-inti dalam keterampilan berpikir, yakni: keterampilan
memfokuskan (mendefinisikan masalah dan menentukan tujuan, keterampilan memperoleh
informasi (observasi dan memformulasikan pertanyaan), keterampilan mengingat (encoding dan
recalling), keterampilan mengorgasisasikan (membandingkan, mengklasifikasikan, ordering dan
merepresentasikan), keterampilan menganalisis (mengidentifikasi atribut dan komponen,
menidentifikasi hubungan dan pola, mengidentifikasi ide utama, mengidentifikasi kesalahan),
keterampilan generate (inferensi, prediksi, elaborasi), keterampilan mengintegrasikan
(merangkum dan meresktrukturisasi), dan keterampilan evaluasi (menetapkan kriteria dan
verifikasi).
Marzano & Pickering (1997), menyusun bagaimana dimensi berpikir dapat didorong di
dalam dimensi pembelajaran yang diidentifikasi sebagai berikut: (1) mendorong sikap dan
persepsi positif tentang belajar dalam lingkungan belajar yang mendukung dan aman; (2)
memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan, dengan menekankan pada pengetahuan
prosedural; (3) memperluas dan menyempurnakan pengetahuan melalui pemikiran; (4)
menggunakan pengetahuan dalam tugas-tugas yang bermakna, termasuk analisis sistem dan
tugas-tugas otentik selama periode waktu; (5) membentuk “habits of mind”, yang yang ditandai
dengan perilaku cerdas ketika menghadapi masalah, atau terhadap jawaban yang tidak segera
diketahui (Costa, 2008).
Beberapa ahli kemudian mencoba memberi definisi mengenai keterampilan berpikir
tingkat tinggi secara jelas. Menurut Resnick (1987), keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah
proses berpikir kompleks dalam menguraikan materi, membuat kesimpulan, membangun
representasi, menganalisis dan membangun hubungan dengan melibatkan aktivitas mental yang
paling dasar. Keterampilan berpikir tingkat tinggi juga digunakan untuk menggarisbawahi berbagai
proses mental tingkat tinggi menurut jenjang taksonomi Bloom (Zohar, 2004). Menurut Bloom,
pengetahuan dan pemahaman diklasifikasikan sebagai keterampilan berpikir tingkat rendah yang
penting dalam proses belajar, sedangkan analisis, sintesis dan evaluasi diklasifikasikan sebagai
keterampilan berpikir tingkat tinggi (Zohar, 2004; Teare, 2005).
Menurut Brookhart (2008) bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi dapat dibagi menjadi
3 kategori, yakni: (1) HOT sebagai transfer; (2) HOT sebagai berpikir kritis; dan (3) HOT sebagai
pemecahan masalah. Berpikir tingkat tinggi sebagai sebuah transfer secara umum didasarkan dari
Taxonomy of Educational Objectives, Handbook I: Cognitive Domain (Bloom, Engelhart, Furst, Hill,
& Krathwohl, 1956) yakni: analisis, sintesis dan evaluasi. Taksonomi Bloom ini selanjutnya direvisi
oleh Anderson dan Krathwohl (2001) yang mengklasifikasikan keterampilan berpikir tingkat tinggi,
sebagai analisis, evaluasi; dan mencipta. Taksonomi Anderson dan Krathwohl ini juga memiliki
rangkaian proses yang menunjukkan kompleksitas kognitif dengan menambahkan dimensi
pengetahuan faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif.
HOT sebagai berpikir kritis dapat dipandang secara esensial bahwa HOT merupakan proses
aktif memikirkan berbagai hal secara lebih mendalam melalui pengajuan pertanyaan dan
pernyataan untuk memperoleh informasi yang relevan daripada menerima informasi secara pasif
(Fisher, 2009; Sajidan et al, 2016, Khasanah, Sajidan dan Widoretno, 2017)). Dalam berpikir kritis,
proses mental yang terarah dan jelas digunakan untuk menganalisis asumsi, pelaksanaan
penelitian ilmiah, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah. Facione (dalam McGregor,
2007) menyatakan bahwa inti dari elemen keterampilan berpikir kritis tersebut mencakup
interpretasi, analisis, inferensi, eksplanasi, evaluasi, dan pengaturan diri.
HOT sebagai pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-
metode ilmiah atau secara sistematis, logis, teratur, dan teliti (Muhibbin Syah, 1995). Tujuannya
ialah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara
rasional, lugas dan tuntas. Masalah tersebut, dapat dalam bentuk well-structured problem
ataupun ill-structured problem (Omrod, 2012). Well-structured problem adalah suatu masalah

Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 5


dimana hasil akhir yang diinginkan jelas dinyatakan, semua informasi yang dibutuhkan sudah
tersedia, dan urutan langkah tertentu akan (jika dijalankan benar) mengarah pada solusi yang
tepat. Sedangkan ill-structured problem adalah suatu masalah dimana tujuannya bersifat ambigu,
informasi yang tersedia tidak lengkap, dan tidak ada jaminan untuk mencapai tujuan. Secara
keseluruhan, hubungan antara ketiga aspek dalam berpikir tingkat tinggi dapat dijabarkan pada
gambar 1 dan 2.
Jenjang kognitif Bloom

KARAKTER KUAT
Berpikir kritis DAN-CERDAS /
HOTS

Berpikir pemecahan masalah

Gambar 1. Hubungan antara ketiga aspek keterampilan berpikir tingkat tinggi diadaptasi dari
Brookhart (2008)

Gambar 2. Ilustrasi Roda 21st Century Skills, Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah

D. Model Pembelajaran Inovatif Untuk memberdayakan HOTs dan Karakter


Dewey percaya bahwa setiap orang dilahirkan dengan kemampuan untuk berpikir dan
tugas utama pendidik adalah memfasilitasi pembelajar menjadi pemikir yang efektif dan efisien
melalui proses berpikir yang tepat. Bentuk fasilitasi tersebut dapat dilakukan dengan
menyediakan strategi pengajaran dan lingkungan belajar yang tepat dalam memfasilitasi
pertumbuhan keterampilan berpikir yang lebih tinggi. Meskipun proses berpikir pada prinsipnya
bergantung kepada individu yang sedang berpikir, namun secara konteks memiliki persamaan-
persamaan dari satu situasi ke situasi yang lain.
Beberapa prinsip fundamental dalam mengembangkan program pembelajaran
keterampilan berpikir tingkat tinggi didasarkan atas prinsip bahwa belajar adalah aktivitas yang
sangat individual, dimana tujuan dan tugas-tugas belajar mungkin saja bermakna bagi sebagian
peserta didik, namun dapat juga menjadi tidak bermakna bagi peserta didik yang lain. Menurut
King, Goodson, & Rohani (2006), terdapat 3 langkah yang harus dipahami dalam mengembangkan
Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 6
keterampilan berpikir tingkat tinggi antara lain: (1) prasyarat yang diperlukan dalam mendorong
proses berpikir tingkat tinggi; (2) jembatan penghubung antara LOTs dan HOTs; dan (3) aspek
berpikir tingkat tinggi yang ingin dicapai. Secara rinci, langkah-langkah mengembangkan
keterampilan berpikir tingkat tinggi tersebut dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini:

Tabel 1. Pengembangan Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi


Level 3: Berpikir Tingkat Tinggi
Situasi Keterampilan Luaran
Sejumlah keadaan yang diciptakan Mengaplikasikan sejumlah Hasil dari proses berpikir, tidak
dengan merujuk pada konteks aturan atau dihasikan dari respon hafalan atau
kehidupan nyata mentrasformasikan konsep pengalaman belajar sebelumnya
ambiguitas yang diketahui dalam situasi argumen rencana
tantangan yang ada komposisi prediksi
kebingungan analisis kompleks kesimpulan prioritas
dilema berpikir kreatif konfirmasi masalah
ketidaksesuaian berpikir kritis keputusan produk
keraguan membuat keputusan penemuan rekomendasi
hambatan evaluasi dugaan representasi
paradox berpikir logis penjelasan resolusi
masalah berpikir metakognitif hipotesis hasil
puzzles pemecahan masalah wawasan solusi
pertanyaan berpikir reflektif invensi
ketidakmenentuan eksperimen ilmiah menilai
penemuan ilmiah performa
sintesis
analisis system

Level 2: Jembatan
Keterkaitan Skemata Scaffolding
Dilakukan dengan menggali Jejaring konsep, organisasi, Bimbingan, strukturisasi,
pengetahuan awal untuk dikaitkan representasi untuk representasi visual dan verbal,
kedalam konteks pengetahuan yang mengorganisasi pengetahuan pemodelan berpikir tingkat tinggi
baru baru

Level 1: Prasyarat
Konten dan Konteks Keterampilan berpikir tingkat Sikap dan prilaku
konten mata pelajaran rendah sikap, kemampuan beradaptasi,
istilah-istilah, struktur, strategi,dan, strategi kognitif toleransi terhadap
kesalahan berpikir pemahaman risiko, fleksibilitas, keterbukaan
strategi pengajaran dan klasifikasi konsep gaya kognitif
lingkungan belajar diskriminasi habit of mind
menggunakan aturan rutin multiple intelligences
analisis sederhana
aplikasi sederhaa
(diadaptasi dari King, Goodson, & Rohani, 2006)
Prasyarat yang perlu diperhatikan dalam mengembangan keterampilan berpikir tingkat
tinggi terletak pada konten materi pembelajaran dan konteks peserta didik di kelas. Jembatan
penghubung proses berpikir tingkat rendah menuju berpikir tingkat tinggi tersebut terletak pada
membangun skemata dari pengetahuan awal yang telah diperoleh sebelumnya dengan konten
informasi baru yang akan diajarkan sesuai pandangan Piaget tentang restrukturisasi informasi.
Ketika prasyarat telah terpenuhi dan jembatan pengubung antara berpikir tingkat rendah dan
berpikir tingkat tinggi telah ditetapkan, maka pengajar perlu mempersiapkan sebuah situasi nyata

Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 7


yang dapat menstimulasi proses berpikir tingkat tinggi dengan menciptakan dilema, kebingungan,
tantangan dan ambiguitas dari permasalahan yang direncanakan akan dihadapi peserta didik
(King, Goodson, & Rohani, 2006). Pengajar juga perlu menetapkan keterampilan apa yang
mungkin akan digunakan peserta didik dalam menghadapi permasalahan yang disajikan. Dengan
demikian, dapat ditentukan luaran dari proses berpikir yang diharapkan dari peserta didik.
Proses pengajaran berpikir sepenuhnya didasarkan pada pendekatan-pendekatan yang
dapat menggambarkan proses berpikir secara mental. Program pembelajaran berpikir seperti:
Cognitive Acceleration Through Science Education (CASE) yang dikembangkan oleh Adey & Shayer
(1994, 2002), Thinking Skills Through Science (TTST) yang dikembangkan oleh Duncan, et. al
(2004), secara umum bertujuan untuk mengembangkan proses dan makna berpikir dalam sebuah
domain sains secara spesifik dengan mendorong kapabilitas pemrosesan informasi dari tahap
konkret menuju abstrak, mendorong penalaran, dan menyediakan material pembelajaran yang
memungkinkan terjadinya peningkatan kapasitas berpikir. Menurut sejumlah model pembelajaran
berpikir tersebut, faktor utama yang berperan dalam perkembangan kapabilitas berpikir tingkat
tinggi terletak pada suasana kelas yang berpusat pada peserta didik (student centered classroom).
Adanya keterbukaan dalam mengekspresikan ide, tersedianya pemodelan aktif dalam proses
berpikir, dan tingginya motivasi siswa dalam belajar, menjadi indikasi berkembangnya proses
berpikir tingkat tinggi. Perlu dicermati bahwa proses berpikir tingkat tinggi tidak dapat begitu saja
diajarkan kepada peserta didik. Proses berpikir tingkat tinggi perlu dilatihkan secara terus
menerus, baik secara implicit maupun secara eksplisit.
Selain melatih proses berpikir secara mendalam, sejumlah model pembelajaran yang
dapat memberdayakan HOTs, sesungguhnya dapat melatih pembentukan karakter peserta didik
terutama karakter dalam prilaku berpikir (habits of mind). Pembentukan karakter ini terkait erat
dengan filosofi Dewey tentang bagaimana mendidik anak-anak sehingga menjadi anggota yang
produktif dari masyarakat yang demokratis (Nucci & Narvaez, 2014). Dalam hal ini, Dewey
menekankan pada pengalaman, eksperimen, eksplorasi dan kebebasan dalam pendidikan. Dewey
melihat bahwa pendidikan sebagai metode ilmiah bagi individu untuk mempelajari dunia,
membangun kembali pengetahuan, makna dan nilai, serta menggunakannya sebagai data untuk
studi kritis dan kehidupan yang cerdas (Nucci & Narvaez, 2014). Untuk memperjelas bagaimana
pemberdayaan HOTs memiliki nurturant effect terhadap pembentukan karakter prilaku berpikir,
Marzano & Pickering (1997) menjabarkannya sebagai berikut:
Tabel 2. Dimensi-Dimensi Belajar Marzano
Dimensi belajar Peran Guru dalam Dimensi Belajar Parameter
Sikap dan persepsi Membantu siswa mengembangkan sikap dan persepsi positip Membentuk
tentang iklim belajar di kelas karakter peserta
Membantu siswa mengembangkan sikap dan persepsi positip didik
tentang tugas-tugas belajar di kelas
Habits of minds Membantu siswa mengembangkan prilaku berpikir produktif Membentuk
(Prilaku berpikir) Mendorong dimensi-dimensi prilaku berpikir karakter prilaku
berpikir

E. Referensi
Abruscato. (1982). Teaching children science. New Jersey: Printice-Hall, Inc
Adey, P & Shayer, M. (1994). Really raising standards. London: Routlegde
Adey, P & Shayer, M. (2002). Learning intelligence: Cognitive acceleration across the curriculum
from 5 years. Buckingham: Open university press
Anderson, W. L & Krathwohl. R. D. (2001). A taxonomy for learning, teaching and assesing: A
revision of bloom’s taxonomy of educational objectives. New York: Addison Wesley
Longman, Inc
Bloom, S. B., Engelhart, D. M., Furst, J. E., Hill, H. W., & Krathwohl, R. D. (1956). Taxonomy of
educational objectives, book I: Cognitive domain. New York: David McKay Company, Inc

Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 8


Brierton, S. B. 2011. Higher order thinking skills as demonstrated in synchronous and
asynchronous online college discussion posts. Dissertation: North Carolina State
University (Published). http://www.repository.lib.ncsu.edu/ diakses tanggal 05 januari
2015.
Brookhart, S. M. (2010). Assess high order thinking skills in your classroom. Virginia: ASCD
Carin, A. A., & Sund, R. B. (1989). Teaching science through discovery. Columbus: Charles E.
Merrill Publishing Company
Costa, L. A. (2008). Describing the habits of mind. In L. A. Costa., & B. Kallick. (Eds.), Learning and
leading with habits of mind; 16 essential characteristics for success (pp. 15-41). USA:
Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD)
D’Aurio, B. (2013). Introduction the flowscore: a digital ecosystem analytics framework (online).
www.thinkinc.com diakses 10 januari 2017
Dewey, J. (1933). How we think: A restatement of the relation of reflective thinking to the
educative process. Boston: D. C. Heath and Company.
Duncan, S., McNieven, D., & Savory, C. (2004). Thinking skills through science. Cambridge: Chris
Kington
Fisher, A. (2009). Berfikir kritis: Sebuah pengantar. Jakarta: Erlangga
Florida, R., Mellander, C., & King, K. (2015). The Global Creativity Index 2015. London: Rottman
Publisher
Gokhale, A. A. (1995). Collaborative learning enhances critical thinking [Online]. Journal of
Technology Education, 7 (1). http://scholar.lib.vt.edu.sci-
hub.org/ejournals/JTE/v7n1/gokhale.jte-v7n1.html?ref=Sawos.Org diakses tanggal 1
Januari 2017
Halpern, D. F. (2003). Thought and knowledge: An introduction to critical thinking(4nd Edition).
New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher
Hart Research Associates. (2013). It takes more than a major: Employer priorities for college
learning and student successfor teaching and learning. New York: Cambridge University
Press
Kauchak, D. P, & Eggen, P. D. (1998). Learning and teaching: research based method (3nd Edition).
Boston: Allyn and Bacon.
Khasanah, A.N., Sajidan, Widoretno,S., 2017, Effectiveness Of Critical Thinking Indicator-Based
Module In Empowering Student’s Learning Outcome In Respiratory System Study
Material, Jurnal Pendididkan IPA Indonesia, UNNES Semarang
King, F. J., Goodson, L., & Rohani. (2006). Higher order thinking skills. Center for Advancement of
Learning and Assessment
Lewis, A., & Smith, D. (1993). Defining high order thinking. Theory Into Practice, 32 (3): 131-137
Martin Prosperity Institute. (2015). The global creativity index 2015.
http://martinprosperity.org/content/the-global-creativity-index-2015/. Diakses 1 Januari
2017
Marzano, R. J., Brandt, R. S., Hughes, C. S., Jones, B. F., Presseisen, C. S., Rankin, S. C., & Suhor, C.
(1988). Dimensions of thinking: A framework for curriculum and instruction. Alexandria,
VA: Association for Supervision and Curriculum Development.
Marzano, R. J., & Pickering, D. J. (1997). Dimensions of learning. Colorado: Association for
Supervision and Curriculum Development.
McGregor, D. (2007). Developing thinking; developing learning: A Guide to developing thinking in
education. New York: Open University Press
Miri, B., Ben-Chaim, D & Zoller, U. (2007). Purposely teaching for the promotion of higher-order
thinking skills: A case of critical thinking. Res Sci Educ 37: 353–369
Moseley, D., Baumfield, V., Elliot, J., Gregson, M., Higgins, S., Miller, J., & Newton, D. (2005).
Frameworks for thinking: A handbook Osman, K., Hamid, S., & Hasan, A. (2009).

Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 9


Standard setting: inserting domain of the 21st century thinking skills into the existing
science curriculum in Malaysia. Procedia Social and Behavioral Sciences 1: 2573–2577
Muhibbin Syah. (1995). Psikologi pendidikan: Suatu pendekatan baru. Bandung: Rosdakarya Offset
National Research Council. (1996). National science education standards. Washigton, D.C:
National Academic Press
National Science Teacher Association. (2003). Standards for science teacher preparation.
http://www.nsta.org/pdfs/NSTAstandards2003.pdf diakses 14 Juni 2016
Nucci, P. L., & Larry, D. (2014). Handbook of Moral and Character. New York: Routledge
Nuryani Rustaman. (2008).Trend penilaian IPA di masa depan; inovasi penilaian hasil belajar
dalam IPA. Bandung: UPI. http://www.p4tkipa.org/jurnal/index.htmldiakses 10 Januari
2016
Omrod, J. E. (2012). Human learning. (7nd Edition). USA: Pearson Education, Inc.
Osman, K., Hamid, S., & Hasan, A. (2009). Standard setting: inserting domain of the 21 st century
thinking skills into the existing science curriculum in Malaysia. Procedia Social and
Behavioral Sciences 1: 2573–2577
PISA. (2009). What student know and can do: Student performance in reading, mathematics and
science (Volume 1). OECD
Resnick, B. L. (1989). Education and learning to think. Washington. D.C: National Academic Press
Sajidan, Widoretno,S., Ramli,M, dan Ariyanto,J, 2016, Kualitas Pertanyaan dan Pernyataan Guru
Dan Peserta Didik Sebagai Indikator Proses Berpikir Pada Pembelajaran Biologi Di SMA
Surakarta, Laporan Penelitian PUPT, LPPM UNS http://journal.unnes.ac.id/index.php/jpii
Soh, T., Asyad, N., & Osman, K. (2010). The relationship of 21 st century skills on students’ attitude
and perception towards physics. Procedia Social and Behavioral Sciences 7(C): 546–554
Suriasumantri Jujun S. (2005). Filsafat ilmu: sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Teare, B. (2005). Effective resources for able & talented children. New York: Continuum
International Publishing Group
The Learning Curve. (2014). Index - Which countries have the best
schools?http://thelearningcurve.pearson.com/index/index-ranking. diakses 5 januari
2017
Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bab
1 Pasal 1 Ayat 20[Online]. www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf. diakses 10 Maret
2015
Zohar, A. (2004). Higher order thinking in science classroom: Students’ learning and teachers’
professional development. UK: Springer-Science + Business Media B.V
Zohar, A., Degani, A & Vaaknin, E. (2001). Teachers' beliefs about low-achieving students and
higher order thinking. Teaching and Teacher Education, 17, 469-485
Zoller, U., & Pushkin, D. (2007). Matching higher-order cognitive skills (HOCS) promotion goals
with problem-based laboratory practice in a freshman organic chemistry course.
Chemistry Education Research and Practice, 8 (2): 153-171

Seminar Nasional Pendidikan Sains II UKSW 2017 10

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai