Disusun oleh:
Bella Saputri (2016.02.049)
Garindra Indrayana (2016.02.056)
Igo Tutuarima (2016.02.057)
Muhammad Fanani (2016.02.063)
Muzayyinatul Azizah (2016.02.064)
Rima Ambarwati (2016.02.072)
Risa Oktavianti (2016.02.073)
Sintia Taubatul Fitri (2016.02.076)
Untari Fiona Marjaid (2016.02.080)
Yulita Nur Amini (2016.02.042)
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Halaman judul
Kata Pengantar ....................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan ..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ...........................................................................................2
BAB II Pembahasan ..........................................................................................3
2.1 Anatomi Dan Fisiologi Kulit ......................................................................3
2.1.1 Anatomi Kulit .....................................................................................3
2.1.2 Fisiologi Kulit .....................................................................................6
2.2 Konsep Teori Luka .....................................................................................9
2.2.1 Definisi Luka ......................................................................................9
2.2.2 Klasifikasi Luka ..................................................................................10
2.2.3 Tahapan Penyembuhan Luka ..............................................................12
2.2.4 Tipe Penyembuhan Luka ....................................................................13
2.2.5 Pengkajian Luka ..................................................................................13
2.2.6 Persiapan Dasar Luka..........................................................................15
2.2.7 Faktor-faktor yang Menghambat Proses Penyembuhan Luka ............16
2.3 Proses Penyembuhan Luka Menggunakan Madu ...................................17
2.3.1 Sifat zat yang terkandung dalam madu ...............................................17
2.3.2 Manfaat madu untuk luka ...................................................................19
2.3.3 Cara menggunakan madu saat perawatan luka ...................................20
BAB III Penutup ...............................................................................................21
3.1 Kesimpulan ............................................................................................21
3.2 Saran ......................................................................................................21
Daftar Pustaka
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka pada kulit sering terjadi dan dapat dialami oleh setiap individu. Luka
merupakan salah satu proses kerusakan atau hilangnya komponen jaringan secara
spesifik yang terjadi mengenai bagian tubuh tertentu. Tergantung dari tingkat
keparahan, luka dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang relatif
tinggi. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan prevalensi pasien
dengan luka adalah 3,5% per 100 populasi penduduk. Mayoritas luka pada
penduduk dunia adalah luka karena pembedahan/trauma 48%, ulkus kaki 28% dan
luka dekubitus 21% (Diligence, 2009).
Luka dapat digambarkan sebagai gangguan dalam kontinuitas sel-sel diikuti
dengan penyembuhan luka yang merupakan pemulihan kontinuitas tersebut. Salah
satu jenis luka adalah luka sayat yang dapat disebabkan oleh pisau dan benda
tajam, mungkin disengaja seperti insisi bedah ataupun kecelakaan yang tidak
diharapkan (Wibisono, 2007). Luka sayat (Vulnus scissum) adalah salah satu jenis
trauma yang sering terjadi, karena kulit sebagai organ tubuh yang terletak paling
luar dan terbesar berfungsi sebagai pelindung tubuh (Monaco, 2003).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyembuhkan luka, misalnya dengan
pemberian antibiotik dan povidone iodine. Menurut beberapa penelitian,
pemberian antibiotik sering digunakan untuk menyembuhkan luka, menghambat
pertumbuhan mikroorganisme disekitar luka, membersihkan luka dan menutup
luka. Ternyata hal itu kurang efektif untuk membantu proses penyembuhan luka.
Demikian juga larutan povidone iodine yang sering digunakan untuk
menyembuhkan luka, membersihkan luka, dan menutup luka ternyata kurang
efektif juga untuk membantu proses penyembuhan luka (Kramer, 1999). Pada saat
ini banyak masyarakat yang menggunakan obat-obat herbal sebagai salah satu
pilihan untuk mengobati luka, yaitu propolis dan madu.
Propolis merupakan bahan alami yang dikumpulkan oleh lebah spesies Apis
mellifera dari berbagai tanaman, dicampur dengan enzim liur, dan digunakan
sebagai perekat untuk membangun serta membersihkan sarangnya (Marghitas, et
al., 2013).
2
Lebih dari 180 senyawa fitokimia ada dalam propolis, diantaranya adalah
flavonoid, polifenol, caffeic acid phenethyl ester (CAPE). Zat-zat ini terbukti
memiliki berbagai sifat anti inflamasi, anti mikroba, anti alergi, anti histamin
(Park, 2002). CAPE dan flavonoid berperan dalam menghambat jalur
siklooksigenase dan lipooksigenase dari metabolisme arakhidonat (Song, 2008).
Pengobatan dengan menggunakan madu sudah dilakukan oleh tentara Rusia
sejak Perang Dunia I untuk mencegah infeksi luka dan mempercepat
penyembuhan luka (Angela M, 2002). Beberapa faktor yang terkandung di dalam
madu dapat bertanggungjawab terhadap aktivitas antibakteri. Madu mengandung
kadar gula yang tinggi sehingga bakteri tidak dapat hidup dan berkembang. Madu
memiliki tingkat keasaman yang tinggi sehingga mengurangi pertumbuhan dan
daya hidup bakteri. Madu mengandung senyawa radikal hidrogen peroksida
(H2O2) yang dapat membunuh mikroorganisme patogen. Madu mengandung
senyawa organik yang bersifat antibakteri (Kamaruddin, 2002).
Potensi antiinflamasi dari propolis dan madu ini diduga dapat mengurangi
kerusakan akibat luka sayat, sehingga dapat berefek baik terhadap penyembuhan
luka. Berdasarkan analisis paparan data di atas, penggunaan madu dalam proses
penyembuhan luka menarik untuk dipelajari. Oleh karena itu, penyusun akan
membahas penggunaan madu dalam perawatan dan proses penyembuhan luka.
BAB II
PEMBAHASAN
Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah
epidermis yang merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang
merupakan suatu lapisan jaringan ikat.
4
a. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel
berlapis bertanduk yang mengandung sel melanosit, Langerhans,
merkel dan keratinosit. Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin
melalui proses melanogenesis (Junqueira dan Carneiro, 2007). Sel
Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum
tulang yang merangsang sel Limfosit T. Sel Langerhans juga mengikat,
mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel Limfosit T
(Djuanda, 2007). Dengan demikian, sel Langerhans berperan penting
dalam imunologi kulit (Junqueira dan Carneiro, 2007). Sel Merkel,
yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan
berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus (Tortora dkk.,
2006). Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan paling luar hingga
paling dalam.
Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh,
paling tebal terdapat pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis
hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Epidermis terdiri atas
lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) yaitu
stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum
spinosum dan stratum basale (stratum Germinatum) (Perdanakusuma,
2007).
1) Stratum basal (stratum germinativum), terdiri atas selapis sel
kuboid atau silindris basofilik yang terletak di atas lamina
basalis pada perbatasan epidermis-dermis
2) Stratum spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid, atau agak gepeng
dengan inti ditengah dan sitoplasma dengan cabang-cabang
yang terisi berkas filament
3) Stratum granulosum, terdiri atas 3−5 lapis sel poligonal gepeng
yang sitoplasmanya berisikan granul basofilik kasar
4) Stratum lusidum, tampak lebih jelas pada kulit tebal, lapisan ini
bersifat translusens dan terdiri atas lapisan tipis sel epidermis
eosinofilik yang sangat gepeng
5
5) Stratum korneum, lapisan ini terdiri atas 15−20 lapis sel gepeng
berkeratin tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi
skleroprotein filamentosa birefringen, yakni keratin (Junqueira,
2007).
b. Dermis
Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan,
dermis terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut
kolagen menebal dan sintesa kolagen akan berkurang seiring dengan
bertambahnya usia. Sedangkan serabut elastin terus meningkat dan
menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali
dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan saling
bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin akan berkurang
mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya dan tampak
berkeriput (Perdanakusuma, 2007).
Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar
keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung
pembuluh darah dan ujung saraf dan sebagian serabut lemak yang
terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (Tranggono dan Latifah,
2007).
Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu
stratum papilare dan stratum reticular.
1) Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila
dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar. Pada stratum ini
didapati fibroblast, sel mast, makrofag, dan leukosit yang keluar
dari pembuluh (ekstravasasi).
2) Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum papilare dan
tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama kolagen
tipe I) (Harien, 2010).
Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung beberapa
turunan epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar
sebacea (Djuanda, 2007). Pada bagian bawah dermis, terdapat suatu
jaringan ikat longgar yang disebut jaringan subkutan dan mengandung
6
sel lemak yang bervariasi. Jaringan ini disebut juga fasia superficial,
atau panikulus adiposus (Junqueiradan Carneiro, 2007).
c. Subkutan
Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri
dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang
menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya.
Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah tubuh dan keadaan
nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk
regenerasi (Perdanakusuma, 2007).
kondisi luka harus dipertahankan pada kondisi lembab, dan menjaga suhu
luka tetap konstan dengan cara: hindarkan luka terpapar suhu dingin, produk,
obat-obatan, terapi atau perangkat, gunakan solusion pembersihan luka pada
suhu tubuh, hindari suhu ekstrim pada kulit. Kondisi lain yang harus
diperhatikan dan di jaga adalah: PH, resiko infeksi.
Melindungi luka menjadi bagian yang penting yang dapat dilakukan
dengan cara menghindari pembersihan luka agresif kecuali tujuan perawatan
adalah debridement, hindari penggunaan produk, obat-obatan, perangkat dan
intervensi yang mengeringkan atau menimbulkan trauma pada dasar luka atau
kulit di sekitarnya, hindari penggunaan agen beracun atau allergen, lindungi
luka dan area ping dari trauma dan maserasi. Pemilihan dressing adalah
bagian terpenting yang bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan.
Menggunakan dressing pada luka harus sesuai petunjuk atau indikasi yang
disetujui oleh Administrasi Barang dari produk, atau digunakan sebagai
komponen protokol penelitian dengan persetujuan etis yang tepat (AWMA,
2010).
dan bila luka mengalami infeksi harus diberikan topical anti mikobakterial
atau pemberian antibiotic secara sistemik, sehingga bakteri pada luka dapat
dikurangi. Tahap ketiga adalah menjaga kelembaban pada luka dengan
memilih topical terapi sesuai dengan kondisi luka untuk menghindari edema
berlebihan, maserasi, atau luka mengalami dehiderasi. Tahap terakhir adalah
memperbaiki jaringan tepi luka untuk meningkatkan pertumbuhan
keratinocytes (Fletcher, 2005).
Persiapan dasar luka dengan menggunakan konsep TIME, juga harus
melihat warna dasar luka untuk melakukan langkah-langkah persiapan dasar
luka dengan metode TIME. Warna dasar luka merah atau red menunjukkan
luka memiliki sirkulasi yang baik sehingga perawatannya cukup dengan
mempertaahankan kelembaban luka. Warna dasar luka kuning atau yellow
merupakan luka dengan penurunan perfusi sehingga jaringan menjadi
iskhemikdan infark. Tujuan perawatan yang dapat dilakukan adalah
mengatasi eksudat, dan mengangkat jaringan berwarna kuning (slough)
dengan debridement. Dasar luka berwarna hitam atau black adalah luka yang
telah nekrotik. Tujuan dari perawatan luka hitam adalah mengangkat jaringan
hitam dengan debridement untuk memperbaiki sirkulasi ke seluruh
permukaan luka (Poerwantoro, 2013).
luka, kelembaban luka, suhu dan PH luka, infeksi, tekanan, gesekan, tarikan,
dan benda asing.
Luka diabetik dengan terdapat slough dan Luka sembuh setelah menggunakan madu
nanah murni
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manfaat madu dari zat dan sifat yang terkandung didalamnya sangatlah efektif
dan ekonomis untuk perawatan luka. Hal ini berkorelasi dengan Indonesia yang
memiliki beragam jenis madu. Di beberapa rumah sakit di Indonesia, madu telah
digunakan sebagai terapi topikal, tetapi sampai saat ini belum semua madu di teliti
secara klinis dan laboratorium yang melaporkan bahwa madu Indonesia efektif
pada perawatan luka.
3.2 Saran
Untuk ke depannya perlu kiranya dilakukan penelitian terhadap berbagai
madu yang terdapat di Indonesia, sehingga akan dapat digunakan sebagai
alternatif perawatan luka yang ekonomis, aman, mudah di dapat dan mudah
digunakan oleh tenaga kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Abuharfeil N., R. Al-Oran and M. Abo-Sheheda, 1999. The effect of bee honey on
the proliferative activity of human B and T lymphocytes and the activity of
phagocytes. Food Agric. Immunol., 11:169-177.
Aljady A.M, M.Y. Kamaruddin, A.M. Jamal, M.Y. Mohd. Yassim, 2000.
Biochemical study on the efficacy of malaysian honey on inflicted wounds: an
animal model. Medi. Journal of Islamic Academy Sciences.,13:3, 125-132.
Australian Wound management Association Inc. 2010. Bacterial Impact on
Wound Healing: From contamination to infection.
http://www.awma.com.au/publication/2011_bacterial_impact_position_1.5.pdf
2011. sitasi pada tanggal 5 Januari 2019 pukul 15.00 WIB.
Cooper RA, Molan PC, Harding KG. 1999. Antibacterial activity of honey against
strain of Staphylococcus aureus from infected wounds. J Roy Soc Med.,
92:283-285.
Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.
Efem SEE and C.I. Iwara, 1992.The antimicrobial spectrum of honey and its
clinical significance. Infection.,20:227-229.
Efem SEE, 1998. Clinical observation on the wound healing properties of honey.
Br J. Surg., 75:679-681.
Evan J, Flavin S. 2008. Honey: a guide for healthcare professionals. Br J Nurs
17(15):S24, S26, S28-30
Gethin GT, Seamus C and Ronan MC. 2008. The impact of manuka honey
dressing on the surface pH of chronic wounds. Int Wound J., 5:185-194.
Junqueira, L.C., J. Carneiro, R.O. 2007. Histologi Dasar. Edisi ke-5. Tambayong
J., penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Basic Histology.
Molan PC, 2001. Potential of honey in the treatment of wounds and burn,
Am.J.Clin.Dermatol., 2 (1): 13-19.