Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

INOVASI PENGGUNAAN MADU DALAM


PERAWATAN DAN PROSES PENYEMBUHAN LUKA
Disusun untuk memenuhi tugas Sistem Integumen yang diampu oleh
Ns. Ukhtul Izzah, S. Kep., M. Kep, CWCS

Disusun oleh:
Bella Saputri (2016.02.049)
Garindra Indrayana (2016.02.056)
Igo Tutuarima (2016.02.057)
Muhammad Fanani (2016.02.063)
Muzayyinatul Azizah (2016.02.064)
Rima Ambarwati (2016.02.072)
Risa Oktavianti (2016.02.073)
Sintia Taubatul Fitri (2016.02.076)
Untari Fiona Marjaid (2016.02.080)
Yulita Nur Amini (2016.02.042)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI
BANYUWANGI
2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Inovasi Penggunaan Madu Dalam
Perawatan Dan Proses Penyembuhan Luka” ini tepat pada waktunya.
Makalah ini telah kami susun dengan bantuan berbagai pihak. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca
supaya kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inspirasi terhadap pembaca.
Banyuwangi, Januari 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI
Halaman judul
Kata Pengantar ....................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan ..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ...........................................................................................2
BAB II Pembahasan ..........................................................................................3
2.1 Anatomi Dan Fisiologi Kulit ......................................................................3
2.1.1 Anatomi Kulit .....................................................................................3
2.1.2 Fisiologi Kulit .....................................................................................6
2.2 Konsep Teori Luka .....................................................................................9
2.2.1 Definisi Luka ......................................................................................9
2.2.2 Klasifikasi Luka ..................................................................................10
2.2.3 Tahapan Penyembuhan Luka ..............................................................12
2.2.4 Tipe Penyembuhan Luka ....................................................................13
2.2.5 Pengkajian Luka ..................................................................................13
2.2.6 Persiapan Dasar Luka..........................................................................15
2.2.7 Faktor-faktor yang Menghambat Proses Penyembuhan Luka ............16
2.3 Proses Penyembuhan Luka Menggunakan Madu ...................................17
2.3.1 Sifat zat yang terkandung dalam madu ...............................................17
2.3.2 Manfaat madu untuk luka ...................................................................19
2.3.3 Cara menggunakan madu saat perawatan luka ...................................20
BAB III Penutup ...............................................................................................21
3.1 Kesimpulan ............................................................................................21
3.2 Saran ......................................................................................................21
Daftar Pustaka

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka pada kulit sering terjadi dan dapat dialami oleh setiap individu. Luka
merupakan salah satu proses kerusakan atau hilangnya komponen jaringan secara
spesifik yang terjadi mengenai bagian tubuh tertentu. Tergantung dari tingkat
keparahan, luka dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang relatif
tinggi. Sebuah penelitian terbaru di Amerika menunjukkan prevalensi pasien
dengan luka adalah 3,5% per 100 populasi penduduk. Mayoritas luka pada
penduduk dunia adalah luka karena pembedahan/trauma 48%, ulkus kaki 28% dan
luka dekubitus 21% (Diligence, 2009).
Luka dapat digambarkan sebagai gangguan dalam kontinuitas sel-sel diikuti
dengan penyembuhan luka yang merupakan pemulihan kontinuitas tersebut. Salah
satu jenis luka adalah luka sayat yang dapat disebabkan oleh pisau dan benda
tajam, mungkin disengaja seperti insisi bedah ataupun kecelakaan yang tidak
diharapkan (Wibisono, 2007). Luka sayat (Vulnus scissum) adalah salah satu jenis
trauma yang sering terjadi, karena kulit sebagai organ tubuh yang terletak paling
luar dan terbesar berfungsi sebagai pelindung tubuh (Monaco, 2003).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyembuhkan luka, misalnya dengan
pemberian antibiotik dan povidone iodine. Menurut beberapa penelitian,
pemberian antibiotik sering digunakan untuk menyembuhkan luka, menghambat
pertumbuhan mikroorganisme disekitar luka, membersihkan luka dan menutup
luka. Ternyata hal itu kurang efektif untuk membantu proses penyembuhan luka.
Demikian juga larutan povidone iodine yang sering digunakan untuk
menyembuhkan luka, membersihkan luka, dan menutup luka ternyata kurang
efektif juga untuk membantu proses penyembuhan luka (Kramer, 1999). Pada saat
ini banyak masyarakat yang menggunakan obat-obat herbal sebagai salah satu
pilihan untuk mengobati luka, yaitu propolis dan madu.
Propolis merupakan bahan alami yang dikumpulkan oleh lebah spesies Apis
mellifera dari berbagai tanaman, dicampur dengan enzim liur, dan digunakan
sebagai perekat untuk membangun serta membersihkan sarangnya (Marghitas, et
al., 2013).
2

Lebih dari 180 senyawa fitokimia ada dalam propolis, diantaranya adalah
flavonoid, polifenol, caffeic acid phenethyl ester (CAPE). Zat-zat ini terbukti
memiliki berbagai sifat anti inflamasi, anti mikroba, anti alergi, anti histamin
(Park, 2002). CAPE dan flavonoid berperan dalam menghambat jalur
siklooksigenase dan lipooksigenase dari metabolisme arakhidonat (Song, 2008).
Pengobatan dengan menggunakan madu sudah dilakukan oleh tentara Rusia
sejak Perang Dunia I untuk mencegah infeksi luka dan mempercepat
penyembuhan luka (Angela M, 2002). Beberapa faktor yang terkandung di dalam
madu dapat bertanggungjawab terhadap aktivitas antibakteri. Madu mengandung
kadar gula yang tinggi sehingga bakteri tidak dapat hidup dan berkembang. Madu
memiliki tingkat keasaman yang tinggi sehingga mengurangi pertumbuhan dan
daya hidup bakteri. Madu mengandung senyawa radikal hidrogen peroksida
(H2O2) yang dapat membunuh mikroorganisme patogen. Madu mengandung
senyawa organik yang bersifat antibakteri (Kamaruddin, 2002).
Potensi antiinflamasi dari propolis dan madu ini diduga dapat mengurangi
kerusakan akibat luka sayat, sehingga dapat berefek baik terhadap penyembuhan
luka. Berdasarkan analisis paparan data di atas, penggunaan madu dalam proses
penyembuhan luka menarik untuk dipelajari. Oleh karena itu, penyusun akan
membahas penggunaan madu dalam perawatan dan proses penyembuhan luka.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini
adalah:
1.2.1 Bagaimana anatomi dan fisiologi kulit?
1.2.2 Bagaimana konsep teori luka?
1.2.3 Bagaimana proses penyembuhan luka menggunakan madu?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.3.1 Mengetahui anatomi dan fisiologi kulit
1.3.2 Mengetahui konsep teori luka
1.3.3 Mengetahui perawatan dan proses penyembuhan luka dengan madu
3

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit


2.1.1 Anatomi Kulit
Kulit merupakan barier protektif yang memiliki fungsi vital seperti
perlindungan terhadap kondisi luar lingkungan baik dari pengaruh fisik
maupun pengaruh kimia, serta mencegah kelebihan kehilangan air dari tubuh
dan berperan sebagai termoregulasi. Kulit bersifat lentur dan elastis yang
menutupi seluruh permukaan tubuh dan merupakan 15% dari total berat
badan orang dewasa (Paul et al., 2011). Fungsi proteksi kulit adalah
melindungi tubuh dari kehilangan cairan elektrolit, trauma mekanik dan
radiasi ultraviolet, sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen,
merespon rangsangan sentuhan, rasa sakit dan panas karena terdapat banyak
ujung saraf, tempat penyimpanan nutrisi dan air yang dapat digunakan apabila
terjadi penurunan volume darah dan tempat terjadinya metabolism vitamin D
(Richardson, 2003; Perdanakusuma, 2007).

Kulit terdiri dari dua lapisan yang berbeda, lapisan luar adalah
epidermis yang merupakan lapisan epitel dan lapisan dalam yaitu dermis yang
merupakan suatu lapisan jaringan ikat.
4

a. Epidermis
Epidermis merupakan lapisan terluar kulit yang terdiri dari epitel
berlapis bertanduk yang mengandung sel melanosit, Langerhans,
merkel dan keratinosit. Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin
melalui proses melanogenesis (Junqueira dan Carneiro, 2007). Sel
Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum
tulang yang merangsang sel Limfosit T. Sel Langerhans juga mengikat,
mengolah, dan merepresentasikan antigen kepada sel Limfosit T
(Djuanda, 2007). Dengan demikian, sel Langerhans berperan penting
dalam imunologi kulit (Junqueira dan Carneiro, 2007). Sel Merkel,
yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan
berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus (Tortora dkk.,
2006). Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan paling luar hingga
paling dalam.
Tebal epidermis berbeda-beda pada berbagai tempat di tubuh,
paling tebal terdapat pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan epidermis
hanya sekitar 5% dari seluruh ketebalan kulit. Epidermis terdiri atas
lima lapisan (dari lapisan yang paling atas sampai yang terdalam) yaitu
stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum
spinosum dan stratum basale (stratum Germinatum) (Perdanakusuma,
2007).
1) Stratum basal (stratum germinativum), terdiri atas selapis sel
kuboid atau silindris basofilik yang terletak di atas lamina
basalis pada perbatasan epidermis-dermis
2) Stratum spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid, atau agak gepeng
dengan inti ditengah dan sitoplasma dengan cabang-cabang
yang terisi berkas filament
3) Stratum granulosum, terdiri atas 3−5 lapis sel poligonal gepeng
yang sitoplasmanya berisikan granul basofilik kasar
4) Stratum lusidum, tampak lebih jelas pada kulit tebal, lapisan ini
bersifat translusens dan terdiri atas lapisan tipis sel epidermis
eosinofilik yang sangat gepeng
5

5) Stratum korneum, lapisan ini terdiri atas 15−20 lapis sel gepeng
berkeratin tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi
skleroprotein filamentosa birefringen, yakni keratin (Junqueira,
2007).
b. Dermis
Dermis tersusun oleh sel-sel dalam berbagai bentuk dan keadaan,
dermis terutama terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Serabut-serabut
kolagen menebal dan sintesa kolagen akan berkurang seiring dengan
bertambahnya usia. Sedangkan serabut elastin terus meningkat dan
menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali
dari fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen akan saling
bersilang dalam jumlah yang besar dan serabut elastin akan berkurang
mengakibatkan kulit terjadi kehilangan kelenturanannya dan tampak
berkeriput (Perdanakusuma, 2007).
Di dalam dermis terdapat folikel rambut, papilla rambut, kelenjar
keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung
pembuluh darah dan ujung saraf dan sebagian serabut lemak yang
terdapat pada lapisan lemak bawah kulit (Tranggono dan Latifah,
2007).
Dermis terdiri atas dua lapisan dengan batas yang tidak nyata, yaitu
stratum papilare dan stratum reticular.
1) Stratum papilare, yang merupakan bagian utama dari papila
dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar. Pada stratum ini
didapati fibroblast, sel mast, makrofag, dan leukosit yang keluar
dari pembuluh (ekstravasasi).
2) Stratum retikulare, yang lebih tebal dari stratum papilare dan
tersusun atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama kolagen
tipe I) (Harien, 2010).
Selain kedua stratum di atas, dermis juga mengandung beberapa
turunan epidermis, yaitu folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar
sebacea (Djuanda, 2007). Pada bagian bawah dermis, terdapat suatu
jaringan ikat longgar yang disebut jaringan subkutan dan mengandung
6

sel lemak yang bervariasi. Jaringan ini disebut juga fasia superficial,
atau panikulus adiposus (Junqueiradan Carneiro, 2007).
c. Subkutan
Lapisan subkutan merupakan lapisan dibawah dermis yang terdiri
dari lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang
menghubungkan kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya.
Jumlah dan ukurannya berbeda-beda menurut daerah tubuh dan keadaan
nutrisi individu. Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk
regenerasi (Perdanakusuma, 2007).

2.1.2 Fisiologi Kulit


Kulit memiliki banyak fungsi, yang berguna dalam menjaga
homeostasis tubuh. Fungsi-fungsi tersebut dapat dibedakan menjadi fungsi
proteksi, absorpsi, ekskresi, persepsi, pengaturan suhu tubuh (termoregulasi),
dan pembentukan vitamin D (Djuanda, 2007). Kulit juga sebagai barier
infeksi dan memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan
(Harien, 2010).
a. Fungsi proteksi
Kulit menyediakan proteksi terhadap tubuh dalam berbagai cara
sebagai berikut:
1) Keratin melindungi kulit dari mikroba, abrasi (gesekan), panas, dan
zat kimia.
2) Lipid yang dilepaskan mencegah evaporasi air dari permukaan kulit
dan dehidrasi, selain itu juga mencegah masuknya air dari
lingkungan luar tubuh melalui kulit.
3) Sebum yang berminyak dari kelenjar sebasea mencegah kulit dan
rambut dari kekeringan serta mengandung zat bakterisid yang
berfungsi membunuh bakteri di permukaan kulit.
4) Pigmen melanin melindungi dari efek dari sinar UV yang
berbahaya. Pada stratum basal, sel-sel melanosit melepaskan
pigmen melanin ke sel-sel di sekitarnya. Pigmen ini bertugas
melindungi materi genetik dari sinar matahari, sehingga materi
7

genetik dapat tersimpan dengan baik. Apabila terjadi gangguan pada


proteksi oleh melanin, maka dapat timbul keganasan.
5) Selain itu ada sel-sel yang berperan sebagai sel imun yang protektif.
Yang pertama adalah sel Langerhans, yang merepresentasikan
antigen terhadap mikroba. Kemudian ada sel fagosit yangbertugas
memfagositosis mikroba yang masuk melewati keratin dan sel
Langerhans (Martini, 2006).
b. Fungsi absorpsi
Kulit tidak bisa menyerap air, tapi bisa menyerap material larut-
lipid seperti vitamin A, D, E, dan K, obat-obatan tertentu, oksigen dan
karbon dioksida (Djuanda, 2007). Permeabilitas kulit terhadap oksigen,
karbondioksida dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian
pada fungsi respirasi. Selain itu beberapa material toksik dapat diserap
seperti aseton, CCl4, dan merkuri (Harien, 2010). Beberapa obat juga
dirancang untuk larut lemak, seperti kortison, sehingga mampu
berpenetrasi ke kulit dan melepaskan antihistamin di tempat peradangan
(Martini, 2006).
Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit,
hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan
dapat berlangsung melalui celah antarsel atau melalui muara saluran
kelenjar, tetapi lebih banyak yang melalui sel-sel epidermis daripada
yang melalui muara kelenjar (Tortora dkk., 2006).
c. Fungsi ekskresi
Kulit juga berfungsi dalam ekskresi dengan perantaraan dua
kelenjar eksokrinnya, yaitu kelenjar sebasea dan kelenjar keringat:
1) Kelenjar sebasea
Kelenjar sebasea merupakan kelenjar yang melekat pada folikel
rambut dan melepaskan lipid yang dikenal sebagai sebum menuju
lumen (Harien, 2010). Sebum dikeluarkan ketika muskulus arektor
pili berkontraksi menekan kelenjar sebasea sehingga sebum
dikeluarkan ke folikel rambut lalu ke permukaan kulit. Sebum
tersebut merupakan campuran dari trigliserida, kolesterol, protein,
8

dan elektrolit. Sebum berfungsi menghambat pertumbuhan bakteri,


melumasi dan memproteksi keratin (Tortora dkk., 2006).
2) Kelenjar keringat
Walaupun stratum korneum kedap air, namun sekitar 400 mL air
dapat keluar dengan cara menguap melalui kelenjar keringat tiap
hari (Djuanda, 2007). Seorang yang bekerja dalam ruangan
mengekskresikan 200 mL keringat tambahan, dan bagi orang
yang aktif jumlahnya lebih banyak lagi. Selain mengeluarkan air
dan panas, keringat juga merupakan sarana untuk
mengekskresikan garam, karbondioksida, dan dua molekul
organik hasil pemecahan protein yaitu amoniak dan urea
(Martini, 2006).
d. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan
subkutis (Djuanda, 2007). Terhadap rangsangan panas diperankan oleh
badan-badan Ruffini di dermis dan subkutis. Terhadap dingin
diperankan oleh badan-badan Krause yang terletak di dermis, badan
taktil Meissner terletak di papila dermis berperan terhadap rabaan,
demikian pula badan Merkel Ranvier yang terletak di epidermis.
Sedangkan terhadap tekanan diperankan oleh badan Paccini di
epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih banyak jumlahnya di
daerah yang erotik (Tortoradkk., 2006).
e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Kulit berkontribusi terhadap pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
melalui dua cara: pengeluaran keringat dan menyesuaikan aliran darah
di pembuluh kapiler (Djuanda, 2007). Pada saat suhu tinggi, tubuh akan
mengeluarkan keringat dalam jumlah banyak serta memperlebar
pembuluh darah (vasodilatasi) sehingga panas akan terbawa keluar dari
tubuh. Sebaliknya, pada saat suhu rendah, tubuh akan mengeluarkan
lebih sedikit keringat dan mempersempit pembuluh darah
(vasokonstriksi) sehingga mengurangi pengeluaran panas oleh tubuh
(Harien, 2010).
9

f. Fungsi pembentukan vitamin D


Sintesis vitamin D dilakukan dengan mengaktivasi prekursor 7
dihidroksi kolesterol dengan bantuan sinar ultraviolet (Djuanda, 2007).
Enzim di hati dan ginjal lalu memodifikasi prekursor dan menghasilkan
kalsitriol, bentuk vitamin D yang aktif. Calcitriol adalah hormon yang
berperan dalam mengabsorpsi kalsium makanan dari traktus
gastrointestinal ke dalam pembuluh darah (Tortoradkk., 2006).
Walaupun tubuh mampu memproduksi vitamin D sendiri, namun
belum memenuhi kebutuhan tubuh secara keseluruhan sehingga
pemberian vitamin D sistemik masih tetap diperlukan. Pada manusia
kulit dapat pula mengekspresikan emosi karena adanya pembuluh
darah, kelenjar keringat, dan otot-otot di bawah kulit (Djuanda, 2007).

2.2 Konsep Teori Luka


2.2.1 Definisi Luka
Luka adalah rusaknya kesatuan atau komponen jaringan, dimana secara
spesifik terdapat substansi jaringan yang rusak atau hilang. Berdasarkan
kedalaman dan luasnya luka dibagi menjadi; luka superfisial; terbatas pada
lapisan epidermi, luka partial thickness; hilangnya jaringan kulit pada lapisan
epidermis dan lapisan bagian atas dari dermis, luka full thickness: jaringan
kulit yang hilang pada lapisan epidermis, dermis dan fasia, tidak mengenai
otot dan luka pada otot tendon dan tulang (Gitarja, 2008).

2.2.2 Klasifikasi Luka


Luka telah diklasifikasikan berdasarkan penyebab timbulnya luka. Luka
biasanya muncul dari operasi, trauma atau penyakit dan diklasifikasikan
sebagai berikut : Incised, disebabkan oleh alat pemotong, Contused, trauma
pada jaringan akan tetapi kulit tetap utuh, Lacerated, jaringan sudah robek,
Abrasion, kerusakan pada epidermis atau dermis superfisial, Penetrating,
cedera melewati kulit untuk jaringan yang lebih dalam, Burn, trauma karena
thermal, electrical.chemical, radiation, Open, penyembuhan luka sekunder,
10

Fracture, breaks in bone, Perforating, luka yang melewati bagian tubuh,


Tumour,malignant or benign growth(Carville, 2012 ).
Nather (2013) yang dikutip dari King College Classification membagi
enam stadium luka yang terdiri dari stadium satu yang disebut normal foot,
stadium dua disebut high risk foot, stadium tiga disebut ulcerated foot,
stadium empat disebut cellulitis foot, stadium lima disebut necrotic foot, dan
stadium enam disebut major amputation.
Templeton (2005) mengklasifikasi luka menjadi empat stage yaitu :
stage I hanya erythema pada kulit tanpa kehilangan lapisan kulit, biasanya
akan terlihat warna kulit menjadi lebih gelap seperti kebiruan atau ungu.
Stage II di sebut a partial thickness wound, terjadi kehilangan jaringan
epidermis yang luas sampai lapisan dermis. Stage III adalah afull thickness
wound terjadi kehilangan jaringan mencapai lapisan sub cutan dan kerusakan
lebih dalam. Stage IV disebut afull thickness wound meluas mencapai facia,
tendon, tulang, dan otot.
Klasifikasi luka yang lain adalah berdasarkan jenis penyembuhan luka
yang terdiri dari : primer yaitu sembuh cepat,bekas luka halus, tidak ada
infeksi, jenisnya seperti luka operasi; luka steril, bentuk luka linier, potongan
bersih, tidak ada jaringan yang hilang. Luka sekunder adalah luka terbuka
yang tertunda penyembuhannya, sembuh dengan bekas luka kasar dan tebal
serta kontraktur, memerlukan waktu sembuh yang lebih lama, insiden infeksi
tinggi, luka lebar dengan kehilangan jaringan atau kulit, integritas kulit rusak,
bekas luka yang tebal akan mengganggu fungsi jaringan. Sedangkan luka
tersier adalah terjadinya penundaan antara waktu lukanya terjadi dengan
dilakukannya jahitan kulit untuk menutup luka. Resiko terjadinya granulasi
dan inflamasi lebih tinggi dibandingkan dengan proses penyembuhan primer
(Poerwantoro, 2013).

2.2.3 Tahapan Penyembuhan Luka


Gitarja (2008) menjelaskan tahapan atau fase penyembuhan luka
dimulai dari Fase inflamasi yangdimulai sejak terjadinya luka sampai hari ke-
5. Segera setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami
11

konstriksi dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit


yang bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan
melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth
Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth
Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan
untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan
fibroblas. Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi
vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat
trombosit akan mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth
Factor beta 1 (TGF b1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF
b1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen.
Fase Proliferasi atau rekontruksi: berlangsung dari akhir masa inflamasi
sampai kira-kira minggu ke-3. Fase ini ditandai dengan adanya proliferasi
sel/pembelahan sel. Peran fibroblast sangat besar untuk menghasilkan struktur
protein yang digunakan selama proses rekontruksi jaringan. Pada saat terjadi
luka fibroblast akan aktif ke jaringan sekitar luka dan berproliferasi
mengeluarkan beberapa substansi seperti kolagen, elastin, hyaluronic acid,
fibronectin, dan proteoglycans untuk rekontruksi jaringan baru. Pada fase ini
juga terjadi proses pembentukan kapiler baru dalam luka atau disebut
angiogenesis. Fibroblast dan angiogenesis merupakan proses yang terintegrasi
dan dipengaruhi oleh substansi yang dikeluarkan oleh platelet dan makrofag
(growth factor). Proses selanjutnya adalah epitelisasi, karena fibroblast
mengeluarkan Keratinocyte Growth Factor (KGF). Fase proliferasi akan
berakhir jika epitel dermis dan lapisan kolagen telah terbentuk, terlihat proses
kontraksi dan akan di percepat oleh berbagai growth factor.
Fase Maturasi atau remodelling dimulai pada minggu ke-3 setelah
perlukaan dan berakhir sampai kurang lebih 12 bulan. Tujuan dari fase
maturasi adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan baru menjadi
jaringan penyembuhan yang kuat dan bermutu. Fibroblast sudah
meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan mulai
berkurang karena pembuluh darah mulai regresi dan serat fibrin dari kolagen
bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut dan puncaknya pada
12

minggu ke-10 setelah perlukaan. Enzim kolagenase mengubah kolagen muda


(gelatinous collagen) yang terbentuk pada fase proliferasi menjadi kolagen
matang, lebih kuat, dan struktur yang lebih baik (proses re-modelling). Untuk
mencapai penyembuhan yang optimal diperlukan keseimbangan antara
kolagen yang diproduksi dengan yang dipecahkan sehingga tidak terjadi
penebalan jaringan parut atau hypertrophic scar, dan akan menurunkan
kekuatan jaringan parut,luka selalu terbuka bila kekurangan kolagen. Gitarja
(2008) fase penyembuhan luka dapat terlihat pada gambar dibawah ini:

Hemostatis bukan merupakan bagian dari proses penyembuhan luka,


karena fungsinya hanya untuk menghentikan perdarahan dan pembentukan
fibrin sebagai pencetus proses penyembuhan luka (Poerwantoro, 2013).

2.2.4 Tipe Penyembuhan Luka


Proses penyembuhan luka dikatagorikan menjadi tiga model yaitu:
Penyembuhan luka secara primer, tepi luka bisa menyatu kembali, permukaan
bersih, biasanya terjadi karena suatu insisi, tidak ada jaringan yang hilang.
Penyembuhan luka berlangsung dari bagian internal ke eksternal, contoh luka
operasi. Penyembuhan luka secara sekunder, terdapat sebagian jaringan yang
hilang, proses penyembuhan akan berlangsung mulai dari pembentukan
jaringan granulasi pada dasar luka dan sekitarnya, contoh: Ulkus dekubitus,
ulkus diabetik, ulkus venous dan Penyembuhan luka tertier/delayed primary
berlangsung lambat, biasanya sering disertai dengan infeksi, diperlukan
penutupan luka secara manual, contoh luka operasi yang tidak menutup
(Carville, 2012 ).
13

Poerwantoro (2013) menjelaskan tentang strategi penyembuhan luka


terdiri dari dua yaitu umum dan khusus. Strategi umum pencegahan luka
meliputi luka atau kulit masih bagus haruslah menetapkan tujuan perawatan,
memberi edukasi kepada pasien dan keluarganya, tatalaksana nutrisi,
menentukan posisi tubuh agar tidak mengganggu proses penyembuhan luka,
mengubah posisi tubuh pasien sesuai kebutuhan, dan memonitor adanya
perubahan risiko perawatan. Saat membuat keputusan untuk pencegahan dan
perawatan luka pertimbangkan juga lingkungan sekitar pasien, kemampuan
fisik pasien, ketersediaan keluarga atau tenaga kesehatan yang akan
membantu, pengetahuan dan keterampilan pasien dan keluarga yang
mendukung, serta kulit hanya perlu dibersihkan saat dalam kondisi kotor.
Pastikan pasien dan keluarga atau orang sekitar pasien tidak merokok,
pasien harus patuh dengan obat yang diresepkan, jaga kulit tetap lembab.
Sedangkan strategi khusus penyembuhan luka lebih difokuskan untuk
mengoptimalkan proses penyembuhan lokal dan mengurangi kemungkinan
terjadinya komplikasi dengan mengangkat jaringan mati, minimalkan
tekanan, menetapkan sasaran hasil perawatan untuk mendapatkan hasil
kosmetik yang maksimal, mengatasi nyeri, hindari terjadi hipoksia,
hipovolemia, dan hipotensi, dan identifikasi masalah sistemik seperti: usia,
nutrisi, obesitas, diabetes, perfusi,oksigenisasi, merokok, terapi radiasi,
kemoterapi, dan terapi steroid.

2.2.5 Pengkajian Luka


Pengkajian atau penilaian luka menurut Betes dan Jensen (2001)
berdasarkan wound assessment tool yang harus dilakukan untuk menilai
perkembangan luka meliputi 13 item skor yaitu mulai dari ukuran,
kedalaman, pinggiran luka, undermining, tipe jaringan necrotic, jumlah
jaringan necrotic, tipe exudate, jumlah exudates, warna kulit sekitar luka,
peripheral tissue edema, peripheral tissue induration, granulation tissue,
epithelialization tissue.
Sedangkan menurut The Australian Wound Management Association
(AWMA) (2010) telah memiliki standar perawatan luka yang baku. Standar
14

perawatan yang dilakukan adalah sebagai berikut: melakukan pengkajian


secara komprehensif yang mencerminkan kesehatan, budaya dan faktor
lingkungan yang memiliki dampak pada penyembuhan luka atau risiko
cedera. Dokumentasi bukti hasil pengkajian individu tentang alasan terjadinya
luka, riwayat kesehatan, usia dan perubahan terkait usia, riwayat luka
sebelumnya dan hasil, riwayat obat-obat yang diresepkan, implikasi
psikososial akibat luka, status gizi, sensitivitas dan alergi, diagnostik yang
relevan sebelumnya dan investigasi, penilaian nyeri dengan penggunaan alat
validasi nyeri, tanda-tanda vital. Penilaian lain yang diperlukan adalah
penilaian risiko jatuh dan integritas kulit, vascular dan penilaian sensorik:
pengujian monofilamen atau pengujian tekanan tumpul /sentuhan tajam,
getaran sensasi - garpu tala atau biothesiometer, pengujian reflex.
Pengkajian luka awal dan berkelanjutan harus didokumentasikan
berdasarkan bukti yang temukan tentang: tipe luka, etiologi dan mekanisme
terjadinya luka, durasi luka, lokasi, dimensi, karakteristik klinis dasar luka,
penampilan tepi luka, kulit sekitar luka, eksuda, bau, peradangan, infeksi,
nyeri, dan benda asing seperti benang jahitan. Pengkajian tentang lingkungan
yang mempengaruhi penyembuhan individu perlu diidentifikasikan seperti:
faktor yang dapat berdampak pada kerahasiaan, kinerja perawatan sesuai
prosedur, pengendalian infeksi atau penyembuhan luka, dan mungkin
termasuk : faktor gaya hidup, individu, masalah kerahasiaan dan privasi,
keamanan penyimpanan catatan individu, status kebersihan lingkungan
(AWMA, 2010).
Langkah berikut adalah investigasi diagnostik akan dilakukan ketika
terindikasi secara klinis untuk memastikan dan memantau etiologi luka,
potensi penyembuhan, hasil penilaian, terkait, diagnosa dan manajemen
intervensi. Prosedur diagnostic yang memungkinkan dilakukan adalah:
analisis biokimia darah, mikrobiologi, histopatologi, penciteraan diagnostic,
penilaian vascular, penilaian neurologist, penilaian gizi, penilaian psikologis
(AWMA, 2010).
Tahap selanjutnya adalah melakukan pencucian luka dengan tekhnik
aseptic dan bersih sesuai dengan kondisi luka dan kondisi individu. Kemudian
15

kondisi luka harus dipertahankan pada kondisi lembab, dan menjaga suhu
luka tetap konstan dengan cara: hindarkan luka terpapar suhu dingin, produk,
obat-obatan, terapi atau perangkat, gunakan solusion pembersihan luka pada
suhu tubuh, hindari suhu ekstrim pada kulit. Kondisi lain yang harus
diperhatikan dan di jaga adalah: PH, resiko infeksi.
Melindungi luka menjadi bagian yang penting yang dapat dilakukan
dengan cara menghindari pembersihan luka agresif kecuali tujuan perawatan
adalah debridement, hindari penggunaan produk, obat-obatan, perangkat dan
intervensi yang mengeringkan atau menimbulkan trauma pada dasar luka atau
kulit di sekitarnya, hindari penggunaan agen beracun atau allergen, lindungi
luka dan area ping dari trauma dan maserasi. Pemilihan dressing adalah
bagian terpenting yang bertujuan untuk mempercepat proses penyembuhan.
Menggunakan dressing pada luka harus sesuai petunjuk atau indikasi yang
disetujui oleh Administrasi Barang dari produk, atau digunakan sebagai
komponen protokol penelitian dengan persetujuan etis yang tepat (AWMA,
2010).

2.2.6 Persiapan Dasar Luka


Falanga dan Sibbald (2000) telah menjelaskan tentang konsep persiapan
dasar luka. Konsep yang digunakan untuk mempersiapkan dasar luka adalah
metode TIME. Kepanjangan dari TIME adalah Tissue management,
inflammationdan infection control, maintenance of moisture balance, dan
epithelial advancement of wound edges(Halim, Khoo, & Saad, 2012).
Poerwantoro (2013) definisi persiapan dasar luka adalah tatalaksana
luka dalam rangka mempercepat proses penyembuhan endogen atau untuk
memfasilitasi efektifitas langkah-langkah terapeutik lainnya.
Langkah-langkah mempersiapkan dasar luka dengan metode TIME
meliputi : menajemen persiapan jaringan mati dilakukan dengan debridement
secara periodic atau kontinyu. Jenis debridementyang dapat dipergunakan
dalam memperbaiki jaringan adalah autolitic, sharp, surgical, enzymatic,
mechanical atau biological agent. Langkah ke dua adalah mengontrol infeksi
dan peradangan dengan menilai adanya tanda-tanda infeksi atau inflamasi,
16

dan bila luka mengalami infeksi harus diberikan topical anti mikobakterial
atau pemberian antibiotic secara sistemik, sehingga bakteri pada luka dapat
dikurangi. Tahap ketiga adalah menjaga kelembaban pada luka dengan
memilih topical terapi sesuai dengan kondisi luka untuk menghindari edema
berlebihan, maserasi, atau luka mengalami dehiderasi. Tahap terakhir adalah
memperbaiki jaringan tepi luka untuk meningkatkan pertumbuhan
keratinocytes (Fletcher, 2005).
Persiapan dasar luka dengan menggunakan konsep TIME, juga harus
melihat warna dasar luka untuk melakukan langkah-langkah persiapan dasar
luka dengan metode TIME. Warna dasar luka merah atau red menunjukkan
luka memiliki sirkulasi yang baik sehingga perawatannya cukup dengan
mempertaahankan kelembaban luka. Warna dasar luka kuning atau yellow
merupakan luka dengan penurunan perfusi sehingga jaringan menjadi
iskhemikdan infark. Tujuan perawatan yang dapat dilakukan adalah
mengatasi eksudat, dan mengangkat jaringan berwarna kuning (slough)
dengan debridement. Dasar luka berwarna hitam atau black adalah luka yang
telah nekrotik. Tujuan dari perawatan luka hitam adalah mengangkat jaringan
hitam dengan debridement untuk memperbaiki sirkulasi ke seluruh
permukaan luka (Poerwantoro, 2013).

2.2.7 Faktor-faktor yang Menghambat Proses Penyembuhan Luka


Proses penyembuhan luka juga memiliki faktor yang dapat menghambat
luka sembuh tepat waktu, seperti yang diutarakan oleh Gitarja (2008) faktor
faktor yang menghambat proses penyembuhan luka adalah: Persisten
Inflamastion/Infeksi, Peredaran darah yang buruk, hematoma yang luas,
penggantian balutan yang terlalu sering, toksisitas terhadap zat kimia.
Sedangkan menurut Carville (2012), ada dua faktor yang dapat
menghambat penyembuhan luka yaitu factor umum yang meliputi: umur,
penyakit penyerta, perfusi yang buruk, malnutrisi, index massa tubuh ekstrim,
gangguan sensasi atau gerakan, depresi, cemas, kelelahan, terapi radiasi,
merokok, dan obat. Sedangkan faktor lokal berupa: manajemen perawatan
17

luka, kelembaban luka, suhu dan PH luka, infeksi, tekanan, gesekan, tarikan,
dan benda asing.

2.3 Proses Penyembuhan Luka Menggunakan Madu


Penggunaan madu sebagai obat telah dikenal sejak puluhan ribu tahun yang
lalu, dan digunakan sebagai pengobatan untuk penyakit lambung, batuk, dan mata
(Subrahmanyam et al., 2001). Selain itu madu juga dapat digunakan sebagai terapi
topikal untuk luka bakar, infeksi, dan luka ulkus. Sampai saat ini telah banyak
hasil penelitian yang melaporkan bahwa madu efektif untuk perawatan luka baik
secara klinis maupun laboratorium. Ada beberapa hasil penelitian yang
melaporkan bahwa madu sangat efektif digunakan sebagai terapi topikal pada
luka, yang menghasilkan terjadinya peningkatan jaringan granulasi dan kolagen
serta periode epitelisasi secara signifikan (Suguna et al., 1992;1993; Aljady et al.,
2000).
Menurut Lusby PE (2006) madu juga dapat meningkatkan waktu kontraksi
pada luka. Madu efektif sebagai terapi topikal, ini dikarenakan kandungan nutrisi
yang terdapat di dalam madu dan hal ini sudah di ketahui secara luas. Bergman et
al. (1983) menyatakan secara umum madu mengandung 40% glukosa, 40%
fruktosa, 20% air dan asam amino, vitamin Biotin, asam Nikotinin, asam Folit,
asam Pentenoik, Proksidin, Tiamin, Kalsium, zat besi, Magnesium, Fosfor dan
Kalium. Madu juga mengandung zat antioksidan dan H2O2 (Hidrogen Peroksida)
sebagai penetral radikal bebas. Tujuan tulisan ini adalah memberikan gambaran
dari kandungan dan sifat madu sehingga madu dapat digunakan sebagai alternatif
terapi topikal pada perawatan luka.
2.3.1 Sifat zat yang terkandung dalam madu
Kandungan dan sifat madu dapat berbeda tergantung dari sumber madu
(Gheldof et al., 2002; Gheldof and Engeseth, 2002). Pada saat ini salah satu
madu yang cukup dikenal luas dalam perawatan luka adalah Manuka Honey.
Madu lebih efektif digunakan sebagai terapi topikal dikarenakan kandungan
nutrisi dan sifat dari madu. Kandungan yang ada di dalam madu antara lain:
18

a. Osmolaritas yang tinggi


Madu merupakan larutan yang mengalami supersaturasi dengan
kandungan gula yang tinggi yang mempunyai interaksi kuat dengan
molekul air sehingga akan dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme dan mengurangi aroma pada luka. Salah satunya
pada luka infeksi dengan Staphylococcus Aureus. Seperti yang
dilaporkan Cooper et al (1999), hasil studi laboratorium
menunjukkan madu memiliki efek anti bakteri pada beberapa jenis
luka infeksi salah satunya akibat bakteri Staphylococcus Aureus.
Hasil penelitian lain melaporkan madu alam dapat membunuh
bakteri Pseudomonas Aeruginosa dan Clostritidium ( Efem & Iwara,
1992). Luka dapat mengalami steril terhadap kuman bila
menggunakan madu sebagai dressing untuk terapi topikal. Selain itu
pH yang rendah (3,6-3,7) dari madu dapat mencegah terjadi
penetrasi dan kolonisasi dari kuman (Efem, 1998). Kandungan gula
yang tinggi pada madu jika kontak dengan cairan luka khususnya
luka kronis, cairan luka akan akan terlarut, sehingga luka menjadi
lembap dan ini baik untuk proses penyembuhan.
b. Hidrogen peroksida
Bila madu dilarutkan dengan cairan (eksudat) pada luka, hidrogen
peroksida akan dihasilkan. Hal ini terjadi akibat adanya reaksi
enzim glukosa oksidase yang terkandung di dalam madu, sehingga
memiliki sifat antibakteri tetapi tidak menyebabkan kerusakan pada
jaringan luka dan akan mengurangi bau yang tidak enak pada luka
khususnya luka kronis. Hidrogen peroksida yang dihasilkan dalam
kadar rendah dan tidak panas sehingga tidak membahayakan kondisi
luka (Molan, 1992). Selain itu hidrogen peroksida yang dihasilkan
tergantung dari jenis dan sumber madu yang digunakan.
c. Aktivitas limfosit dan fagosit
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas sel darah lymphosit
B and lymphosit T dapat distimulus oleh madu dengan konsentrasi
0.1% (Abuharfeil et al.,1999). Adanya aktivitas limfosit dan fagosit
19

ini menunjukkan respon imun tubuh terhadap infeksi khususnya


pada luka. Berdasarkan penelitian Haryanto (2011) bahwa madu
hutan (Apis Dorsata) yang berasal dari Indonesia pada percobaan
menggunakan tikus menunjukkan pada hari ketiga telah terbentuk
sel darah baru (angiogenesis) dan ini efektif untuk perawatan luka.
Selain itu Madu ini sama efektifnya dalamakut maupun kronis.
perawatan luka baik dengan madu Manuka yang terkenal berasal
dari New Zewland.
d. Sifat asam dari madu
Madu yang bersifat asam dapat memberikan lingkungan yang asam
pada luka sehingga akan dapat mencegah bakteri melakukan
penetrasi dan kolonisasi. Selain itu dari kandungan air yang terdapat
dalam madu akan dapat memberikan kelembapan pada luka, ini
sesuai dengan prinsip perawatan luka moderen yaitu "Moisture
Balance". Hasil penelitian Gethin GT et al (2008) melaporkan madu
dapat menurunkan pH dan mengurangi ukuran luka kronis (ulkus
vena/arteri dan luka dekubitus) dalam waktu 2 minggu secara
signifikan. Hal ini akan memudahkan terjadinya proses granulasi
dan epitelisasi pada luka. Selain itu hasil penelitian yang dilakukan
Haryanto dalam Wound Journal, 2011 didapatkan bahwa madu Apis
Dorsata ini memiliki ketebalan kolagen yang sama dengan Madu
Manuka.

2.3.2 Manfaat madu untuk luka


Madu dapat digunakan untuk terapi topikal sebagai dressing pada luka
ulkus kaki, luka dekubitus, ulkus kaki diabet, infeksi akibat trauma dan pasca
operasi serta luka bakar. Madu dapat meningkatkan waktu penyembuhan luka
bakar (Evan and Flavin, 2008; Jull et al.,2008). Hasil studi kasus yang
dilakukan bahwa madu dapat menyembuhkan luka kronis khususnya luka
diabetik.
20

2.3.3 Cara menggunakan madu saat perawatan luka


Ada beberapa tips yang dapat digunakan saat merawat luka
menggunakan madu ( Molan, 2001):
a. Gunakan jumlah madu sesuai dengan jumlah cairan atau eksudat
yang keluar dari luka.
b. Frekuensi penggantian balutan tergantung pada cepatnya madu
terlarut dengan eksudat luka. Jika tidak ada cairan luka, balutan
dapat di ganti 2 kali seminggu supaya komponen antibakteri yang
terkandung di dalam madu dapat terserap ke dalam jaringan luka.
c. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, sebaiknya menggunakan
second dressing yang bersifat absorbent. Jika madu digunakan
langsung pada luka, madu akan meleleh sehingga keluar area luka.
Hal ini tidak akan efektif untuk merangsang proses penyembuhan
luka.
d. Gunakan balutan yang bersifat "oklusif" yaitu menutup semua
permukaan luka untuk mencegah madu meleleh keluar dari area
luka.
e. Pada cairan luka yang sedang, sebaiknya gunakan transparan film
sebagai second dressing.
f. Pada abses (nanah) dan undermining (luka berkantong) perlu lebih
banyak madu untuk mencapai jaringan didalamnya. Dasar luka harus
diisi dengan madu sebelum ditutup dengan second dressing seperti
kasa atau dressing pad lainnya.
g. Untuk memasukan madu pada luka berkantong sebaiknya gunakan
kasa atau dressing pad sehingga kerja kandungan madu lebih efektif.

Luka diabetik dengan terdapat slough dan Luka sembuh setelah menggunakan madu
nanah murni
21

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manfaat madu dari zat dan sifat yang terkandung didalamnya sangatlah efektif
dan ekonomis untuk perawatan luka. Hal ini berkorelasi dengan Indonesia yang
memiliki beragam jenis madu. Di beberapa rumah sakit di Indonesia, madu telah
digunakan sebagai terapi topikal, tetapi sampai saat ini belum semua madu di teliti
secara klinis dan laboratorium yang melaporkan bahwa madu Indonesia efektif
pada perawatan luka.

3.2 Saran
Untuk ke depannya perlu kiranya dilakukan penelitian terhadap berbagai
madu yang terdapat di Indonesia, sehingga akan dapat digunakan sebagai
alternatif perawatan luka yang ekonomis, aman, mudah di dapat dan mudah
digunakan oleh tenaga kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA

Abuharfeil N., R. Al-Oran and M. Abo-Sheheda, 1999. The effect of bee honey on
the proliferative activity of human B and T lymphocytes and the activity of
phagocytes. Food Agric. Immunol., 11:169-177.

Aljady A.M, M.Y. Kamaruddin, A.M. Jamal, M.Y. Mohd. Yassim, 2000.
Biochemical study on the efficacy of malaysian honey on inflicted wounds: an
animal model. Medi. Journal of Islamic Academy Sciences.,13:3, 125-132.
Australian Wound management Association Inc. 2010. Bacterial Impact on
Wound Healing: From contamination to infection.
http://www.awma.com.au/publication/2011_bacterial_impact_position_1.5.pdf
2011. sitasi pada tanggal 5 Januari 2019 pukul 15.00 WIB.

Bergman A, J. Yanai, J. Weiss, D. Bell and M.P. David. 1983. Acceleration of


wound healing by topical application of honey: An animal model. Am. J. Surg.,
145: 374-376.
Carville, K., 2012. Wound Care Manual, Silver Chain Foundation, Australia.

Cooper RA, Molan PC, Harding KG. 1999. Antibacterial activity of honey against
strain of Staphylococcus aureus from infected wounds. J Roy Soc Med.,
92:283-285.
Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta.

Efem SEE and C.I. Iwara, 1992.The antimicrobial spectrum of honey and its
clinical significance. Infection.,20:227-229.
Efem SEE, 1998. Clinical observation on the wound healing properties of honey.
Br J. Surg., 75:679-681.
Evan J, Flavin S. 2008. Honey: a guide for healthcare professionals. Br J Nurs
17(15):S24, S26, S28-30

Gethin GT, Seamus C and Ronan MC. 2008. The impact of manuka honey
dressing on the surface pH of chronic wounds. Int Wound J., 5:185-194.

Gheldof N, Wang, XH, Engeseth NJ. 2002. Identification and quantification of


antioxidant components of honeys from various floral sources. J Agric Food
Chem., 50: 5870-5877.
Gitarja, W.S. 2008. Perawatan Luka Diabetes. Bogor: Wocare Publishing.
Harien. 2010. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Malang.
Universitas Muhammadiyah Malang.

Haryanto et all, 2011. Acceleration Indonesia Honey torward wound healing:


Experimental study in Mice. J. Wound. 2 (1): 134-140

Junqueira, L.C., J. Carneiro, R.O. 2007. Histologi Dasar. Edisi ke-5. Tambayong
J., penerjemah. Jakarta: EGC. Terjemahan dari: Basic Histology.

MedMarket Diligence. 2009. Incidence and Prevalence of Wounds by Etiology.,


Diunduh 25 Desember 2018, dari: http://blog.mediligence.com/2009/12/13/
incidence-and-prevalence-of-wounds-by-etiology/
Molan PC, 1992. The antibacterian activity of honey variation in the potency of
antibactrial avtivity, Bee World.,73:59-79.

Molan PC, 2001. Potential of honey in the treatment of wounds and burn,
Am.J.Clin.Dermatol., 2 (1): 13-19.

Perdanakusuma, D.S. 2007. Anatomi Fisiologi Kulit Dan Penyembuhan Luka,


Plastic Surgery Department, Airlangga University School of Medicine-Dr.
Soetomo General Hospital, Surabaya, hal:3

Poerwantoro. P.D. 2013. Dasar-Dasar Perawatan Luka Modern dan Pemilihan


Dressing untuk Berbagai Jenis Luka. Jakarta Timur: Pancar Gradia.

Subrahmanyam M, 1991. Topical application of honey in treatment of burn. Br J


Surg.,78 (4): 497-498.
Suguna L, G Chandrakasan, U. Ramamorrthy and K.T. Joseph, 1993. Influence of
honey on collagen metabolism during wound healing in rats. J. Clin. Biochem.
Nutr., 14:91-99.
Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep dan Aplikasi Corporate Social
Responsibility. Gresik: Fascho Publishing

Anda mungkin juga menyukai