Anda di halaman 1dari 6

Bersatu Menangkal Peretasan

29 Juli 2017

Bukan berita mengejutkan, Rusia telah memata-matai pergerakan Presiden Perancis Emmanuel Macron
sejak masa kampanye pemilu.

Namun, yang penting menjadi catatan, masyarakat Perancis tak terpengaruh. Kantor berita Reuters
membuat laporan eksklusif tentang operasi agen-agen intelijen Rusia memata-matai pergerakan
Emmanuel Macron yang saat itu masih sebagai Ketua Partai En Marche! Salah satu cara yang dipakai
adalah menggunakan media sosial populer, Facebook. Para agen menjalin pertemanan dengan teman-
temannya para pejabat yang dekat dengan Macron.

Pada saat bersamaan, upaya peretasan juga terjadi pada komputer kubu Macron. Ribuan dokumen
dibocorkan, termasuk surat-surat elektronik, data personal, data bank, dan lainnya. Pembocoran secara
masif ini dilempar ke publik hanya dua hari sebelum pemungutan suara.

Setelah ditelusuri, jejak peretas bermuara pada alamat serupa yang meretas Konvensi Nasional
Demokrat dalam pemilu AS 2016, yaitu APT 28, Fancy Bear, yang memiliki kaitan dengan unit intelijen
Rusia, GRU. Namun, Rusia membantah semua tuduhan ini.

Berbeda dengan publik Amerika, publik Perancis tak terpengaruh oleh dokumen-dokumen yang
dibocorkan ataupun oleh berita-berita bohong yang disebarkan. Alasannya, mungkin karena
pembocoran itu terlalu mepet dengan pelaksanaan pemilu sehingga penyebaran bisa dilokalisir. Atau,
karena publik Perancis sudah mengantisipasi kemungkinan serangan siber sejak lama sehingga lebih
waspada. Bisa juga, skandal campur tangan Rusia pada pemilu AS begitu besar pemberitaannya sehingga
masuk dalam kesadaran kolektif masyarakat Eropa yang akan menghadapi pemilu.

Apa pun penyebabnya, kali ini pelaku peretasan gigit jari. Macron menang telak atas calon dukungan
Rusia, Marine Le Pen. Kewaspadaan juga ditingkatkan oleh negara-negara Eropa yang menghadapi
pemilu, antara lain Belanda, Inggris, dan Jerman, yang akan melaksanakan pemilu pada September.
Pemanfaatan media sosial untuk penyebaran berita-berita bohong dan menghasut juga sudah melanda
Indonesia. Pemerintah antara lain menutup aplikasi yang bisa mengenkripsi pesan, Telegram, karena
telah digunakan untuk penyebaran radikalisme dan terorisme.

Namun, penyadaran masyarakat untuk mampu memilah dan menyaring berita-berita bohong atau
menghasut menjadi lebih penting. Apalagi, ada sekitar 79 juta pengguna media sosial di Indonesia, dan
90 persennya pengguna Facebook. Publik Perancis setidaknya telah memberi contoh bagaimana
menjaga ”kesehatan” berpikir. Ini menjadi tugas kita semua.

print.kompas.com/baca/opini/tajuk-rencana/2017/07/29/Bersatu-Menangkal-Peretasan
Buruknya Tata Kelola Beras
DWI ANDREAS SANTOSA

2 Agustus 2017

Beberapa hari terakhir masyarakat Indonesia diguncang gejolak ekonomi dan sosial yang dimulai dari
digerebeknya salah satu perusahaan beras besar di Indonesia.

Gejolak sebenarnya sudah dimulai sejak hari atau minggu-minggu sebelumnya dengan disidiknya
beberapa pelaku usaha di bidang perberasan di beberapa daerah.

Peristiwa diawali dengan keberhasilan pemerintah mengelola harga pangan menjelang, selama, dan
setelah Ramadhan sehingga memiliki kepercayaan diri yang besar untuk melakukan langkah dan
tindakan lebih jauh lagi. Meskipun demikian, beberapa analisis meragukan ”keberhasilan” itu
disebabkan harga pangan pokok sebenarnya sudah terlalu tinggi sehingga sulit meningkat dan lemahnya
daya beli masyarakat yang ditunjukkan turunnya transaksi sektor ritel hingga 20 persen dibandingkan
dengan tahun sebelumnya.

Di balik itu semua adalah puncak gunung es persoalan besar tata kelola pangan sejak tiga tahun terakhir.
Sejak 2015 masyarakat disuguhi berbagai informasi dan klaim yang menyatakan peningkatan produksi
pangan yang spektakuler dan tercapainya program swasembada pangan untuk beberapa pangan pokok.
Pada 2015, ketika musim kering berkepanjangan (El Nino) melanda Indonesia, tiba-tiba keluar angka
ramalan (aram I) yang menyatakan produksi padi naik drastis 6,3 persen.

Angka tetap produksi padi tahun 2015 yang resmi dikeluarkan BPS (Oktober 2016) menunjukkan
terjadinya peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai 6,42 persen, 3,18 persen, dan 0,86 persen.

Ramalan peningkatan produksi yang drastis itu menyebabkan pemerintah di tengah tahun 2015 dengan
penuh percaya diri menyatakan menghentikan impor beras pada tahun tersebut. Pada saat itu
dimulailah drama terkait beras. Pada awal pemerintahan pada Oktober 2014 harga beras rata-rata Rp
8.934 per kilogram.

Sejak itu harga terus naik hingga mencapai puncaknya Maret 2015 sebesar Rp 10.375. Pada saat panen
raya Mei 2015 harga tertekan menjadi Rp 9.892. Setelah itu harga terus meningkat dan tidak pernah ada
bulan tanpa kenaikan harga meskipun ada panen kedua dan mencapai puncaknya pada Februari
2016.Keyakinan pemerintah menyebabkan keterlambatan mengantisipasi stok dan mengeluarkan
kebijakan yang salah. Keputusan menambah impor beras baru dilakukan pada Oktober 2015 yang
mengakibatkan harga beras dalam negeri tidak tertolong dan terus melambung.

Berkaitan dengan produksi, pada November 2015 Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia
(AB2TI) mengumpulkan data produksi padi dari 60 kabupaten dan menghasilkan data yang berkebalikan
dengan data pemerintah. Produksi padi 2015 lebih rendah daripada 2014. Hal ini yang menjadi pemicu
peningkatan harga beras sejak Mei 2015 dan menjadi stabil tinggi hingga saat ini. Segala upaya telah
dilakukan, tetapi tidak berhasil menurunkan harga yang sejak 1,5 tahun ini berkisar Rp 10.500-Rp 10.900
untuk beras medium rata-rata nasional.

Anomali data dan kebijakan

Dengan demikian, klaim peningkatan produksi tak selaras dengan pergerakan harga yang kemudian
menimbulkan berbagai spekulasi, termasuk munculnya tuduhan kartel pangan. Anomali lainnya terkait
dengan impor. Impor beras sesungguhnya terus meningkat sejak 2014, berbeda dengan klaim ”tidak
impor dan sudah swasembada”. Jika produksi naik sesuai laporan, seharusnya Indonesia tidak lagi impor
beras sejak 2015, tetapi yang terjadi justru produksi meningkat impor meningkat. Impor beras terus
meningkat dari 0,844 juta ton pada 2014 menjadi0,862 juta ton pada 2015 dan 1,283 juta ton pada 2016.
Pada 2017 hingga bulan April Indonesia telah mengimpor beras 71.000 ton.

Ketidakakuratan data ini terasa sangat kental ketika penulis berkunjung ke sejumlah daerah bertemu
dengan berbagai pihak, baik birokrat maupun petani. Terjadi disparitas cukup besar antara yang
dilaporkan dan kemudian menjadi data nasional dengan data berdasarkan kenyataan di lapangan. Hal ini
kemungkinan disebabkan tekanan besar bagi pejabat terkait serta para pengumpul dan pelapor data
untuk melaporkan bahwa terjadi ”peningkatan luas panen”, ”peningkatan produktivitas”,
dan ”peningkatan produksi”.

Bias data ini menyebabkan bias kebijakan yang berujung dirugikannya semua pihak, baik konsumen,
pelaku usaha, maupun petani. Bias data dan kebijakan ini tidak hanya terjadi di beras. Klaim
swasembada jagung mulai 2016 juga menyebabkan kesalahan kebijakan. Pada 2016 terjadi penurunan
impor jagung tajam dari 3,50 juta ton pada 2015 menjadi 1,33 juta ton atau penurunan volume 2,17 juta
ton (62 persen). Dalam kenyataannya, penurunan bukan disebabkan peningkatan produksi yang tajam,
melainkan sekadar karena pembatasan impor jagung.
Akibat pembatasan impor jagung, impor gandum melonjak dari 7,62 juta (2015) menjadi 10,81 juta ton
(2016). Lonjakan impor disebabkan impor gandum pakan ternak untuk substitusi jagung sebesar 3,0 juta
ton. Dengan demikian, sesungguhnya impor justru meningkat dari 3,50 juta ton jagung (2015) menjadi
4,33 juta ton jagung dan gandum untuk pakan ternak (2016).

Ketidakakuratan data juga menyebabkan kekeliruan dalam penghitungan harga acuan penjualan di
tingkat konsumen yang kemudian menjadi harga eceran tertinggi (HET) untuk beras sebesar Rp 9.000
per kilogram dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017.

Kasus penggerebekan perusahaan beras dan keluarnya permendag menjadi alat penekan yang
menimbulkan keresahan meluas, baik di kalangan pelaku usaha maupun petani. Pelaku usaha diliputi
kecemasan mengalami kriminalisasi dan petani mengalami kerugian besar karena gabah tak terjual atau
dibeli dengan harga sangat rendah sesuai permendag. Kontroversi yang muncul menyebabkan
pemerintah membatalkan permendag tersebut dan kembali ke Permendag Nomor 27/M-
DAG/PER/5/2017. Baik permendag yang baru maupun yang lama sungguh mencederai petani karena
harga acuan pembelian untuk gabah kering panen dari petani Rp 3.700 jauh di bawah biaya produksi.
Hasil kajian AB2TI di 20 kabupaten pada September 2016 menghasilkan angka biaya produksi Rp 4.199
per kilogram gabah kering panen.

Perbaiki tata kelola pangan

Peristiwa akhir-akhir ini menjadi momentum besar untuk menuju tata kelola pangan yang lebih baik.
Data menjadi hal sangat penting. Ketidakakuratan data berpotensi mendelegitimasi capaian dan upaya
keras yang dilakukan Kementerian Pertanian dan jajarannya (”Waspada Pangan 2017”, Kompas,
24/2/2017). Data produksi dan stok pangan harus diperbaiki serta diproduksi lembaga independen
tanpa keterlibatan kementerian terkait.

Kemudian, sistem pangan di Indonesia tergolong liberal. Hampir semua stok pangan berada di tangan
pelaku usaha, produsen, ataupun masyarakat. Dengan demikian, upaya pemerintah mengintervensi
pasar hampir selalu gagal karena pemerintah tak punya stok memadai. Pemerintah harus menguasai
stok pangan pokok 10-20 persen dari total konsumsi. Jika gejolak terjadi, pemerintah bisa melepas stok
ke pasar sehingga harga turun. Pengendalian harga yang dilakukan melalui tekanan, akan berakhir
dengan keresahan sebagaimana terjadi akhir-akhir ini.
Sektor swasta kini berperan sangat penting dalam pengendalian harga. Jadi, berbagai tindakan yang
menghancurkan kepercayaan antara pelaku usaha dan pemerintah sangat berisiko memperburuk situasi
yang ada.

Terakhir, tiada pangan tanpa petani. Kesejahteraan petani terutama tanaman pangan yang terus turun
dalam 4 tahun terakhir menjadi ancaman besar terhadap keberlanjutan pemenuhan kebutuhan pangan
di Indonesia. Untuk itu, dengarkanlah suara petani karena hanya petani yang bisa menyelamatkan
pangan kita.

DWI ANDREAS SANTOSA, GURU BESAR FAKULTAS PERTANIAN IPB; KETUA UMUM ASOSIASI BANK
BENIH DAN TEKNOLOGI TANI INDONESIA (AB2TI) DAN CENTER OF REFORM ON ECONOMICS
INDONESIA

print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/08/02/Buruknya-Tata-Kelola-Beras

Anda mungkin juga menyukai