Anda di halaman 1dari 26

KERAJAAN KERAJAAN PADA MASA HINDU-BUDHA

(Kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Buleleng dan


Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali, Kerajaan Tulang Bawang,
Kerajaan Kota Kapur, Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui
Perdagangan dan Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha)
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Pelajaran
Sejarah Indonesia yang diampu oleh Ibu. Rissa Supartika, S.Pd.I

Disusun Oleh: Kelompok 5

1. Yogi
2. Sindi
3. Anita
4. Reisya
5. Regar

Kelas : X IIS 2

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM BANI ABI BAKAR


MADRASAH ALIYAH BUNGBULANG
”TERAKREDITASI A”
Jl. Barukaliki No. 06 Bungbulang-Garut 44165

2019/2020

i
DAFTAR ISI

Daftar Isi …………………………………….…..…..………...................……... i


BAB I PEMBAHASAN
A. Kerajaan Singhasari ………............................……………………..………
1
B. Kerajaan Majapahit ................................................................................. 4
C. Kerajaan Buleleng dan Dinasti Warmadewa di Bali ............................... 10
D. Kerajaan Tulang Bawang ……………………………......................………
10
E. Kerajaan kota Kapur ……………………………........................….…… 13
F. Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Perdagangan ...........................14
G. Akulturasi Kebudayaan Hindu-Budha ..................................................... 17
BAB II PENUTUP
 Kesimpulan ................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PEMBAHASAN

A. Kerajaan Singhasari
Kerajaan Singhasari adalah sebuah kerajaan Hindu Buddha di Jawa Timur
yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222 M. Lokasi kerajaan ini sekarang
diperkirakan di daerah Singhasari, Malang. Kerajaan Singhasari hanya sempat
bertahan 70 tahun sebelum mengalami keruntuhan. Kerajaan ini beribu kota di
Tumapel yang terletak di kawasan bernama Kutaraja. Pada awalnya, Tumapel
hanyalah sebuah wilayah kabupaten yang berada dibawah kekuasaan Kerajaan
Kediri dengan bupati bernama Tunggul Ametung. Tunggul Ametung dibunuh oleh
Ken Arok yang merupakan pengawalnya.
Keberadaan Kerajaan Singhasari dibuktikan melalui candi-candi yang
banyak ditemukan di Jawa Timur yaitu daerah Singhasari sampai Malang, juga
melalui kitab sastra peninggalan zaman Majapahit yang berjudul Negarakertagama
karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan tentang raja-raja yang memerintah di
Singhasari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan riwayat Ken Arok.
Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari
kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum
menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel
menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes
istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari
kekuasaan kerajaan Kediri yang diperintah oleh Kertajaya.
Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kediri meminta
perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka tahun 1222 M /1144 M Ken Arok
menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di
desa Ganter. Ken Arok yang mengangkat dirinya sebagai raja Tumapel bergelar Sri
Rajasa Sang Amurwabhumi.
a. Sumber Sejarah Kerajaan Singhasari
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Singhasari berasal dari :
1. Kitab Pararaton, menceritakan tentang raja-raja Singasari.

i
2. Kitab Negarakertagama, berisi silsilah raja-raja Majapahit yang
memiliki hubungan erat dengan raja-raja Singhasari.
3. Prasasti-prasasti sesudah tahun 1248 M.
b. Sistem Pemerintahan Kerajaan Singhasari
Ada dua versi yang menyebutkan silsilah kerajaan Singhasari alias
Tumapel ini.
1. Versi pertama adalah versi Pararaton yang informasinya didapat dari
Prasasti Kudadu. Pararaton menyebutkan Ken Arok adalah pendiri
Kerajaan Singasari yang digantikan oleh Anusapati (1247–1249 M).
Anusapati diganti oleh Tohjaya (1249–1250 M), yang diteruskan oleh
Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250–1272 M). Terakhir adalah
Kertanegara yang memerintah sejak 1272 hingga 1292 M.
2. Versi Negarakretagama, raja pertama Kerajaan Singhasari adalah
Rangga Rajasa Sang Girinathapura (1222–1227 M). Selanjutnya adalah
Anusapati, yang dilanjutkan Wisnuwardhana (1248–1254 M). Terakhir
adalah Kertanagara (1254–1292 M). Data ini didapat dari prasasti Mula
Malurung.
c. Raja-raja Kerajaan Singhasari
1. Ken Arok (1222–1227 M)
2. Anusapati (1227–1248 M)
3. Tohjoyo (1248 M)
4. Ranggawuni (1248–1268 M)
5. Kertanegara (1268-1292 M)
d. Kehidupan Di Kerajaan Singhasari
Dari segi sosial, kehidupan masyarakat Singhasari mengalami masa
naik turun. Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, dia berusaha
meningkatkan kehidupan masyarakatnya. Banyak daerah-daerah yang
bergabung dengan Tumapel. Namun pada pemerintahan Anusapati,
kehidupan sosial masyarakat kurang mendapat perhatian karena ia larut
dalam kegemarannya menyabung ayam.

i
Pada masa Wisnuwardhana kehidupan sosial masyarakatnya mulai
diatur rapi. Dan pada masa Kertanegara, ia meningkatkan taraf kehidupan
masyarakatnya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat dilihat dari
pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.
1. Politik Dalam Negeri:
a. Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya seperti Mahapatih
Raganata digantikan oleh Aragani, dll.
b. Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya seperti mengangkat
putra Jayakatwang (Raja Kediri) yang bernama Ardharaja menjadi
menantunya.
c. Memperkuat angkatan perang.
2. Politik Luar Negeri:
a. Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu untuk menguasai Kerajaan
melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat
Malaka.
b. Menguasai Bali.
c. Menguasai Jawa Barat.
d. Menguasai Malaka dan Kalimantan.
e. Kebudayaan Kerajaan Singhasari
Berdasarkan segi budaya, ditemukan candi-candi dan patung-patung
diantaranya candi Kidal, candi Jago, dan candi Singasari.
Sedangkan patung-patung yang ditemukan adalah patung Ken
Dedes sebagai Dewa Prajnaparamita lambang kesempurnaan ilmu, patung
Kertanegara dalam wujud patung Joko Dolog, dan patung Amoghapasa juga
merupakan perwujudan Kertanegara (kedua patung kertanegara baik patung
Joko Dolog maupun Amoghapasa menyatakan bahwa Kertanegara
menganut agama Buddha beraliran Tantrayana).
f. Kehidupan Ekonomi
Dalam kehidupan ekonomi, walaupun tidak ditemukan sumber
secara jelas. Ada kemungkinan perekonomian ditekankan pada pertanian
dan perdagangan karena Singhasari merupakan daerah yang subur dan dapat

i
memanfaatkan sungai Brantas dan Bengawan Solo sebagai sarana lalu lintas
perdagangan dan pelayaran.
g. Runtuhnya Kerajaan Singhasari
Sebagai sebuah kerajaan, perjalanan kerajaan Singhasari bisa
dikatakan berlangsung singkat. Hal ini terkait dengan adanya sengketa yang
terjadi dilingkup istana kerajaan yang kental dengan nuansa perebutan
kekuasaan. Pada saat itu Kerajaan Singhasari sibuk mengirimkan angkatan
perangnya ke luar Jawa. Akhirnya Kerajaan Singasari mengalami keropos
di bagian dalam.
Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatawang bupati
Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, dan juga besan dari
Kertanegara sendiri. Dalam serangan itu Kertanegara mati terbunuh. Setelah
runtuhnya Singasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota
baru di Kediri.

B. Kerajan Majapahit
a. Letak Geografis
Secara geografis letak Kerajaan Majapahit sangat strategis karena
adanya di daerah lembah sungai yang luas, yaitu Sungai Brantas dan
Bengawan Solo, serta anak sungainya yang dapat dilayari sampai ke hulu,
dengan pusat di hutan Tarik di Desa Trowulan Mojokerto, Jawa Timur.
b. Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Majapahit
Pada saat terjadi serangan Jayakatwang, Raden Wijaya bertugas
menghadang bagian utara, ternyata serangan yang lebih besar justru
dilancarkan dari selatan. Maka ketika Raden Wijaya kembali ke istana, ia
melihat istana Kerajaan Singasari hampir habis dilalap api dan mendengar
Kertanegara telah terbunuh bersama pembesar-pembesar lainnya, akhirnya
ia melarikan diri bersama sisa-sisa tentaranya yang masih setia dan dibantu
penduduk desa Kugagu.
Setelah merasa aman ia pergi ke Madura meminta perlindungan dari
Arya Wiraraja. Berkat bantuannya ia berhasil menduduki tahta, dengan

i
menghadiahkan daerah tarik kepada Arya Wiraraja sebagai daerah
kekuasaannya. Ketika tentara Mongol datang ke Jawa dengan dipimpin
Shih-Pi, Ike-Mise, dan Kau Hsing dengan tujuan menghukum Kertanegara,
maka Raden Wijaya memanfaatkan situasi itu untuk bekerja sama
menyerang Jayakatwang. Setelah Jayakatawang terbunuh, tentara Mongol
berpesta pora merayakan kemenangannya.
Kesempatan itu pula dimanfaatkan oleh Raden Wijaya untuk
berbalik melawan tentara Mongol, sehingga tentara Mongol terusir dari
Jawa dan pulang ke negerinya. Maka tahun 1293 Raden Wijaya naik tahta
dan bergelar Sri Kertajasa Jayawardhana.
c. Berkembangnya Kerajaan Majapahit
Hayam Wuruk, memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389.
Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan
mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364),
Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa
tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut
ke Palembang, menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah
kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo,
Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian
kepulauan Filipina. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi
menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah
berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu
sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja.
Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma
bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke
Tiongkok.
Adapun raja-raja yang sempat memerintah di Kerajaan Majapahit
antara lain:
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)

i
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Sri Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 -
1466)
10. Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 -
1468)
11. Bhre Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
d. Kehidupan Ekonomi
Majapahit merupakan negara agraris dan juga sebagai negara
maritim. Kedudukan sebagai negara agraris tampak dari letaknya di
pedalaman dan dekat aliran sungai. Kedudukan sebagai negara maritim
tampak dari kesanggupan angkatan laut kerajaan itu untuk menanamkan
pengaruh Majapahit diseluruh Nusantara. Dengan demikian, kehidupan
ekonomi masyarakt Majapahit menitikberatkan pada bidang pertanian dan
pelayaran.
Udara di Jawa panas sepanjang tahun. Panen padi dua kali dalam
setahun, butir berasnya amat halus. Terdapat pula wijen putih, kacang hijau,
rempah-rempah dan lain sebagainya. Buah-buahan banyak jenisnya, antara
lain pisang, kelapa, delima, pepaya, durian, dan semangka. Sayur mayur
berlimpah macamnya. Jenis binatang juga banyak. Untuk membantu
pengairan pertanian yang teratur, pemerintah Majapahit membangun dua
buah bendungan, yaitu Bendungan Jiwu untuk persawahan dan Bendungan
Trailokyapur untuk mengari daerah hilir.
Majapahit memiliki mata uang sendiri yang bernama gobog
merupakan uang logam yang terbuat dari campuran perak, timah hitam,

i
timah putih, dan tembaga. Bentuknya koin dengan lubang ditengahnya.
Dalam transaksi perdagangan, selain menggunakan mata uang gobog,
penduduk Majapahit juga menggunakan uang kepeng dari berbagai dinasti.
Menurut catatan Wang Ta-yuan pedagang dari Tiongkok, komoditas ekspor
Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua. Sedangkan
komoditas impornya adalah mutiara, emas, perak, sutra, barang keramik,
dan barang dari besi.
e. Kehidupan Sosial
Pola tata masyarakat Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan
masyarakat (strata) yang perbedaannya lebih bersifat statis. Walaupun di
Majapahit terdapat empat kasta seperti India, yang lebih dikenal dengan
catur warna, tetapi hanya bersifat teoritis dalam literatur istana.
Pola ini dibedakan atas empat golongan masyarakat, yaitu
brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Namun terdapat pula golongan yang
berada diluar lapisan ini, yaitu Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang
merupakan golongan terbawah dari lapisan masyarakat Majapahit.
f. Kehidupan Budaya
Nagarakertagama menyebutkan budaya keraton yang adiluhung dan
anggun, dengan cita rasa seni dan sastra yang halus, serta sistem ritual
keagamaan yang rumit. Peristiwa utama dalam kalender tata negara digelar
tiap hari pertama bulan Caitra (Maret-April) ketika semua utusan dari semua
wilayah taklukan Majapahit datang ke istana untuk membayar upeti atau
pajak.
Kawasan Majapahit secara sederhana terbagi dalam tiga jenis:
keraton termasuk kawasan ibukota dan sekitarnya; wilayah-wilayah di Jawa
Timur dan Bali yang secara langsung dikepalai oleh pejabat yang ditunjuk
langsung oleh raja; serta wilayah-wilayah taklukan di kepulauan Nusantara
yang menikmati otonomi luas.
Perkembangan budaya di Kerajaan Majapahit dapat diketahui dari
peninggalan-peninggalan berikut;

i
1. Candi
Candi peninggalan Kerajaan Majapahit antara lain Candi Panataran
(Blitar), Candi Tegalwangi dan Surawana (Pare, Kediri), Candi
Sawentar (Blitar), Candi Sumberjati (Blitar), Candi Tikus (Trowulan),
dan bangunan-bangunan purba lainnya, terutama yang terdapat di
daerah Trowulan.
2. Sastra
Hasil sastra zaman Majapahit dapat kita bedakan menjadi, Sastra
zaman Majapahit awal, hasil sastra pada zaman ini adalah: Kitab
Negarakartagama karangan Mpu Prapanca (1365 M), Kitab Sutasoma
dan Kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Tantular, Kitab Kunjarakarna
tidak diketahui pengarangnya.
Sastra zaman Majapahit akhir, hasil sastra pada zaman Majapahit
akhir ditulis dalam bahasa Jawa Tengah, diantaranya ada yang ditulis
dalam bentuk tembang (kidung) dan gancaran (prosa). Hasil sastra
terpenting antara lain:
1. Kitab Pararaton, menceritakan riwayat raja-raja Singhasari dan
Majapahit
2. Kitab Sundayana, menceritakan Peristiwa Bubat
3. Kitab Sorandaka, mencerikatan Pemberontakan Sora
4. Kitab Ranggalawe, menceritakan pemberontakan Ranggalawe
5. Panjiwijayakrama, menguraikan riwayat Raden Wijaya sampai
menjadi raja
6. Kitab Usana Jawa, tentang penaklukan Pulau Bali oleh Gajah Mada
dan Aryadamar, pemindahan keraton Majapahit ke Gelgel, dan
penumpasan raja raksasa Maya Denawa
7. Kitab Usana Bali, tentang kekacauan di Pulau bali akibat keganasan
Maya Denawa yang akhirnya dibunuh oleh dewa.
8. Selain kitab-kitab tersebut, masih ada kitab-kitab sastra lainnya
seperti Paman Cangah, Tantu Pagelaran, Calon Arang,
Korawasrama, Babhuksah, Tantri Kamandaka, dan Pancatantra

i
g. Kehidupan Agama
Pada masa kerajaan Majapahit berkembang agama Hindu Syiwa dan
Buddha. Kedua umat beragama itu memiliki toleransi yang besar sehingga
tercipta kerukunan umat beragama yang baik. Raja Hayam Wuruk
beragama Syiwa, sedangkan Gajah Mada beragama Buddha. Namun,
mereka dapat bekerja sama dengan baik.
Rakyat ikut meneladaninya, bahkan Empu Tantular menyatakan
bahwa kedua agama itu merupakan satu kesatuan yang disebut Syiwa-
Buddha. Hal itu ditegaskan lagi dalam Kitab Sutosoma dengan kalimat
Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa artinya walaupun
beraneka ragam, teta dalam satu kesatuan, tidak ada agama yang mendua.
h. Runtuhnya Kerajaan Majapahit
Kemunduran Majapahit berawal sejak wafatnya Gajah Mada pada
tahun 1364. Hayam Wuruk tidak dapat memperoleh ganti yang secakap
Gajah Mada. Jabatan-jabatan yang dipegang Gajah Mada (semasa
hidupnya, Gajah Mada memegang begitu banyak jabatan) diberikan kepada
tiga orang. Setelah Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389, Majapahit
benar-benar mengalami kemunduran.
Masa sesudah Prabu Hayam Wuruk dan Gajah Mada merupakan
masa kemunduran Kerajaan Majapahit. Beberapa hal yang menyebabkan
kemunduran Majapahit adalah sebagai berikut.
1. Tidak ada tokoh pengganti yang cakap dan berwibawa sesudah wafatnya
Hayam Wuruk (1389) dan Gajah Mada (1364).
2. Perang Paregreg (1401-1406) antara Bhre Wirabhumi dan
Wikramawardhana telah melemahkan Majapahit secara keseluruhan.
3. Banyak negeri bawahan Majapahit yang mencoba melepaskan diri.
4. Armada Cina dibawah pimpinan Laksamana Ceng-ho sering membuat
kekacauan di wilayah laut Majapahit.
5. Berkembangnya agama Islam di pesisir pantai utara Pulau Jawa telah
mengurangi dukungan terhadap Kerajaan Majapahit.

i
6. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di
seluruh Nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah
kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan Islam, yaitu Kesultanan
Malaka.
7. kekuatan Majapahit telah melemah akibat konflik dinasti ini dan mulai
bangkitnya kekuatan kerajaan-kerajaan Islam di pantai utara Jawa.

C. Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali


Kerajaan Buleleng merupakan kerajaan tertua di Bali. Kerajaan Buleleng
adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar pertengahan abad ke-17.
Menurut berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-
pa-tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan
kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar.
Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya
dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayat
itu dibakar. Hal itu menandakan Bali telah berkembang.

D. Kerajaan Tulang Bawang


Keberadaan nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La P’o-Hwang) sempat di
kenal di tanah air. Meski tidak secara terperinci menjelaskan, dari sejumlah riwayat
sejarah maupun catatan penziarah asal daratan Cina, mengungkap akan keberadaan
daerah kerajaan ini. Prasasti (batu bertulis) Kedukan Bukit yang ditemukan di
Palembang menyebut, saat itu Kerajaan Sriwijaya (Che-Li P'o Chie) telah berkuasa
dan ekspedisinya menaklukkan daerah-daerah lain, terutama dua pulau yang berada
di bagian barat Indonesia. Sejak saat itu, nama dan kebesaran Kerajaan Tulang
Bawang yang sempat berjaya akhirnya lambat laun meredup seiring
berkembangnya kerajaan maritim tersebut.
Sejarah Indonesia dan keyakinan masyarakat Lampung menyatakan pada
suatu masa ada sebuah kerajaan besar di Lampung. Kerajaan itu sudah terlanjur
menjadi identitas Provinsi Lampung dalam konteks Indonesia modern. Pertanyaan-
pertanyaan yang selanjutnya mengemuka adalah bagaimana asal mula Kerajaan

i
Tulang Bawang, di mana pusat kerajaannya, siapa raja yang memerintah dan siapa
pula pewaris tahtanya hingga sekarang di samping Kerajaan Melayu, Sriwijaya,
Kutai dan Tarumanegara.
Bahkan, Kerajaan Tulang Bawang yang pernah ada di Pulau Sumatera
(Swarna Dwipa) ini tercatat sebagai kerajaan tertua di Tanah Andalas. Hal itu
dibuktikan dari sejumlah temuan-temuan, baik berupa makam tokoh-tokoh serta
beberapa keterangan yang menyebut keberadaan kerajaan di daerah selatan Pulau
Sumatera ini.
Pembagian dan pengaturan wilayah kekuasaannya diatur oleh Umpu
Bejalan Diway berdasarkan daerah-daerah yang dialiri oleh sungai/way. Secara
harfiah Bu-Way atau Buay berarti pemilik sungai/way atau pemilik daerah
kekuasaan yang wilayahnya dialiri oleh sungai.
Semasanya, daerah ini telah terbentuk suatu pemerintahan demokratis yang
di kenal dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa Lampung di sebut mego atau
megou dan mego-lo bermakna marga yang utama. Di mana pada waktu masuknya
pengaruh Devide Et Impera, penyimbang marga yang harus ditaati pertama kalinya
di sebut dengan Selapon. Sela berarti duduk bersila atau bertahta. Sedangkan
pon/pun adalah orang yang dimulyakan.
Ketika syiar ajaran agama Hindu sudah masuk ke daerah Selapon, maka
mereka yang berdiam di Selapon ini mendapat gelaran Cela Indra atau dengan
istilah yang lebih populer lagi di kenal sebutan Syailendra atau Syailendro yang
berarti bertahta raja.
Mengenai asal muasal kata Tulang Bawang berasal dari beberapa sumber.
Keberadaan Tulang Bawang, dalam berbagai referensi, mengacu pada kronik
perjalanan pendeta Tiongkok, I Tsing. Disebutkan, kisah pengelana dari Tiongkok,
I Tsing (635-713). Seorang biksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti
Tang) ke India dan kembali lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan
beberapa waktu pernah tinggal di Chang’an. Dia menerjemahkan kitab agama
Budha berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Cina.
Berdasarkan catatan dari I Tsing, menyebutkan, dalam lawatannya ia pernah
mampir ke sebuah daerah di Tanah Chrise. Di mana di tempat itu, walau kehidupan

i
sehari-hari penduduknya masih bersipat tradisional, tapi sudah bisa membuat
kerajinan tangan dari logam besi yang dikerjakan pandai besi. Warganya ada pula
yang dapat membuat gula Aren yang bahannya dari pohon Aren.
Menurut tuturan rakyat, Kerajaan Tulang Bawang berdiri sekitar abad ke 4
masehi atau tahun 623 masehi, dengan rajanya yang pertama bernama Mulonou
Jadi. Diperkirakan, raja ini asal-usulnya berasal dari daratan Cina. Dari namanya,
Mulonou Jadi berarti Asal Jadi. Mulonou= Asal/Mulanya dan Jadi= Jadi. Raja
Mulonou Jadi pada masa kemudiannya oleh masyarakat juga di kenal dengan nama
Mulonou Aji dan Mulonou Haji. Walaupun sudah sejak 651 masehi utusan dari
Khalifah Usmar bin Affan, yaitu Sayid Ibnu Abi Waqqas sudah bertransmigrasi ke
Kyang Chou di negeri Cina dan meskipun dikatakan utusan Tulang Bawang pernah
datang ke negeri Cina dalam abad ke 7 masehi, namun rupanya orang-orang
Lampung kala itu belum beragama Islam. Setelah memerintah kerajaan, berturut-
turut Raja Mulonou Jadi digantikan oleh putra mahkota bernama Rakehan Sakti,
Ratu Pesagi, Poyang Naga Berisang, Cacat Guci, Cacat Bucit, Minak Sebala
Kuwang dan pada abad ke 9 masehi kerajaan ini di pimpin Runjung atau yang lebih
di kenal dengan Minak Tabu Gayaw.
Selain catatan dan riwayat, bukti adanya Kerajaan Tulang Bawang,
diantaranya terdapat makam raja-raja seperti Tuan Rio Mangku Bumi yang
dimakamkan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah dimakamkan di Meresou dan Tuan
Rio Sanak dimakamkan di Gunung Jejawi Panaragan. Selain itu, ada pula makam
para panglima yang berada di sejumlah tempat. Tuturan rakyat lain mengatakan,
raja Kerajaan Tulang Bawang bernama Kumala Tungga. Tak dapat dipastikan dari
mana asal raja dan tahun memerintahnya. Namun diperkirakan Kumala Tungga
memerintah kerajaan sekitar abad ke 4 dan 5 masehi
Sampai sekarang belum ada yang bisa memastikan pusat Kerajaan Tulang
Bawang. Tapi ahli sejarah Dr. J. W. Naarding memperkirakan, pusat kerajaan ini
terletak di hulu Way Tulang Bawang, yaitu antara Menggala dan Pagardewa,
kurang lebih dalam radius 20 kilometer dari pusat ibukota kabupaten, Kota
Menggala.

i
Meski belum di dapat kepastian letak pusat pemerintahan kerajaan ini,
namun berdasarkan riwayat sejarah dari warga setempat, pemerintahannya
diperkirakan berpusat di Pedukuhan, di seberang Kampung Pagardewa. Kampung
ini letaknya berada di Kecamatan Tulang Bawang Tengah, yang sekarang tempat
itu merupakan sebuah kampung di Kabupaten Tulang Bawang Barat, pemekaran
dari Kabupaten Tulang Bawang.

E. Kerajaan Kota Kapur


Kerajaan kota kapur adalah kerajaan di mana sejarah terbentukya kerajaan
sriwijaya atau lebih tepatnnya bibit dari kerajaan sriwijaya yang sudah berada di
pulau Bangka dengan bukti-bukti seperti arca durga mahisasramardhani, lokasi
kerajaan kota berada di pulau sumatra lebih tepatnya di Bangka, jika dilihat dari
hasil temuan dan penelitian tim arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau
Bangka, yaitu pada tahun 1994, dapat diperoleh suatu petunjuk mengenai
kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah tersebut bahkan sejak masa
sebelum kemunculan Kerajaan Sriwijaya.
Pusat kekuasaan tersebut meninggalkan banyak temuan arkeologi berupa
sisa-sisa dari sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) yang terbuat dari batu
lengkap dengan arca-arca batu, di antaranya yaitu dua buah arca Wisnu dengan gaya
mirip dengan arca-arca Wisnu yang ditemukan di daerah Lembah Mekhing,
Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar
abad ke-5 dan ke-7 masehi.
Sebelumnya, di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi
batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah
ditemukan pula peninggalan - peninggalan lain yaitu di antaranya sebuah arca
Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan
arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak
Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan
berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat
dari timbunan tanah, masingmasing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter

i
dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini
menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut
yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan
pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad
ke-7.
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan
dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka
(686 M), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya.
Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan
Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia
Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada
tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.
Raja yang memimpin di kerajaan kota kapur masih belum di ketahui secara
pasti bahkan di situs prasasti kota kapur tidak di jelaskan mengenai raja kerajaan
kota kapur. Situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan
masa perahu di situs Samirejo dan situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi
sebelumnya di situs Kota Kapur menunjukkan, tempat kuno itu telah dihuni oleh
komunitas yang telah mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi,
kemudian berkembang menjadi salah satu ke-"datu"-an Sriwijaya pada abad ke-7
Masehi. Permukiman kuno itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga ke-15
Masehi.
Pada bagian dalam benteng tanah di kota kapur ini terdapat sisa-sisa tiga
bangunan candi yang menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal
dan hunian di situs prasasti kota kapur ini terdapat pada lembah antara dua bukit
dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa.
Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan tembikar kasar dengan hiasan sederhana
mirip tembikar masa prasejarah.

F. Terbentuknya Jaringan Nusantara Melalui Perdagangan


Kepulauan Indonesia memiliki laut dan daratan yang luas. Masyarakat
Nusantara pada umumnya adalah masyarakat pesisir yang kehidupan mereka

i
tergantung pada perdagangan antarpulau dan antarbenua. Sedangkan mereka yang
berada di pedalaman adalah masyarakat agraris, yang kehidupan mereka tergantung
kepada pertanian. Pelaut tradisional Indonesia telah memiliki keterampilan berlayar
yang dipelajari dari nenek moyang secara turun-temurun. Sejak dulu mereka sudah
mengenal teknologi arah angin dan musim untuk menentukan perjalanan pelayaran
dan perdagangan. Warisan terbaik dari sejarah zaman Islam lainnya ialah adanya
pengintegrasian Nusantara lewat nasionalisme keagamaan dan jaringan
perdagangan antarpulau.
Laut telah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar suku
bangsa di kepulauan indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Nenek moyang kita
telah memiliki keterampilan berlayar yang di pelajari secara turun temurun. Sejak
dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan musim untuk
menentukan perjalanan, pelayaran dan perdagangan.
Jaringan perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara terbentuk
karena antarpulau saling membutuhkan barang-barang yang tidak ada di tempatnya.
Untuk menunjang terjadinya hubungan itu, para pedagang harus melengkapi diri
dengan pengetahuan tentang angin, navigasi, pembuatan kapal, dan kemampuan
diplomasi dagang. Dalam kondisi seperti itu, munculah saudagar-saudagar dan
syahbandar yang berperan melahirkan dan membangun pusat-pusat perdagangan di
Nusantara.
Munculnya pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya
kemampuan sebagai tempat berikut ini. Pertama, pemberi bekal untuk berlayar dari
suatu tempat ke tempat lain. Kedua, pemberi tempat istirahat bagi kapal-kapal yang
singgah di Nusantara. Ketiga, pengumpul barang komoditas yang diperlukan
bangsa lain. dan terakhir, penyedia tempat pemasaran bagi barang-barang asing
yang siap disebarkan keseluruh Nusantara.
Berdasarkan data arkeologis seperti prasasti-prasasti maupun data historis
berupa berita-berita asing, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah
dimulai sejak abad pertama Masehi.

i
1. Jalur-jalur pelayaran dan jaringan perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan
negeri-negeri di Asia Tenggara, India, dan Cina terutama berdasarkan
berita-berita Cina telah dikaji, antara lain oleh W. Wolters (1967).
2. Catatan-catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari sumber-
sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, menunjukkan adanya jaringan–
jaringan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia
dengan berbagai negeri terutama dengan Cina. Kontak dagang ini sudah
berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi sampai dengan abad ke-16.
Kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai berlayar ke wilayah Asia
Tenggara sejak permulaan abad ke-7. Dari literatur Arab banyak sumber
berita tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara.
3. Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang
bercorak Islam atau kesultanan, antara lain, Samudra Pasai dan Malaka yang
tumbuh dan berkembang sejak abad ke-13 sampai abad ke-15, sedangkan
Ma Huan juga memberitakan adanya komunitas-komunitas Muslim di
pesisir utara Jawa bagian timur.
Adanya jalur pelayaran tersebut menyebabkan munculnya jaringan
perdagangan dan pertumbuhan serta perkembangan kota-kota pusat kesultanan
dengan kota-kota bandarnya pada abad ke-13 sampai abad ke-18 misalnya,
Samudra Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak Indrapura,
Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar,
dan kota-kota lainnya.
Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memberikan
gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik
regional maupun internasional. Ia menceritakan tentang lalu lintas dan kehadiran
para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia,
Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam. Selain itu Tome Pires juga mencatat
kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa,
Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol,
Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam,
Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos,

i
Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor,
Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra,
Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.

G. Akulturasi Kebudayaan Nusantara Dan Hindu-Buddha


Masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu telah memiliki kebudayaan
sendiri, selama ini dipahami adalah proses masuknya budaya Hindu dan Buddha
tak lepas dari aktivitas perdagangan yang terjadi di Tanah Air. Melalui perdagangan
terjadilah akulturasi budaya. Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses
percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang
lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan
hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian atau ciri
khasnya. Untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang.
Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan
Indonesia asli.
Kebudayaan Hindu dan Buddha pada umumnya dibawa oleh para pedagang
yang berasal dari India. Akibat interaksi antara pedagang dan penduduk pribumi,
maka terjadilah akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha dengan kebudayaan asli
nenek moyang kita. Namun, bukan berarti kebudayaan asing tersebut diterima
begitu saja oleh masyarakat Indonesia waktu itu, setiap budaya yang masuk
mengalami proses penyesuaian dengan budaya asli di Nusantara. Bentuk akulturasi
budaya Hindu-Buddha adalah dalam bentuk seni bangunan, seni rupa dan seni ukir,
seni pertunjukkan, seni sastra dan aksara, sistem kepercayaan, dan sistem
pemerintahan.
Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan
kebudayaan Indonesia asli sebagai berikut.
a. Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya
merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu-Buddha
dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah, patung-patung
perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa adalah

i
unsur-unsur dari India. Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya
adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi
Borobudur merupakan salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.
Candi Budha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di
Indonesia stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama
Budha. Dengan demikian seni bangunan candi di Indonesia memiliki
kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya saja dari
unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap sesuatu
yang bercorak Indonesia.
b. Seni Rupa dan Seni Ukir
Masuknya pengaruh India dalam bidang seni dapat dilihat pada
relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding-dinding candi.
Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di
Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. Di sekitar
Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung
dan burung merpati. Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut,
ternyata Indonesia juga mengambil kisah asli ceritera tersebut, tetapi
suasana kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana
kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia. Dengan
demikian Indonesia tidak menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu
berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.
Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah. Hiasan relief
kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal
semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang
itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di lukis.
c. Seni Pertunjukan
Menurut JLA Brandes, gamelan merupakan satu diantara seni
pertunjukan asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebelum masuknya
unsur-unsur budaya India. Selama waktu beraba-dabad gamelan juga
mengalami perkembangan dengan masuknya unsur-unsur budaya baru baik
dalam bentuk maupun kualitasnya. Gambaran mengenai bentuk gamelan

i
Jawa kuno masa Majapahit dapat dilihat pada beberapa sumber, antara lain
prasasti dan kitab kesusastraan. Macam-macam gamelan dapat
dikelompokkan dalam chordaphones, aerophones, membranophones,
tidophones, dan xylophones.
d. Seni Sastra dan Aksara
Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia.
Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk
tembang (puisi). Berdasarkan isinya, kesusastraan dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum, dan
wiracarita (kepahlawanan). Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di
Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul
wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. Misalnya,
Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga
munculnya cerita-cerita Carangan. Sastra yang berkembang di Indonesia
tidak sama persis seperti aslinya dari India karena sudah disadur kembali
oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa Jawa kuno.
Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh
penggunaan huruf pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno.
Pada prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur
budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan
huruf Bali Kuno (Indonesia).
Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari
Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit
(wayang purwa). Wujud akulturasi dalam pertunjukan wayang tersebut
terlihat dari pengambilan lakon ceritera dari kisah Ramayana maupun
Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis dengan
aslinya karena sudah mengalami perubahan. Bentuk dan ragam hias
wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia.
Misalnya tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, dan Petruk.
Tokoh-tokoh ini tidak ditemukan di India.

i
Perubahan juga terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh
ceritera misalnya dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam
cerita aslinya Dorna adalah seorang maha guru bagi Pendawa dan Kurawa
dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia Durna adalah tokoh
yang berperangai buruk suka menghasut.
e. Sistem Kepercayaan
Sejak masa praaksara, di Kepulauan Indonesia waktu itu sudah
mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis. Mereka juga sudah
percaya adanya kehidupan setelah mati, yakni adanya roh halus. Oleh
karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup
(animisme). Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap roh
halus tidak punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi, yaitu
dimanfaatkan sebagai tempat pemujaan atau untuk menyimpan abu jenazah
raja yang telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan abu
jenazah raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya.
Ini jelas merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi
pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia.
Agama Hindu-Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda
dengan agama Hindu-Budha yang dianut oleh masyarakat India.
Perbedaaan-perbedaan tersebut misalnya dapat dilihat dalam upacara ritual
yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia.
Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali,
upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India.
Bentuk bangunan lingga dan yoni juga merupakan tempat pemujaan
terutama bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme. Lingga adalah
lambang Dewa Syiwa. Secara filosofis lingga dan yoni adalah lambang
kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang laki-laki dan yoni
lambang perempuan.
f. Sistem Pemerintahan
Pada masa sebelum masuknya Hindu-Budha masyarakat Nusantara,
mengenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan

i
tersebut adalah pemerintahan di suatu desa atau daerah tertentu. Rakyat
mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala suku. Orang yang
dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua (senior), arif, dapat
membimbing, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam
bidang ekonomi, berwibawa, serta memiliki semacam kekuatan gaib
(kesaktian). Setelah pengaruh India masuk, maka pemimpin tadi diubah
menjadi raja dan wilayahnya disebut kerajaan. Hal ini secara jelas terjadi di
Kutai.
Salah satu bukti akulturasi dalam bidang pemerintahan, misalnya
seorang raja harus berwibawa dan dipandang bila sang raja memiliki
kekuatan gaib seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu-Buddha. Karena
raja memiliki kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat dengan
dewa. Raja kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya dipuja-
puja.
g. Arsitektur
Dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat
perbedaan dimana bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden
berundak-undak,yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan
Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi
bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi
tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah
satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan
untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-
orang terkemuka.
Secara keseluruhan candi menggambarkan hubungan makrokosmos
atau alam semesta yang dibagi menjadi tiga, yaitu alam bawah tempat
manusia yang masih mempunyai nafsu, alam antara tempat manusia telah
meninggalkan keduniawian dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya,
dan alam atas tempatdewa-dewa.

i
PENUTUP

 Kesimpulan
Perjalanan kerajaan Singasari bisa dikatakan berlangsung singkat. Hal ini
terkait dengan adanya sengketa yang terjadi dilingkup istana kerajaan yang kental
dengan nuansa perebutan kekuasaan. Pada saat itu Kerajaan Singasari sibuk
mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa. Akhirnya Kerajaan Singasari
mengalami keropos di bagian dalam.
Kerajaan Buleleng adalah suatu kerajaan di Bali utara yang didirikan sekitar
pertengahan abad ke-17 dan jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1849. Kerajaan ini
dibangun oleh I Gusti Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan dengan cara
menyatukan seluruh wilayah wilayah Bali Utara yang sebelumnya dikenal dengan
nama Den Bukit. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, Kerajaan Buleleng
berstatus sebagai Daerah Tingkat II Buleleng
Nama Kerajaan Tulang Bawang (To-La P’o-Hwang) sempat di kenal di
tanah air. Meski tidak secara terperinci menjelaskan, dari sejumlah riwayat sejarah
maupun catatan penziarah asal daratan Cina, mengungkap akan keberadaan daerah
kerajaan ini.
kerajaan kota kapur terletak di Bangka Sumatra rajaraja nya masih belum di
ketahuai serta masih banyak sekali hal yang masih belum di ketahui tentang
kerajaan kota kapur
1. Jaringan perdagangan dan pelayaran antarpulau di Nusantara terbentuk
karena antarpulau saling membutuhkan barang-barang yang tidak ada di
tempatnya.
2. Munculnya pusat-pusat perdagangan Nusantara disebabkan adanya
kemampuan Nusantara sebagai tempat :
1) Pemberi bekal untuk berlayar dari suatu tempat ke tempat lain
2) Pemberi tempat istirahat bagi kapal-kapal yang singgah di
Nusantara.
3) Pengumpul barang komoditas yang diperlukan bangsa lain. Dan

i
4) Penyedia tempat pemasaran bagi barang-barang asing yang siap
disebarkan keseluruh Nusantara.
3. Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) memberikan
gambaran mengenai keberadaan jalur pelayaran jaringan perdagangan, baik
regional maupun internasional
Kebudayaan Hindu-Budha yang masuk di Indonesia tidak diterima begitu
saja melainkan melalui proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi
kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini
disebabkan karena:
1. Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup
tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah
perbendaharaan kebudayaan Indonesia yang telah ada sebelumnya.
2. Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local genius
merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur
kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia.
Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang
telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang
masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses
pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Indonesia.

i
DAFTAR PUSTAKA

http://anaktujuhsembilan.blogspot.com/2015/04/makalah-sejarah-kerajaan-
singhasari.html.
(Di akses: 29/07/2019)
http://jihanfadhilah10.blogspot.com/2014/05/kerajaan-majapahit.html.
(Di akses: 29/07/2019)
http://ainuttijar.blogspot.com/2010/12/sejarah-kerajaan-buleleng-dan-kerajaan-
dinasti-marwadewa-di-bali.html
(Di akses: 29/07/2019)
http://ainuttijar.blogspot.com/2010/12/sejarah-kerajaan-kotakapur-di-
indonesia.html
(Di akses: 29/07/2019)
http://putra-lampung.blogspot.com/2012/08/kerajaan-tulang-bawang.html
#sthash.xdwpZgSo.dpuf
(Di akses: 29/07/2019)
http://www.mikirbae.com/2015/10/islam-dan-jaringan-perdagangan-antar.html
(Di akses: 29/07/2019)
http://www.mikirbae.com/2015/10/akulturasi-kebudayaan-nusantara-dan.html
(Di akses: 29/07/2019)

Anda mungkin juga menyukai